Bajak Laut Hitam
Di dalam kalender tahunan, jejeran angka fiksi dari tempat wilayah dan berbagai macam lainnya. Anggap saja terjadi pada tahun 1650, terdengar klasik dan tidak modern.
Sekilas tentang peradaban Dinosaurus yang telah musnah di muka bumi.
Mereka adalah sekelompok hewan purbakala dari klad Dinosauria, tidak terlalu penting untuk dibahas. Sekilas sejarah mengenai Dinosaurus, pertama kali mereka muncul di periode Trias dan merupakan vertebrata yang dimulai sejak periode Jura hingga berakhir periode Kapur.
Tak berselang lama. Pada akhirnya mereka musnah akibat suatu peristiwa kepunahan Kapur-Paleogen. Itu terjadi sebelum Era Mesozoikum. Fosil dinosaurus yang tertinggal di muka bumi seperti menunjukkan bahwa spesies burung bisa berevolusi.
Selama dalam masa periode Jura. Beberapa burung yang selamat dari kepunahan. Mereka semua beserta keturunannya melanjutkan keberlangsungan hidup dinosaurus dan berganti nama, juga bentuk.
Berevolusi dari zaman ke zaman hingga saat ini, burung-burung itu berevolusi menjadi sesosok manusia—fiksi dalam cerita. Keturunan mereka berubah semakin hari dengan kepandaian dan berbicara perlahan.
Dari pakaian dan lain-lainnya, seorang wanita gemar mengikat rambut, menghiasinya dengan bunga-bunga hingga tiba saat ini yang mana lautan dipenuhi jarahan.
Awal peristiwa bajak laut itu terjadi akibat pertentangan krisis moral dari salah seorang lelaki muda berdarah dingin.
Dia dikucilkan dan dihinakan, tetapi tak lama dia mengarungi lautan. Di tengah laut terjadi ombak yang sangat mengerikan hingga kapalnya tenggelam dan dia pun tewas.
Jasadnya terombang-ambing di lautan. Konon katanya seorang penjaga lautan memilihnya dan dia pun berhak hidup berlama-lama di muka bumi dengan kondisi ruh tanpa jasad—melayang di udara.
Sekarang dia punya ambisi dan menghantui seluruh samudra, membajak serta merampas di malam hari yang gelap. Wush... angin berembus kencang, hawa dingin menyerang diri yang sedang berselimut kedinginan.
Tak sampai di situ, dia juga melakukan tipu daya terhadap manusia. Beberapa manusia lemah tergoda dan ingin menjadi seorang bajak laut.
Saat itulah awal terjadinya kelompok bajak laut yang dihasut oleh keserakahan iblis berkepala tanduk dua.
Namun, entah di mana sekarang keberadaan iblis tersebut, tidak diketahui di mana sekarang ia berada, tetapi sejarah itu menjadi dongeng yang cukup mengerikan.
***
Di lautan yang tenang dan damai. Dua orang sahabat sedang bergembira karena telah mengumpulkan banyak sekali ikan.
Tak habis-habisnya wajah pemuda itu tersenyum. “Lalala, ketika suatu saat, kuingin terbang mengelilingi alam semesta untuk menunjukkan rasa iba kepada dunia, kutatap angkasa.” Orang itu bernyanyi dendang dan bersuka ria.
“Eh, sudahlah. Suaramu jelek!” ucap teman di sampingnya seraya menyikut sedikit nyaring untuk menghentikan suaranya.
“Hahaha. Iya, baiklah.” Dia tertawa dan menerimanya sebagai candaan.
“Mau ikan?”
“Goreng!”
“Lets go, tapi nanti ketika pulang.”
“Hahaha, benar juga.”
BOOM!
Ledakan meriam terdengar, suatu kejadian nahas berupa kehancuran kapal dan terjadilah kepulan asap, tembakan meriam dahsyat dari bunyinya, bahkan memelesat lurus mengenai tepat di bagian perut kapal.
Tembakan itu menyebabkan kapal mereka yang tadi baru saja berbincang perlahan tenggelam.
Pada saat itu terjadi, seseorang yang tadi bernyanyi bersama temannya bersegera melompat keluar dari kapal. Sekarang, mereka berenang sekuat tenaga dan cukup beruntung, mereka selamat dari ledakan tersebut.
Syukur, tapi kini napas keluh, pernapasan sejenak meronta untuk terbang hilangkan lelah, mereka terombang-ambing di lautan.
“Teman? Kau di mana?” Sekarang, mereka terpisah dan tak tahu ada di mana. Suara teriakan dari kekhawatiran tercerai berai.
Kepalanya tengok kanan kiri, tetapi orang itu tak tahu bahwa ....
Nahas, temannya telah tewas—tak bernyawa karena tenggelam, semua itu berasal dari kekejaman mereka yang tak bertuan dan tak mempunyai peduli kasih sesama.
Tahun kehancuran di mana Bajak Laut menguasai lautan, kapal berukuran besar, ada banyak jumlahnya, mereka mengarungi lautan dan merampok siapa pun yang ingin mereka rampok.
Tak peduli siapa orangnya, apabila telah melewati perbatasan wilayah bajak laut, terima nasib katanya.
Pada hari itu, di tanggal yang suram, tangisan dari beberapa orang, keluhan, napas terserang oleh kehampaan tiada tara, luka yang sama menusuk tepat ke area jantung. Sakit katanya.
“Hohoho.”
“Hahaha.”
“Rampok semua barang dan rampas kapal, bagi seorang nelayan, hancurkan, tenggelamkan tanpa ampun!”
Mereka adalah sekelompok bajak laut ganas dengan pakaian khas dan memakai topi bundar di kepalanya, sedangkan mata kirinya tertutup oleh kain hitam yang menjadi momok mengerikan orang-orang.
Konon katanya mengenai penutup mata itu, sebuah kain sederhana yang memudahkan mereka dalam meneropong sasaran kapal dari kejauhan. Teropong adalah alat pembantu begitu mudah dan adanya penutup mata di sebelahnya memudahkan mereka dan tak perlu lagi menutupi mata saat meneropong sasaran.
“Hooo, dari kejauhan terlihat ada kapal bermuatan besar. Hahaha, bersiaplah, saatnya kita melakukan perampokan!”
Ada juga anggapan lain mengenai perihal penutup mata itu. Konon katanya ia berguna untuk membantu penglihatan mereka pada saat tidak ada cahaya, gelap gulita dan remang-remang penglihatan.
Para bajak laut biasa menghabiskan waktu mereka di sebuah dek yang terang benderang di siang hari dan di bawah bagian kapal yang gelap. Dengan menggunakan penutup mata, salah satu mata akan terbiasa melihat di kegelapan.
“Kapten. Lapor, kapal nelayan itu sudah tenggelam.”
“Hahaha. Bagus!”
“Malam ini, kita akan berpesta.”
Kalau ingin tahu, dunia ini seperti kecil, jika mereka mengarungi lautan dengan kekuatan mistik, melesat, bahkan sekejap mata, walaupun luasnya tak terkira.
Wilayah bajak laut meliputi seluruh benua yang ada, yaitu terdapat tiga benua:
Benua Palung Makmur.
Benua Maura Hiba.
Benua Ruyanisma.
Tiga benua di atas perlu diketahui lebih dalam atau dikupas lebih lanjut, dijelaskan lebih spesifik agar lebih mudah mengenali tempatnya.
Ketiga benua yang tertera di atas membentuk segitiga bulat karena bumi di dalam dunia fiksi ini juga bulat, tidak datar seperti wajah yang kekurangan vitamin C.
Lebih detailnya. Dari segitiga bentuk benua, terdapat tiga samudra:
Dari gambar peta wilayah tertulis nama benua pertama yang bernama Palung Makmur dipisah oleh Samudra Albamia.
Melalui samudra Albamia tibalah pada peta wilayah yang kedua bernama Benua Maura Hiba dipisah oleh Samudra Folosia.
Setelah melalui itu tibalah pada wilayah yang ketiga Benua Ruyanisma yang memiliki satu samudera dengan keganasannya bernama Samudra Fotobia.
Salah satu dari ketiga samudra yang tertera di atas, ada sebuah samudra dengan cerita dan rumor yang ditakuti oleh banyak bajak laut sendiri, yaitu Samudra Fotobia karena di samudra itu konon katanya adalah tempat bercuaca lembab dan suatu gumpalan asap dipenuhi oleh sarang-sarang lebah durjana atau tempat berkumpulnya para bajak laut berbeda jenis.
Mereka sekelompok bajak laut berbentuk manusia, tetapi tidak memiliki hati nurani.
Di tengah lautan. Ada sebuah pulau berjarak sedikit jauh dari daratan, di sana ada sekelompok bajak laut yang bermarkas dan membangun pemukiman mereka.
“Bagaimana hasil rampokan hari ini?”
“Lumayan, tapi tidak banyak.”
“Hahaha.”
“Nikmati saja, hari-hari ini dengan gembira.”
“Lain kali, kau harus membunuh mereka, dunia ini ada dengan darah, tapi lebih baik kita bunuh saja mereka.”
“Tentu, aku pasti akan membunuh mereka, bahkan saat itu aku tenggelamkan kapal mereka.”
“Itu saja?”
“Walaupun begitu, aku sudah puas!”
“Heh, dasar pemula!”
“Hei, tutup mulutmu, kau ingin bertarung denganku?”
“Kau berlagak di depanku!”
“Baiklah, jika kau mati, alangkah baiknya kau berserah diri, itu takkan membuat kerugian bagimu.”
“Hahaha, omong kosong.”
Pelesatan pedang mereka saling serang hingga keduanya kelelahan dengan tebasan luka yang sama. Mereka terhempas dan seketika mati bagai burung kehabisan napas, memekik sebelum wafat.
Jasad mereka dimasak dan dimakan dengan rakus oleh sebagian lainnya. Dua bajak laut itu masih pemula, kesangarannya belum ada dan masih dikuasai ambisi hawa-hawa tidak bersahabat, sering terpancing oleh keadaan.
Di sebrangnya ada lagi pulau, pusat kota dan di sana berdiri bangunan megah, suatu bangunan berlapis emas permata biru dengan tujuh tingkatan. Di sana beberapa gelar bajak laut dipertaruhkan.
Ada yang bertarung demi hanya mendapatkan gelar bercap dan dihormati banyak orang.
Akan tetapi, bukan di situ saja tempat perkumpulan mereka, melainkan dari itu ada suatu tempat yang tak ingin dijamah oleh tangan lainnya.
Terkadang mereka tak berani karena kawasan atau tempat perkumpulan itu dihuni oleh sekelompok bajak laut yang begitu ganas dan mengerikan.
“Hei, apa kau tahu di wilayah selatan? Tepat di ujung pulau sana ada sebuah rumor yang beredar luas. Rumor yang mengerikan.”
“Jangan kau katakan karena aku sudah mengetahuinya. Hahaha.”
“Itu menurutmu, bukan menurut pandanganku.”
***
Di samping itu, memang Samudra Fotobia sangat terkenal dengan sebuah bacaan atau dongeng yang menyebutkan tentang perkumpulan para bajak laut.
Bukan bajak laut biasa, melainkan bajak laut yang memakan daging saudaranya sendiri, kendati demikian ia tersusun kata itu di dalam tanda kutip, tidak mengandung arti dari sebenarnya.
Beberapa anak yang masih berusia polos, tak tahu menahu. Mereka yang tengah dalam masa bermain mendengar dongeng itu tak kuasa berpejam di malam hari, tak bisa terlelap. Kendatipun demikian, semua itu terjadi adalah karena kesalahan orang tua sendiri yang sudah salah dalam memilih cerita.
Di malam hari yang gelap tiada bintang bersinar, tiada rembulan membulat. Hening ditemani suara jangkrik, juga hewan-hewan malam lainnya.
“Ibu, jangan teruskan. Berhentilah menceritakan itu kepadaku, aku tidak berani.”
“Baiklah, kamu tidur yang nyenyak, ya.”
“Bagaimana aku bisa tidur, bu... cerita itu begitu mengerikan.”
“Tenanglah, ibu berada di sampingmu. Mulai hari ini, ibu janji tidak akan menceritakan cerita itu kepadamu.”
“Hmmm, iya.”
Malam hari itu, seorang anak kecil mendekap ibunya. Berharap semua itu adalah bentuk rekaan semata dan sebuah dongeng belaka. Dia tak kuasa untuk mendengarnya lagi, bahkan kini matanya sulit berpejam.
Samudra Fotobia sebenarnya adalah titisan gelar dari Benua Ruyanisma. Benua inilah yang paling ditakuti, bahkan oleh bajak laut sendiri karena perbedaan dari keganasannya begitu jauh di dalam benak pemikiran mereka. Tak sanggup digapai angan.
Benua Ruyanisma dikenal orang dengan sebutan tengkorak batu karena di benua itu tengkorak kepala berserakan di mana-mana, bahkan banyak yang sudah berubah menjadi fosil dan mengeras seperti batu.
***
Di pertengahan tahun. Di ujung bulan tepat pada tanggal terakhir, kedipan mata berujar lirih menatap remang-remang cahaya. Sorotan matahari berusaha menembus prisma di balik kaca jendala yang tak tembus cahaya.
Manik mata biru terkantup dengan gumam percaya bahwa pada suatu hari nanti perubahan besar akan terjadi di dunia ini. Dunia yang dipenuhi keserakahan dan tak mempunyai apa pun selain derita air mata.
Perkembangan bajak laut sekarang begitu pesat, bahkan tidak ada lagi kapal yang berani mengarungi lautan. Mereka para nelayan, juga yang lainnya lebih memilih tinggal di rumah masing-masing.
“Hei, temanku. Kau tidak pergi ke laut untuk mencari ikan?”
“Malas.”
“Heh? Apa maksudmu?”
“Temanku, jika aku menjadi seorang pahlawan yang mempunyai kekuatan, satu hal. Aku ingin membasmi nyamuk-nyamuk yang ada di lautan. Aku malas bertatap muka dengan mereka, ingin kubakar habis kapal mereka itu,” jawabnya garang sedikit berani di belakang, tetapi saat bertemu mentalnya ciut.
“Iya?”
“Ya, aku benar-benar tidak suka dengan kelompok mereka. Bayangkan, kau bersusah payah mencari ikan di lautan sana dengan harapan membawa hasil yang dapat kau manfaatkan. Nahas, mereka datang membajak, merampas semua ikan yang kita dapatkan tanpa memikirkan. Kadang lebih kejamnya mereka menghancurkan kapal tanpa kasihan, tanpa memikirkan nasib orang lain.” Dia menerangkan panjang lebar. Raut wajahnya kesal bagai bara api yang masih menunjukkan cahaya redup.
“Kau sedikit marah, tenanglah!”
“Aku tidak bisa tenang. Kala itu aku dan temanku berlayar ke lautan mencari ikan, kami pergi bersama dan mereka seenaknya menenggelamkan kapal kami, lalu kami berenang dan terpisah karena bersibuk diri masing-masing, mencoba menyelamatkan diri. Aku tidak tahu sekarang keberadaan dirinya, kuharap dia baik baik saja.”
“Begitu?”
“Benar, kau tidak mengetahuinya.”
“Kalau begitu, aku juga tak ingin melaut untuk sementara waktu ini,” jawabnya menepuk bahu si lawan bicara.
Tak bisa dimungkiri. Semenjak saat itu, ada banyak nelayan yang mengurungkan niatnya untuk berlayar mencari ikan. Alasan demi alasan terutarakan. Kapal pengangkut barang juga untuk sementara waktu mengambil cuti dan stoknya pun menumpuk di pelabuhan.
Sejenak lautan sepi. Tidak ada lagi nelayan yang mencari ikan, bahkan kapal pengangkut barang juga tidak ada, kini lautan benar-benar sunyi, hanya kapal bajak laut yang bertebaran di seluruh penjuru lautan.
“Di mana kapal-kapal besar? Kenapa tidak ada satu pun dari mereka?” Salah seorang bajak laut berucap sangar seraya menghantam tempat duduknya.
“Kapten, sepertinya mereka mengurungkan niat untuk berlayar.”
“Hah? Keparat! Mereka minta dihajar, kau pergi dari hadapanku atau aku bunuh!”
Bukan hanya satu orang, melainkan hampir semua bajak laut. Semenjak tidak ada lagi kapal nelayan yang mengarungi lautan, juga kapal pengangkut barang.
Hal itu membuat para bajak laut menggeram penuh kemarahan, suara yang terkeluar menggelegar dengan kepalan tangan memusat titik kemarahan.
“Bagaimana ini, Kapten?”
“Heh, kau cukup lancang bertanya seperti itu kepadaku, di mana letak sopan santunmu?”
“Ma—maafkan saya, Kapten.”
“Sudah, saatnya berlayar!”
Mereka bergerak mengikuti arah mata angin. Tepat menuju arah selatan, tiba di sana ternyata ada perkumpulan para bajak laut. Orang itu menatap dari kejauhan, tersenyum tanpa cela.
“Hahaha.”
“Sepertinya di depan sana, ternyata ada perkumpulan para bajak laut. Bisa kau tebak apa yang mereka lakukan?”
“Saya tidak tahu, Kapten. Kiranya mereka itu sedang melakukan pertempuran. Lihatlah kapal besar itu, mereka mengacungkan senjata pedang.”
“Heh, menarik.”
“Hahahaha, kita akan ikut serta dalam pertempuran mereka.”
Semua hal yang bermula dari kekacauan dan kebimbangan jalan yang mereka tempuh hingga melakukan pertempuran.
Kala itu, mereka saling bertempur satu sama lain tak peduli nyawa melayang, cucuran darah berderaian, di samping semua hal yang terjadi, ada banyak sorakan bersahutan dan menyebabkan berbagai macam kehancuran.
Pertempuran yang terjadi di laut Farida, salah satu laut di samudra Albamia, bajak laut itu, mereka saling serang satu sama lain, merebut awak kapal serta budak yang ada di dalamnya.
Dentuman meriam memekik, pusaran kemarahan menciptakan ketidaksamaan antara angka dua dan tiga.
“Haaa!”
“Habisi tanpa ampun!”
Suara dan suara mereka berteriak lantang karena terdesak dan takut akan kekalahan, salah seorang dari mereka memilih untuk menenggelamkan kapal. Sayangnya itu adalah bentuk bunuh diri. Entah apa yang ada dipikirannya.
Kemungkinan tidak dapat lagi berpikir jernih atau kenapa, mengapa hal itu ia lakukan.
Bukan hanya itu, pada akhirnya kapal-kapal besar, semua itu tenggelam dengan begitu banyak, dari yang tersisa hanya beberapa yang kuat saja.
Salah satunya adalah seorang bajak laut tua yang bernama Lasha, dia disebut kapten dari para bawahan yang ada di kapal tersebut.
“Hahaha.” Kapten Lasha tertawa melihat tenggelamnya kapal musuh.
Kapten Lasha memimpin dengan wibawa seorang pemberani yang amat tegas dengan pendiriannya.
Dia mempunyai sikap yang begitu keras, kejam berdarah dingin, musuh-musuh atau siapa saja yang bertemu dengannya dan tidak memihak pasti akan tenggelam di dalam lautan tanpa dasar.
Akan tetapi, tak disangka oleh prasangka menduga bahwa hati Kapten Lasha itu begitu lembut dengan istrinya yang bernama Haima. Tak pernah kasar sedikit pun, lelaki tua itu begitu menyayanginya sepenuh hati.
“Haima, sepanjang perjalanan hidupku, aku tak pernah mencintai siapa pun sebesar cintaku padamu, seluas samudera dan bagaimanapun aku akan membuktikannya kepadamu.”
Sekarang kata-kata romantis sering terucap dari mulutnya seolah-olah berjatuhan.
Haima adalah seorang anak nelayan yang diculik oleh Kapten Lasha. Pada saat itu, Haima berlayar dengan ayahnya, mereka berdua mengarungi lautan untuk mencari ikan, terkumpul banyak.
Tak disangka, di tengah terkumpulnya ikan, mereka berdua bertemu Kapten Lasha, ketika itu perasaan seorang bajak laut, entah kenapa ketika dia melihat kecantikan yang dimiliki oleh Haima, seketika Kapten Lasha jatuh ke dalam hatinya.
Terjadilah cekcok di antara keduanya, saling merebut hingga Kapten Lasha berhasil merebut paksa dari pelukan sang ayah yang sudah berusia lanjut, Haima hanya bisa pasrah dengan semua itu, ayahnya tewas di tangan Kapten Lasha.
Hiks ... hiks ... hiks ....
Tangisan dari seorang wanita itu berderai terus-menerus hingga membuat Kapten Lasha semakin geram dengan wajah yang dipenuhi hawa dingin mencekam.
Sampai saat ini umurnya telah memasuki usia 40 tahun, mereka berdua laksana air laut dan air tawar. Tidak menyatu.
Pada akhirnya, Haima telah berhasil melupakan kejadian yang menimpanya waktu itu. Sekarang dia menerima Kapten Lasha dengan perasaan tulus dan cinta.
Tak terasa waktu berlalu, dia melahirkan seorang anak lelaki, bunyi suara bayi baru lahir bergema memenuhi ruangan bersalin.
Betapa saat itu, Kapten Lasha bersorak lantang mendengar hal itu, dia benar-benar bergembira dan sekarang perasaannya bagai dihujam dengan partikel es melebihi kutub utara, bahkan embusan napas berembus kuat tiada tara.
Terlebih anak yang lahir dari rahim Haima adalah seorang lelaki.
Seseorang yang akan menjadi penerus perjuangan Kapten Lasha untuk seterusnya.
Badai di samudra menghempas, menggulungkan kapal, tepat berada di titik jemu antara ramai dan sunyi di Desa Muara Ujung Alsa adalah tempat Haima melahirkan dan memang Desa Muara Ujung Alsa adalah markas besar dari kelompok Kapten Lasha.
Desa Muara Ujung Alsa terletak di Benua Maura Hiba, tepat di ujung benua tersebut dan berdekatan dengan laut. Suasana yang benar-benar nyaman, terpaan ombak bersahutan, riuhnya menjulang tinggi menemani sebatas angan.
“Kanda, semoga anak kita akan menjadi seseorang yang persis dirimu.”
Kapten Lasha mendengar ucapan Haima, dia tengah mengelus kepala si bayi mungil yang baru lahir tersebut. Senyuman di bibirnya tak hilang, ia betah berlama-lama menatap, tak jemu sedikit pun.
Orang yang selama ini gagah, sekarang bagai seekor kucing bertemu benang.
Ia tengah asyik bermain sana sini dan merekah pancaran sinar kebahagian.
“Kanda, alangkah sudinya engkau berikan dia nama, semoga dengan itu, dia akan tumbuh kuat seperti dirimu.” Haima menyarankan dan sekilas ucapannya terdengar lembut seraya menatap ke arah bayi yang ada di dalam dekapan Kapten Lasha.
“Dia kuberi nama Akma Jaya.” Dengan sikap tegas. Kapten Lasha memberikan nama Akma Jaya.
Mendengar nama itu, Haima tersenyum bahagia karena nama yang diberikan Kapten Lasha cukup bagi Haima sebagai doa kelak untuk masa depannya. Nama itu memiliki arti yang akan menjadi harapan bagi Kapten Lasha, sejauh mata memandang para anak buah mengelilingi mereka.
Senyuman merekah di setiap wajah, mereka bersyair dengan nada terucap syukur.
Kebahagian dan harapan, tercurahkan untuknya, semoga diberkati dia
Nada itu sedikit ceria, sebuah rentetan syair sederhana yang dilimpahkan dengan kelipatan doa dan jauh luar biasa.
“Kuingin pastikan bahwa Akma Jaya akan benar-benar menjadi apa yang kuinginkan.”
Kapten Lasha cukup bergumam seraya masih mengelus kepala si bayi yang kini telah bernama Akma Jaya.
Nama Akma berasal dari suatu bahasa yang mempunyai arti pemimpin, sedangkan Jaya juga berasal dari suatu bahasa yang memiliki arti sukses. Keduanya digabung dan katanya semoga menjadi harapan bagi mereka.
Kapten Lasha berharap bahwa anak lelakinya akan menjadi sosok seorang pemimpin yang sukses dalam memimpin bawahan dan meneruskan jejaknya dalam memimpin kapal.
Malam harinya seluruh awak kapal dan juga budak-budak, semua itu disuruh berkumpul untuk mengadakan pesta besar-besaran yang akan dirayakan pada malam itu untuk menyambut kelahiran Akma Jaya.
Sambutan kebesaran bertuliskan nama Akma Jaya terpasang dengan begitu rapi.
Saat itu kembang api bertebaran memenuhi cakrawala yang gelap gulita, menghiasinya dengan percikan cahaya berbentuk pecahan bara berwarna merah dan beragam jenis ledakan.
Dentuman memancar bak cahaya mercusuar yang didongakkan ke arah cakrawala. Namun, sedikit berbeda.
Sekilas gambaran dari semua itu terbilang sama atau sekilas pandang seperti permen kapas mengembang dan pecah bagai balon.
Dari sudut pandangan berbeda, sebuah tempat khusus disediakan oleh beberapa bawahan awak kapal. Mereka mempersiapkan tempat yang paling cocok untuk menikmati letusan kembang api, tempat yang dipilih dan disesuaikan selera.
Di tempat itu Kapten Lasha bersama Haima dan juga buah hati yang berada dipangkuan terdiam manis. Mereka tengah menyaksikan dan menikmati suasana letusan kembang api.
Berjuta-juta jumlah percikan di langit, cahaya yang memancar dan sulit melukiskannya dengan hanya sebuah kata.
Kemudian semua apa yang telah terjadi berlalu malam itu diisi dengan kesenangan dan sebongkah kalimat doa. Baik yang terucap maupun tersembunyi di dalam sanubari.
Bagaikan disiram air, lalu turun hujan sejuk yang menghilangkan panas matahari, kedua peristiwa besar sedang melanda perasaan Kapten Lasha, Haima juga merasakan sesuatu yang sama, persis seperti Kapten Lasha.
Sekarang kehidupan Kapten Lasha terasa lengkap dengan adanya Akma Jaya. Membuat perasaan bajak laut tua itu luluh dengan senyuman yang terus terpampang di wajahnya.
Ini adalah awal dari kelahiran Akma Jaya, seorang anak yang akan menjadi penerus juang ayahnya dalam mengarungi lautan.
Lautan yang sangat luas itu menyimpan banyak misteri, banyak bajak laut yang lebih ganas berada di hadapan sana. Entahlah, mungkin pada suatu saat nanti, Akma Jaya akan bertemu mereka atau tidak sama sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
𖤍ᴹᴿ᭄☠BanxJeki Hiatus,GC.2th
tulisannya rapi dan bacanya seperti syair kerenn aye suka 🌹😊
2024-08-08
0