Kini aku sudah berada di depan kelas, lebih baik aku menunggu Ilham keluar baru aku masuk, jika tidak maka satu kelas akan heboh dan tentunya akan menjadi bahan gosip di asrama nanti.
Dugaanku ternyata benar, suara riuh terdengar jelas dari dalam kelas sampai luar dari dalam kelasku, alasannya sudah jelas karena Ilham tiba-tiba masuk tanpa permisi. Aku tidak bisa membayangkan jika aku masuk bersamaan sama dia, bisa viral sampai tranding satu nanti di youtube
Aku menunduk pura-pura tidak melihat Ilham yang sudah keluar dari kelas. Ingin rasanya aku mengucapkan terima kasih, tapi egoku mengalahkan niat baik itu.
Ilham berhenti tepat di sampingku, sebelum hal-hal aneh dia ucapkan lagi, lebih baik aku menghindar.
Tapi tangan kirinya mendarat cukup keras di atas tumpukan paket yang aku bawa, membuat aku cukup terkejut. aku menunduk tapi mencoba melirik lewat ekor mataku, Ilham hanya mematung memandang lurus ke arah ku. Sampai akhirnya dia mengucapkan kata yang membuatku benar-benar menegang.
"Aku serius dengan ucapanku tadi pagi. Aku tidak ingin main-main dengan hal serius seperti ini" Tentu aku sangat ingat kalimat itu, kalimat yang aku anggap hanya lelucon belaka.
" Rabbania Zaikalina, kamu benar-benar istriku"
Deg
Aku tau Ilham masih memandangku, dia pasti menangkap keterkejutanku kali ini, karena jarak dia dengan ku cukup dekat.
Mataku tak sengaja melihat cincin berwarna perak yang tersemat di jari manis Ilham ketika tangan kirinya ia turunkan dari atas buku.
Ilham melangkah pergi meninggalkan aku yang masih mematung, dia mungkin peka kalau aku masih belum percaya, lagian siapa juga yang akan percaya dengan apa yang dia ucapkan, kenal dia aja baru di sini, bahkan akad nikah aja belum pernah tiba-tiba dia datang dan bilang kalau dia suami aku, gimana nggak aneh.
Dari pada memikirkan sesuatu yang nggak jelas lebih baik aku segera masuk kelas, tangan ku sudah mulai keram karena buku paket yang dari dadi aku bawa.
"Loh Ra, kok kamu juga bawa paket?" Pertanyaan pertama yang aku dapati dari Iqlima setelah aku masuk.
"Jangan-jangan... tadi kamu bareng Ilham ya?!" Sekarang Nisa yang nyeletuk.
"Wah parah kamu Ra, main nikung aja!" Aduh ini lagi si Fitri, aku nikung siapa juga.
"Apa sih kalian, aku baru datang juga! ini kebetulan ketemu bu Ana tadi, makanya aku bantuin" Aku nggak berbohong, emang benar, kan, tadi aku ketemu bu Ana makanya disuruh ikut ke kantor, hanya saja aku nggak ceritain aku tadi kesini sama Ilham.
Aku membagikan semua buku paket kepada teman-teman yang belum kebagian, Sebenarnya ini tugas Himmi sebagai ketua kelas, tapi Himminya nggak masuk , dari pada kelamaan mumpung bukunya sudah aku pegang, ya langsung aku bagiin aja.
Setelah selesai, aku kembali ke tempat duduk dengan membawa satu buku paket yang tersisa.
Aku teringat dengan cincin yang tadi di pakai Ilham saat tangan ku memainkan cincin yang ada di jari manisku.
Warnanya sama, tapi nggak mungkin, ini hanyalah sebuah kebetulan saja. Cincin yang berwarna perak kan banyak, bahkan memang warna cincin itu dominan perak sama emas, jadi aku nggak perlu khawatir. Cincin yang aku pakai sekarang juga adalah pemberian ayah tiga tahun lalu sebelum kecelakaan aneh itu terjadi.
"Maaf permisi" Kelas kembali riuh dengan bisik-bisikan yang bermacam-macam. Aku menoleh ke arah suara yang ku dengar tadi. Aku melihat Ilham sudah ada di depan pintu tepat di depan mejaku juga.
"Ngapain lagi dia kesini?" batinku bertanya, aku melirik ke arah teman-temanku yang tersenyum malu-malu ketika menatap Ilham.
"Ini buku kamu? tadi aku nggak sengaja nemuin di depan ruang tahfidz" Aku menunduk, merutuki kecerobohan ku, bisa-bisanya aku lupa sama bukuku sendiri.
Tiba-tiba hening, aku yakin semua mata sekarang menatapku. kenapa Ilham harus repot-repot nganter ke sini, udah tau omongan santri pada pedes semua ngalahin sambal merecon level 100.
"Terima kasih, Iya sudah balik sana! Ngapain masih di sini!? Ini kan sekolah putri"
"Nggak tau terima kasih banget sih Ra! undah Ilham baik mau capek-capek anterin buku kamu!" Suara Heni Mengoceh di belakang. Apakah dia nggak dengar aku sudah bilang terima kasih tadi.
"Iya Ra" Kini aku menatap nggak percaya dengan siapa yang berbicara, untuk pertama kalinya Iqlima menyalahkan ku, aku hanya menyuruh Ilham pergi dari sini, karena tempatnya sekarang bukan tempat dia, apa ada yang salah?
"Ma aku tadi..."
"Nggak apa-apa, Rara tadi sudah berterima kasih, jadi kalian jangan menyalahkan dia" Ilham balik badan, pergi meninggalkan kelas ku.
"Kayaknya Ilham suka sama kamu Ra" Dela nyeletuk di belakangku dengan suara lirih.
"Rara cuma sukanya sama Malik Del, udah cinta mati. Iya kan Ra?" Aku menatap Iqlima bingung, ada apa dengan dia. Tumben-tumbenan ikut bahas ginian. pakai ngasih tau kalau aku beneran suka sama Malik, yang teman-teman lain tau itu hanya gurauan, dan cuma dia yang aku kasih tau kalau aku beneran suka.
"Serius Ma?! " Fitri mulai heboh. Dela yang merasa dirinya memulai semua ini, segera melerai dan mengakhiri, mungkin dia tau kalau aku mulai nggak nyaman.
"Udah-udah, mendingan baca tuh buku" Fitri manyun namun menurut. Aku menatap Iqlima kecewa namun dia terlihat biasa saja tidak merasa bersalah. Mungkin aku saja yang terlalu baperan, Iqlima tadi niatnya hanya bergurau. Aku berusaha berfikir positif, tidak mau berperasangka buruk kepada Iqlima.
"Ra, Ilham baik ya. Idaman banget" bisik Iqlima tiba-tiba.
"Aku nggak salah dengar Ma?" Aku berusaha memperjelas, mungkin saja telingaku sedang perlu berobat.
"Jangan suka sama Ilham ya, cukup Malik saja" Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang Iqlima ucapkan, aku berniat untuk memperjelas namun bu Ana keburu masuk ke dalam kelas. Kayaknya ada sesuatu yang dia sembunyikan.
👽👽👽
"Kak Rara beneran di samperin sama kak Ilham tadi di sekolah?" Aku menoleh menatap heran kepada santriwati yang sekarang tengah duduk sebaris dengan ku, bukannya zikir ngikutin imam dia malah bicara yang nggak-nggak. Aku menaruh telunjuk di depan bibir mengisyaratkan dia untuk diam, entahlah siapa namanya aku lupa, terlalu banyak adik santri yang belum aku kenal.
"kak titip salam ya sama kk Ilham, aku suka banget lihat dia"
Ya Allah, ni anak bisa diam nggak, aku menatapnya tidak suka, mengisyaratkannya untuk diam.
"kak Rara cemburu ya? apa kak Rara suka sama kak Ilham?" Ini lagi dapat gosip dari mana, Ya Allah gini amat ya nyuruh orang cerewet diam, mungkin gini rasanya Ustadzah ketika menasehati aku. Jika ini karma aku nggak akan cerwet lagi.
"Kak Rara, kenapa diam?"
"Adik manis, yang cantik jelita, yang cerewetnya mengalahkan aku. kalau lagi zikir sama do'a itu nggak boleh ngomong ya, supaya bisa khusyuk. Kalau minta sama Allah aja nggak serius masih di selangi bicara nggak berfaidah kayak gini, gimana mau di kabulin. Diam ya" Aku berusaha selembut mungkin.
"Kalau do'a, minta sama Allah biar dijodohin sama kak Ilham, dikabulin nggak kak?"
Ini anak kelas berapa sih? aku memperhatikannya sekilas, gigi masih belum bersih di sikat aja udah ngomongin jodoh, anak zaman old sama now emang beda. Aku seumur dia mana tau jodoh-jodoh, kebayang sama lawan jenis saja kagak.
"Kak Ra!"
"Tanya sama malaikat Izrail dek!" Kesabaranku mulai encer.
"Kok malaikat Izrail? emangnya bisa ya kak?" Yang kayak gini aja harus di jelasin, udah ngomongin jodoh. Tenggelamkan aku ya Allah.
"Iya biar kamu tau, kapan kamu mati. Jadi ibadahnya makin khusyuk, nggak ganggu kayak gini!" Semoga dia mengerti, aku hanya ingin tenang sejenak, setidaknya dengan ibadah, zikir, wirid aku lupa beban hidup ini.
"Iih kak Rara serem, cuma nanya aja kak. kok ngegas!" Tenggelamin orang kayak gini dosa nggak sih?
"Allahummasholli'alaa Muhammad..."
Aku menatapnya jengkel, tuh kan, orang sudah selesai berdo'a , udah baca sholawat lagi dan aku belum berdo'a. Waktu maghribku terlewatkan tanpa mengamini do'a ustadz Alawi yang sekarang menjadi imam di depan.
Iqlima tumben lagi, nggak sholat jama'ah di dekat aku, biasanya kalau ada yang ribut-ribut kayak anak yang tadi pasti sudah di kasih ultimatum sama dia.
Kini semua santri telah berdiri, bubar mencari sandalnya masing-masing kemudian masuk ke kelas untuk mulai mengaji. kami memang sholat satu tempat dengan santriwan, tapi kayak beda tempat soalnya ada dinding yang setinggi tembok rumah yang menghalangi, jadinya hanya bisa dengar suara ribut mereka ketika mencari sandal, Tapi kaki mereka yang ribut bukan mulutnya kayak yang santriwati lakuin sekarang, aku seriusan nanya kenapa perempuan itu sedikit-dikit ribut. Aku yang jadi perempuan saja masih bingung dengan yang satu ini.
Aku mencoba mencari satu persatu teman-teman ku. Aneh, pada kemana sih, satupun nggak ada yang terlihat batang hidungnya, apa mereka sudah jalan duluan ke kelas.
"Ra" Himmi, apa dia sudah sembuh sampai datang mengaji sekarang. Aku menghampirinya, dia terlihat begitu lemas.
"Kenapa kamu kesini Him.. maksud aku, kamu kayaknya masih sakit" Seburuk-buruk perlakuan Himmi kepadaku dia tetap temanku, apa yang dia lakukan sama aku itu juga karena ulah aku, kecuali akhir-akhir ini.
"Aku takut di kamar sendiri Ra, ada banyak hal aneh yang aku alami semenjak kamu tenggelam itu" Ternyata bukan aku saja yang merasakannya, tapi hal aneh apa yang Himmi rasakan? apa dia bisa melihat mereka juga?
"Iya udah, lebih baik kita masuk kelas dulu" Aku menggandeng tangan Himmi yang terasa lemah menuju kelas, namun sebelumnya aku begitu teliti meperhatikan gerak geriknya, takutnya di depanku ini bukan Himmi yang sebenarnya, dengan tanda kutip ada makhluk lain yang meminjam tubuhnya.
Sampai di kelas, dugaan ku benar. Ternyata teman-temanku sudah berada di dalam.
"Aku cari-cari kalian tadi di majelis, ternyata sudah nagkring di sini aja kalian" Aku melepas gandengan tanganku dari Himmi, kemudian meninggalkannya menghampiri teman-temanku setelah sebelumnya membantu dia duduk.
"Tumben akur?" Celetuk Dela, aku memberi isyarat agar Dela diam, aku tau Himmi pasti mendengarnya.
"Kita kira, kamu sudah ke kelas duluan Ra, serius. Soalnya tadi kayak kamu yang masuk paling dulu ke kelas ini.
Aku? Gimana bisa. Atau mungkin makhluk lain, aku segera mengedarkan pandangan mencari keberadaan nya, tapi tidak ada apapun yang aku lihat. Aku yakin di tempat seperti ini pasti ada penunggunya. Aku mencoba mengingat-ingat, apa yang aku lakukan ketika bisa melihat mereka.
"Kontrol rasa takut kamu.."
Aku teringat perkataan wanita itu, aku mencoba memikirkan hal-hal yang bisa membuatku takut. Setelah beberapa detik, aku mulai mendengar hal-hal aneh. Aku mencoba membuka mata, dan kali ini aku takut benaran, apa yang aku lihat sekarang di luar perkiraanku.
"Ra, kamu kenapa?" Aku melihat Iqlima yang terlihat khawatir. Aku pandangi satu per satu teman-teman ku, rasanya aku ingin muntah melihat makhluk-makhluk yang sekarang berada di dekat mereka, bau darah bercampur nanah, bau bangkai dan yang paling menyengat adalah bau melati.
Napasku sudah mulai tidak beraturan, jadi kisah yang dari turun temurun di ceritakan yang melekat sekali di pondok ini benar-benar ada. Wangi bunga melati ini menandakan bahwa makhluk itu benar-benar ada, dan sekarang berada di ruangan ini.
Aku mencoba mengedarkan pandangan, melihat satu persatu makhluk mengerikan yang sekarang ada di antara kami, di antara mereka pasti ada yang mengeluarkan wangi melati ini.
"Ra Istighfar,Ra!" Aku membuka mata. Kini bukan hanya teman-temanku yang mengerumuniku tapi aku lihat Ustadz Alawi juga sudah berada di dalam kelas.
Rasa takutku sudah mulai berkurang, dan perlahan-lahan makhluk-makhluk itu mulai menghilang, kecuali wangi melati itu tetap ku rasakan.
"Kamu kenapa Ra!" Ustadz Alawi mulai mengintrogasi ku. Aku menggeleng mencoba tersenyum, keringat yang membasahiku memberitahukan bahwa aku tidak baik-baik saja.
"Rara Nggak apa-apa Ustadz" Teman-teman kelasku mulai kembali ke tempat duduknya masing-masing.
Aku menoleh ke arah Himmi, syukur dia masih baik-baik saja. Aku merobek kertas menulis sesuatu kemudian melemparkannyake arah Himmi.
Jangan takut, jangan kosongkan fikiran, tetap tenang ya Him.
Himmi menoleh dan mengangguk tersenyum ke arah ku. Ustadz Alawi mulai mebuka pengajian. Aku berusaha setenang mungkin, kelas ini begitu mengerikan. Andai mereka tau apa mereka masih mau duduk santai khusyuk seperti ini.
Sekitar dua jam berlalu, sesi pertanyaan bebas akhirnya Ustadz buka, hal ini lah yang paling kami suka dan tunggu-tunggu. Ustadz Alawi begitu memahami kami, segala permasalahan akan kami dapati jawabannya di sini, curhat sekalipun pasti akan beliau dengar.
Aku mengangkat tangan ketika Ustadz mempersilahkan kami bertanya.
"Silahkan Ra, apa yang kamu ingin tanyakan?" Aku sedikit ragu, tapi jujur sudah semingguan ini fikiranku tidak tenang karena memikirkan hal ini.
"Eee.. gini Ustadz, Apakah Jin, setan itu benar-benar ada? dan apakah kita bisa melihat merek?" Ustadz Alawi tersnyum.
" Dalam kita majmu'ul Al-fatwa Ibnu Taimiyah berkata, tak seorangpun dari golongan muslimin yang mengingkari adanya jin, tidak mengingkari juga bahwa Allah telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada mereka. Mayoritas kelompok kafir juga memastikan bahwa jin itu benar adanya, bahkan ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani mengakui adanya jin seperti yang diakui oleh kaum muslimin, meskipun ada di antara mereka yang ingkar. Begitupun orang- orang Islam juga, ada yang masih belum percaya bahwa jin itu ada" Aku mendengarkn dengan khusyuk begitupun yang lain.
" Dalam Qur'an surat Al Baqarah ayat satu dan dua di jelaskan, Kitab Al Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan sholat dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka" Ustadz Alawi terdiam sejenak, memandang kami satu persatu kemudian kembali menjelaskan.
"Salah satu yang ghaib yang harus kita yakini adalah mereka, para jin. Kasihan kan kalau mereka ada tapi di abaikan, bisa nangis bombai mereka." Aku tersenyum, benar juga apa kata Ustadz.
"Salah satu bukti adanya jin, adalah adanya surah jin di dalam Al-Qur'an. Dr. Muhammad al-Bahi dalam menafsirkan surah al-jin, berpendapat bahwa yang di maksud jin di sini adalah malaikat, jadi menurutnya jin dan malaikat merupakan satu alam dan tidak ada perbedaan, salah satu dalil yang ia gunakan adalah bahwa para malaikat itu tidak terlihat oleh manusia. hanya saja Dr. Muhammad al-Bahi ini mengelompokkan ke dalam golongan jin, setiap makhluk yang tidak tampak di alam manusia, dalam keimanan dan kekufuran, dalam kebaikkan dan keburukan. Sedangkan malaikat tugasnya hanya beribadah ke pada Allah SWT"
"Ustadz, jin itu banyak atau nggak?" Fitri terdengar mulai penasaran.
" Dalam Hadist riwayat Thabrani, Hakim dan Baihaqi, disana Rasulallah SAW bersabda, jin itu ada tiga kelompok, satu kelompok terbang di udara, satu kelompok berupa ular dan anjing, satu kelompok lagi singgah dan berkelana"
"Kapan jin diciptakan Ustadz?"
" Dalam Al-Qur'an surah al-Hijr ayat 26 sampai 27, di sana Allah berfirman, dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. dan kami telah menciptakan jin sebelumnya dari api yang sangat panas. Jadi sudah jelas jin di ciptakan sebelum manusia pertama di ciptakan yaitu nabi adam As. Bahkan ada beberapa pendapat ulama yang meriwayatkan bahwa jin itu di ciptakan dua ribu tahun lebih dahulu sebelum manusia, akan tetapi pendapat ini tidak ada dali dalam al-Qur'an maupun Hadist. Salah satu perbedaan jin dan malaikat juga terdapat pada asal penciptaannya"
"Untuk pertanyaan Rara tadi ustadz, apakah ada yang bisa melihat jin?" Iqlima angkat suara.
"Sebenarnya sudah banyak orang yang bisa melihat jin, tetapi kebanyakan mereka tidak sadar kalau yang mereka lihat itu adalah jin. Bahkan banyak dari mereka yang meyakini yang dilihatnya adalah arwah, bahkan ada yang mengira jin yang dilihatnya itu adalah alien"
Berarti apa yang aku lihat selama ini memang nyata, bukan halusinasi.
"Bagaimana Ra, sudah faham?"
"Alhamdulillah faham Ustadz, tapi Uatdz.. Apa jin bisa..."
Brakk!!!
Terdengar teriakan histeris dari semua yang ada di dalam kelas, kecuali Ustadz tentunya.
"Bunyi apa itu?" Terdengar pertanyaan dari teman-teman.
Entah kenapa aku langsung terfikir ke arah Himmi. Aku menoleh mencari keberadaan Himmi, aku langsung bangkit tanpa memperdulikan Ustadz yang masih duduk di depan.
"Himmi mana?" Aku melemparkan tatapan pertanyaan kepada semua teman-teman ku.
"Iya Himmi mana? "
"Tadi, dia pindah duduk ke belakang"
"Hihihihi!!!!!" Kami semua refleks mendongak ke atas mendengar suara tawa itu.
"Himmi!" Aku melihat teman-teman yang lain pada berhamburan keluar, ketik melihat tubuh Himmi sudah menempel di langit-langit kelas, bola matanya berubah putih, aku semakin mencium wangi melati yang begitu menyengat.
"Rara, kamu juga keluar" Ustadz Alawi memperingati, aku melihat ke arah luar, teman-teman yang lain meneriaki namaku untuk segera keluar, bahkan Iqlima terlihat menangis. Ustadz terlihat menelpon seseorang.
"Maaf Ustadz, tapi kayaknya dia memang menginginkan Rara di sini"
"Hahahaha!!!!!Kamu memang harus mati!"
"Rara! Awas!"
Brakk!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments