Beberapa hari kemudian, waktu berlalu seperti biasa, tampak Akma Jaya sedang duduk bersandar di bawah naungan daun kelapa yang menjulang rindang.
Posisi memejam. Hitungan detik berhela napas, pohon kelapa di dekat pantai memberikan pesona, ombak menggulung lembut, menyisir pasir di pinggiran. Tatapannya seakan bercampur suasana hening, angin berdesir.
Seiring terpaan angin, tiba-tiba seekor burung terbang melintas tepat di hadapan dirinya.
Akan tetapi, Akma Jaya tak menghiraukan burung tersebut. Tak disangka, burung itu kembali melintas, lagi-lagi Akma Jaya tak menghiraukannya, seolah-olah ada masalah atau apa? Burung itu terus melintas, terbang menghalangi pandangan dan membuat Akma Jaya sedikit geram.
“Buang senjatamu ... buang senjatamu ... buang senjatamu,” ucap burung itu sambil terbang melintas di hadapan Akma Jaya.
“Burung itu bisa bicara? Bagaimana mungkin? Ini pasti burung langka!” Akma Jaya berseru.
Dia benar takjub dan tidak mengetahui mengenai burung itu, selama ini dia tidak pernah melihatnya.
“Aku harus mendapatkanmu. Bagaimanapun caranya!” Akma Jaya berusaha menggapai untuk menangkap burung tersebut.
Burung itu terbang menyusuri angin, menjauh dari tempat itu, Akma Jaya mengejar dengan langkah tertatih serta napas yang terus berembus kencang.
Suasana lengang. Akma Jaya berlari sambil melompat-lompat. Dia terus berusaha untuk menangkapnya.
Dengan sikap gigih, Akma Jaya tak kenal lelah, dia terus berlari, sejauh mana burung itu terbang, dia akan kejar hingga bertekad bulat ingin mendapatkannya.
Sikap gigihnya tertanam kuat bagai sebenih tanaman yang tumbuh menjadi pohon.
Dari pohon dan mekar berbuah, daunnya hijau lebat—kini dia memakan buahnya.
Burung yang tadi terbang mengejek, dari gerakannya ingin ditangkap, tetapi ia seakan tidak mau ditangkap dengan mudah.
Dengan tekad membara. Sekarang, burung itu telah berhasil ditangkap Akma Jaya, sikapnya berubah girang dan membuat dirinya tertawa melompat-lompat.
“Akhirnya, kau tertangkap di tanganku, aku harus memberitahukan ini kepada ayah!” Akma Jaya bersegera cepat menuju tempat Kapten Lasha.
Burung itu di dekapnya dalam genggaman seperti pangkuan yang dipenuhi kehangatan, sesampainya di tempat Kapten Lasha. Akma Jaya membuka pintu.
“Ayaaah!” Akma Jaya berteriak.
“Ada burung langka yang kutemukan.” Akma Jaya berucap memperlihatkan burung itu kepada Kapten Lasha.
Kapten Lasha terlihat biasa saja, dia tersenyum sinis melihat burung tersebut.
“Heh, burung ini tidak langka, ada banyak jenisnya yang seperti ini,” ujar Kapten Lasha sedikit menjelaskan.
“Benarkah? Aku baru mengetahui tentang burung ini.” Akma Jaya menatap burung dan mengelusnya.
“Akma, pergilah, jangan pernah membuat keributan karena hal ini.” Kapten Lasha berujar menunjukkan sikap dingin.
“Ayah, setidaknya beri tahu aku mengenai nama burung ini?” tanya Akma Jaya masih mengelus kepala burung. Dia cukup penasaran.
Kapten Lasha tak mengedarkan pandangan. Dia fokus ke depan. “Burung Beo, jenis burung ini bisa berbicara. Seandainya kau melatihnya setiap hari dan dilakukan secara rutin,” jawab Kapten Lasha sederhana.
“Oh, begitu? Baiklah, aku akan pergi karena sudah mengetahui nama burung ini!”
Akma Jaya beranjak pergi dari tempat Kapten Lasha kemudian dia pulang menuju rumah.
Dari jarak pandangan, sekitar sepuluh langkah kaki, terlihat Haima sedang merawat bunga, dia menyiraminya beserta keindahan senyuman yang terpancar jelas di wajahnya.
“Ibuuu ....” Dari kejauhan Akma Jaya berteriak memanggil ibunya. Dia berlari kencang menghampiri.
“Ada apa, Akma?” tanya Haima bersuara lembut. Mereka berdua bersitatap dan berdekatan.
Akma Jaya mengulurkan tangan. “Ibu, lihatlah, hewan ini akan jadi peliharaanku!” kata Akma Jaya, lalu menunjukkan burung yang ada di tangannya, Haima mengangguk dan cukup memberikan senyuman.
“Oh, tapi ingat, ketika kamu memeliharanya, kamu harus rajin memberinya makan dan merawatnya dengan baik,” jawab Haima tersenyum sambil menyentuh hidung Akma Jaya dengan telunjuk, mencubit sepertinya.
“Baiklah, Ibu ....” Akma Jaya menjawab sambil mengangguk senang.
Akma Jaya membawa burung itu ke dalam rumah. Di dalam situ, dia pun berpikir membuatkan rumah untuk burungnya.
Dia tertegun sejenak, memikirkan di hutan ada banyak kayu, di sana dia bisa mendapatnya bahan. Dengan itu dia berencana ingin membuat sangkar sebagai rumah bagi burung–hewan peliharaannya.
Sebelum itu, Akma Jaya berucap kepada Haima. “Ibu ... aku ingin pergi ke hutan dulu, boleh?” tanya Akma Jaya meminta izin.
“Baiklah, tapi ingat! Kamu harus berhati-hati,” amanat Haima kepada Akma Jaya, sekilas tersenyum.
Setelah mendapatkan izin dari ibunya, Akma Jaya melesat—berlari kencang.
Di suatu tempat, di jalanan lengang, entah mengapa dia bertemu Tabra yang tampak sedang berjalan dan menikmati suasana damai. Tampak bersiul.
Akma Jaya melintas, sedangkan Tabra menyusul dan menghentikannya sejenak.
“Akma, kau ingin pergi ke mana?” tanya Tabra sedikit memandang, aura selidik.
Akma Jaya bertatap ringan. “Aku ingin pergi ke hutan, di sana aku ingin mencari kayu, lalu dengan kayu itu akan kubuat sangkar burung,” jawab Akma Jaya menjelaskan.
“Sangkar burung?” Tabra heran.
“Iya,” jawab Akma Jaya sedikit ringkas.
“Hmmm, apa kau sedang memelihara burung peliharaan?” tanya Tabra sedikit tidak percaya.
“Iya, aku memelihara burung.” Akma Jaya menjawab cepat.
“Burung apa yang kau pelihara? Oh, ya. Apa alasan yang membuatmu memeliharanya?” tanya Tabra bertubi dan dia pun memang tak bisa mempercayainya.
“Burung Beo, begitulah karena ia bisa berbicara, walaupun sedikit saja, itulah alasan kenapa aku memeliharanya.” Akma Jaya menjelaskan.
“Wah, Akma. Aku ingin ikut denganmu, mencari kayu itu di hutan.” Tabra sangat antusias mendengar ucapan Akma Jaya. Dia spontan berseru.
Akma Jaya menggelengkan kepala. “Tidak usah, aku tak ingin menyusahkanmu.”
“Akma, bukankah kita sudah menjadi sahabat, apa kau tidak mengetahui tentang hakikat persahabatan?” tanya Tabra. sorotan matanya melebar.
“Akma, kita sudah menjadi sahabat, jika aku membantumu dan kau menolaknya, apakah kau ingin memutuskan ikatan persahabatan di antara kita?” kata Tabra bernada serius, dia melanjutkan ucapan.
“Baiklah, jika kau ingin ikut. Ikutlah bersamaku,” jawab Akma Jaya.
Mendengar itu Tabra berseru penuh kegirangan. “Akmaaa ... ayo, kita pergi ke hutan,” ujar Tabra sambil menarik tangan Akma Jaya menggunakan tangan kanan.
Dia mengacungkan tangan kiri disertai dengan raut wajah penuh kegirangan.
Sementara Akma Jaya berwajah datar. Dia tak bisa berbuat banyak, hanya mampu meringankan tubuhnya yang ditarik oleh Tabra.
“Hei, Tabra. Bisakah kau menarik tanganku lebih pelan sedikit,” kata Akma Jaya berwajah datar.
Tabra tetap menarik tangannya, dia berlari cepat. “Hahaha ....” Tabra tertawa sambil berlari, sedangkan wajah Akma Jaya tampak semakin datar, orang-orang pun tampak kebingungan karena menatap sepintas tingkah konyol mereka berdua.
***
Pada akhirnya, mereka berdua telah sampai di hutan, hawa-hawa sejuk dan damai, desir angin melambai.
“Baiklah, kita sudah sampai!” Tabra berseru senang seraya melepaskan genggaman tangannya.
“Bagaimana, Akma?” Lanjut Tabra bertanya sambil menghirup napas panjang.
“Tabra, kau menarik tanganku sepanjang jalan,” jawab Akma Jaya dengan wajah datar. Tak ada suara lain, suaranya bernasib sama.
“Sudahlah, Akma. Lupakan itu, ayo cepat! Kita cari kayu dan lanjut membuat sangkar.” Tabra mendesak.
“Baiklah, Tabra,” jawab Akma Jaya yang berada di belakang Tabra.
“Hei, Akma ... kau yang seharusnya berada di depanku!” Tabra tidak terima. Tatapannya memelotot.
“Kenapa?” tanya Akma Jaya ringan.
Tabra menoleh. “Aku bukan orang hebat sepertimu, melainkan aku hanya anak biasa.” Tabra menjawab dan merendah. Wajahnya sedikit aneh.
Akma Jaya bertatap maklum. “Oh, itu sudahlah tidak usah kau pikirkan, kita jalan bersama saja, selama ini pun tidak ada aturan yang membatasi pertemanan, di depan ataupun di belakang, bagiku keduanya sama,” jawab Akma Jaya menyudahi ucapan Tabra. Sekarang, mereka berjalan bersama-sama.
“Akma, bagaimana menurutmu, apakah kita akan berpencar?” tanya Tabra optimis. Kedua tangannya mengepal seakan menunjukkan semangat membara.
Akma Jaya berpikir sejenak. Tentang pertanyaan Tabra yang baginya cukup serius, tak lama dia memutuskan.
“Tidak, kita tidak akan berpencar, aku takut akan ada bahaya yang menimpa salah satu dari kita. Jika kita bersama, kita bisa menghadapi bahaya itu bersama.”
Tabra melebarkan senyuman. “Akma, apakah kau takut bahaya?” tanya Tabra sambil tertawa menatap Akma Jaya.
“Ayolah, pada suatu saat nanti, kau akan menjadi seorang Kapten, maka kau harus belajar menjadi berani menembus hutan sendirian,” lanjut Tabra menyeringai dan tertawa setelahnya.
Wajah Akma Jaya kembali datar. “Usiaku sekarang baru 15 tahun. Masih banyak waktu untuk belajar,” ketus Akma Jaya
Tabra menatap dengan tatapan penuh keyakinan. “Ya, anggap saja kau sekarang sedang belajar, kita akan berpencar,” ucap Tabra sambil menepuk bahu Akma Jaya. Yakin dan cukup kuat.
Akma Jaya sedikit tercengang mendengarnya. “Benarkah? Itu adalah permintaanmu untuk berpencar. Jika terjadi bahaya, jangan salahkan aku!" jawab Akma Jaya sedikit menekan Tabra.
“Akma, kau meragukan kekuatanku, bukankah sebelumnya kita sudah pernah melakukan latihan tanding?” Lagi-lagi Tabra menepuk bahu Akma Jaya, senyuman melebar di bibirnya.
Akma Jaya mengangguk. “Baiklah, aku percaya itu. Kau memang kuat!” Akma Jaya memuji sederhana.
“Sudah pasti,” jawab Tabra menyertai senyuman kebanggaan yang terpampang, mereka pun bergerak memasuki hutan dan berpencar mencari kayu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 158 Episodes
Comments