Pesantren Berdarah
...Bibir ini tak mampu, hanya sekedar untuk menyapa...
...Bukan karena akutak suka, hanya saja aku memang tidak terbiasa...
...👽👽...
...*...
...*...
...*...
...Jangan lupa...
...⭐VOTE⭐...
...dan...
...💬KOMEN💬...
Plak!
Aku meringis menahan sakit, ingin rasanya aku mematahkan kayu yang tidak pernah belajar akhlak itu. Ku usap lembut telapak tanganku yang kini sudah memerah gara-gara pukulan yang diberikan ustadz Syarif.
"Kalian itu sudah kelas tiga! seharusnya ngasih contoh yang baik buat adik-adiknya!" Suara tegas Ustadz kembali diselangi dengan bunyi kayu yang tepat mengenai tangan temanku di samping.
Aku meliriknya sejenak, dia terlihat sama seperti ku, menahan sakit akibat kayu yang dari tadi ingin aku lenyapkan.
"Butuh berapa iqob lagi, biar kalian sadar?" Pertanyaan yang lebih terdengar curhatan frustasi itu membuat tawaku rasanya ingin menerobos keluar. Aku memang anaknya pecicilan, biarpun sudah lama mondok sifat pecicilan ku belum juga ada perubahan, malah makin merajalela ketika aku mulai naik ke kelas tiga.
"Ustadz, biar tidak capek. Lebih baik hukumannya dibatalkan saja. Kasihan Ustadz." Aku mencoba memberi sedikit solusi. Kurang baik apa aku, coba?
Ustadz tidak menggubris, beliau malah semakin menata sangar ke arahku. Rasanya sebentar lagi aku akan ditelan bulat-bulat.
"Kenapa kalian harus bikin masalah itu keroyokan? giliran, kek, caranya, biar ada bedanya. Makin botak rambut saya gara-gara hadapin kalian terus!"
Aku dan yang lain saling memandang satu sama lain, melongo. Kembali ku eratkan bibirku untuk tidak terbuka. Jika Lepas maka tawa ku yang cempreng itu pasti akan memenuhi ruangan tempat kami saat ini.
"Sudah Rara bilang, Ustadz--"
"Diam, Ra!"
Ustadz memijit keningnya prustasi. Aku tundukkan kembali pandangaku sembari ku katupkan erat kedua bibirku ketika tatapan Ustadz mulai meneror kembali.
Apakah aku salah memberi solusi?
"Untuk kali ini saya kasih keringanan, sebagai hukumannya tulis istighfar 1000 kali, kumpulkan nanti sore setelah solat asar. Sekarang kalian boleh pergi!" Aku melongo sejenak, ini sih bukan dikasih keringanan. Menulis istigfar 1000 kali adalah hal yang biasa buat kami, terlebih aku yang notabennya langganan hukuman, tapi dalam waktu setengah hari? dengan kondisi hari ini jadwal kegiatan begitu padat. Buju buneng, niat banget ustadz pengen nyiksa.
"Rara! kenapa masih di sini! apa hukumannya belum cukup?" suara ustadz menyadarkan aku. Aku melirik sekeliling, ya Allah tega benar, dah mereka, meninggalkan aku sendiri di hadapan Ustadz. Dasar teman-teman pada durhaka.
Aku memasang senyum andalan ku, menunduk sejenak memberi hormat kepada Ustadz lalu kabur dari hadapan beliau. Ingat saja, aku tidak akan mengampuni mereka. Tunggu pembalasanku, awas aja nggak akan aku kasih mereka contekan.
👽
"Wah! bener-bener parah kalian ya! Ninggalin aku sendiri kayak kambing congek di depan Ustadz." Suara cemprengku langsung saja menggema sampai ke pojok kamar . Oh, ya, tadi aku mendapat hukuman bukan cuma sendiri tapi berlima. mereka semua teman satu kamar aku di asrama, parah, kan, kompaknya kagak benar. Eh tapi aslinya kami semua baik kok, pintar-pintar lagi.
" Lagian kamu sih, udah di suruh pergi masih aja adem ayem berdiri mandangin Ustadz." Dela menjawab santai. Apa, mandangin ? perasaan aku nggak pernah.
"Bengong terooos" suara dan sentilan Nisa di keningku menyadarkan aku.
"Ckckk, kamu mah kebiasaan suka nyentil, ingat Ca, azab teman suka nyentil itu, nanti jatah makanannya di habisin. " Ucapku sambil memegang keningku, kebiasaan dia yang terkadang membuat aku dan yang lain kesel suka nyentil tiba-tiba, kan, sakit kayak tadi, coba kalau mau nyentil kasih tau dulu biar siap-siap gitu.
"Hehe iya iya maaf, sebenarnya aku masih kesel, tadi itu bukan murni kita yang lakuin" Gerutu Nisa tak lupa dengan mulutnya yang selalu monyong kalau lagi kesal.
"Pengen aku jadiin dia lemper deh" suara Fitri sambil merapikan mukena yang tadi dia pakai.
Aku menarik napas lemah, lalu duduk menyender di tepian lemari.
"Maafin aku ya teman-teman, ini semua gara-gara aku" Kataku lirih. Iqlima yang dari tadi diam menghampiri aku, aku sudah tau pasti dia mau menenangkan perasaanku.
Ya, diantara kami berlima cuma dia yang kalem dan nggak banyak bicara tapi sekali bicara otak yang meleduk langsung padam.
"Udah Ra, jangan salahin diri sendiri. Niat kamu, kan, baik mau nolongin dia, tapi dia malah ngejebak kita, nggak apa-apa lagian hukuman kita juga bagus kan , di suruh istighfar banyak-banyak. Tenang orang jahat akan kena imbasnya sendiri, bisa aja nanti berangkat sekolah kakinya sebelah nyangkut di atas pohon " Dasar Iqlima, kata-kata bijaknya pasti ada nyelenehnya sedikit, aku tersenyum mengiyakan. Bersyukur banget punya teman-teman yang mesti rada gesrek semua, tapi pengertiannya Maa syaa Allah.
"Eh kalian mau di hukum lagi gara-gara telat sekolah ? Aku, sih ogah" Ujar Dela yang sudah siap dengan peralatan mandinya.
Aku melirik jam dinding yang kadang-kadang sama gesreknya dengan kami. Hela napas terdengar dari teman-teman termasuk aku . Dengan wajah prustasi kami pun bergegas pergi ke kamar mandi, karna sudah pasti bakalan nggak mandi lagi hari ini pergi sekolah.
👽
Aku berjalan setengah berlari menuju sekolah, emang dasar teman-teman durhaka. Mereka pada ninggalin pas lagi susah-susahnya, udah aku bawa buku banyak , ditambah kitab tafsir yang nggak ketulung beratnya, ini lagi tali sepatu pakai acara lepas segala.
Jarak asrama dengan area sekolah memang tidak terlalu jauh dan bahkan sebenarnya sekolah kami yang santriwati tepat berada di belakang asrama namun karna jalannya yang memutar arah membuat kami harus lebih sabar menempuhnya dengan berjalan kaki.
Oh ya satu lagi di pondok tempat aku menuntut ilmu ini tidak dikasih pergi sekolah memakai jenis tas apapun, semua peralatan sekolah harus di bawa dengan tangan, bawanya pun harus sejajar dengan dada. Jadinya beginilah aku pagi ini.
Aku pasrah, pasti hari ini kena hukuman lagi, tapi hukuman bukan dari ustadz ataupun ustadzah tapi dari osis.
Setelah selesai mengikat sepatu dengan benar aku tatap jalan yang kosong, suara MC upacara sudah terdengar. Sudah tak ada harapan lagi pikir ku.
"Aduh gawat!" pekik ku dan langsung bersembunyi saat dari kejauhan di balik gerbang biru terlihat santriwati berpakaian rapi siapa lagi kalau bukan anggota osis dengan perlahan berjalan ke arah tempat aku bersembunyi.
"Ayo otak bekerja dong,, berpikir,, berpikir" Batin ku sembari memandang tempat sekitar. Aku bertekad kali ini nggak akan kena hukum, satu hukuman tadi saja belum aku selesaiin, bagimana kalau nambah hukuman lagi. Aku tersenyum lebar lalu segera berlari ke arah yang berlawanan. Kenapa aku sampai lupa bahwa kantin adalah salah satu jalan penyelamatku.
"Pak, Rara mohon ya sekaliii aja" aku menatap pak Rahman dengan penuh harap.
"Bapak, sih, nggak apa-apa kalau mau lewat, tapi Neng di.."
"Ya Allah pak, makasih banyak, tenang nanti Rara bakalan sering jajan ke sini." Ucapku memotong perkataan pak Rahman saking senangnya.
Aku langsung membuka sepatu menentengnya melewati jajaran makanan yang mampu membuat perut ku langsung berbunyi, wajar karena tadi aku memang berangkat sekolah tanpa sarapan terlebih dahulu. Untuk makanan yang berjejer indah dihadapanku, kalian tenang, nanti selepas keluar main aku akan mengunjungi kalian kembali.
Belum lenyap senyum bahagiaku membayangkan makanan-makanan tersebut dengan lembut mengalir di tenggorokanku, jantungku dibuat olahraga kembali sepagi ini, dengan siapa yang aku lihat sekarang.
"Maaf Neng, bapak tadi mau bilang kalau di sana ada nak Malik yang jaga." Tanpa tersadar sepatu yang aku tenteng terlepas dari genggaman.
Malu? jangan tanya, karena sudah pasti. Aku menunduk tidak berani melihat orang yang sekarang berjarak sekitar 2 meter dari tempatku.
Kenapa aku benci hari senin, salah satunya karena ini, hari senin sering membuat jantung ku yang sehat olahraga berlebihan, apalagi kalau nggak sengaja bertemu dengan makhluk yang sekarang terlihat begitu manis meski lagi menahan emosi.
Di pondok ini memang sekolah antara santriwan dan santriwati terpisah namun ekstrakurikulernya masih digabung meski memiliki jarak yang lumaian jauh kalau lagi kumpul
"Malik!" Santriwan yang berdiri tegak di hadapanku menoleh karena namanya di panggil, ya aku kenal suara itu, itu suara Himmi santriwati yang tadi aku coba hindari biar nggak kena hukuman. Tapi sekarang udah ketiban duren malah nyium baunya lagi, apes banget, dah hari ini.
" Balik saja ke lapangan, di sini nggak ada siapa-siapa."
Aku nggak salah dengarkan, ingin rasanya aku cengakkan kepala menatap orang yang tadi mengucapkan kata itu, namun malu lebih menguasai diriku.
Akhirnya aku hanya bisa melirik ke arah Himmi yang jelas-jelas sudah melihatku sebelumnya, namun entah kenapa dia menuruti apa yang Malik ucapkan.
Lamunanku dibuyarkan oleh suara derap langkah yang semakin jauh terdengar. Aku memberanikan diri menatap punggung itu. Senyum di bibirku tak dapat lagi ku sembunyikan. Mungkin lagu dengan judul terpesona sangat mewakili perasaanku saat ini.
"Terima kasih." Lirihku pelan. Sampai akhirnya dia lenyap membawa sebagian harapan yang selalu aku langitkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments