NovelToon NovelToon

Bajak Laut Hitam

CH. 1 – Pengenalan

Di dalam kalender tahunan, jejeran angka fiksi dari tempat wilayah dan berbagai macam lainnya. Anggap saja terjadi pada tahun 1650, terdengar klasik dan tidak modern.

Sekilas tentang peradaban Dinosaurus yang telah musnah di muka bumi.

Mereka adalah sekelompok hewan purbakala dari klad Dinosauria, tidak terlalu penting untuk dibahas. Sekilas sejarah mengenai Dinosaurus, pertama kali mereka muncul di periode Trias dan merupakan vertebrata yang dimulai sejak periode Jura hingga berakhir periode Kapur.

Tak berselang lama. Pada akhirnya mereka musnah akibat suatu peristiwa kepunahan Kapur-Paleogen. Itu terjadi sebelum Era Mesozoikum. Fosil dinosaurus yang tertinggal di muka bumi seperti menunjukkan bahwa spesies burung bisa berevolusi.

Selama dalam masa periode Jura. Beberapa burung yang selamat dari kepunahan. Mereka semua beserta keturunannya melanjutkan keberlangsungan hidup dinosaurus dan berganti nama, juga bentuk.

Berevolusi dari zaman ke zaman hingga saat ini, burung-burung itu berevolusi menjadi sesosok manusia—fiksi dalam cerita. Keturunan mereka berubah semakin hari dengan kepandaian dan berbicara perlahan.

Dari pakaian dan lain-lainnya, seorang wanita gemar mengikat rambut, menghiasinya dengan bunga-bunga hingga tiba saat ini yang mana lautan dipenuhi jarahan.

Awal peristiwa bajak laut itu terjadi akibat pertentangan krisis moral dari salah seorang lelaki muda berdarah dingin.

Dia dikucilkan dan dihinakan, tetapi tak lama dia mengarungi lautan. Di tengah laut terjadi ombak yang sangat mengerikan hingga kapalnya tenggelam dan dia pun tewas.

Jasadnya terombang-ambing di lautan. Konon katanya seorang penjaga lautan memilihnya dan dia pun berhak hidup berlama-lama di muka bumi dengan kondisi ruh tanpa jasad—melayang di udara.

Sekarang dia punya ambisi dan menghantui seluruh samudra, membajak serta merampas di malam hari yang gelap. Wush... angin berembus kencang, hawa dingin menyerang diri yang sedang berselimut kedinginan.

Tak sampai di situ, dia juga melakukan tipu daya terhadap manusia. Beberapa manusia lemah tergoda dan ingin menjadi seorang bajak laut.

Saat itulah awal terjadinya kelompok bajak laut yang dihasut oleh keserakahan iblis berkepala tanduk dua.

Namun, entah di mana sekarang keberadaan iblis tersebut, tidak diketahui di mana sekarang ia berada, tetapi sejarah itu menjadi dongeng yang cukup mengerikan.

***

Di lautan yang tenang dan damai. Dua orang sahabat sedang bergembira karena telah mengumpulkan banyak sekali ikan.

Tak habis-habisnya wajah pemuda itu tersenyum. “Lalala, ketika suatu saat, kuingin terbang mengelilingi alam semesta untuk menunjukkan rasa iba kepada dunia, kutatap angkasa.” Orang itu bernyanyi dendang dan bersuka ria.

“Eh, sudahlah. Suaramu jelek!” ucap teman di sampingnya seraya menyikut sedikit nyaring untuk menghentikan suaranya.

“Hahaha. Iya, baiklah.” Dia tertawa dan menerimanya sebagai candaan.

“Mau ikan?”

“Goreng!”

“Lets go, tapi nanti ketika pulang.”

“Hahaha, benar juga.”

BOOM!

Ledakan meriam terdengar, suatu kejadian nahas berupa kehancuran kapal dan terjadilah kepulan asap, tembakan meriam dahsyat dari bunyinya, bahkan memelesat lurus mengenai tepat di bagian perut kapal.

Tembakan itu menyebabkan kapal mereka yang tadi baru saja berbincang perlahan tenggelam.

Pada saat itu terjadi, seseorang yang tadi bernyanyi bersama temannya bersegera melompat keluar dari kapal. Sekarang, mereka berenang sekuat tenaga dan cukup beruntung, mereka selamat dari ledakan tersebut.

Syukur, tapi kini napas keluh, pernapasan sejenak meronta untuk terbang hilangkan lelah, mereka terombang-ambing di lautan.

“Teman? Kau di mana?” Sekarang, mereka terpisah dan tak tahu ada di mana. Suara teriakan dari kekhawatiran tercerai berai.

Kepalanya tengok kanan kiri, tetapi orang itu tak tahu bahwa ....

Nahas, temannya telah tewas—tak bernyawa karena tenggelam, semua itu berasal dari kekejaman mereka yang tak bertuan dan tak mempunyai peduli kasih sesama.

Tahun kehancuran di mana Bajak Laut menguasai lautan, kapal berukuran besar, ada banyak jumlahnya, mereka mengarungi lautan dan merampok siapa pun yang ingin mereka rampok.

Tak peduli siapa orangnya, apabila telah melewati perbatasan wilayah bajak laut, terima nasib katanya.

Pada hari itu, di tanggal yang suram, tangisan dari beberapa orang, keluhan, napas terserang oleh kehampaan tiada tara, luka yang sama menusuk tepat ke area jantung. Sakit katanya.

“Hohoho.”

“Hahaha.”

“Rampok semua barang dan rampas kapal, bagi seorang nelayan, hancurkan, tenggelamkan tanpa ampun!”

Mereka adalah sekelompok bajak laut ganas dengan pakaian khas dan memakai topi bundar di kepalanya, sedangkan mata kirinya tertutup oleh kain hitam yang menjadi momok mengerikan orang-orang.

Konon katanya mengenai penutup mata itu, sebuah kain sederhana yang memudahkan mereka dalam meneropong sasaran kapal dari kejauhan. Teropong adalah alat pembantu begitu mudah dan adanya penutup mata di sebelahnya memudahkan mereka dan tak perlu lagi menutupi mata saat meneropong sasaran.

“Hooo, dari kejauhan terlihat ada kapal bermuatan besar. Hahaha, bersiaplah, saatnya kita melakukan perampokan!”

Ada juga anggapan lain mengenai perihal penutup mata itu. Konon katanya ia berguna untuk membantu penglihatan mereka pada saat tidak ada cahaya, gelap gulita dan remang-remang penglihatan.

Para bajak laut biasa menghabiskan waktu mereka di sebuah dek yang terang benderang di siang hari dan di bawah bagian kapal yang gelap. Dengan menggunakan penutup mata, salah satu mata akan terbiasa melihat di kegelapan.

“Kapten. Lapor, kapal nelayan itu sudah tenggelam.”

“Hahaha. Bagus!”

“Malam ini, kita akan berpesta.”

Kalau ingin tahu, dunia ini seperti kecil, jika mereka mengarungi lautan dengan kekuatan mistik, melesat, bahkan sekejap mata, walaupun luasnya tak terkira.

Wilayah bajak laut meliputi seluruh benua yang ada, yaitu terdapat tiga benua:

Benua Palung Makmur.

Benua Maura Hiba.

Benua Ruyanisma.

Tiga benua di atas perlu diketahui lebih dalam atau dikupas lebih lanjut, dijelaskan lebih spesifik agar lebih mudah mengenali tempatnya.

Ketiga benua yang tertera di atas membentuk segitiga bulat karena bumi di dalam dunia fiksi ini juga bulat, tidak datar seperti wajah yang kekurangan vitamin C.

Lebih detailnya. Dari segitiga bentuk benua, terdapat tiga samudra:

Dari gambar peta wilayah tertulis nama benua pertama yang bernama Palung Makmur dipisah oleh Samudra Albamia.

Melalui samudra Albamia tibalah pada peta wilayah yang kedua bernama Benua Maura Hiba dipisah oleh Samudra Folosia.

Setelah melalui itu tibalah pada wilayah yang ketiga Benua Ruyanisma yang memiliki satu samudera dengan keganasannya bernama Samudra Fotobia.

Salah satu dari ketiga samudra yang tertera di atas, ada sebuah samudra dengan cerita dan rumor yang ditakuti oleh banyak bajak laut sendiri, yaitu Samudra Fotobia karena di samudra itu konon katanya adalah tempat bercuaca lembab dan suatu gumpalan asap dipenuhi oleh sarang-sarang lebah durjana atau tempat berkumpulnya para bajak laut berbeda jenis.

Mereka sekelompok bajak laut berbentuk manusia, tetapi tidak memiliki hati nurani.

Di tengah lautan. Ada sebuah pulau berjarak sedikit jauh dari daratan, di sana ada sekelompok bajak laut yang bermarkas dan membangun pemukiman mereka.

“Bagaimana hasil rampokan hari ini?”

“Lumayan, tapi tidak banyak.”

“Hahaha.”

“Nikmati saja, hari-hari ini dengan gembira.”

“Lain kali, kau harus membunuh mereka, dunia ini ada dengan darah, tapi lebih baik kita bunuh saja mereka.”

“Tentu, aku pasti akan membunuh mereka, bahkan saat itu aku tenggelamkan kapal mereka.”

“Itu saja?”

“Walaupun begitu, aku sudah puas!”

“Heh, dasar pemula!”

“Hei, tutup mulutmu, kau ingin bertarung denganku?”

“Kau berlagak di depanku!”

“Baiklah, jika kau mati, alangkah baiknya kau berserah diri, itu takkan membuat kerugian bagimu.”

“Hahaha, omong kosong.”

Pelesatan pedang mereka saling serang hingga keduanya kelelahan dengan tebasan luka yang sama. Mereka terhempas dan seketika mati bagai burung kehabisan napas, memekik sebelum wafat.

Jasad mereka dimasak dan dimakan dengan rakus oleh sebagian lainnya. Dua bajak laut itu masih pemula, kesangarannya belum ada dan masih dikuasai ambisi hawa-hawa tidak bersahabat, sering terpancing oleh keadaan.

Di sebrangnya ada lagi pulau, pusat kota dan di sana berdiri bangunan megah, suatu bangunan berlapis emas permata biru dengan tujuh tingkatan. Di sana beberapa gelar bajak laut dipertaruhkan.

Ada yang bertarung demi hanya mendapatkan gelar bercap dan dihormati banyak orang.

Akan tetapi, bukan di situ saja tempat perkumpulan mereka, melainkan dari itu ada suatu tempat yang tak ingin dijamah oleh tangan lainnya.

Terkadang mereka tak berani karena kawasan atau tempat perkumpulan itu dihuni oleh sekelompok bajak laut yang begitu ganas dan mengerikan.

“Hei, apa kau tahu di wilayah selatan? Tepat di ujung pulau sana ada sebuah rumor yang beredar luas. Rumor yang mengerikan.”

“Jangan kau katakan karena aku sudah mengetahuinya. Hahaha.”

“Itu menurutmu, bukan menurut pandanganku.”

***

Di samping itu, memang Samudra Fotobia sangat terkenal dengan sebuah bacaan atau dongeng yang menyebutkan tentang perkumpulan para bajak laut.

Bukan bajak laut biasa, melainkan bajak laut yang memakan daging saudaranya sendiri, kendati demikian ia tersusun kata itu di dalam tanda kutip, tidak mengandung arti dari sebenarnya.

Beberapa anak yang masih berusia polos, tak tahu menahu. Mereka yang tengah dalam masa bermain mendengar dongeng itu tak kuasa berpejam di malam hari, tak bisa terlelap. Kendatipun demikian, semua itu terjadi adalah karena kesalahan orang tua sendiri yang sudah salah dalam memilih cerita.

Di malam hari yang gelap tiada bintang bersinar, tiada rembulan membulat. Hening ditemani suara jangkrik, juga hewan-hewan malam lainnya.

“Ibu, jangan teruskan. Berhentilah menceritakan itu kepadaku, aku tidak berani.”

“Baiklah, kamu tidur yang nyenyak, ya.”

“Bagaimana aku bisa tidur, bu... cerita itu begitu mengerikan.”

“Tenanglah, ibu berada di sampingmu. Mulai hari ini, ibu janji tidak akan menceritakan cerita itu kepadamu.”

“Hmmm, iya.”

Malam hari itu, seorang anak kecil mendekap ibunya. Berharap semua itu adalah bentuk rekaan semata dan sebuah dongeng belaka. Dia tak kuasa untuk mendengarnya lagi, bahkan kini matanya sulit berpejam.

Samudra Fotobia sebenarnya adalah titisan gelar dari Benua Ruyanisma. Benua inilah yang paling ditakuti, bahkan oleh bajak laut sendiri karena perbedaan dari keganasannya begitu jauh di dalam benak pemikiran mereka. Tak sanggup digapai angan.

Benua Ruyanisma dikenal orang dengan sebutan tengkorak batu karena di benua itu tengkorak kepala berserakan di mana-mana, bahkan banyak yang sudah berubah menjadi fosil dan mengeras seperti batu.

***

Di pertengahan tahun. Di ujung bulan tepat pada tanggal terakhir, kedipan mata berujar lirih menatap remang-remang cahaya. Sorotan matahari berusaha menembus prisma di balik kaca jendala yang tak tembus cahaya.

Manik mata biru terkantup dengan gumam percaya bahwa pada suatu hari nanti perubahan besar akan terjadi di dunia ini. Dunia yang dipenuhi keserakahan dan tak mempunyai apa pun selain derita air mata.

Perkembangan bajak laut sekarang begitu pesat, bahkan tidak ada lagi kapal yang berani mengarungi lautan. Mereka para nelayan, juga yang lainnya lebih memilih tinggal di rumah masing-masing.

“Hei, temanku. Kau tidak pergi ke laut untuk mencari ikan?”

“Malas.”

“Heh? Apa maksudmu?”

“Temanku, jika aku menjadi seorang pahlawan yang mempunyai kekuatan, satu hal. Aku ingin membasmi nyamuk-nyamuk yang ada di lautan. Aku malas bertatap muka dengan mereka, ingin kubakar habis kapal mereka itu,” jawabnya garang sedikit berani di belakang, tetapi saat bertemu mentalnya ciut.

“Iya?”

“Ya, aku benar-benar tidak suka dengan kelompok mereka. Bayangkan, kau bersusah payah mencari ikan di lautan sana dengan harapan membawa hasil yang dapat kau manfaatkan. Nahas, mereka datang membajak, merampas semua ikan yang kita dapatkan tanpa memikirkan. Kadang lebih kejamnya mereka menghancurkan kapal tanpa kasihan, tanpa memikirkan nasib orang lain.” Dia menerangkan panjang lebar. Raut wajahnya kesal bagai bara api yang masih menunjukkan cahaya redup.

“Kau sedikit marah, tenanglah!”

“Aku tidak bisa tenang. Kala itu aku dan temanku berlayar ke lautan mencari ikan, kami pergi bersama dan mereka seenaknya menenggelamkan kapal kami, lalu kami berenang dan terpisah karena bersibuk diri masing-masing, mencoba menyelamatkan diri. Aku tidak tahu sekarang keberadaan dirinya, kuharap dia baik baik saja.”

“Begitu?”

“Benar, kau tidak mengetahuinya.”

“Kalau begitu, aku juga tak ingin melaut untuk sementara waktu ini,” jawabnya menepuk bahu si lawan bicara.

Tak bisa dimungkiri. Semenjak saat itu, ada banyak nelayan yang mengurungkan niatnya untuk berlayar mencari ikan. Alasan demi alasan terutarakan. Kapal pengangkut barang juga untuk sementara waktu mengambil cuti dan stoknya pun menumpuk di pelabuhan.

Sejenak lautan sepi. Tidak ada lagi nelayan yang mencari ikan, bahkan kapal pengangkut barang juga tidak ada, kini lautan benar-benar sunyi, hanya kapal bajak laut yang bertebaran di seluruh penjuru lautan.

“Di mana kapal-kapal besar? Kenapa tidak ada satu pun dari mereka?” Salah seorang bajak laut berucap sangar seraya menghantam tempat duduknya.

“Kapten, sepertinya mereka mengurungkan niat untuk berlayar.”

“Hah? Keparat! Mereka minta dihajar, kau pergi dari hadapanku atau aku bunuh!”

Bukan hanya satu orang, melainkan hampir semua bajak laut. Semenjak tidak ada lagi kapal nelayan yang mengarungi lautan, juga kapal pengangkut barang.

Hal itu membuat para bajak laut menggeram penuh kemarahan, suara yang terkeluar menggelegar dengan kepalan tangan memusat titik kemarahan.

“Bagaimana ini, Kapten?”

“Heh, kau cukup lancang bertanya seperti itu kepadaku, di mana letak sopan santunmu?”

“Ma—maafkan saya, Kapten.”

“Sudah, saatnya berlayar!”

Mereka bergerak mengikuti arah mata angin. Tepat menuju arah selatan, tiba di sana ternyata ada perkumpulan para bajak laut. Orang itu menatap dari kejauhan, tersenyum tanpa cela.

“Hahaha.”

“Sepertinya di depan sana, ternyata ada perkumpulan para bajak laut. Bisa kau tebak apa yang mereka lakukan?”

“Saya tidak tahu, Kapten. Kiranya mereka itu sedang melakukan pertempuran. Lihatlah kapal besar itu, mereka mengacungkan senjata pedang.”

“Heh, menarik.”

“Hahahaha, kita akan ikut serta dalam pertempuran mereka.”

Semua hal yang bermula dari kekacauan dan kebimbangan jalan yang mereka tempuh hingga melakukan pertempuran.

Kala itu, mereka saling bertempur satu sama lain tak peduli nyawa melayang, cucuran darah berderaian, di samping semua hal yang terjadi, ada banyak sorakan bersahutan dan menyebabkan berbagai macam kehancuran.

Pertempuran yang terjadi di laut Farida, salah satu laut di samudra Albamia, bajak laut itu, mereka saling serang satu sama lain, merebut awak kapal serta budak yang ada di dalamnya.

Dentuman meriam memekik, pusaran kemarahan menciptakan ketidaksamaan antara angka dua dan tiga.

“Haaa!”

“Habisi tanpa ampun!”

Suara dan suara mereka berteriak lantang karena terdesak dan takut akan kekalahan, salah seorang dari mereka memilih untuk menenggelamkan kapal. Sayangnya itu adalah bentuk bunuh diri. Entah apa yang ada dipikirannya.

Kemungkinan tidak dapat lagi berpikir jernih atau kenapa, mengapa hal itu ia lakukan.

Bukan hanya itu, pada akhirnya kapal-kapal besar, semua itu tenggelam dengan begitu banyak, dari yang tersisa hanya beberapa yang kuat saja.

Salah satunya adalah seorang bajak laut tua yang bernama Lasha, dia disebut kapten dari para bawahan yang ada di kapal tersebut.

“Hahaha.” Kapten Lasha tertawa melihat tenggelamnya kapal musuh.

Kapten Lasha memimpin dengan wibawa seorang pemberani yang amat tegas dengan pendiriannya.

Dia mempunyai sikap yang begitu keras, kejam berdarah dingin, musuh-musuh atau siapa saja yang bertemu dengannya dan tidak memihak pasti akan tenggelam di dalam lautan tanpa dasar.

Akan tetapi, tak disangka oleh prasangka menduga bahwa hati Kapten Lasha itu begitu lembut dengan istrinya yang bernama Haima. Tak pernah kasar sedikit pun, lelaki tua itu begitu menyayanginya sepenuh hati.

“Haima, sepanjang perjalanan hidupku, aku tak pernah mencintai siapa pun sebesar cintaku padamu, seluas samudera dan bagaimanapun aku akan membuktikannya kepadamu.”

Sekarang kata-kata romantis sering terucap dari mulutnya seolah-olah berjatuhan.

Haima adalah seorang anak nelayan yang diculik oleh Kapten Lasha. Pada saat itu, Haima berlayar dengan ayahnya, mereka berdua mengarungi lautan untuk mencari ikan, terkumpul banyak.

Tak disangka, di tengah terkumpulnya ikan, mereka berdua bertemu Kapten Lasha, ketika itu perasaan seorang bajak laut, entah kenapa ketika dia melihat kecantikan yang dimiliki oleh Haima, seketika Kapten Lasha jatuh ke dalam hatinya.

Terjadilah cekcok di antara keduanya, saling merebut hingga Kapten Lasha berhasil merebut paksa dari pelukan sang ayah yang sudah berusia lanjut, Haima hanya bisa pasrah dengan semua itu, ayahnya tewas di tangan Kapten Lasha.

Hiks ... hiks ... hiks ....

Tangisan dari seorang wanita itu berderai terus-menerus hingga membuat Kapten Lasha semakin geram dengan wajah yang dipenuhi hawa dingin mencekam.

Sampai saat ini umurnya telah memasuki usia 40 tahun, mereka berdua laksana air laut dan air tawar. Tidak menyatu.

Pada akhirnya, Haima telah berhasil melupakan kejadian yang menimpanya waktu itu. Sekarang dia menerima Kapten Lasha dengan perasaan tulus dan cinta.

Tak terasa waktu berlalu, dia melahirkan seorang anak lelaki, bunyi suara bayi baru lahir bergema memenuhi ruangan bersalin.

Betapa saat itu, Kapten Lasha bersorak lantang mendengar hal itu, dia benar-benar bergembira dan sekarang perasaannya bagai dihujam dengan partikel es melebihi kutub utara, bahkan embusan napas berembus kuat tiada tara.

Terlebih anak yang lahir dari rahim Haima adalah seorang lelaki.

Seseorang yang akan menjadi penerus perjuangan Kapten Lasha untuk seterusnya.

Badai di samudra menghempas, menggulungkan kapal, tepat berada di titik jemu antara ramai dan sunyi di Desa Muara Ujung Alsa adalah tempat Haima melahirkan dan memang Desa Muara Ujung Alsa adalah markas besar dari kelompok Kapten Lasha.

Desa Muara Ujung Alsa terletak di Benua Maura Hiba, tepat di ujung benua tersebut dan berdekatan dengan laut. Suasana yang benar-benar nyaman, terpaan ombak bersahutan, riuhnya menjulang tinggi menemani sebatas angan.

“Kanda, semoga anak kita akan menjadi seseorang yang persis dirimu.”

Kapten Lasha mendengar ucapan Haima, dia tengah mengelus kepala si bayi mungil yang baru lahir tersebut. Senyuman di bibirnya tak hilang, ia betah berlama-lama menatap, tak jemu sedikit pun.

Orang yang selama ini gagah, sekarang bagai seekor kucing bertemu benang.

Ia tengah asyik bermain sana sini dan merekah pancaran sinar kebahagian.

“Kanda, alangkah sudinya engkau berikan dia nama, semoga dengan itu, dia akan tumbuh kuat seperti dirimu.” Haima menyarankan dan sekilas ucapannya terdengar lembut seraya menatap ke arah bayi yang ada di dalam dekapan Kapten Lasha.

“Dia kuberi nama Akma Jaya.” Dengan sikap tegas. Kapten Lasha memberikan nama Akma Jaya.

Mendengar nama itu, Haima tersenyum bahagia karena nama yang diberikan Kapten Lasha cukup bagi Haima sebagai doa kelak untuk masa depannya. Nama itu memiliki arti yang akan menjadi harapan bagi Kapten Lasha, sejauh mata memandang para anak buah mengelilingi mereka.

Senyuman merekah di setiap wajah, mereka bersyair dengan nada terucap syukur.

Kebahagian dan harapan, tercurahkan untuknya, semoga diberkati dia

Nada itu sedikit ceria, sebuah rentetan syair sederhana yang dilimpahkan dengan kelipatan doa dan jauh luar biasa.

“Kuingin pastikan bahwa Akma Jaya akan benar-benar menjadi apa yang kuinginkan.”

Kapten Lasha cukup bergumam seraya masih mengelus kepala si bayi yang kini telah bernama Akma Jaya.

Nama Akma berasal dari suatu bahasa yang mempunyai arti pemimpin, sedangkan Jaya juga berasal dari suatu bahasa yang memiliki arti sukses. Keduanya digabung dan katanya semoga menjadi harapan bagi mereka.

Kapten Lasha berharap bahwa anak lelakinya akan menjadi sosok seorang pemimpin yang sukses dalam memimpin bawahan dan meneruskan jejaknya dalam memimpin kapal.

Malam harinya seluruh awak kapal dan juga budak-budak, semua itu disuruh berkumpul untuk mengadakan pesta besar-besaran yang akan dirayakan pada malam itu untuk menyambut kelahiran Akma Jaya.

Sambutan kebesaran bertuliskan nama Akma Jaya terpasang dengan begitu rapi.

Saat itu kembang api bertebaran memenuhi cakrawala yang gelap gulita, menghiasinya dengan percikan cahaya berbentuk pecahan bara berwarna merah dan beragam jenis ledakan.

Dentuman memancar bak cahaya mercusuar yang didongakkan ke arah cakrawala. Namun, sedikit berbeda.

Sekilas gambaran dari semua itu terbilang sama atau sekilas pandang seperti permen kapas mengembang dan pecah bagai balon.

Dari sudut pandangan berbeda, sebuah tempat khusus disediakan oleh beberapa bawahan awak kapal. Mereka mempersiapkan tempat yang paling cocok untuk menikmati letusan kembang api, tempat yang dipilih dan disesuaikan selera.

Di tempat itu Kapten Lasha bersama Haima dan juga buah hati yang berada dipangkuan terdiam manis. Mereka tengah menyaksikan dan menikmati suasana letusan kembang api.

Berjuta-juta jumlah percikan di langit, cahaya yang memancar dan sulit melukiskannya dengan hanya sebuah kata.

Kemudian semua apa yang telah terjadi berlalu malam itu diisi dengan kesenangan dan sebongkah kalimat doa. Baik yang terucap maupun tersembunyi di dalam sanubari.

Bagaikan disiram air, lalu turun hujan sejuk yang menghilangkan panas matahari, kedua peristiwa besar sedang melanda perasaan Kapten Lasha, Haima juga merasakan sesuatu yang sama, persis seperti Kapten Lasha.

Sekarang kehidupan Kapten Lasha terasa lengkap dengan adanya Akma Jaya. Membuat perasaan bajak laut tua itu luluh dengan senyuman yang terus terpampang di wajahnya.

Ini adalah awal dari kelahiran Akma Jaya, seorang anak yang akan menjadi penerus juang ayahnya dalam mengarungi lautan.

Lautan yang sangat luas itu menyimpan banyak misteri, banyak bajak laut yang lebih ganas berada di hadapan sana. Entahlah, mungkin pada suatu saat nanti, Akma Jaya akan bertemu mereka atau tidak sama sekali.

CH. 2 – Desa Muara Ujung Alsa

Kapten Lasha banyak melewati berbagai hal dalam kehidupan yang dia jalani hingga di suatu masa dirinya dapat mengetahui sesuatu yang akan terjadi, sejenis firasat kuat yang mengatakan ini dan itu.

Akan tetapi, sebelum mendapatkannya, masa remaja yang dilewati seorang kapten itu sedikit suram karena seringkali berurusan dengan kehidupan yang dipenuhi dengan kekejaman dan tak pernah ada raut wajah tersenyum.

Di samping itu, dunia yang dulu dia lalui—sebuah kehidupan yang dijalaninya, jarang berada di daratan dan seolah-olah tak ada kehidupan selain di lautan. Dia tidak pernah menatap semasa hidupnya ke arah orang lain maupun menikmati apa itu cinta dan kasih sayang yang tertuang dalam lukisan.

Hati yang tak berubah

Perasaan yang membeku parah

Kata cinta dan kasih sayang yang dia dengar sedikit menjijikan baginya. Tidak hanya tentang itu, lebih dalam tentang dirinya. Dia juga tidak menyukai orang yang tidak ada nilainya, tak ada kemampuan di diri orang tersebut.

Orang yang seperti itu bagai setumpuk barang sampah, katanya dan mengenai seseorang yang tidak punya kemampuan. Tidak ada satu pun kebencian dalam sanubarinya kecuali terhadap barang sampah yang bahkan tidak berguna atau bahkan hanya menjadi pajangan menatap tiada guna. Merusak pemandangan, tanggapannya mengenai itu terbilang aneh, tetapi itulah jati diri seorang Kapten Lasha.

Beberapa anak buahnya sudah kenyang makan garam, bentuk kalimat yang asin mereka telan.

“Kalian tidak bisa mengangkatnya, sampah!”

“Dasar sampah!”

Semua itu terlihat jelas dari kemarahan Kapten Lasha yang seringkali menyebut mereka sebagai sampah hingga kadang menjadi ciri khas di kalangan anak buahnya.

Namun, mereka semua tetap saja tak berani menyampaikan kalimat yang menantang, bahkan menuturkannya pun kelu.

“Bagaimana cara yang indah untuk menjalani hidup? Apakah kau akan terus mengikutinya atau berhenti?” tanya salah seorang menatapnya sedikit iba, padahal dia pun sama ingin berkeluh. Selalu dia tahan.

Sebelumnya salah seorang yang juga sebagai anak buah, mereka adalah kaum yang sama dan tidak berbeda derajatnya.

Seorang anak buah itu sedang mencurahkan isi benak pikiran yang melandanya. Kacau balau menajam ke langit. Mencurahkan isi pikiran kepada salah seorang temannya mengenai sikap Kapten Lasha yang sering menyebutnya sebagai sampah.

“Walaupun demikian, aku merasakan bahwa Kapten Lasha pada suatu hari nanti dia akan berubah, aku percaya di sorotan matanya menunjukkan akan hal itu," jawab temannya tersenyum seraya mendongakkan kepala.

“Semoga.”

“Bagaimanapun juga dia adalah kapten yang telah merangkul kita di saat kerabat dan sanak saudara meninggalkan kita.”

“Iya, saat itu. Inilah alasan mengapa aku tetap bersamanya, walaupun sikapnya sedikit keterlaluan.”

Prinsip hidup yang kuat dan anggapan dirinya mengenai makhluk sampah, hanya mengotori dunia, juga membuat sesak jagat raya, bahkan merusak pemandangan indah yang dia pandang.

***

“Kau tidak pantas tertawa, menderitalah karena kau tidak punya keberanian.” Kala itu, di sebuah tempat pelatihan anak buah. Kapten Lasha mengawasi fokus, pandangan tak diedarkan sedikit pun.

Seorang lelaki sebaya dengannya di waktu muda, sebenarnya ini adalah kisah lama yang terlebih lama dan kembali diputar dalam bentuk kilas balik. Memperlihatkan sekilas sosok Kapten Lasha pada masa lalu.

Hari panas di bawah terik matahari.

Terbilang sial bagi salah seorang anak buah yang mana sebuah peristiwa menyebabkan kekecewaan besar terjadi, ia melanda perasaan dengan berkecamuk hebat. Hal itu terjadi karena sebuah kesalahan.

Kemarahan yang menjadikan titik dirinya bagai sepatah kata menuju kalimat yang dicoret-coret dengan tinta hitam. Membara panas dengan lahar yang bertitik cepat hingga jatuh ke permukaan kertas dan membuatnya tak bersisa apa pun lagi. Hancur lebur.

Kapten Lasha bergerak tangan ingin mencoret orang itu dari pelatihan.

“Jangan coret namaku, kumohon ....”

“Heh? Buktikan kepadaku bahwa kau bukan seorang sampah!”

Orang-orang di sekitaran tempat itu tertegun melihat akan hal itu, mereka tak kuasa kini saling geleng-geleng kepala.

“Baik, saya akan berusaha," ucapnya memberi hormat.

“Bagus. Pertahankan, jangan pernah kau menunjukkan sikap sampah di hadapanku!”

Dalam masa pelatihan, kandidat yang terbilang pantas langsung dipilih. Puluhan orang berjejer rapi membentuk barisan.

Akan tetapi, rasa senang belum juga cukup. Mereka semua hanya lulus dalam uji coba dan belum pernah merasakan bagaimana kehidupan bajak laut yang sesungguhnya.

“Mulai hari ini, kalian sudah resmi menjadi anak buahku. Bersiaplah untuk menghadapi berbagai macam kekejaman di dunia bajak laut yang sesungguhnya adalah dusta belaka!”

“Kuatkan tekad kalian dan pacu semangat tanpa menatap ke samping atau belakang.”

Satu dua anak buah merasa heran sendiri. Kapten Lasha apa yang sebenarnya dia ucapkan? Sulit dipahami lebih lanjut mengapa bisa demikian adanya.

“Saatnya bubar dan persiapkan diri kalian.”

“Siap, Kapten!” jawab mereka serentak.

Begitulah Kapten Lasha, sebelum dirinya menjadikan mereka sebagai seorang anak buah, ada banyak uji coba yang terlebih dulu dia lakukan dan seleksi satu per satu.

Salah seorang sahabatnya pun cukup mengagumi sikap itu, tetapi di lain hal dia juga tidak menyukainya.

“Lasha, kau terlalu kejam terhadap anak buahmu, biarkan saja mereka. Hal yang terpenting adalah kekuatan saling melindungi sesama kru kapal dan rasa bersalah sebagai seorang teman. Kau yang menjadi kapten dalam kelompokmu harus bisa melindungi mereka, bukan malah menyakiti seperti itu.”

“Apa kau sadar? Ini bukan urusanmu!”

“Aku sekadar memberimu sedikit nasehat.”

“Hei, kutegaskan satu hal kepadamu tetaplah berada pada jalan hidupmu, ini adalah jalan hidupku. Jika kau tak sanggup menahan iba dan tak ingin melihatku memperlakukan mereka secara buruk. Maka pergilah dari hadapanku.”

“Lasha, ucapanmu sedikit kurang nyaman di telingaku. Kita berdua telah melewati waktu banyak sekali peristiwa, bahkan pulau ini menjadi saksi dalam persahabatan kita.”

“Heh, kau terlalu memandangnya berlebihan. Aku sekadar berucap, lupakan saja.” Kapten Lasha beranjak pergi dan memutus obrolan singkat tersebut.

***

Malam hari sesosok rembulan bertengger menunjukkan cahaya keindahan. Cakrawala berteman bintang dan malam yang sunyi.

Pada saat itu, Kapten Lasha berduduk menatap api yang sedang menari ria di sekumpulan kayu gaharu. Sebuah tumpukan menyala dengan keharuman yang jelas tercium.

Kedalaman renungan saat itu melambungkan angan, mengaburkan pandangan juga terbang dari batas pijakan bumi dan jiwanya pergi dan hilang entah kemana.

“Lasha, kau sedang apa?” Sahabatnya bertanya seraya menghampiri.

Namun, Kapten Lasha tampak tidak menghiraukannya, bahkan tak menoleh sedikit pun. Wajah dingin seolah-olah mati suri dan tak bernyawa.

Dia masih lekat, terpaku memandang ke arah tumpukan kayu dan ranting yang mernyala api. Bunyi gemercik ditemani kesunyian di antara mereka, angin berembus malam berembus dan menyentuh permukaan kulit mereka.

“Sepertinya kau tidak ingin diganggu, jangan sampai masuk angin,” ucapnya pergi dari hadapan Kapten Lasha.

Menerka dalam batin. Singkat, dia melirik sejenak, ada raut wajah kosong yang ternampak dari Kapten Lasha. Diri yang seolah-olah ruhnya menghilang dari jasadnya.

Sahabatnya memaklumi akan hal itu. Dia tahu betul bagaimana sosok seorang Kapten Lasha. Dia tahu betul bagaimana sosok seorang Kapten Lasha yang dulu mereka berdua saling bekerja sama dan bertarung melawan ribuan pasukan kerajaan yang ingin menangkap mereka. Satu per satu ingatan berdatangan.

***

“Lasha, kuatkan dirimu. Kita akan menyerang sekuat tenaga!” Sahabatnya berseru dengan tebasan pedang kian cepat.

Kapten Lasha mengangguk. Menerobos ribuan orang yang di sana yang mengacungkan senjata ke arahnya, lalu menebaskan dengan sekali tebas ke arahnya. Kapten Lasha menangkis serangan, menerjang pertahanan. Berdebum suara terdengar dari salah seorang yang terpental jauh ke tanah dengan pancaran mata yang menunjukkan perasaan takut dan tubuh lelah.

Kalimat syair yang tepat kala itu ingin dia lantunkan menatap ke arah langit. Kesiur lambaian angin dan nirwana kata dalam benak pikirannya telah merasuk ke hadirat dengan rasa syukur mendalam.

“Kita telah berhasil, Lasha!”

“Kita telah berhasil, Lasha!”

“Kita telah berhasil, Lasha!”

Yeah—sejatinya Kapten Lasha punya cerita hebat yang dulu pernah mereka alami bersama. Ribuan pasukan bersenjata lengkap dengan pakaian besi. Hal itu tidak pernah membuatnya takut, bahkan musuhnya yang lari ketakutan saat menatap tatapan mata yang terpancar dari Kapten Lasha.

***

Suasana pandangan dia tatap ke arah yang lebih dalam. Satu tatapan yang dipenuhi dengan keheningan, sahabatnya itu cukup mengerti dalam hal tersebut. Mengenai apa yang Kapten Lasha renungkan dan mengenai apa yang Kapten Lasha rasakan. Dia tidak berani menegurnya, bahkan terpikir rasanya itu bisa saja mengganggu konsentrasi seorang Kapten tersebut.

Seorang sahabat menatap terpaku. Salah satu dari anak buah menghampiri. “Apa yang dilakukan Kapten Lasha di sana?” tanya salah seorang anak buah ke sahabat Kapten Lasha.

“Itu adalah kebiasaannya dari dulu, entah kemana pikirannya pergi, tetapi kondisi jasad yang kau lihat hening. Dia telah berpindah alam, entah kemana dia pergi.”

“Benarkah demikian?”

“Ya, begitu. Biarkan saja dia, kau beristiharatlah, jangan sampai pada besok hari, kalimat andalannya keluar dan dia kembali menyebutmu sampah.”

“Baiklah, saya mengerti,” jawabnya beranjak pergi dari hadapan orang yang dianggapnya mempunyai wibawa.

Kapten Lasha masih termenung dan berlalu malam hari itu sepanjang malam.

Pagi hari yang damai, kicauan burung ada banyak jumlahnya, mereka beterbangan menyambut hari baru, lautan mendebur ombak, buih-buih yang memecah dan menerpa bebatuan di pinggar pantai juga hawa-hawa embusan angin sejuk.

Tepat di pesisir pantai salah seorang duduk di bidang geladak kapal, dia sedang berbincang dengan seseorang lainnya.

“Hei, apakah kau tahu mengenai bajak laut di kawasan laut Farida?”

“Tentu.”

“Mereka itu sering berlayar mengarungi lautan untuk melakukan perampokan.”

“Keadaan lautan sedang kacau akibat ulah mereka itu.”

“Heh, jangan memikirkannya.”

“Kenapa?”

“Itu tidak akan membuatmu kenyang.”

“Hahaha.”

“Benar?”

“Pasti, kau jagonya dalam melawak.”

“Itu tidak lucu, jangan tertawa nanti ada yang bilang kau sakit,” Dia menyeringai sepintas. “Hahaha, terserah. Aku tidak peduli,” jawab temannya tertawa.

Percakapan mereka mengenai markas bajak laut benar adanya. Setiap Bajak Laut mempunyai markas sebagai tempat tinggal mereka, bertempat dan berkumpul sesama.

Mereka membangun perumahan dan desa sebagai tempat peristirahatan setelah penat berlayar merampok sana sini.

Mereka menjadikan pulau yang tak berpenghuni sebagai markas mereka. Tumbuh kuat dan berlatih di pulau tersebut.

Waktu nostagia dahulu, ketika awal-awal dunia masih sama, sebuah peristiwa Kapten Lasha yang mana pada waktu dia masih muda, dia adalah tipe orang yang suka mengembara bersama sahabatnya, mengarungi lautan luas bersama-sama hingga mereka terdampar di suatu pulau tak berpenghuni.

Semenjak saat itu, Kapten Lasha berada di suatu markas dan bergabung dengan kelompok bajak laut lainnya. Tepatnya dia berada di dalam markas yang sama dengan sahabatnya.

Namun, sekarang dia memilih berpisah dari sahabatnya itu. Alasan di kala memutuskan berpisah terucapkan jelas, sahabatnya bertanya demikian:

“Lasha, kenapa kau ingin berpisah denganku?”

“Heh, bukan berpisah, melainkan aku sekarang sudah memiliki tempat tinggal, markasku sendiri.”

“Oh, selamat.”

“Mulai sekarang, pulau ini akan menjadi seutuhnya milikmu, aku sudah berlepas dari pulau ini.” Kapten Lasha mendongak ke arah cakrawala, ada raut wajah cool yang terpampang jelas.

Sahabatnya itu, hanya mampu menelan ludah menatap ke arah Kapten Lasha.

“Sahabatku, semoga kau diberkati di mana pun kau bertempat tinggal.”

“Ya, semoga kau juga.”

Kapten Lasha bersama anak buahnya meninggalkan pulau itu yang mana di dalamnya ada banyak tanaman obat.

Seorang sahabat yang tadi berbincang dengannya cukup kesepian. Sekarang dia hidup sendirian tanpa kawan sederajat, hanya ditemani anak buahnya.

“Jika kubiarkan tempat ini akan kosong, sepertinya aku harus menjaga pulau ini dan menerima orang-orang untuk bermukim bersamaku.” Dia berpikir keras agar tidak kesepian. Sendirian dalam artian tidak ada orang yang bisa diajak mengobrol.

Begitulah mengenai sahabat Kapten Lasha yang berada di pulau itu, dia benar-benar berharap akan ada orang yang mau bermukim di pulau tersebut.

Desa Muara Ujung Alsa adalah markas yang dimaksudkan oleh Kapten Lasha, sekarang kelompok mereka hidup damai di desa tersebut. Tidak memikirkan hal lain kecuali berkebun dan fokus kehidupan sehari-hari.

“Hei, senang hari ini, kau dapat memanen cukup banyak.”

“Hahaha, iya.”

“Sama, punyaku juga banyak, hasil panen tahun ini melimpah ruah, semoga tahun-tahun berikutnya sama seperti ini.”

Itulah sekilas perbincangan orang-orang mengenai hasil panen mereka di pulau tersebut yang kini sudah berubah menjadi sebuah desa bernama Muara Ujung Alsa.

Sikap dingin yang menguasai diri Kapten Lasha perlahan memudar ditelan waktu, seperti permukaan warna di dinding rumah yang tampak pudar. Awan yang semula kelabu berubah cerah.

Dari semua itu, waktu terus berjalan, detak detiknya berputar di dalam kehidupan yang tak pernah terbayangkan akan duka nestapa.

Satu hal, firasat Kapten Lasha mengatakan bahwa kematian seperti mendekati dirinya, katanya sedekat ujung jari yang berada dekat dengan permukaan kulit berdenyut.

“Perlahan aku menyadari akan kesalahanku di masa lalu, tetapi itu semua sudah berlalu,” ucap Kapten Lasha menunduk seperti merenungi masa silamnya.

Dahulu pada saat ditemukannya pulau yang sekarang mereka huni, sekilas peristiwa memutarkan kembali ingatan tentang Desa Muara Ujung Alsa adalah sebuah pulau yang tak berpenghuni dan mereka menemukannya dalam keadaan yang cukup untuk disebut sebagai perjuangan.

Suatu masa ketika Kapten Lasha beserta semua kru kapal dan juga anak buahnya itu berlayar menuju ke salah satu wilayah di Benua Maura Hiba, lama pelayaran mereka tempuh tanpa beristirahat sama sekali.

Embusan napas lelah tak kunjung mendapatkan perhatian bahwa Kapten Lasha akan memberikan waktu istirahat bagi mereka, raut wajahnya itu tak terlihat peduli, bahkan masih sama dingin dan tak menunjukkan hawa-hawa kehidupan.

“Kapten, apakah boleh saya beristiharat?”

“Iya, Kapten. Saya juga.” Serentak mereka mengajukan keinginan untuk meminta izin beristirahat. Akan tetapi, berbeda dari apa yang sudah mereka bayangkan.

Seketika pukulan tangan melesat lurus dan terbilang keras, Kapten Lasha menggebrak tiang layar dan sontak saja hal itu menyebabkan getaran, mengeluarkan bunyi yang sangat mengejutkan bagi mereka.

Tiang layar berbekas tinju.

“Kalian semua, satu hal yang harus kalian tahu dan sudah berjuta kali aku peringatkan, jangan menjadikan diri kalian layaknya seorang sampah, jadilah seorang yang berguna, berani dan kuat!” ucapnya menggelegar. Para anak buah menelan ludah dan bercucuran keringat.

Kapal mereka terus melaju di dorong angin. Para anak buah itu terdiam menunduk dan tak dapat berkutik lagi.

Kapten Lasha mendengus. “Berapa kali sudah aku katakan kepada kalian, apakah kalian tidak puas mendengarnya?” Pertanyaan sepintas yang diucapkan Kapten Lasha sukses membuat mereka kembali membungkam tak dapat berbicara untuk menguturakan alasan.

Di sela-sela ketegangan yang melanda anak buahnya. Deru angin memecahkan ketegangan mereka. Kapten Lasha pada saat itu menduga cuaca yang semula cerah akan berubah menjadi badai. Firasat seorang bajak laut tua yang selama ini merasakan berbagai macam perasaan dan inilah salah satunya yang kini muncul kembali ke dalam ingatannya.

Dugaan itu sepenuhnya benar, dari kejauhan terlihat sebuah pusaran badai petir yang begitu mengerikan berada dekat di hadapan mereka.

Seketika usai perbincangan tadi, salah seorang berseru di atas tiang layar untuk memberi tahu informasi mengenai badai yang ada di hadapan mereka, tetapi Kapten Lasha sudah mengetahuinya melalui sebuah firasat.

Melalui informasi itu, Kapten Lasha tersenyum menyeringai.

“Heh, bagus. Persiapkan diri kalian dan keberanian untuk menghadapi badai di hadapan sana ...!” Kapten Lasha berseru sinis, raut wajahnya terbilang menyukai badai.

Bentuk senyuman yang sulit digambarkan melalui tulisan.

Selama perlayaran jarang terdapat badai seperti itu, wujudnya memang ada. Hanya saja jarang dia temui, kali ini dia akhirnya kembali berhadapan. Bersitatap badai setelah sekian lama mereda dalam naungan kejantanannya.

Seorang kapten bajak laut itu tersenyum puas. Menatap untuk kesekian kalinya kenangan masa lalu. Sementara anak buahnya kini menunjukkan ekspresi ketakutan yang bergetar seluruh tubuhnya. Angin bertiup kencang, hawa dingin bercampur takut.

Dari kejauhan sana terlihat pusaran yang begitu mengerikan. Para anak buah menelan ludah membayangkan betapa mengerikan dan mematikannya badai tersebut. Kilatan petir menyilaukan mata, menyambar dengan suara yang jelas terdengar.

Lautan bergemuruh. Ombak besar di hadapan sana, cahaya kelabu di permukaan cakrawala begitu sangat tidak bersahabat.

“Kapten, apa perlu kita putar balik saja?” Salah seorang anak buah mengajukan pendapat. Mencoba untuk memberi saran.

Sementara, angin bertiup menyelimuti suasana keadaan mereka sebelum memasuki badai dan jaraknya lumayan jauh, tetapi sekarang angin itu terasa menabrak sekujur pakaian dan membuatnya berkibar.

Bahkan rambut semua orang teracak karena kencangnya angin, suara pun terucap samar bercampur kilatan petir dan desauan angin.

“Kapten, kita harus bersegera untuk memutar arah haluan!” Dia kembali berseru lantang seraya melindungi wajahnya yang diterpa angin.

“Lancang!!... kau berani berucap di hadapanku, kita akan terobos badai, apa pun yang terjadi!" Kapten Lasha bertegas suara lebih lantang.

Sekarang kapal mereka pun memasuki badai, ketika memasuki badai semua mata anak buah terbelalak lebar.

“Ini ....”

“Menyeramkan!” Mereka menelan ludah.

Tak berlangsung lama, terpaan ombak besar terus menerpa kapal, membuat mereka kewalahan untuk mengatur posisi kapal.

Mereka berusaha sekuat tenaga mengendalikan kemudi dan memegang tali layar.

Gemuruh angin serta petir yang menggelegar terasa segar di telinga Kapten Lasha, sedangkan anak buahnya ketakutan tak terkira.

Besarnya ombak bagai gunung-gunung yang berjalan dan berhempasan. Sementara kondisi di dalam kapal bagai rumah yang terkena gempa. Permukaan kapal bergoyang tak beraturan. Semuanya kelawahan.

"Kapteeen!" Salah seorang anak buah Kapten Lasha berseru ketakutan. Raut wajahnya pucat dan menggigil hebat.

Dia seperti trauma atau kenapa, tidak diketahui alasannya karena dia tidak mengatakannya.

"Ba–bagaimana ini ...!?" serunya lagi terdengar samar akan suara menggigil dan gemuruh angin yang kencang.

Kapten Lasha sedikit geram karena mendengar seruan tersebut.

“Perlu kau tahu seorang Bajak Laut tidak kenal takut, kau seorang sampah tak mengerti dunia bajak laut, memalukan!!” Kapten Lasha berucap sangar.

Amarahnya yang terbawa suara angin semakin membuat anak buah itu ketakutan dan yang lain pun sama merasakannya.

Pelayaran terus berlanjut, posisi kapal terus menerus terhempas. Tak lama suara decitan terdengar.

“Suara itu ....”

Dia menoleh ke sumber suara, decitannya semakin jelas terdengar, bahkan sekarang di dengar orang-orang.

“Ayo, semua. Perkuat pegangan pada tali layar dan sekitar tiang layar!” Salah seorang cepat berseru karena menyadari akan suatu hal.

Kapten Lasha cukup terdiam mengawasi mereka, dari raut wajahnya lagi-lagi hanya menunjukkan senyuman.

Terpaan angin semakin kuat, layar kapal semakin kencang bagai balon yang hendak meletus. Kemiringan tiang layar mulai terlihat, condong ke arah depan.

Kapal terus menembus ombak, menghempasnya dan pecah menjadi buih-buih.

Kapal naik kemudian turun, berkelok-kelok dibawa arus laut dan betapa saat itu sang kemudi kewalahan untuk mengaturkan posisi kapal dengan benar dan stabil.

Lagi-lagi suara decitan semakin berbunyi, kekhawatiran menyelimuti perasaan anak buah tersebut.

KRAAK!

Permukaan layar patah dan rusak parah mengakibatkan kapal mereka terombang-ambing di lautan, kapal itu terus mengikuti arus laut dan bergoyang-goyang hendak tenggelam.

Tiada ada yang bisa diharapkan lagi, mereka hanya pasrah berserah diri kepada takdir.

“Dengarkanlah semua, jangan pernah takut dan kalian membayangkan kematian, yakinlah kita akan selamat. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk kalian semua menunjukkan keberanian di hadapanku, beranilah untuk selamanya, jangan biarkan sikap sampah tertanam subur di dalam diri kalian!” Kapten Lasha berseru untuk membangkitkan semangat mereka yang telah padam oleh keputusasaan.

Mereka menatap bergeming, deru angin semakin menusuk-nusuk ke telinga. Hawa dingin mengelilingi sekujur tubuh.

Salah seorang tampak berusaha berdiri dan berusaha bangkit dari keputusasaan.

“Apa yang dikatakan kapten memang benar, semuanya aku ... aku percaya kita akan selamat dan hidup bergembira selamanya!” ucapnya lantang dan membuat Kapten Lasha tersenyum.

Sontak semuanya berdiri dan percaya, tangan mereka bergenggam erat dengan raut wajah kenyakinan.

“Semuanya kendalikan kemudi, itulah satu-satu cara yang bisa kita lakukan!!" Kapten Lasha kembali berseru memberi arahan.

"Ba-baik, Kapteeen!" jawab mereka serentak.

Sekarang mereka bahu membahu untuk mengendalikan kemudi dan mengatur posisi kapal.

“Sebagian lagi, kalian bentuklah posisi untuk menimba kapal dan mengeluarkan air yang masuk!” Salah seorang memberi arahan, sedangkan Kapten Lasha hanya bersitatap dengan embusan angin dan awan kelabu. Petir di awan itu memancarkan sinar berkala, sejenak pancarannya dahsyat, lalu berhenti beberapa saat.

Kurang lebih selama satu jam badai itu berlangsung. Pada akhirnya badai itu mulai berlalu dan kapal mereka yang terombang-ambing di bawa arus laut, sekarang mereka terdampar di sebuah pulau yang tampak luas.

Kedipan mata mereka tak berhenti menatap syukur, helaan napas lega terkeluar lelah.

“Kalian semua, cepatlah bergerak untuk memperbaiki layar!” Kapten Lasha memerintahkan mereka dengan sikap ketegasan dan tidak mempedulikan kondisi yang mereka rasakan.

Mereka telah kelelahan dan tak kuasa bergerak, tangan terasa lunglai dan tubuh mendera sakit.

“Ka–kapten.. kami benar-benar kelelahan, berikanlah kami waktu untuk beristirahat.”

Melalui tuturan yang memang embusan napas mereka terdengar hampir napas, Kapten Lasha berusaha meredakan emosi.

“Baiklah, aku akan memberikan waktu istirahat untuk kalian selama dua jam!”

Kapten Lasha memberikan waktu, sekiranya dalam dua jam mereka bisa menghilangkan rasa lelah letih, itulah sejenis anggapan seorang kapten yang tidak memperdulikan orang lain.

Akan tetapi, mereka semua tersenyum. Apa yang terkenal dari Kapten Lasha, sekarang rasa iba sepertinya tumbuh kecil di dalam sanubarinya. Mereka cukup senang mendengar akan hal itu, bahkan kemarahan pun tak terdengar dari mulutnya.

“Te–terima ... kasih, Kapten.”

Mendengar akan perkataan itu, sontak saja Kapten Lasha geram dan menggebrak lantai kapal. Pukulan yang sangat keras dan nyaring.

“Berulang kali aku ucapkan. Bersikaplah layaknya seorang Bajak laut! Kalian semua sampah, selama ini kalian telah lama hidup bersamaku dalam mengarungi lautan, tetapi kalian masih saja lemah!”

Kapten Lasha mengeluarkan amarah, lalu beranjak pergi meninggalkan mereka.

Andai dia tidak mengatakan hal demikian, kemungkinan Kapten Lasha tidak akan marah, suara orang itu terdengar menyebalkan, bahkan cara dia mengucapkan terima kasih terdengar lembek, bukan suara lelaki, melainkan suara wanita, itulah anggapan Kapten Lasha.

Sekarang Kapten Lasha menjelajahi isi pulau, termasuk dataran tinggi dan subur ditumbuhi aneka jenis tanaman.

Salah satu ciri yang menonjol adalah sebuah pohon jati. Pohon berukuran besar. Kapten Lasha sepintas memikirkan mengenai pulau yang dia pijak.

Di samping itu, pulau yang kini dia pijak tampak sunyi, damai perasaan karena memang tidak ada orang sama sekali di tempat itu kecuali Kapten Lasha.

Di tengah-tengah pulau terdapat satu gunung yang menjulang tinggi, insting Kapten Lasha mengatakan pulau itu cukup luas dan lebar dengan pohon kelapa yang menghiasi pinggiran pantai.

Berjam-jam lamanya dia menjelajahi pulau tersebut, semakin dia masuk ke dalamnya, ada perasaan kuat untuk menjadikan pulau itu sebagai markas baginya.

Usai Kapten Lasha kembali dari menjelajahi pulau, dia bersegera mendatangi anak buahnya yang tampak sedang memperbaiki layar.

Sepertinya mereka tidak ingkar akan perintah Kapten Lasha, berarti kepergian Kapten Lasha menjelajahi pulau lebih dari dua jam lamanya.

Kapten Lasha tidak memuji akan hal itu, dia cukup percaya akan anak buahnya.

“Hei, kalian semua berkumpullah, hentikan sejenak pekerjaan kalian!” Kapten Lasha berseru menatap sekalian mereka.

“Kapten ....” Salah seorang berucap lirih seraya menoleh dan bersegera menghentikan pekerjaannya. Anak buah lainnya pun sama dengannya.

Di kala semuanya sudah berkumpul, Kapten Lasha tampak membicarakan apa yang sudah dia jelajahi di pulau itu, katanya ada banyak hal yang bisa dibuat dan dikelola di pulau ini, para anak buah cukup menyimak dan mendengarnya secara saksama.

“Dengarkan semuanya, aku telah memutuskan untuk membuat markas di pulau ini!” Kapten Lasha berucap setelah pembicaraan panjang lebar yang dia utarakan, sekarang dia mengucapkan suara tegas dan lantang.

“Bukankah kita telah mempunyai markas, Kapten?” jawab salah seorang anak buahnya.

Markas yang dia maksud ialah markas Kapten Lasha bersama sahabatnya, di sebuah pulau sana yang ada banyak tanaman obat di dalamnya. Pulau Anmala.

Anak buah itu sekadar mengingatkan dan sepertinya dia cukup percaya bahwa Kapten Lasha tidak mungkin memarahinya, rasanya baru dua jam yang lalu dia bersikap baik memberikan waktu istirahat untuk mereka.

Akan tetapi, siapa sangka, Kapten Lasha tampak tidak senang mendengarnya, raut wajahnya kembali menunjukkan amarah.

Raut wajah sangar yang terlihat menyeramkan. Dengan cepat tanpa sempat orang itu berkedip, dia menarik kerah bajunya. Orang itu getar-getir menatap wajah Kapten Lasha.

Kapten Lasha mengepal tangan tanpa bicara sedikit pun, urat-urat di sekitaran tangan bermunculan. Mereka menatap seraya menelan ludah.

BAM!

Dia mendaratkan sebuah pukulan, seketika orang itu tak kuasa menahannya dan langsung pingsan.

Kapten Lasha menghempaskannya ke tanah tanpa peduli akan keselamatan orang tersebut.

“Siapa lagi yang berani mengeluarkan suara, kalian tidak berhak berbicara,” kata Kapten Lasha dengan suara keras yang membuat jantung mereka berdetak kencang tak beraturan.

Sontak suasana menjadi hening, mereka mengangguk setuju, semenjak saat itu mereka menjadikan pulau itu sebagai markas. Kapten Lasha banyak berlayar mengarungi lautan hingga bertemu Haima.

Sekarang, bajak laut tua itu mulai tumbuh perasaan cinta, apa yang selama ini dia anggap menjijikan tak sepenuhnya terbawa hingga selamanya dan sekarang pun dia berusaha untuk bersikap baik terhadap anak buahnya.

Terkecuali satu hal, yaitu terhadap musuh-musuhnya dan masih geram terhadap kelakuan sampah seseorang.

Begitulah kehidupan yang terus berjalan, perjalanan hidup bisa saja berubah dan seiring berjalannya waktu, perasaan yang dulu berbeda kenyakinan dan sekarang menyakininya bahwa yang dulu itu ternyata adalah bentuk kesalahan.

***

Jejak-jejak kaki berbekas di pinggiran pantai, Haima berlari kecil bersama Kapten Lasha, mereka menikmati dan tertawa bahagia.

Keromantisan yang terjalin dari pasangan suami-istri, senyuman merekah indah di wajah Haima seraya menatap Akma Jaya, seorang bayi yang masih mungil kecil berada di dalam gendongannya dan Kapten Lasha berada di dekatnya dengan posisi memeluk dirinya.

“Kanda, lihatlah Akma Jaya dia begitu imut dan lucu,” ujar Haima seraya mencubit lembut permukaan pipi Akma Jaya.

“Seperti dirimu, Haima.” Kapten Lasha memegang erat tangan Haima, mereka kembali berjalan di sekitaran pantai.

Kala itu, ombak menyapu pesisir pantai dengan hawa-hawa damai, kelembutan yang terasa menenangkan.

Setiap pagi mereka bertiga berlarian di pinggir pantai, sering kali Haima mempermainkan cipratan air ke wajah Kapten Lasha. Mereka saling balas dan tertawa.

Hal itu terus mereka lakukan hingga Akma Jaya tumbuh sebagai seorang anak kecil berusia tujuh tahun.

Waktu terus berlalu, seorang bayi yang dulunya masih di dalam gendongan, sekarang sudah bisa berjalan dan berbicara dengan sikap polosnya. Tepat usia tujuh tahun, di mana seorang anak kecil memasuki masa lucu-lucunya.

Akma Jaya berjalan pelan hingga dia melihat kepiting. “Ayah, Ibu.. lihat ke siniiii, di siniii ada cepiting!” Akma Jaya berseru kepada mereka untuk menghampirinya.

Mendengar akan hal itu, Kapten Lasha dan Haima bersegera untuk menghampiri Akma Jaya. “Ada apa, Akma?” Haima bertanya dengan senyuman yang terpampang jelas di wajahnya.

Dia membungkuk untuk menyejajarkan posisi dirinya dengan Akma Jaya.

Sepertinya itu kurang memuaskan bagi anak kecil itu, dia menarik Haima untuk dekat dengannya hingga dirinya membuat seorang ibu berduduk tepat di sampingnya.

“Iniii, ada cepiting!" jawab Akma Jaya dengan sikap polos menunjuk kepiting tersebut.

“Kepiting?” ucap Haima memastikan.

“Iya,” jawab Akma Jaya yakin.

“Wah, kepitingnya besar, ya. Hati-hati terkena capitnya, nanti sakit!” Haima berucap sambil mengusap lembu kepala Akma Jaya. Kasih sayangnya yang begitu dapat dirasakan.

Kapten Lasha hanya berdiri menatap mereka berdua, terpaku melihat akan keindahan sosok Haima yang sedang berbincang dengan Akma Jaya.

Kesempurnaan seorang wanita, katanya lebih sempurna dari siapa pun. Kapten Lasha benar-benar mencintainya sepenuh hati, katanya tak akan pernah lekang oleh waktu, senantisa dia akan selalu mencintainya.

“Apa benaran sakit? Akma gak percaya!” Akma Jaya kembali bertutur dengan polos mengarahkan jarinya ke cabit kepiting.

Haima tak sempat menegahnya, kecepatan tangan perdetik lebih cepat dari dugaan Haima.

“Ya, ampuuun, Akma...” Haima sontak kaget dan mengelus lembut luka tersebut.

“Aduuuh ...!” Akma Jaya menjerit kesakitan lalu menangis tersedu habis-habisan.

Sementara Kapten Lasha tak berbicara sedikit pun, dia yang menyaksikannya begitu geram dan bergerak cepat menghunus pedang. Lantas, seketika kepiting itu tak berdaya menghindar. Ia mati akibat tusukan pedang Kapten Lasha.

Akma Jaya masih menangis sesenggukan. Haima memberikan sedikit ceramah singkat bahwa seorang lelaki itu harus kuat dan tidak boleh menangis.

Beriringan dengan itu, dia perlahan membalut luka Akma Jaya dengan secarik kain, dia memperhatikan wajah Akma Jaya mulai berhenti menangis.

“Syukurlah, Ibu telah selesai membalut lukamu. Akma, nanti lukamu perlahan akan sembuh, jangan menangis lagi, ya. Kamu harus tersenyum. Ayo, anak ibu kuat dan gagah,” kata Haima memberikan Akma Jaya sedikit rasa nyaman, suara yang terdengar lembut dan tuturannya benar-benar mampu membuat Akma Jaya merasakan sosok ibu yang melekat kuat di dirinya.

Haima kembali memeluk. “Akma, ibu percaya kamu adalah anak yang kuat, luka seperti itu tidak akan membuatmu menangis, kamu adalah anak ibu yang sangat ibu sayangi.”

Ketika mendengar tuturan kelembutan yang dilakukan oleh Haima, sekarang Akma Jaya benar-benar berhenti menangis, pada saat itu Haima melepaskan pelukannya, lalu menatap ke arah mata Akma Jaya yang masih ada genangan di sana, ia mengusap perlahan dengan penuh kasih sayang.

“Benar, anak ibu itu kuat.” Haima kembali memuji dan wajahnya tersenyum.

“Hihi, ibu ...,” ucap Akma Jaya lirih dan kembali memeluk Haima.

Sementara Kapten Lasha memperhatikan secara saksama, dia begitu menyukai Haima di saat senyuman indah itu terpampang jelas di permukaan wajahnya.

Rona wajah yang menggetarkan sanubari di dalam jiwanya, terkikis kemarahan dan sikap sikap dingin yang telah tertanam subur di dalam dirinya selama berpuluh-puluh lamanya.

Kini semua itu telah lenyap dan menghilang darinya, teruntuk seorang Haima semata, kecintaan yang tiada pernah berakhir.

Kemudian Haima mengambil kepiting yang tergeletak di pasir, ia telah mati akibat dari tusukan pedang Kapten Lasha. Sontak saja, Akma Jaya menatap heran kepada ibunya.

“Ibu.. untuk apa cepiting itu? Kenapa ibu mengambilnya?” tanya Akma Jaya memandang lekat ke arah kepiting.

“Hihi, Ibu akan memasaknya, kamu pasti menyukai kepiting ini ....”

“Tidaaak, Akma tetap tidak menyukainya. Cepiting itu jahat karena dia mencapit, sangat kejam!”

“Ya, sudah. Tunggu, ya akan ibu sulap kepiting jahat itu menjadi makanan yang sedap,” jawab Haima mengacak rambut kepala Akma Jaya dengan gemas. Dia mendekatkan wajahnya seraya tersenyum.

“Benarkah? Ibu... yeayy, Akma tidak sabar, macakan ibu sangat cedap,” ucap Akma Jaya girang seraya mengepal tangan dan mendekatkannya ke area dada, lalu berlompatan, entah kenapa melihat akan hal itu, Haima tersenyum dan tertawa kecil.

“Tunggu, ya ibu akan memasaknya untukmu,” jawab Haima kemudian menepuk kepala Akma Jaya pelan seraya tersenyum.

Sejenak setelah itu, Kapten Lasha melakukan perburuan, Akma Jaya hanya tertegun menatap ayahnya yang gagah perkasa mengumpulkan kepiting.

Usai mendapatkan beberapa kepiting. Lantas, dia memberikannya kepada Haima.

“Haima, masaklah kepiting dengan porsi yang banyak, nanti kau bagikan semua itu kepada penduduk dan seluruh anak buah.”

“Baik, Kanda.” Haima tersenyum.

Kapten Lasha menyuruhnya karena suatu alasan. Satu hal yang mengherankan setiap orang mengenai masakan Haima, yaitu beraroma khas yang mudah tersebar melalui angin dan tercium ke mana-mana, entah bagaimana masakan itu terkesan membingungkan.

Kemungkinan dia mempunyai suatu bakat keahlian memasak yang tersembunyi dan alami seperti tumbuh sendiri semenjak dia ditinggal oleh Ibunya.

Bermula dari situ, Kapten Lasha mengambil suatu kesimpulan bahwa sebagai sosok pemimpin kelompok yang baik, dia ingin berbagi kepada sesama.

Betapa luar biasa masakan itu katanya dan alangkah baiknya, Haima memasak lebih banyak porsi agar kemudian masakan itu dapat dibagikan kepada para penduduk dan anak buahnya.

Kapten Lasha beranggapan bahwa dia tak ingin membuat orang-orang sebatas mencium aroma, tetapi tak mendapatkan apa-apa. Hanya menjadikan ia terlihat di pandangan mata, sedangkan perut galau merana.

“Akma, apakah kamu ingin ikut ibu memasak?” Haima bertanya sekilas.

“Tidak, Ibu, bukankah memasak itu adalah pekerjaan wanita?” Dia menggeleng dan balik bertanya.

“Ssstt.. bukan pekerjaan, tapi hobi. Hihihi ....”

“Oh, hobi?”

“Iya, kamu akan tahu nanti.” Haima menyentuh hidung anaknya, sejenis sentuhan karena gemas mendengar ucapan Akma Jaya. Kedua pipi Haima memerah indah, senyumannya terpampang jelas.

Setelah itu Haima beranjak menuju rumah, sedangkan Akma Jaya masih berada di pantai bersama Kapten Lasha.

Dari tadi Kapten Lasha hanya terdiam menyimak pembicaraan mereka, sekarang Akma Jaya menatap ke arah Kapten Lasha tanpa berkedip mata, dia masih heran dengan sikap ayahnya yang jarang berbicara.

“Ayah, kapan engkau mengajakku untuk pergi berlayar?” Akma Jaya memberanikan diri bertanya singkat.

Kedua tangannya memegang erat pakaian ayahnya, berharap ayahnya itu berbicara walaupun satu kata atau berupa anggukan.

Sekarang Kapten Lasha menatap lekat ke arahnya. “Kau belum tumbuh dewasa.”

Akma Jaya cukup senang bahwa Kapten Lasha menjawab ucapannya.

“Ayah, lautan itu sebenarnya seperti apa?” Dia kembali bertanya dengan sikap pemberani, nada bicara berusaha dia sesuaikan seperti orang dewasa, walaupun usianya masih kecil dan kadang suara sedikit kurang nyaman di dengar oleh kaum elite seukuran bajak laut.

Kapten Lasha menunjukkan senyuman yang membuat Akma Jaya tak mempercayainya, bahkan memeluk dirinya sejenak.

“Akma Jaya, ketahuilah lautan menyimpan banyak misteri, kau belum siap untuk misteri itu,” ucap Kapten Lasha seraya melepaskan pelukan dan kini memandang manik mata teduh anaknya.

“Misteri?” jawab Akma Jaya heran.

“Sesuatu yang tidak kau ketahui.”

“Oh.” Akma Jaya perlahan menunduk.

“Terlebih di ujung lautan sana terdapat banyak bahaya, kau belum kuat untuk menghadapinya.”

Kapten Lasha menjelaskan lebih rinci, sedangkan kedua tangannya memegang kedua bahu Akma Jaya dan menatap dengan tatapan dingin yang terasa menyeramkan.

Walau bagaimanapun sosok seorang ayah masih ada di dalam dirinya, tatapan tak menunjukkan apa yang tersembunyi. Kadang karena sering dilakukan, hal itu sulit dikontrol oleh bahasa tubuh.

Akma Jaya cukup menelan ludah.

“Ba—baiklah, Ayah ....”

“Sekarang, masuk ke dalam rumah, tunggu Ibumu di sana hingga dia selesai memasak!” Kapten Lasha menyuruhnya dengan bahasa lembut, tetapi tetap saja terdengar kasar bagai diusir.

“Ba—baik!” jawab Akma Jaya terbata-bata karena mendengar perkataan Ayahnya yang terdengar sangat menyeramkan.

Akma Jaya berlari menuju rumah, Haima mendengar sekilas suara derap langkah membabi buta menghampirinya.

“Kenapa? Ada apa, Akma?” Haima bertanya seraya mengusap kepala anaknya.

“Tidak apa-apa, Ibu. Aku penasaran masakan ibu, apakah sudah selesai?” jawab Akma Jaya tersenyum, sepertinya dia tidak ingin memberitahu detail kejadian yang telah dia alami.

Haima tertawa kecil, permukaan giginya memancar cahaya putih berseri. “Ternyata anak ibu, tidak sabar menunggu, tunggu sebentar, ya. Kepiting itu baru saja ibu masak.”

“Hihi ... iya, aku akan sabar menunggu masakannya.” Akma Jaya lalu beranjak menuju meja dan duduk sembari menunggu kepiting itu masak.

Beberapa saat kemudian, kepiting pun telah siap disajikan. Masakan sederhana berupa kepiting yang disatukan dengan campuran bumbu rahasia dari Haima.

Aroma masakan itu tercium hingga ke luar rumah dan membuat orang-orang ingin datang berkunjung.

“Ini.. Akma, kepitingnya sudah siap disantap, silakan dimakan." Senyuman Haima merekah indah serta ucapan lembut yang menjadi ciri khasnya.

Seketika Akma Jaya melahapnya dengan raut wajah senang, masakan kepiting itu memang sangat lezat dari aromanya saja membuat orang-orang dan para anak buah ingin datang berkunjung, tetapi apa daya itu adalah rumah seorang pemimpin.

Tentu, mereka tak berani melakukannya. Namun, Haima memanggil mereka dan mengumpulkannya.

Sekarang, di luar rumah ada banyak orang, masakan yang semula dia masak terbilang cukup untuk banyak orang katanya.

Masakan itu dibagikan oleh Haima dengan cara yang tertib. Satu per satu orang mendapatkannya hingga masakan kepiting itu habis, sedihnya beberapa ada yang tidak sempat kebagian.

“Maaf, masakannya telah habis, nanti aku akan membuatkan lagi, aku benar-benar meminta maaf kepada kalian.”

Haima menjadi merasa bersalah, berulang kali menunduk dan meminta maaf kepada orang-orang yang tidak mendapatkan jatah bagian.

Mendengar penuturuan Haima, beberapa dari mereka yang tidak mendapatkan jatah merasa tidak mengapa. Mereka memilih pulang dan beberapa dari mereka lagi berterima kasih dengan perangai takzim kepada Haima, bahkan memujinya dengan pujian yang bertebaran di penjuru pulau, Desa Muara Ujung Alsa.

CH. 3 – Aisha & Tabra

Haima membereskan wadah bekas masakan dan mencucinya. Ukuran wadah yang cukup besar, dia menenteng sekuat tenaga dan membersihkannya dengan guyuran air bersih.

Raut wajah wanita bermata jeli itu ternampak fokus. Terkadang alisnya sedikit berkerut seraya membersihkannya, rambut kehitamannya berayun diterpa angin, dia usap perlahan ke belakang dan disangga daun telinga.

Gerakan tangannya menyingkirkan rambut yang semula menutupi mata akibat terpaan angin. Dia bersihkan wadah itu tanpa keluh sedikit pun yang terdengar.

Akma Jaya memperhatikan sang ibu yang sedang membersihkan, peluh keringat ternampak jelas di sekitaran area pelipis, Haima usap perlahan, sepertinya dia kelelahan.

“Ibu, apakah aku boleh membantumu?”

Akma Jaya cukup prihatin melihat ibunya dan bermaksud ingin membantu agar sedikit meringankan.

“Akma, coba ke sini, dekat sama ibu,” ucap Haima menghentikan tangannya dalam membersihkan, lalu mengisyaratkan untuk mendekat ke arahnya.

Sebelumnya jarak di antara mereka sedikit jauh, tepatnya Akma Jaya sedang berdiri di ambang pintu menatap Haima yang sedang membersihkan wadah itu di luar—belakang rumah.

Secara perlahan Akma Jaya mendekati ibunya, dia sangka akan diperbolehkan.

Sekarang mereka berdua berdekatan, Haima

memegang kedua pundak Akma Jaya.

Kedua matanya teduh tampak melirik ke arah perban kain yang membalut luka sebelumnya.

Tentu hal itu tidak bisa terkena air, ia akan bertambah parah. Haima memandang dengan senyuman.

“Dengarkan ibu, ya. Dalam satu minggu ada berapa hari?” tanya Haima yang sekarang membuat Akma Jaya tampak bingung.

Akma Jaya tertegun sejenak, dia berpikir keras seraya bergumam, Haima tertawa kecil, dia tahu bahwa Akma Jaya belum diajarkan mengenai itu.

“Berapa?” tanya Akma Jaya seperti menyerah dan tak tahu harus apa.

“Rahasia ....” Haima berbisik.

“Kamu harus mencari tahunya sendiri.” Haima melanjutkan seraya menatap dan tersenyum manis, kedua jarinya menjetik lembut kedua pipi Akma Jaya, lalu kembali tertawa kecil.

“Ibu, kenapa?”

“Eh, ada apa?”

“Tadi, aku ingin membantu ibu, kenapa ibu memberiku pertanyaan?” Akma Jaya masih tidak mengerti maksud ibunya.

“Begini... selama kamu belum bisa menjawabnya, maka kamu tidak boleh membantu ibu, tugas kamu sekarang adalah mencari tahu berapa jumlahnya.”

“Ibu, aku tahu itu adalah alasan ibu agar aku tidak bisa membantu.”

“Hihi.”

“Kenapa ibu tertawa?”

“Tidak apa-apa, Akma. Biarkan ibu saja yang membersihkannya.”

“Tapi, aku ingin membantu ibu!” Akma Jaya berangsur-angsur merengek.

Haima kaget. “Eh, jangan begini. Ayo, anak ibu jangan begitu, baiklah. Dengarkan ibu lagi, ya.”

“Iya, ibu, biarkan aku membantu.”

Haima mengangguk. “Baik, kamu boleh membantu ibu.”

“Benarkah?” Akma Jaya tampak girang.

Haima mengisyaratkan sebuah tepisan ringan. “Tapi, bukan membantu ibu membersihkan ini.”

“Lalu apa?” Akma Jaya bertanya tampak gigih, kedua tangannya mengepal memeluk dada, seperti sebuah panjatan doa, tapi dia sedang tidak berdoa, hanya berharap bahwa dia akan bisa untuk membantu ibunya.

Haima mengeluarkan tawa lagi. “Hihi... sepertinya kamu bersikeras ingin membantu ibu, maka ibu akan memberikanmu tugas yang setera dengan ini, bagaimana?”

“Hmmm.. setuju, apa tugasnya?”

“Baiklah, tugas itu seperti yang baru tadi ibu ucapkan, coba bantulah ibu untuk mencari tahu, ada berapa hari dalam seminggu?”

Haima mengutarakannya dengan penuh kelembutan, belaian tangan mengusap kepala anaknya dan senyuman yang tak pernah berakhir dari raut wajahnya.

Akma Jaya cukup mengangguk.

“Ibu, aku akan cepat mengetahuinya,” ucap Akma Jaya lekas pergi dari hadapan Haima.

“Hihi, anak itu lucu.” Haima berbicara sendiri saking gemasnya melihat tingkah laku Akma Jaya.

Sebelumnya Akma Jaya masih penasaran dengan apa yang dikatakan Kapten Lasha mengenai lautan dan sekarang dia harus dipusingkan untuk mencari tahu berapa jumlah hari dalam seminggu.

Hmmm ... berapa, ya? Apakah Ibu sengaja mengerjaiku agar aku tidak bisa membantunya, batin Akma Jaya.

“Ibu, aku akan mencari tahunya setelah selesai menghabiskan cepiting,” ucap Akma Jaya balik nongol di ambang pintu.

Haima kurang memperhatikan mengenai itu, dia terlalu fokus membagikan masakan hingga tidak mengetahuinya, Akma Jaya tertawa kecil, seperti sudah direncanakan oleh akal cerdiknya.

Haima cukup tersenyum. “Iya.”

***

Usai dari menyantap kepiting masakan Haima yang terbilang lezat, aroma khas dari bumbunya, kedua hal itu masih terngiang di dalam isi kepala Akma Jaya.

Juga tentang lautan dan berapa jumlah hari dalam seminggu, total ada tiga hal yang terngiang—sulit dihilangkan.

Akma Jaya kembali ke pantai, di situ dia menatap lautan, seorang anak kecil polos bermata elang itu terus berkeliling di sekitarannya, deburan ombak dan juga desiran angin menyertai cahaya binar yang menghiasi kedua matanya.

Aku tidak mengerti apa yang dikatakan ayah tentang lautan, seperti kulihat sekarang, apakah benar lautan itu menyimpan misteri dan jika aku besar nanti, aku akan mengungkapnya dan ayah juga mengatakan bahwa lautan itu berbahaya, aku yakin bisa menghadapi semua itu. Laut, tunggu aku hingga besar nanti, aku akan menyebrangimu dan mengetahui semuanya.

Akma Jaya melamun, sorotan matanya tertuju lurus tak mengedarkan sedikit pun.

Di dalam batinnya terutarakan sesuatu mengenai perkataan Kapten Lasha. Angin berembus sedikit kencang, permukaan kapal yang berlabuh di dekat pantai bergerak ringan. Akma Jaya perlahan mengepal tangan untuk menambah kenyakinan.

“Aaakh ...!” Akma Jaya menjerit sakit. Dia tidak menyadari di tangannya ada luka karena capitan kepiting yang belum sembuh. “Aku lupa, sakitnya masih ada, cepiting jahat!” Dia menatap ke arah luka itu.

Lalu mengelusnya agar tidak terasa sakit, itu adalah anggapannya, sekilas sederhana, tiupan napas berembus menyentuh perban kain di tangannya. Cara yang dia pilih adalah mengembuskan napas ke arah luka yang ada agar mengurangi rasa sakit.

Benar saja, rasa sakit yang dia rasakan perlahan berkurang, berangsur-angsur membaik seperti sedia kala.

Akma Jaya kembali tertegun menatap ombak yang berdebur. Ia menerpa kapal, berulang kali hal itu terjadi.

Desiran angin yang berembus, semakin membuatnya hanyut dalam tatapan penuh kekaguman, sekali-kali Akma Jaya menengadahkan kepala ke langit yang bercahaya cerah, gumpalan awan putih bergerak penuh kedamaian.

Dia kembali mengedarkan pandangan untuk menatap kapal yang diterpa oleh ombak.

Ombak itu memecah disela-sela butiran pasir putih, suara khas yang terdengar nyaman di telinga.

Sosok polos itu terus membayangkan seperti apa lautan yang sesungguhnya.

“Akmaaa!” Dari kejauhan terdengar suara yang memanggil, Akma Jaya menoleh ke sumber suara. Walaupun terdengar samar, dia coba untuk menerka.

Dia menoleh dan melihat dua orang sedang menghampirinya, seorang lelaki dan wanita yang tampak lebih tua darinya dan lebih muda darinya. Usia yang terbilang berbeda sedikit lebih darinya, bukan tua dalam arti sebenarnya.

“Hai, apa kabar? Apa yang sedang kau lakukan berada di sini, Akma?” tanya wanita itu. Dia bernama Aisha.

Sementara orang yang berada di sampingnya bernama Tabra. Mereka berdua menghampiri Akma Jaya, menyapanya seraya tersenyum.

Mengenai mereka berdua adalah teman sekadar lewat dan menyapa terus sekarang saling mengenal nama satu sama lain.

Namun, Akma Jaya tidak begitu mengenal sikap dari keduanya, bagaimana saat itu, dia hanya sekilas berkenalan berupa jabatan tangan dan senyuman.

Aisha adalah saudara dari Tabra, begitu pun sebaliknya, mereka berdua bersaudara, anak dari salah seorang kaki tangan yang ditunjukkan Kapten Lasha, kaki tangan adalah sebuah gelar yang diberikan kepadanya karena kesetiaan hingga Kapten Lasha memberikan gelar tersebut.

Di lain dari itu, selama Kapten Lasha sibuk mengurus segala upaya di desa. Ayah mereka menjadi perwakilan yang memimpin kelompok untuk berlayar ke suatu negeri dan menggantikan posisi sementara Kapten Lasha yang tengah sibuk akan suatu urusan.

Alangkah buruknya, hal itu sering terjadi seolah-olah bajak laut tua itu sudah ingin pensiun menjadi seorang bajak laut, dia lebih memilih Haima, ketimbang hal lainnya.

Tabra adalah seorang kakak yang selalu suka dan sering kali menjahili Aisha—adik perempuannya dan saudara satu-satunya yang dia miliki.

Pertama kali mereka berkenalan dengan Akma Jaya adalah pada saat hari itu, di mana malam perayaan suksesnya Kapten Lasha dalam merampok dan mengumpul harta jarahan.

Partikel letusan bola balon yang dibuat dari lambung sapi lalu dikencangkan dengan angin tentunya. Saat balon-balon itu dipecahkan mereka bersorak sorai.

Akma Jaya terkaget dan sontak menabrak dua orang anak, untungnya dua orang anak itu tidak memarahinya.

“Hai, namaku Tabra dan ini adikku bernama Aisha. Salam kenal, siapa namamu?”

“Namaku?” Akma Jaya sedikit heran karena dia baru saja menabraknya, bagaimana mungkin orang itu mengajak berkenalan, seharusnya dia dimarahi. Dia berucap tengah ingin meminta maaf, tetapi urung akibat ucapan perkenalan tersebut.

“Iya, kau pikir aku sedang bicara dengan siapa?”

“Oh. Akma Jaya, panggil saja Akma.”

“Baiklah, salam kenal.”

“Iya.”

Itulah moment pertama mereka berkenalan dan saling berbincang tawa, Tabra tak kisah mengenai Akma Jaya yang telah menabraknya, begitu pun Aisha, mereka bertiga saling bercengkrama dengan ria.

“Acaranya seru, ya?” Tabra sekilas melirik kanan kiri.

“Iya.”

“Hei, apa kau sudah makan?” Aisha menudurkan pertanyaan.

“Belum.”

“Eh, kau belum makan hidangan di sini sedikit pun?” sergah Tabra tidak percaya.

“Iya.”

“Astaga, gemetar dunia. Ayo, cepatlah makan bersama kami, kita cari tempat duduk dulu.” Tabra lekas menarik tangan Akma Jaya, menuntunnya untuk makan.

“Iya, baiklah.”

Mereka pun makan bersama menyantap hidangan di pesta perayaan tersebut.

Entah kenapa Tabra berusaha ingin semakin dekat dengan Akma Jaya hingga dia terus memantau dan tak disengaja dia menatap dengan mata kepalanya sendiri dan mengetahui bahwa Akma Jaya adalah anak dari seorang kapten yang memimpin.

Kegagahan Kapten Lasha dikenal banyak orang dan wibawanya juga kuat dikalangan mereka.

Betapa Tabra merasa kagum akan sosok Akma Jaya dan pada saat pertama kali mereka berkenalan, dia tidak tahu identitas sebenarnya dari Akma Jaya.

Saat ini mereka berada di pinggir pantai, Tabra hanya diam—belum berbicara, hanya Aisha yang tampak menyapa dan mempertanyakan apa yang sedang dia lakukan.

Akma Jaya menggeleng. “Tidak ada apa pun yang kulakukan, aku sekadar melihat ombak dan kapal itu diterpa olehnya, cobalah kau lihat di sana.” Akma Jaya berucap sambil menunjuk ke arah kapal.

Tabra ingin tertawa mendengarnya, bagaimana mungkin dia tidak tertawa, suara Akma Jaya terdengar laksana penyair yang sedang melamun tak keruan.

“Hihihi.” Tabra tertawa kecil dan terus berusaha menahan.

“Tabra, mengapa kau tertawa?”

“Haha ..., apa yang kau ucap bagai seorang penyair, aku sedikit lucu mendengarnya,” ucapnya masih tertawa, lalu menoleh ke arah Aisha. “Aisha, ayo ikut tertawa bersamaku. Hahaha.”

Namun, Aisha enggan menurutinya, hanya Tabra yang sekarang tertawa nyaring tak beraturan bagai suara terompet.

Akma Jaya menyeringai. “Terserah, tertawa saja sepuasmu, sebelum cakrawala runtuh dan menimpa mulutmu. Hahaha.” Akma Jaya semakin menunjukkan keanehan.

Tabra menghentikan tawa dan geleng-geleng kepala sejenak. “Eh, jangan ucap begitu, bukankah ucapan adalah doa?” Tabra mengingatkan.

“Maaf, aku sekadar bercanda,” ucap Akma Jaya sedikit canggung. Aisha menyimak saja, dia tidak ingin ikut campur.

“Tak apa, santai.”

“Baiklah, sebenarnya kalian sedang apa?”

“Eh, bukankah sebelumnya aku sudah bertanya kau yang sedang apa?” Aisha menyergah.

“Hihi, itu tadi sudah aku jawab.” Akma Jaya memainkan jemari dan tampak mengerucutkan bibirnya.

“Haha, Aisha sudah pikun.” Tabra berucap nyaring, sedangkan Aisha menutup kuping.

“Tabra, jangan ucap begitu!”

“Kenapa?”

“Tadi, sebelumnya kau ucap. Katamu ucapan adalah doa, bagaimana mungkin sekarang kau ucapkan itu kepada Aisha?”

“Hahaha, benar. Aku ingat sebelumnya kau berucap begitu, jadi yang pikun bukan aku, melainkan dirimu, Tabra.” Aisha sekarang balas tertawa.

“Hehehe, aku salah,” ucap Tabra seraya garuk-garuk kepala. Ada raut wajah tak nyaman darinya.

“Tidak apa, itu wajar saja, kata ibuku,” jawab Akma Jaya.

“Hmmm, apa kata ibumu?” tanya Tabra.

“Katanya manusia itu tercipta antara tulang dan daging yang mengalirkan darah, aku juga kurang mengerti dan kurang mengingatnya, tapi kata ibuku kita bernapas dan makan, kadang bisa lupa atau lain sebagainya, manusia itu katanya makhluk yang lemah.” Akma Jaya berkata panjang lebar mengatakan tentang perkataan ibunya.

Walaupun suara itu terdengar menggemaskan, mereka bertiga hampir mempunyai suara yang sama menggemaskannya, tetapi hanya Tabra yang beranggapan bahwa suaranya bagus, sedangkan Akma Jaya terbilang kurang nyaman didengar katanya.

Wajar saja karena usia Tabra sedikit jauh tingkatnya dari Akma Jaya, sedangkan Aisha berada di bawah Akma Jaya.

“Sepertinya ibumu berucap hikmah.” Tabra menambahkan.

Akma Jaya mengernyit. “Hikmah?”

“Iya, apa itu?” Aisha melanjutkan.

“Tidak tahu, tapi aku pernah mendengarnya dari seseorang. Dia pak tua yang sering memarahi kita saat bermain di kebunnya.” Tabra menatap Aisha, kalimat 'kita' itu teruntuk dirinya dan Aisha yang pada saat itu mereka sedang asyik bermain.

Sebenarnya bukan bermain lagi, melainkan mereka menginjak, berlarian sembarangan, bagaimana mungkin pak tua itu tidak marah dengan mereka, tanamannya habis terkena injak, lelah letihnya berkebun rasa sia-sia.

“Akma Jaya, sepertinya itu bukan makna sebenarnya, apa ibumu tidak memberikan penjelasan lengkap dari semua itu?” lanjut Tabra sekilas bertanya.

“Tidak ada.” Akma Jaya menjawab ringkas seraya menggeleng.

“Hmmm, membingungkan lebih baik lupakan, nanti kepala pusing,” ucap Aisha polosnya sedikit membuat Tabra tertawa.

“Hahaha, benar.”

“Oh, ya apakah kalian berdua tahu dalam seminggu ada berapa hari?” Akma Jaya bertanya.

“Delapan—” Aisha menjawab sembarang.

“Eh, sejak kapan?” sergah Tabra cepat.

“Sejak aku lahir.” Aisha menunjukkan manik mata imut.

“Iiih, mana ada.” Tabra mencubit kedua pipi adiknya.

“Jadi, sebenarnya ada berapa hari?” tanya Akma Jaya lagi serius.

“Akma, ada apa kau bertanya mengenai itu?” Tabra balik bertanya, sama seriusnya.

“Aku sedang membantu ibuku,” jawab Akma Jaya tersenyum polos.

“Ibumu?”

“Iya.”

“Hmmm, apa maksud dari ibumu?” tanya Tabra lagi.

Akma Jaya menatap dan tangannya memegang dagu. “Dia menyuruhku untuk membantunya mencari tahu ada berapa jumlah hari dalam seminggu.”

“Hanya itu?” tanyanya lagi.

“Iya.”

Perbincangan singkat terus mereka lakukan hingga Tabra menjelaskan dalam seminggu ada tujuh hari. Dia cukup pandai seraya menampilkan gaya bicara yang diubah sedikit mirip guru sekolah.

Akma Jaya tersenyum. “Tabra, kau memang yang terbaik,” ucap Akma Jaya sedikit memuji.

“Heh, tentu, aku adalah calon pendamping dirimu.” Tabra berucap optimis, sedangkan Aisha menunjukkan ekspresi mau muntah.

“Aku tidak mengerti.”

“Sebenarnya aku sudah tahu, kau tidak usah berpura-pura lagi, kau itu adalah seorang anak dari Kapten Lasha, apakah aku benar?” Tabra berucap sedikit cool.

“Kapan kau tahu?” tanya Akma Jaya.

“Itu tak penting.”

“Eeh?”

“Hahaha, wajahmu lucu sekali, Akma.”

“Aisha, kenapa kakakmu ini sering bercanda?” tanya Akma Jaya melirik sejenak ke arah Aisha.

“Hmm, dia memang begitu, lahir dalam kardus.”

“Heh? Sembarangan, mulut adik ingin kuperban.”

“Jangan.” Akma Jaya menyergah.

“Iya, itu bercanda.” Tabra menjelaskan.

“Tuh, lagi. Kapan serius?”

“Hmmm, tidak tahu. Lihat saja nanti.”

“Hahaha, kapan?”

“Lihat saja nanti.”

“Kapan?!”

“Lihat saja nanti!”

“Eh? Ada apa dengan kalian?” Aisha cepat menyergah masuk di antara mereka berdua.

“Mengobrol denganmu waktu terasa lambat berlalu, Akma.” Tabra mengalihkan Aisha.

“Benarkah? Aku tidak percaya.”

“Hei, kenapa kalian tidak menjawab perkataanku,” ucap Aisha bagaikan kacang yang hanya ditanam tanpa dipanen.

“Hehehe, kau marah?” Tabra mengelus pundak adiknya.

“Tidak, aku biasa saja.”

“Oh, ya. Bagaimana jika kita bermain kejar-kejaran?” tanya Tabra kepada mereka berdua untuk mencairkan suasana.

“Baiklah, aku setuju.” ucap Akma Jaya.

Sementara Aisha diam.

Melalui ucapan Akma Jaya yang terbilang singkat seolah-olah tak ada semangat berpacu. Sekilas Tabra melebarkan senyuman.

“Hah? Apakah kau sedang sakit? Biar kuperiksa,” jawab Tabra seraya memeriksa layaknya seorang tabib.

“Tabra, apa yang kau lakukan?”

“Hmm.. sepertinya kau bukanlah Akma yang kukenal.” Tabra sedikit menduga-duga, mungkin bercanda karena sebelum berkenalan dan sampai sekarang dia belum mengenal sikap sebenarnya dari Akma Jaya itu seperti apa, sekadar menebak dari sepintas perkenalan dan pemantauannya selama ini.

“Eh? Sejak kapan kau mengenalku lebih jauh lagi, bukankah sebelumnya kita hanya berkenalan lewat nama?” tanya Akma Jaya mengerucutkan bibir.

“Hehehe, tebak pun tak boleh, ya?” Tabra balik bertanya—canggung.

“Ya, begitulah, Tabra.” Aisha ikut berucap setelah berdiam sejenak.

“Hmm ....”

“Lagi pun, itu hanya bercanda, aku bagai seorang tabib yang akan menyembuhkan lukamu. Hahaha.” Tabra tertawa sejenak.

“Hmmm ....”

“Ya, jika begitu, kapan permainannya di mulai, aku akan berlari lebih dulu dari kalian. Hahaha!”

Akma Jaya berlari. Wush! Angin berembus di sela-sela keduanya.

Butiran pasir di pinggir pantai menjadi saksi dan dedaunan kelapa melambai ringan.

“Akmaaa, jangan berlari, permainannya belum ditentukan dan belum di mulai!”

Tabra berteriak melambai, sedangkan Akma Jaya yang tengah berlari menoleh, lalu menghentikan larinya. Akma Jaya pun berlari kembali menghampiri Tabra.

“Hehehe. Aku tidak tahu.” Akma Jaya menjelaskan.

“Hihihi, Akma. Kau ada-ada saja, permainan belum di mulai kau sudah melesat jauh, sabarlah sedikit,” ucap Aisha dengan telempap menutupi mulutnya.

“Maaf, aku benar-benar tidak tahu.”

“Iya, tidak mengapa. Sebelum itu, aku ingin membuat garis finish dan awal dari permainan.” Tabra memaklumi dan lanjut menjelaskan.

“Baiklah, bagaimana jika kita memulai permainan dari sini?” Akma Jaya mengajukan saran. Sementara Aisha menyimak diam.

“Hmmm, jika kita memulai permainan dari sini, aku berpikir garis finisnya adalah dua pohon kelapa yang tampak condong di ujung sana, bagaimana?” Tabra bertanya pendapat untuk membuat kesepakatan dalam pemilihan garis awal dan berakhir.

Tepat di ujung sana, ada dua pohon kelapa yang posisinya condong menghadap ke laut, condongnya pun bisa dilewati orang dewasa, sedikit terangkat di atas kepala. Kata Tabra itu adalah garis finish alami dari alam, tidak perlu lagi melukis garis di pasir karena alam sudah menyediakannya.

Anggapan seorang anak kecil yang terbilang lucu, saat itu hanya memikirkan bermain dan bersenang-senang, tak ingin bersusah diri, walaupun sebatas garis finish katanya.

“Ya, sepertinya bagus. kita akan memulai permainan dari sini dan berakhir di tempat yang kau tentukan, aku setuju.” Akma Jaya sepakat. Poin satu suara didapatkan, total menjadi dua suara.

“Aku tidak setuju.” Aisha mengacungkan tangan dan memilih titik minus, tak ingin ikut menambah poin kesepakatan.

“Aku dan Akma berpikiran sama, kami berdua sepakat, tentu jumlah terbanyaklah yang akan terpilih.” Tabra menyeringai sepintas.

Sekarang Aisha hanya bisa mengangguk setuju, benar kata Tabra, dia tidak bisa membantahnya karena total dua poin kesepatakan. Satu poin itu tidak artinya, kalah jumlah dari dua.

Angin berkesiur, awan menyelonong berendengan. Di sekitaran tempat di awalnya garis permulaan, mereka saling bersitatap dan cukup bersiap.

Tabra memasang wajah fokus bersamaan Aisha yang juga sama, sedangkan Akma Jaya tampak tenang, embusan napas dia atur perlahan.

Gaya kaki kuda sudah bersiap melesat untuk berlari, di samping mereka, Aisha terdengar mulai menghitung mundur.

“Tiga, dua, ... satu!”

NGOS!

Usai dari hitungan mundur itu, seketika mereka bertiga melesat, memacu kaki berlari dengan sikap gigih yang mereka tunjukkan.

Masing-masing dari mereka bertiga tak ingin kalah. Ketika mereka berlari, terdengar jelas napas mereka berembus kencang, derap langkah khas seorang yang sedang menginjak pasir pun terdengar.

Namun, di jarak yang terbilang dekat dari tempat di mulainya permainan, Tabra berlari dengan embusan napas terengah-engah, hampir terkuras tenaga.

“Hah ... hah ... hah ... lelahnya!” Tabra mengeluh dan perlahan larinya melambat.

Aisha menoleh sejenak, melihat Tabra yang benar-benar kelelahan, berbeda dengan Akma Jaya, dia terus melesat tak hirau akan situasi di belakangnya.

“Akmaaa, kau berlari terlalu cepat, pelanlah sedikit!" Tabra berteriak dengan tangan yang membentuk corong.

Aisha mendengarnya, dia berada tak jauh dari posisi Tabra berada, tepat dia di urutan ke dua. Tak lama setelah mendengar teriakan Tabra, dia memutuskan berhenti sejenak untuk menarik napas.

Sementara Akma Jaya masih berlari dan terbilang cepat, dia melesat meninggalkan mereka dengan jarak yang cukup jauh.

“Ayo, cepat. Kejarlah aku!” jawab Akma Jaya masih berlari seraya menoleh dengan lidah yang terjulur.

Sekarang, Tabra menghela napas dan masih berusaha kuat untuk berlari hingga dia mencapai batas kelelahan dan jatuh di atas permukaan pasir yang ternampak embuk, tetapi jelas menyakitkan.

Pada saat di pantai, tentu yang ada hanya pasir, bukan tanah atau batu. Mungkin ada sebagian di belahan bumi sana, tetapi kebanyakan pantai pasir, ada juga tanah dan batu bercampur keduanya.

Berbeda wilayah, tempat, lokasi, atau apa pun itu, tentu keadaan pun berbeda. Satu kejelasan mutlak adalah mengenai alam yang tersaji di bumi, ia berbentuk bulat dan berkeliling mengikuti rotasi miliknya.

“Tabraaa!! apakah kau tidak apa-apa?” Akma Jaya berucap dari kejauhan, dia khawatir dan seketika berlari ke arah Tabra untuk mengetahui keadaan yang dialaminya.

Aisha juga sama khawatirnya, mereka berdua bersama sama menghampiri Tabra yang mereka sangka, dia sedang pingsan.

Sekarang Akma Jaya sampai terlebih dahulu dari Aisha, dia cukup sedih memandang keadaan Tabra, lalu Aisha mengelus pundak Akma Jaya agar tidak terjadi pertumpahan air mata yang membasahi kedua pipi imutnya.

Hening suasana, Tabra berbaring di hamparan, raut wajah tawa berangsur-angsur dia tahan. Tak lama dari itu, kurang lebih satu menit dia menggerakkan perlahan matanya, sebuah kedipan berulang.

“Tabra, apa kau tidak apa-apa?” tanya Akma Jaya lagi memastikan gerakan alis itu, apakah benar Tabra sudah siuman atau sekadar gerakan tertiup angin. Namun, tak ada jawaban.

“Aisha, bagaimana ini?” ucap Akma Jaya dengan raut wajah penuh kekhawatiran, keadaan pun tampak sunyi, entah kenapa hari itu tak ada orang yang berjalan di sekitaran pantai ataupun menatap ke arah tersebut.

“Aku tidak tahu, bagaimana, ya?” Aisha pun sama, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

“Aisha, cepat panggil orang, siapa pun!”

“Eh?” Seketika Tabra berdiri menunjukkan otot-ototnya, Akma Jaya berucap senang, tetapi dia tak mengerti apa yang sebernarnya terjadi, sedangkan Aisha juga sama, lalu tanpa sepatah kata pun dia melesat pergi berlari meninggalkan mereka.

“Hahaha, kalian tertipu,” kata Tabra berlari kencang, debu pasir menggebu dan menunjukkan bekas berlari yang tersebar ke segala arah.

Aisha hanya terdiam dengan ekspresi wajah aneh, sedangkan Akma Jaya cukup jengkel, dia menunjukkan ekspresi kekesalan karena telah ditipu oleh kenakalan si Tabra—pelaku kejahatan dan melakukan kecurangan.

Itulah sekilas anggapan mereka mengenai sesuatu yang telah menimpa mereka. Hampir saja, Aisha memanggil orang-orang untuk menguburnya.

“Dasaaar! Tabraaa ... tungguuu!” teriak Akma Jaya seraya berlari cepat, dia berusaha untuk menyusul dan mendapatkan kembali posisi nomor satu.

Aisha duduk melepaskan rasa lelah, dia berdiam dan tidak ingin ikut dalam persaingan mereka, sedangkan Tabra dan Akma Jaya tengah berlari dengan gerakan yang tergopoh-gopoh.

Akma Jaya berhasil menyusul dan sekarang dia mendahulu Tabra, lantas memperlihatkan wajah konyol.

“Dasaaarrr! Akmaaa, aku tak akan kalah dari darimu!” Tabra berseru dengan larinya yang semakin kencang.

Namun, Akma Jaya berlari lebih kencang darinya. Kecepatan kaki yang meninggalkan Tabra dengan jarak hitungan sepuluh langkah.

Tabra semakin menggeram, ingin cepat menyusul dan menyelip Akma Jaya.

Namun, pada akhirnya mereka sampai di ke dua pohon kelapa yang condong ke arah laut. Dan itulah garis finish mereka.

Akma Jaya tiba pada urutan yang pertama.

Sementara Tabra tiba pada posisi kedua, lantas saja dia merabahkan tubuhnya ke pasir. Lelah, napas seakan-akan berembus di ubun-ubun.

“Larimu cepat sekali, Akma.” Tabra berucap walau napas terputus-putus.

Akma Jaya juga merabahkan tubuhnya ke pasir—mengikuti kelakuan Tabra.

“Ini melelahkan, kau hebat, Tabra.”

“Iya?”

“Tentu, kau hebat.”

Tabra tertawa dengan suara yang terengah-engah, begitu pun Akma Jaya, sekarang mereka berdua tertawa seolah-olah sedang melepaskan rasa lelah yang terkunci rapat oleh persaingan.

“Kau memang pantas jadi rivalku, Akma!” Tabra kembali berucap masih dengan napas terengah-engah, pandangannya lekat menatap ke arah langit.

Perlahan berkedip dan menutup, remang cahaya dalam penglihatannya perlahan menunjukkan titik terang.

Lalu dia mengedarkan pandangan sekilas untuk menatap Akma Jaya, keduanya bersitatap.

“Tabra, jangan menjadikanku sebagai viral.”

“Kenapa jangan?”

“Aku bukan orang hebat seperti apa yang kau katakan.”

“Akma, kau merendah di depanku.”

“Hmmm ... memang itulah kenyataannya.”

“Akma, apa kau percaya? Pak tua yang sebelumnya kusebutkan pernah berkata, manusia itu berkembang dari masa ke masa, kita tak pernah tahu katanya.”

“Pak tua itu namanya siapa?”

“Hahaha ... aku lupa menanyakannya.”

“Oh.”

Setelahnya mereka berdua tampak menghela napas. Sekarang fokus dan damai menatap langit. Kapan ia hujan, sekarang belum ada tandanya.

Aisha perlahan berjalan mendatangi mereka, menatap mereka berdua yang tampak sedang berbaring di hamparan pasir, dia pun akhirnya juga ikut berbaring bagai sebuah penyakit menular.

Mereka bertiga berbaring menatap langit berwarna biru cerah dengan gumpalan awan putih yang terlihat beragam bentuknya, berubah seiring tiupan angin meniupnya.

“Akma, jika suatu saat kau menjadi seorang kapten, kuharap kau tidak pernah melupakan kami berdua," ucap Tabra menunjukkan perasaan tulus, sedangkan Akma Jaya hanya terdiam dan tidak menjawabnya.

“Hei, kau dengar tidak? Apa yang tadi kukatakan?" lanjut Tabra karena tidak ada tanggapan sedikit pun dari Akma Jaya seolah-olah dia tidak menghiraukannya.

Ketika Tabra berucap demikian, lagi-lagi Akma Jaya tidak menjawabnya.

Beberapa detik berdetak, Tabra tunggu perlahan dan berharap ada jawaban, tetapi tidak ada jawaban sama sekali.

Tabra mulai geram akan itu, lantas mendaratkan ketukan ke kepala Akma Jaya.

TOOK!

Ketukan sederhana dan lumayan kerasnya. Akma Jaya yang tak menyadarinya, dia sedikit refleks.

“Aduuuh, Tabraaa ... kenapa kepalaku dipukul?" tanya Akma Jaya sambil mengusap kepala yang terkena ketuk.

“Hihihi.” Tabra tertawa kecil, kedua telempap menutupi mulutnya.

Akma mengernyit heran, apa yang lucu, bagaimana mungkin dia tertawa, sedangkan tidak ada hal yang lucu.

“Tabra, kenapa kau tertawa?” Akma Jaya bertanya serius. Kedua matanya tertuju lurus menatap Tabra.

Tabra mengangkat bahu dan menggeleng. “Tak ada apa-apa,” jawabnya lalu kembali berucap, “Oh, ya. Sebelum kau menjadi seorang kapten, sosok seorang yang memimpin, sebelum itu kau harus sadar, makanya kupukul biar kau sadar," ucap Tabra seraya mengerucutkan bibir dan mengusap hidung yang tidak ada ingusnya.

“Hmmm ....”

“Ada apa, Akma?”

“Tabra, apakah kau tahu?”

“Tidak tahu, beritahukanlah kepadaku.”

“Tabra, kau bertanya sesuatu yang belum aku tahu, kadang aku ragu, apakah aku akan jadi kapten atau tidak?” jawab Akma Jaya dengan wajah sendu.

“Ayah menatapku dingin seolah-olah aku bukanlah anaknya, dia juga tak mengizinkan aku untuk ikut berlayar dengannya, bagaimana mungkin aku akan menjadi seorang kapten yang kau maksudkan,” lanjut Akma Jaya menjelaskan alasan.

Sekilas alasan kenapa Akma Jaya memilih untuk berdiam dan tak menjawabnya, bahkan dia seolah tersedak mendengar perkataan Tabra. Sosok polos itu terlalu memikirkan sikap dingin ayahnya.

“Tabra, kau bertanya atau ingin membunuhku?” tanya Akma Jaya.

Tabra memiringkan senyuman sejenak, dia tidak menjawabnya.

“Hei, kau sengaja tidak menjawab ucapanku?” lanjut Akma Jaya bertanya.

Tabra menghela napas dan bangkit dari semula berbaring, dia berduduk menatap Akma Jaya.

“Akma Jaya, seberapa kuat mental yang kau miliki, kau adalah Akma Jaya, seorang anak yang terlahir dari keturunan seorang kapten bajak laut.”

“Hahaha, itu omong kosong!” sergah Akma Jaya bersuara sedikit kurang nyaman di dengar.

Tabra memudar otaknya untuk berpikir lebih keras agar bisa menyakinkan Akma Jaya.

“Ya, kau menyebutnya omong kosong, tetapi nyatanya kau adalah anak keturunan dari seorang pemimpin, seorang Kapten Lasha yang disegani banyak orang, aku yakin pada suatu hari nanti, kau akan menjadi seorang Kapten dan memimpin kelompok bajak laut.”

Tabra tetap kokoh percaya, dia memberikan suntikan semangat dalam artian bukan makna sebenarnya, melainkan suatu kata yang diibaratkan seperti suntikan.

Tangannya yang juga masih kecil itu menepuk sekujur tubuh Akma Jaya.

“Ayo, bangunlah dan percaya.”

“Kau harus percaya, Akma Jaya ... janji, ya kamu tidak akan melupakan aku dan adikku,” lanjut Tabra menyodorkan jari kelengking.

Seketika Akma Jaya bangun dari tempatnya dan mengambil cepat sodoran kelengking yang disodorkan Tabra, sekarang jari kelengking mereka saling bersatu.

Aisha tampak menyaksikan dan cukup tersenyum.

“Baiklah, kelak suatu saat nanti, jika aku benar menjadi seorang kapten seperti yang kau katakan, aku akan mengangkat kalian berdua sebagai pendamping ke mana pun kapal berlayar.”

“Benarkah? Kau harus janji, Akma!" Tabra berseru senang. Kedua jari kelengking mereka masih rekat bagai diikat.

Akma Jaya tersenyum. ”Janjiku, janji seorang Bajak Laut karena Bajak Laut tak pernah mengingkari janjinya,” kata Akma Jaya menyakinkan Tabra.

“Oh, tentu. Seorang bajak laut sangat tidak suka mengingkari janji, selamanya!” Tabra kembali berseru.

“Iya, selamanya, kita bertiga akan terus bersama.” Akma Jaya menatap ke sekeliling mereka berdua.

Aisha hanya terdiam menyimak pembicaraan mereka seraya mengangguk pelan.

“Hahaha, benar?” Tabra mengulanginya seperti kurang percaya.

“Ya, selalu,” sambung Akma Jaya ringkas.

Mereka bertiga saling bertatap dalam hening hingga dari kejauhan terdengar suara samar seseorang sedang memanggil Aisha dan Tabra, mereka bertiga menoleh ke arah suara tersebut.

Terlihat sesosok wanita berambut sedikit kecoklatan dan gigi gingsul, terlihat manis.

Dia tersenyum garang. “Tabra, Aisha, ibu membutuhkan bantuan kalian, ibu mencari ke sana sini, ternyata kalian berada di sini.”

“Hehehe, maafkan kami.”

“Iya, maafkan kami. Oh, ya wajah ibu sangat cantik!” puji Aisha agar ibunya tidak marah.

Ibunya tertawa. “Hahaha, apa benar begitu?”

“Iya, ibu cantik.”

“Ya, sudah. Ayo, cepat pulang!” Ibunya mendesak. “Nanti dulu,” jawab Tabra.

“Ada apa nanti-nanti?” tanya Ibunya. “Tak ada apa,” ucap Tabra cepat menoleh ke arah Akma Jaya, lantas melanjutkan ucapan lirih, “Akma, kami berdua pamit dulu, ya.”

“Ya, sampai jumpa.” jawab Akma Jaya tersenyum sepintas.

Sebelum Tabra beranjak pergi dia menepuk bahu Akma Jaya. "Kau harus ingat janjimu, ingatlah selalu.” Tabra menyeringai.

Akma Jaya menjawab cukup dengan mengangguk, sekarang Tabra bersama Aisha beranjak pulang ke rumahnya.

Sepanjang perjalanan ibunya terus saja mengoceh, tetapi Aisha berusaha menenangkannya dan Tabra menertawakannya.

Sementara Akma Jaya terdiam menatap dari kejauhan, berangsur-angsur mereka pergi dari pandangannya, sejenak suasana hening kembali. Hanya debur ombak dan desir angin yang terdengar, bunyi-bunyi dedaunan tampak riuh terdengar telinga.

Pada akhirnya dia pun memutuskan untuk beranjak pulang, sama seperti mereka.

***

Tiba di rumah, tepat di meja makan telah tersusun aneka masakan. Haima sudah menunggu bersama Kapten Lasha yang tampak tenang.

“Akma, kami berdua menunggumu. Ayo, cepat kita makan!” ucap Haima seraya mengisyaratkan sebuah seruan.

“Iya, Ibu, maafkan aku.”

“Kenapa kamu meminta maaf sama ibu?”

“Tidak ada apa-apa,” jawab Akma Jaya menggeleng, wajahnya sendu.

Haima memperhatikan jelas raut wajah anaknya. “Ayo, cobalah cerita sedikit, ibu tidak akan marah, apakah pernah selama ini ibu memarahimu?” ucap Haima penuh kelembutan.

Kapten Lasha menelan ludah, ucapannya menusuk ke dalam sanubari seakan tersedak karena mendengarnya.

“Tadi aku sudah tahu jumlah hari dalam seminggu, itu artinya aku bisa membantu ibu, tapi aku lalai dan sibuk bermain, seharusnya tadi aku datang melapor agar bisa membantu ibu menyiapkan masakan.”

Kedua bola mata anak kecil yang berusia polos itu berlinangan air, genangan yang menunjukkan seakan dirinya bersalah karena tidak membantu ibunya.

“Oh, coba sebutkan ada berapa jumlah hari dalam seminggu, ibu ingin tahu kamu mengetahuinya dari siapa?” tanya Haima.

“Dari Tabra, katanya ada tujuh hari dalam seminggu,” ucap Akma Jaya menjelaskan.

“Syukurlah, jika kamu sudah mengetahuinya.”

“Iya.”

“Yuk, makan. Tidak usah dipikirkan, ibu tidak apa-apa.”

Kapten Lasha mendelik. “Haima, semenjak dia hidup bersamamu, dia tumbuh menjadi anak yang manja,” ucap Kapten Lasha sangar. “Iya, Kanda. Itu semua karena kanda terlalu sibuk memimpin hingga tidak dapat mengurus Akma Jaya, perlahan Dinda akan mengajarinya sedikit demi sedikit.” Haima perlahan berhenti bicara seraya menghela napas.

Kalimat itu, Kanda dan Dinda, ciri khas dari Haima memanggil Kapten Lasha—sang suami yang dia sebut dengan Kanda dan menyebut dirinya sendiri sebagai Dinda.

Walaupun Kapten Lasha sekadar memanggil nama, tetapi paling tidak dia menyayangi suaminya hingga mempunyai panggilan khusus untuknya.

Dalam segi ucapan, Haima menang telak dari Kapten Lasha, seketika saat itu suasana berubah hening.

Kapten Lasha tak kuasa lagi membantah istrinya, apa yang terbilang memang benar sepenuhnya dan semua yang berawal ternyata jauh dari apa yang dia harapkan.

“Cukup mengobrolnya, sekarang waktunya makan,” lanjut Haima tersenyum.

“Baiklah, ibu ...,” jawab Akma Jaya. Sementara Kapten Lasha hanya berdiam dan melahap makanan tanpa mengikuti apa yang diucapkan Haima, singkatnya dia sudah makan terlebih dahulu, tentunya dengan porsi yang lebih banyak.

Mereka pun makan dan tak lagi memikirkan masalah, suatu nikmat Sang Pencipta yang ada di depan mata dan bisa menelan makanan. Itulah kesederhanaan yang menenangkan.

Apa yang indah dalam hidup, tidak ada yang lebih indah dari kalimat syukur yang terucap.

Tentu keindahan yang diinginkan di depan mata, dibanggakan dengan suara, dan juga diyakini di dalam benak pikiran, tentu setiap orang berbeda dalam mengartikan bentuk keindahan dan tidak sama, tetapi di kala ada rasa syukur, maka hidup walaupun sederhana akan terasa kenyamanannya.

Beberapa saat kemudian, piring yang tadinya terisi nasi dan lauk, sekarang sudah masuk ke dalam perut.

“Akma Jaya, setelah kau selesai makan ikutlah berlatih denganku.” Kapten Lasha berujar dingin, tepat setelah dia selesai makan.

Hanya Akma Jaya yang belum menghabiskan makanannya, kemungkinan dia masih ingin betah bersama ibunya.

“Kanda, pertimbangkanlah untuk melatih Akma Jaya, dia masih kecil, tunggulah pada saat dia besar nanti.” Haima sedikit memaklumi apa yang ada di dalam benak pikiran Akma Jaya.

Sosok seorang ibu lebih mengerti caranya mendidik anak dengan kasih sayang, bukan semata siksaan yang walaupun membangun ketahanan tubuh, tetapi lambat laun hati nurani akan rusak karena sering berhadapan dengan kekejaman.

Apalagi sang ayah yang hanya memikirkan kekuasaan dan kesuksesan dalam melakukan perampokan kapal, besar tujuan berlayar sekadar membinasakan orang lain, membunuh dan lain sebagainya.

“Akma Jaya akan tetap bersama Dinda. Untuk sementara uruslah anak buah Kanda, belum saatnya untuk Akma Jaya menerima pelatihan yang menyakitkan baginya.”

“Haima, jika itu adalah keinginanmu, maka aku akan menuruti apa yang kau inginkan.” Kapten Lasha beranjak pergi dari hadapan mereka dengan penuh hawa dingin mencekam, Akma Jaya cukup menelan ludah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!