"Ra, jadwal kita pembersihan sekarang" Dela memperingati. Aku melipat mukenahku dengan cepat kemudian menaruhnya digantungan.
"Ma mau mandi?" Tanyaku cepat ketika ku lihat Iqlima mengambil handuk. Iqlima mengangguk sambil mencari dimana letak peralatan mandinya.
"Aku selesai kamu ya" Fitri mendahuluiku.
" Kamu mah fit!" Aku menggerutu karena didahului oleh fitri.
"aku nggak yakin kamu dapat mandi Ra" Aku terdiam sejenak, benar juga pulang ngaji jam tujuh kurang 15 menit, masuk sekolah jam 07:30 kalau bukan jadwal pembersihan berarti masih punya waktu tinggal 45 menit sebelum masuk, dari 45 menit itu aja kalau bisa mandi palingan mandi 5 menit sisanya habis buat ngantri. Apalagi sekarang, belum cuci piring, rapiin tempat tidur, nyapu sama buang sampah.
"Iya dah aku ngalah" Fitri tersenyum girang, akhirnya pagi ini dia bisa mandi ke sekolah setelah sekian pagi dia cuma bermodalkan wudhu.
Aku melihat Nisa sudah mengambil air buat kami mencuci piring, aku segera menyambar jilbab setelah itu mengumpulkan piring kotor untuk segera dicuci.
Untuk menyingkat waktu kami berbagi tugas, aku sama Nisa mencuci piring dan Dela kebagian merapikan tempat tidur dan menyapu. Untuk membuang sampah sendiri nanti kami bertiga yang akan melakukannya karena memang tempat sampahnya cukup berat.
" Ndak ada sunlight ya Ca?" Nisa menghentikan gerakan tangannya menuang rinso.
"Biasanya kan kita pakai rinso aja Ra" Iya juga sih, Aku menertawakan diri sendiri. Kenapa baru sekarang aku pertanyakan dimana posisi sunlight yang seharusnya kami pakai sekarang.
"Kasihan juga si sunlight"
"Lah, Kok kasihan?" Aku semakin tertawa melihat muka Nisa yang mulai bingung. Dengan gerakan tangannya yang sudah meremas Sepon dia memandangku ingin tau.
"Mengalah demi orang ketiga"
" Aduuh Ra, kamu tau aku long loading. Jangan ribet-ribet ngomongnya" Aku tertawa, memang bahagia sekali rasanya bisa mengusili teman.
"Rinso kan buat cuci pakain Ca, bukan cuci piring. Jadinya kasihan si sunlight seharusnya dia yang sekarang kamu pakai bukan rinso itu" Nisa melemparku dengan busa yang ada ditangannya, aku malah semakin tertawa
" Kalian ini bukannya cuci piring, malah main-main. Ayo cepat! nanti kita telat" Aku dan Nisa seketika berhenti dan melanjutkan acara cuci piring kami saat teriakan Dela dari dalam menggema di gendang telinga kami.
"Iya kanjeng mami!" Nisa berteriak menjawab omelan Dela.
" Kenapa kita nggak bikin Sunlight sendiri aja Ca, pakai rinso sebenarnya kan nggak baik. takutnya bahan-bahan kimianya masih nempel dipiring meskipun sudah di bersihin pakai air"
"Caranya?"
"Iya kita tinggal beli bahan-bahannya, Texafon, Sodium Sulfat, Glucotion, Metain, LABS, Soda, Pewarna, Itu jeruk nipis banyak di samping buat jadi pewanginya, air galon juga ada tuh dikamar" Nisa menghentikan gerakan tangannya, lalu menoleh kearah yang aku tunjuk. Apa lagi kalau bukan melihat pohon jeruk nipis yang memang dekat dengan kamar kami.
" Kamu dapat bahannya dari mana, mengarang indah?" Mentang-mentang aku suka menghayal ini anak meremehkan sekali.
" Ini ni sekolah tapi otak di tinggal dikamar" Dela menimpali kemudian duduk didekat ku.
"Makanya kalau pak Multazam lagi ngejelasin di lab jangan tidur" Lanjut Dela, Nisa hanya nyengir melihat aku sama Dela tertawa, kenyataannya kemarin dia memang tidur dibelakang.
"Kamu juga Ra, sampe bahan-bahannya kamu hapal. Mau buka Usaha Sunlight ?" Kini Dela menyerangku.
"Aku nggak mau jadi pengusaha, terlalu ribet. Mendingan jadi penulis enakan soalnya bisa menghayal"
"Jadi penulis? Haha siapa yang mau baca tulisan kamu Ra" Nisa tertawa renyah mengejekku.
"Jangan salah kamu Ca, gini-gini kalian lagi ada dalam cerita yang aku buat"
"Ngakakin teman dosa nggak sih" Benar-benar asem mereka. Awas aja nanti aku akan buktiin kalau tulisanku bisa di baca banyak orang.
"Udah selesai kan, ayo cepetan kita buang sampah, tinggal 20 menit nih" Dela mengingatkan, Kami segera mebersihkan bekas cucian piring tadi kemudian mengumpulkan sampah untuk segera dibuang.
"Berat banget, kemarin mereka nggak buang sampah ya!" Omel Nisa, Karena tempat sampah yang kami bawa hampir penuh.
"Udah jalan aja" Aku memaklumi, hal ini memang sering terjadi.
Kami berhenti sejenak, merenggangkan otot jari kami yang terasa kaku. Aku menatap kedepan, melihat gerbang biru, sejujurnya aku paling malas untuk pekerjaan yang terakhir ini, maksud ku buang sampah. Bukan karena berat atau bau tetapi karena ini pekerjaan yang mempertemukan santriwan dan santriwati. Berhubung tempat pembuangan sampah berada diwilayah putra jadinya diperbatasan gerbang biru santriwan yang memiliki jadwal akan menunggu untuk mengambil sampah dari kami yang putri, dan pada akhirnya kami harus menunggu sampai tempat sampah itu kembali, ngebosanin kan.
Aku teringat dengan Malik ketika mataku tak sengaja melihat seorang santriwan yang sedang merapikan deretan tempat sampah untuk dibawa pergi. Pekerjaan itu biasanya Malik yang lakukan, dia diamanahkan mengkordinir bagian ini, dan sekarang entah siapa yang menggantikannya.
"Wah! Dia bukannya murid baru itu ya" Nisa berteriak kegirangan ketika kami hampir sampai di gerbang biru
"Sstt!! kamu mah sukanya ribut" Aku berusaha mengingatkan Nisa, masalahnya tatapan mahasantriwati yang lain tertuju pada kami.
"Iya ni Ca, bikin malu aja"
"Sampahnya nggak jadi dibuang?" Kami bertiga serentak menoleh pada seorang santriwan yang Nisa katakan santri baru tadi.
Kami segera berjalan menghampirinya, dia segera mengambil tempat sampah yang kami sodorkan.
"Tunggu disini, jangan nyusahin kayak santriwati yang lain"
Satu kata pertama untuk dia "Songong" dia melihatku sejenak dengan tatapan yang tak bisa aku definisikan, aku segera menunduk memutuskan kontak mata yang seharusnya tidak terjadi.
dua menit berlalu, dan kami masih menunggu hanya untuk sebuah tempat sampah.
"Tempat sampahnya diaremin ya? lama amat" Kini Dela yang menggerutu, masalahnya sebentar lagi bel masuk sekolah berbunyi dan kami bertiga masih dengan pakian santai ditambah belum mandi.
"Jangan bawel"
Apa dia bilang. Bawel? masih jadi santri baru aja udah belagak kayak gini. Apa kabar aku yang udah 6 tahun karatan di sini? masih manut-manut aja.
" Kamu mau lihat kami telat?" Akhirnya aku angkat bicara. Dia hanya melihatku sejenak tidak bicara sepatah katapun kemudian berjalan meninggalkan kami entah kemana.
"Pulang aja yuk, Nanti tempat sampahnya kita bawa pulang pas keluar main"
"Nisa yang imut, baik hati, suka menabung dan kadang lola', kamu mau beli tempat sampah baru lagi? Ninggalin sama aja beli lagi" dan apa yang dibilang Dela memang benar, Jika kita meninggalkan tempat sampah disini sudah jadi keputusan tempat sampahnya akan dibawa mahasantriwan keasramanya, itu sama aja kami akan membeli ulang dan itu lumayan bagi kantong santri kayak kami.
"Yaudah kita nunggu aja, aku juga belum bosan lihat Makhluk ciptaan Allah yang satu ini" Kini gantian aku yang menyentil kening Nisa, biasanya dia yang selalu menghadiahi kami sekarang tangan ku sudah gatal ingin mencoba di keningnya dia.
"KDRT nih kamu Ra!"
"Sekarang bilang KDRT, kemarin-marin pas kamu yang lakuin kemana aja?!"
"Nih" Keributan kecil yang kami buat terhenti ketika tempat sampah kami akhirnyakembali dengan selamat.
"Makasih" Nisa berucap manja, yang membuat perutku mual, Sudah dibikin telat begini masih bisa ngucapin makasih sama dia? aku mah ogah. Pertemuan pertama aku dengan dia hari ini membuat aku berfikir bahwa dia santriwan yang menyebalkan. Terus apa tempat istimewanya sampai semua teman-teman ku bahkan sebagian besar santriwati membicarakan dia?
"Rara! eh kalian bertiga kesini!" Kami menghentikan langkah, ketika suara Ustadz Alawi memanggil.
"Kami Ustadz?" Tanyaku memastikan. Ustadz Alawi mengangguk. Tumben Ustadz favorit kami ini memanggil.
Tanpa menunggu lama kami berjalan melewati gerbang biru dan santri baru itu. Melewati gerbang biru sama artian dengan memasuki kawasan santriwan, dan benar saja tidak jauh dari kami sudah banyak santriwan yang sudah rapi dengan seragam sekolah mereka. Aku menunduk, malu tentu saja. karena aku memang tidak biasa berada ditempat yang banyak santriwan seperti ini kecuali kalau pembagian raport, itupun ada tirai yang menghalangi.
"Ilham kamu juga kesini"
Santri baru itu ternyata namanya Ilham.
"Berhubung kalian belum pakai seragam, Ustadz mau minta tolong. Bantuin Ustadz rapiin ruang kerja abah" Rapiin ruang kerja abah? siapa yang tidak mau, itu adalah salah satu keinginan terbesar kami, bisa langsung masuk ke sana. soalnya jarang-jarang ada yang dapat. Tapi bagaimana dengan sekolah kami? Satu kali alpa sama saja 10.000 Istighfar belum bersihin Toilet sekolah yang Kotornya na'udzubillah.
"Berhubung jam pertama kalian saya yang ngajar, kalian tidak akan mendapat alpa" Ustadz Alawi bisa baca fikiran ya? kok tau banget apa yang sedang kami fikirin.
"Dan untuk kamu Ilham, nanti saya Izinin di Ustadz Syarif, pelajaran pertama kamu olahraga kan?" Ilham mengangguk sopan.
"Iya udah ayo, tunggu apa lagi. biar nanti pelajaran selanjutnya kalian bisa masuk" Kami bergegas mengikuti langkah Ustadz Alawi dari belakang.
"Ra, tolong bersihin rak buku yang di pojok situ ya. Ilham bantuin Rara pindahin buku-bukunya dulu, soalnya buku disana cukup berat dan banyak" Aku dan Ilham berjalan kearah rak buku yang ditunjuk ustadz.
"Dela, Nisa kesini" dan akhirnya kami mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Aku mulai membersihkan debu yang menempel di buku dan rak. Hening tak ada obrolan, biasanya aku paling nggak bisa diam kalau pembersihan seperti ini, tapi gimana mau ngobrol orang di samping aku sekarang seorang santriwan. Aku sendiri nggak perna ngobrol sama makhluk jenis mereka kecuali sama Malik.
Aku memejamkan mata cukup lama, mengingat malik menjadikan fikiranku kembali terasa berat, masalahnya mimpi-mimpi yang aku alami tentang dia begitu terasa nyata.
"Kelilipan debu?" Aku tersadar dan segera membuka mata lalu menggeleng, aku lupa bahwa aku tidak sendiri. Ilham kembali melanjutkan aktivitasnya, dia berjalan cukup jauh dariku untuk mengambil buku-buku yang tentu tempatnya terlalu tinggi jika dibandingkan dengan tinggi aku. Nasip tinggi pas-pasan.
Tak sengaja ekor mataku menangkap sosok Makhluk aneh yang kini mulai menjalar memeluk kaki Ilham, aku melihat Ilham sedikit memijit kakinya, apakah itu sakit? Aku nggak boleh diam, aku harus melepaskan lilitan makhluk itu dari kaki Ilham, tapi gimana caranya? Jika aku langsung memegangnya hal itu akan mendatangkan kecurigaan dari Ilham dan tentunya orang-orang yang berada disni.
Aku melihat sebuah sapu yang tergeletak tak jauh dariku, Kayaknya aku punya ide. Aku segera menyambar sapu tersebut lalu memukulkannya pada kaki Ilham, yang membuat Ilham seketika terkejut.
"Ada apa Ra?" Nisa sama Dela menghampiri ku.
"Teman kalian ini gila ya?!" Ilham akhirnya angkat bicara. Gila? masih untung aku tolongin kalau nggak sudah habis kakinya berdarah, lihat saja satu tusukan dari makhluk itu mampu membuat kakinya berdarah seperti itu, apalagi sampai aku biarin.
"Astaga Ilham, kaki kamu berdarah " Kini gantian Dela yang panik, mereka berdua memandangku tak percaya, aku yakin Dela sama Nisa pasti berfikir aku yag membuat kaki Ilham berdarah.
"I-itu tadi ada...ada kecoa, makanya aku langsung pukul, sorry ya"
"Tapi ini berdarah loh Ra"
"Udah-udah nggak pa-pa" Ilham mencoba melerai, aku menatap darah yang keluar dari kaki Ilham, Makhluk sialan sekarang aku yang kena batunya, dianya malah ngilang.
"Kalian terusin aja kerjaannya" Dela sama Nisa kembali ketempatnya tadi.
"Ma-af" lirihku namun masih bisa membuat Ilham menoleh, aku menunduk karena dia tidak berhenti menatapku. Aku benar-benar minta maaf meski tak sepenuhnya apa yang akulakuin itu salah.
"Aw!!" Aku meringis kesakitan ketika sebuah kemoceng mendarat di kepalaku.
"Maaf"
Kata kedua untuk dia "pendendam" niat aku kan baik tadi tapi kenapa malah dia balas memukul. Aku berjongkok memungut kemoceng yang tadi dia pakai, Seketika aku terdiam kemudian memandang dia sejenak. Apa dia juga bisa melihat makhluk itu? aku yakin dia melempar kemoceng ini karena melihat makhluk itu ingin menerkam kepalaku.
Ilham ikut berjongkok cukup dekat, membuatku hilang kefokusan.
"Kamu Rara kan?" Pakai acara nanya lagi, aku yakin dia sudah dengar beberapa kali Ustadz Alawi memanggil namaku.
" Anaknya pak Fiqri" Dari mana dia tau nama almarhum ayahku?
"Ka-kamu siapa?"
"Aku.. Ilham, Suami kamu" Suami? Orang ini edan atau gimana sih, selera humornya gini amat kalau mau ngelawak. Mana bisa aku punya suami, kayak dia lagi. Nikah aja belum, benar-benar setres.
"ngehalu mas" Aku tertawa lalu bangkit dari posisiku yang tadi. Bisa-bisanya dia mengaku jadi suami aku. Rumah sakit jiwa nerima manusia model dia nggak ya?.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments