"Malik!" Ilham bergumam lirih namun masih mampu aku dengar. Ucapannya tadi mematahkan semua tameng yang aku buat, apa yang aku lihat bukan halusinasi, Aku semakin menangis histeris, jadi bangkai yang selama ini aku sangka hewan ternyata adalah jasad Malik.
Ilham segera turun melihat aku yang semakin histeris, aku masih tidak percaya. Jadi ini jawaban dari semua mimpi-mimpi itu, semua kejanggalan yang aku dapati. Berarti Malik yang selama ini aku temui hanya halusinasi. Aku merasakan sakit, perih, membayangkan kalau ini benar-benar nyata.
Aku kehilangan sebelum aku dapat memiliki, dari awal memang aku tak pernah terlalu berharap. Namun kehilangan seperti ini lebih menyiksa dari pada kehilangan dia ditikung orang lain. Lebih baik melihat dia dipelukan orang lain dari pada harus menerima kenyataan dia pergi untuk selama-lamanya.
Sekarang aku bisa apa? Maliknya aku, dia telah pergi membawa harapan yang telah lama aku genggam.
"Ham, itu bukan Malik, iya kan? kita cuma berhalusinasi. Itu cuma bangkai hewan yang..."
"Udah Ra! Kamu nggak boleh gini" Ilham mencoba menenangkan aku, Aku menumpahkan tangisku, rasa sedih ini benar-benar menyesakkan. Aku benar-benar kalut, Rasa sakit kehilangan itu kembali aku rasakan, dulu ayah, bunda, dan sekarang Malik. Kenapa orang-orang yang aku sayang harus pergi, apa salah aku, apa aku tak berhak untuk bahagia?
"Kamu balik ke asrama ya" Aku menggeleng keras, mana mungkin aku pulang setelah melihat dan mengetahui fakta yang sama sekali tak aku inginkan.
"A-aku nggak mau!" Aku bangkit hendak menaiki tangga itu lagi, namun Ilham segera menghalangi.
"Istighfar Ra! Tenang!" Aku kembali tersungkur, menangis pilu dalam diam.
"Bagaimana aku mau tenang Ham! Melihat orang yang aku sayang kehilangan nyawa mengenaskan seperti ini!" Ilham terdiam, dia terlihat menunduk.
"Percuma aku ngomong sama kamu! karena kamu nggak pernah ngerasain , bagaiamana rasanya di tinggal sama orang-orang yang kamu sayang!" Ilham mendekat meski dalam gelap aku mampu melihat tatapan tajam dari mata hitamnya.
"Aku mungkin nggak ngerasain apa yg kamu rasain, tapi setidaknya tolong tenang, jangan bertindak gegabah. Aku mohon percaya sama aku, aku akan urus jasad malik sebaik mungkin. Tapi aku mohon kamu balik ke asrama" Aku tau menangis tidak akan menyelesikan semua ini, menangis tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang. Namun siapa yang bisa tahan melihat ini semua, Ilham benar aku harus tenang, ini bukan tentang bagaimana perasaan aku saja, masih banyak yang akan terluka mengetahui ini semua. Aku harus kuat, aku harus tegar. Bukankan aku sudah merasakan kehilangan semacam ini?
"Mencintai kehilangan adalah salah satu cara agar kita bisa mengikhlaskan, aku tau ini berat buat kamu, buat kita. Tapi bukan seperti ini yang Malik inginkan" Aku tergugu, diam membisu dalam pilu.
"Pulang ya, masalah Malik biar aku yang urus, berdo'a saja biar semua kejanggalan ini bisa terungkap secepatnya, Tapi cukup hanya kita berdua yang tau apa yang sebenarnya menimpa Malik" Aku mendongak. Di balik mata sembabku aku mampu melihat kesungguhan dari sorot mata Ilham.
Aku berusaha bangkit, tersenyum getir meski Ilham tidak bisa melihat itu. Ku tatap sekali lagi tong air yang ternyata membawa luka dalam di hatiku. Aku berjanji dalam hati akan menemukan orang yang telah dengan tega membuat Malik seperti ini.
"Kita lewat gerbang selatan, aku punya kuncinya" Aku mengangguk melangkahkan kaki di belakang Ilham meninggalkan maqam dan tentunya meninggalkan Malik yang masih mengapung di dalam tong air tersebut, mengenaskan.
Ilham menutup kembali gerbang tersebut, memberi sekat antara aku dan dia. Ilham menatapku sendu, karena sepanjang perjalanan aku hanya diam, menunduk, tak ada ocehan yang membuatnya harus menutup kupingnya lagi.
"Ham" Panggilku lirih dalam gelap, entah dia sudah berbalik badan atau belum, karena senter yang menjadi penerang tadi ia matikan. Tapi aku tau dia masih berdiri di tempatnya tadi karena tak ada suara langkah kaki yang ku dengar.
Tak ada sahutan, aku memutuskan meneruskan ucapanku.
"Bantu aku... bantu aku mengungkap semua ini. Aku mohon, demi Malik" Hening tak ada sahutan.
" Demi... kita, dan semuanya" Aku ragu, entah apa yang mendasari aku meminta hal sebodoh ini. Namun dalam hati aku sungguh yakin Ilham bisa membantu aku, aku tidak akan sanggup sendiri. Meminta orang lain selain dia? Aku ragu, karena mungkin tak ada yang akan percaya dengan apa yang aku alami sekarang.
"Aku janji, Demi Kita" Aku mendengar derap langkah menjauh dariku, menaiki maqam dengan cepat.
Sekarang apa yang harus aku lakukan? Gelapnya malam menyamarkan tangisku yang kembali berderai, Isak yang ku tahan sungguh menyakiti hati. Aku berusaha menerima namun belum ikhlas melepas.
Aku belum beranjak dari depan gerbang, setelah beberapa menit Ilham pergi, lampu menyala kembali. Aku mendongak melihat ke arah tong air yang hanya terlihat ujungnya saja. Disana, di atas itu, aku baru saja mendapatkan luka hebat. Luka yang begitu mematahkan semangat, luka yang memberikan rasa sakit yang begitu dahsyat.
Mencintai kehilangan adalah salah satu cara agar kita mengikhlaskan
Kata-kata Ilham kembali terngiang, Sungguh aku berusaha, bahkan semenjak kematian ayah dan bundaku, aku sudah berusaha. Tawa adalah salah satu caraku mencintai kehilangan, berpura-pura bahagia salah satu caraku melupakan kesedihan. Namun merasakan kehilangan untuk yang ke dua kali membuat pertahanan yang selama ini aku susun rapi, remuk, menyisakan puing-puing duka yang membuat ingatanku kembali ke masa, diamana luka lama itu tercipta.
Dengan hati yang masih pilu, dengan fikiran yang masih kalut, aku berjalan pelan membelah jalan setapak yang menghubungkan dua kolam di depan asrama santriwati.
Tanpa ku sadari kakiku telah berada di depan pintu kamar, aku tak ingin semua orang tau, aku segera menghapus jejak air mata yang anehnya terus saja mengalir.
Aku mendorong pintu yang ku biarkan tidak terkunci ketika aku pergi tadi. Semua masih sama seperti pertama kali aku tinggalkan. Mereka masih terlelap damai, andai mereka ada di posisiku sekarang, apakah mereka masih bisa tertidur pulas seperti ini?
"Kenapa pertemuan kita sesingkat ini? aku bahkan belum berhenti memintamu dalam do'a ku" Aku duduk termangu di tempat tidur, ingin rasanya aku memejamkan mata, terlelap dan melupakan kejadian yang baru saja aku alami. Namun semakin aku berusaha, bayangan kejadian tadi semakin terekam jelas. Ingin rasanya aku kembali ke maqam, namun hati kecilku mengatakan jangan. Dan di sinilah aku sekarang, hanya mampu menumpahkan tangis pilu. Maafkan aku tuhan, aku belum mampu untuk Ikhlas dan menerima ini semua.
Ingatanku kembali menerawang dimana aku pertama kali bertemu dan mengenal seorang Malik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments