...Bibir ini tak mampu, hanya sekedar untuk menyapa...
...Bukan karena akutak suka, hanya saja aku memang tidak terbiasa...
...👽👽...
...*...
...*...
...*...
...Jangan lupa...
...⭐VOTE⭐...
...dan...
...💬KOMEN💬...
Plak!
Aku meringis menahan sakit, ingin rasanya aku mematahkan kayu yang tidak pernah belajar akhlak itu. Ku usap lembut telapak tanganku yang kini sudah memerah gara-gara pukulan yang diberikan ustadz Syarif.
"Kalian itu sudah kelas tiga! seharusnya ngasih contoh yang baik buat adik-adiknya!" Suara tegas Ustadz kembali diselangi dengan bunyi kayu yang tepat mengenai tangan temanku di samping.
Aku meliriknya sejenak, dia terlihat sama seperti ku, menahan sakit akibat kayu yang dari tadi ingin aku lenyapkan.
"Butuh berapa iqob lagi, biar kalian sadar?" Pertanyaan yang lebih terdengar curhatan frustasi itu membuat tawaku rasanya ingin menerobos keluar. Aku memang anaknya pecicilan, biarpun sudah lama mondok sifat pecicilan ku belum juga ada perubahan, malah makin merajalela ketika aku mulai naik ke kelas tiga.
"Ustadz, biar tidak capek. Lebih baik hukumannya dibatalkan saja. Kasihan Ustadz." Aku mencoba memberi sedikit solusi. Kurang baik apa aku, coba?
Ustadz tidak menggubris, beliau malah semakin menata sangar ke arahku. Rasanya sebentar lagi aku akan ditelan bulat-bulat.
"Kenapa kalian harus bikin masalah itu keroyokan? giliran, kek, caranya, biar ada bedanya. Makin botak rambut saya gara-gara hadapin kalian terus!"
Aku dan yang lain saling memandang satu sama lain, melongo. Kembali ku eratkan bibirku untuk tidak terbuka. Jika Lepas maka tawa ku yang cempreng itu pasti akan memenuhi ruangan tempat kami saat ini.
"Sudah Rara bilang, Ustadz--"
"Diam, Ra!"
Ustadz memijit keningnya prustasi. Aku tundukkan kembali pandangaku sembari ku katupkan erat kedua bibirku ketika tatapan Ustadz mulai meneror kembali.
Apakah aku salah memberi solusi?
"Untuk kali ini saya kasih keringanan, sebagai hukumannya tulis istighfar 1000 kali, kumpulkan nanti sore setelah solat asar. Sekarang kalian boleh pergi!" Aku melongo sejenak, ini sih bukan dikasih keringanan. Menulis istigfar 1000 kali adalah hal yang biasa buat kami, terlebih aku yang notabennya langganan hukuman, tapi dalam waktu setengah hari? dengan kondisi hari ini jadwal kegiatan begitu padat. Buju buneng, niat banget ustadz pengen nyiksa.
"Rara! kenapa masih di sini! apa hukumannya belum cukup?" suara ustadz menyadarkan aku. Aku melirik sekeliling, ya Allah tega benar, dah mereka, meninggalkan aku sendiri di hadapan Ustadz. Dasar teman-teman pada durhaka.
Aku memasang senyum andalan ku, menunduk sejenak memberi hormat kepada Ustadz lalu kabur dari hadapan beliau. Ingat saja, aku tidak akan mengampuni mereka. Tunggu pembalasanku, awas aja nggak akan aku kasih mereka contekan.
👽
"Wah! bener-bener parah kalian ya! Ninggalin aku sendiri kayak kambing congek di depan Ustadz." Suara cemprengku langsung saja menggema sampai ke pojok kamar . Oh, ya, tadi aku mendapat hukuman bukan cuma sendiri tapi berlima. mereka semua teman satu kamar aku di asrama, parah, kan, kompaknya kagak benar. Eh tapi aslinya kami semua baik kok, pintar-pintar lagi.
" Lagian kamu sih, udah di suruh pergi masih aja adem ayem berdiri mandangin Ustadz." Dela menjawab santai. Apa, mandangin ? perasaan aku nggak pernah.
"Bengong terooos" suara dan sentilan Nisa di keningku menyadarkan aku.
"Ckckk, kamu mah kebiasaan suka nyentil, ingat Ca, azab teman suka nyentil itu, nanti jatah makanannya di habisin. " Ucapku sambil memegang keningku, kebiasaan dia yang terkadang membuat aku dan yang lain kesel suka nyentil tiba-tiba, kan, sakit kayak tadi, coba kalau mau nyentil kasih tau dulu biar siap-siap gitu.
"Hehe iya iya maaf, sebenarnya aku masih kesel, tadi itu bukan murni kita yang lakuin" Gerutu Nisa tak lupa dengan mulutnya yang selalu monyong kalau lagi kesal.
"Pengen aku jadiin dia lemper deh" suara Fitri sambil merapikan mukena yang tadi dia pakai.
Aku menarik napas lemah, lalu duduk menyender di tepian lemari.
"Maafin aku ya teman-teman, ini semua gara-gara aku" Kataku lirih. Iqlima yang dari tadi diam menghampiri aku, aku sudah tau pasti dia mau menenangkan perasaanku.
Ya, diantara kami berlima cuma dia yang kalem dan nggak banyak bicara tapi sekali bicara otak yang meleduk langsung padam.
"Udah Ra, jangan salahin diri sendiri. Niat kamu, kan, baik mau nolongin dia, tapi dia malah ngejebak kita, nggak apa-apa lagian hukuman kita juga bagus kan , di suruh istighfar banyak-banyak. Tenang orang jahat akan kena imbasnya sendiri, bisa aja nanti berangkat sekolah kakinya sebelah nyangkut di atas pohon " Dasar Iqlima, kata-kata bijaknya pasti ada nyelenehnya sedikit, aku tersenyum mengiyakan. Bersyukur banget punya teman-teman yang mesti rada gesrek semua, tapi pengertiannya Maa syaa Allah.
"Eh kalian mau di hukum lagi gara-gara telat sekolah ? Aku, sih ogah" Ujar Dela yang sudah siap dengan peralatan mandinya.
Aku melirik jam dinding yang kadang-kadang sama gesreknya dengan kami. Hela napas terdengar dari teman-teman termasuk aku . Dengan wajah prustasi kami pun bergegas pergi ke kamar mandi, karna sudah pasti bakalan nggak mandi lagi hari ini pergi sekolah.
👽
Aku berjalan setengah berlari menuju sekolah, emang dasar teman-teman durhaka. Mereka pada ninggalin pas lagi susah-susahnya, udah aku bawa buku banyak , ditambah kitab tafsir yang nggak ketulung beratnya, ini lagi tali sepatu pakai acara lepas segala.
Jarak asrama dengan area sekolah memang tidak terlalu jauh dan bahkan sebenarnya sekolah kami yang santriwati tepat berada di belakang asrama namun karna jalannya yang memutar arah membuat kami harus lebih sabar menempuhnya dengan berjalan kaki.
Oh ya satu lagi di pondok tempat aku menuntut ilmu ini tidak dikasih pergi sekolah memakai jenis tas apapun, semua peralatan sekolah harus di bawa dengan tangan, bawanya pun harus sejajar dengan dada. Jadinya beginilah aku pagi ini.
Aku pasrah, pasti hari ini kena hukuman lagi, tapi hukuman bukan dari ustadz ataupun ustadzah tapi dari osis.
Setelah selesai mengikat sepatu dengan benar aku tatap jalan yang kosong, suara MC upacara sudah terdengar. Sudah tak ada harapan lagi pikir ku.
"Aduh gawat!" pekik ku dan langsung bersembunyi saat dari kejauhan di balik gerbang biru terlihat santriwati berpakaian rapi siapa lagi kalau bukan anggota osis dengan perlahan berjalan ke arah tempat aku bersembunyi.
"Ayo otak bekerja dong,, berpikir,, berpikir" Batin ku sembari memandang tempat sekitar. Aku bertekad kali ini nggak akan kena hukum, satu hukuman tadi saja belum aku selesaiin, bagimana kalau nambah hukuman lagi. Aku tersenyum lebar lalu segera berlari ke arah yang berlawanan. Kenapa aku sampai lupa bahwa kantin adalah salah satu jalan penyelamatku.
"Pak, Rara mohon ya sekaliii aja" aku menatap pak Rahman dengan penuh harap.
"Bapak, sih, nggak apa-apa kalau mau lewat, tapi Neng di.."
"Ya Allah pak, makasih banyak, tenang nanti Rara bakalan sering jajan ke sini." Ucapku memotong perkataan pak Rahman saking senangnya.
Aku langsung membuka sepatu menentengnya melewati jajaran makanan yang mampu membuat perut ku langsung berbunyi, wajar karena tadi aku memang berangkat sekolah tanpa sarapan terlebih dahulu. Untuk makanan yang berjejer indah dihadapanku, kalian tenang, nanti selepas keluar main aku akan mengunjungi kalian kembali.
Belum lenyap senyum bahagiaku membayangkan makanan-makanan tersebut dengan lembut mengalir di tenggorokanku, jantungku dibuat olahraga kembali sepagi ini, dengan siapa yang aku lihat sekarang.
"Maaf Neng, bapak tadi mau bilang kalau di sana ada nak Malik yang jaga." Tanpa tersadar sepatu yang aku tenteng terlepas dari genggaman.
Malu? jangan tanya, karena sudah pasti. Aku menunduk tidak berani melihat orang yang sekarang berjarak sekitar 2 meter dari tempatku.
Kenapa aku benci hari senin, salah satunya karena ini, hari senin sering membuat jantung ku yang sehat olahraga berlebihan, apalagi kalau nggak sengaja bertemu dengan makhluk yang sekarang terlihat begitu manis meski lagi menahan emosi.
Di pondok ini memang sekolah antara santriwan dan santriwati terpisah namun ekstrakurikulernya masih digabung meski memiliki jarak yang lumaian jauh kalau lagi kumpul
"Malik!" Santriwan yang berdiri tegak di hadapanku menoleh karena namanya di panggil, ya aku kenal suara itu, itu suara Himmi santriwati yang tadi aku coba hindari biar nggak kena hukuman. Tapi sekarang udah ketiban duren malah nyium baunya lagi, apes banget, dah hari ini.
" Balik saja ke lapangan, di sini nggak ada siapa-siapa."
Aku nggak salah dengarkan, ingin rasanya aku cengakkan kepala menatap orang yang tadi mengucapkan kata itu, namun malu lebih menguasai diriku.
Akhirnya aku hanya bisa melirik ke arah Himmi yang jelas-jelas sudah melihatku sebelumnya, namun entah kenapa dia menuruti apa yang Malik ucapkan.
Lamunanku dibuyarkan oleh suara derap langkah yang semakin jauh terdengar. Aku memberanikan diri menatap punggung itu. Senyum di bibirku tak dapat lagi ku sembunyikan. Mungkin lagu dengan judul terpesona sangat mewakili perasaanku saat ini.
"Terima kasih." Lirihku pelan. Sampai akhirnya dia lenyap membawa sebagian harapan yang selalu aku langitkan.
Pagi ini aku bisa bernapas lega, setidaknya ini adalah senin ke tiga, aku tidak dihukum semenjak aku memijakkan kaki di kelas tiga. Sebuah rekor terbaru bagiku.
Otak cerdasku masih juga tidak menemukan alasan yang tepat atas apa yang di lakukan oleh Malik tadi. Aku tau tadi itu malik melakukan kesalahan karena telah berbohong pada Himmi, semoga kejadian tadi tidak menimbulkan keributan antara aku dengan Himmi.
Pasalnya Himmi begitu posesif jika menyangkut santriwan yang satu itu. Siapapun yang dia tahu berpapasan atau tidak sengaja bertemu dengan Malik, akan langsung diintrogasi olehnya.
"Baiklah anak-anak, kalau tidak ada pertanyaan ibu sudahi materi pada hari ini. Silahkan ketua kelas pimpin do'a " Aku tersadar dari hayalan yang dari jam pertama membuat nyawa ku gagal fokus pada pelajaran.
Dan sekarang pelajaran kedua pun telah selesai, perasaan baru beberapa menit pelajaran dimulai.
Aku menoleh ke arah papan yang kini warna putihnya sudah ternodai dengan tinta hitam sang spidol, mataku beralih ke buku tulis yang ada dihadapanku sekarang dan ternyata masih kosong melompong, putih suci belum ternodai.
Maafkan aku telah mengabaikanmu kertas putih, aku tak bermaksud, hanya saja kepalaku terlalu sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa penyebab Malik melakukan hal itu tadi terhadapku.
Aku memijit pelipisku beberapa kali mengembalikan kesadaran yang belum juga sempurna. Baiklah, ingatkan aku nanti kalau aku punya niatan menghapus hobi melamun yang merugikanku ini.
"Baiklah teman-teman untuk lebih barokahnya pelajaran kita pada pagi menjelang siang ini, mari sama-sama kita menutupnya dengan do'a kafaratul majlis"
"Bismillahirrahmanirrahim subhaanakallaumma wa bihamdika asy-hadu alla ilaha illa anta as-tagfiruka wa natubuilaik. Allahumma innii ishtaudi'uka maa 'allamtaniihi faardud'hu ilayna 'inda haajatina walaa tanshaniihi yaarobbal 'aalamiina" Suara kami serentak memenuhi ruang kelas sebelum kami keluar untuk istirahat.
"Ra, kamu nggak ikut apel tadi, ya?" tanya Dela sedikit berbisik.
Aku melirik ke arah Himmi yang tengah sibuk membereskan buku-bukunya.
"Ssttt!" Ku acungkan telunjukku meminta Dela untuk diam. Dia mengangguk mengerti.
"Nanti aku ceritain." Bisikku pelan, Dela mengangguk dan segera menarikku keluar dari kelas.
Kami berjalan pelan menuju asrama untuk sarapan, untuk anak pondok seperti kami sarapan pagi itu adalah hal yang langka, dari pada ribet dan kena hukuman kalau telat ke sekolah jadinya waktu sarapan, kami ulur ke jam 10, tepatnya ketika keluar main.
"Jadi Malik nyembunyiin kamu maksudnya?" Tanya Fitri masih penasaran, setelah aku cerita kepada mereka penyebab keselamatanku pagi ini dari hukuman.
"Ya bisa di bilang gitu" Jawabku ragu, karna sejujurnya aku sendiri masih penasaran.
"Cie-ciee yang akhirnya pucuk di cinta wulampun tiba." Memang teman-teman sengklek, mereka malah godain aku. Bukannya bantu aku untuk berpikir.
"Eh, ada santriwan di depan." Lirih Iqlima yang memang dari tadi fokus melihat jalan membuat langkah kami berhenti seketika.
"Anak kelas tiga" Ucap Nisa sembari tatapannya lurus mengarah ke mereka.
"Pasti di minta Abah buat bersihin sarang walet." Sambungnya lagi. Sepertinya benar, karena aku melihat mereka mulai menaiki tangga menuju sarang walet.
Kawasan asrama santriwati memang berada di dalam wilayah kediaman Abah dan keluarga beliau, jadinya wajar kalau banyak santriwati yang tau siapa saja yang abah sering dimintai tolong untuk membantu beliau.
"Eh, ada Malik juga ternyata" Seru Nisa lagi yang refleks membuat tatapanku mencari orang yang di maksud.
"Tapi boong!" Serunya lagi dengan tawanya yang langsung mengubah ekspresi wajahku.
Seketika sorak bulliyan terlontar dari mereka, ketika melihat ku kelagapan. Ya Allah teman-teman siapa, sih? Aku menunduk malu menyembunyikan rona merah yang kini bermuara di wajahku.
"Ada apa ini ribut-ribut!"
pertanyaan yang lebih tepatnya terdengar seperti seruan itu, seketika membungkam mulut kami. Kami sampai lupa kalau sekarang lagi berjalan melewati asrama para Ustadzah.
"Afwan ustadzah, kami keceplosan." Kata Dela mewakili. Ustadzah Salma hanya menggeleng, beliau sudah hafal bagaimana tabi'at masing-masing diantara kami, pasalnya beliau adalah ustadzah yang bertanggung jawab di kamar kami.
"Kami permisi dulu ustadzah, assalamu'alaikum." Kami pun bergegas mencari jalan pintas untuk segera sampai ke asrama dikarenakan jalan yang biasanya kami lewati kini banyak santriwan disana bersama dengan Abah.
Kami akhirnya mengambil jalan pintas yaitu jalan yang melewati Sumur besar kebanggaan para santriwati.
Sumur itu memang besar, bayangkan saja satu lingkarannya bisa memuat sampai 40 santriwati di pinggirnya.
Sumur itu menjadi tempat terpavorit santriwati untuk mandi selain airnya yang dangkal, tidak repot- repot untuk menimba, didekat sumur itu juga ada pancuran air keran yang alirannya dari mata air asli.
"Ssstt, aku sakit perut, nih!" Adu Nisa sambil memegang perutnya yang terasa melilit.8a
"Toilet ada di depan mata, Ca." Peringat Dela yang memang anak ini omongannya selalu blak-blakan. Tapi ada benarnya juga.
"Kamu ini nggak ngerti kode. Temeniin, aku nggak berani." Rengek Nisa sembari memasang wajah memelas.
"Ya, udah kalian duluan aja, biar aku yang temanin Ica" Kataku memberi saran. Teman-teman yang lainpun setuju dan pergi ke asrama duluan.
Nisa bergegas menuju toilet, namun kakinya terhenti ketika ia ingat sesuatu.
"Ra, di dalam, kan nggak ada air. boleh minta tolong timbain, perutku terlalu sakit buat nunduk"
Aku menggeleng geli, efek sakit perut itu menjiwai sekali. Bahkan bisa bikin orang pinter jadi long loading.
Tak perlu menunggu lama aku menyodorkan satu ember full ke arah Nisa, aku sudah bilang air di sumur itu tidak dalam, meski begitu timba tetap harus ada di sediakan di pinggirnya.
Dan untuk informasi juga tinggi sumur itu hanya sampai atas mata kaki sedikit kalau berdiri, kalau dalam nya jangan di tanyakan karena menginjak 6 tahun aku di pondok ini, air sumurnya tak pernah kering.
Dan untung saja ketika pelajaran fisika tidak ada satu guru pun yang pernah berniat untuk menyuruh para santriwati buat mengukur kedalaman sumur ini.
Aku duduk di pinggiran sumur memandangi airnya yang jernih. Aku menyipitkan mata, seperti ada sesuatu di dalam sumur, tapi apa? Semakin aku memperhatikan semakin terlihat samar, tidak jelas. Ini ni efek kaca mata tertinggal di kelas.
"Aku tau kamu tadi pagi nggak ikut apel." Suara itu jelas mengagetkan aku yang tengah fokus memandangi air sumur itu.
"Himmi, ck kamu ternyata." Dengusku kesal. Aku yakin pasti akan ada perang dunia ke lima sekarang.
"Bisa nggak kalau mau ajak orang ngomong itu permisi dulu, bilang apa kek, biar kesibukan orang kagak terganggu" Lanjutku lagi.
Aku udah bilang, aku orangnya pencicilan. Jadinya ini mulut susah banget buat di rem.
"Jangan kepedean ya! mentang-mentang tadi pagi malik umpetin kamu. kamu pikir dia suka terus sama kamu? " Sudah aku bilang, Himmi akan mengintrogasi setiap manusia yang dia lihat berbicara ataupun hanya sekedar berpapasan dengan Malik.
"So? This is a problem for you?" Jawabku ketus, jujur aku sudah muak sama sikap Himmi, yang dengan pedenya mengklaim ke semua orang kalau Malik itu milik dia.
Ingin rasanya aku plastikin dia terus masukin ke karung buat paketin beruang kutub di antartika. Tapi sepertinya beruang kutub tidak akan kenyang kalau hanya Himmi saja yang dia makan. Atau bahakan nanti beruangnya sakit perut jika yang dia makan bentuknya seperti ini. Aku bergidik sendiri.
Aduh, memikirkan itu, aku jadi kasihan terhadap nasib beruang kutub itu.
"Wah.... wah mulai ngelunjak ni Bontet"
Apa, Bontet? Allahuakbar benar-benar, dah, nih bocah satu. Mentang-mentang badan aku imut,tinggi semeter kotor, ngatain sekate-kate. Aku berdiri lalu meniup ujung jilbab ku malas. Sepertinya dia benar-benar mengajakku perang kali ini.
"Terus apa mau kamu KUTIL, ah!, mau ngajak berantem? Ayo ! Aku ladenin sekarang. Jangan mentang-mentang selama ini aku diam, terus kamu anggap aku nggak berani!"
Dan pada akhirnya kesabaran yang sudah lama aku pupuk dengan kasih sayang sekarang hangus oleh bocah satu ini. Sepertinya memang sesekali dia harus diberi pelajaran biar pintar sedikit.
Aku bisa melihat jelas, raut wajah marah dari Himmi. aku tau dia semakin marah gara-gara aku ngatain dia kutil, kutil itu singkatan dari kurus, tinggi. Iya kalau ada langsing nya masih mending. Bayangin dah gimana bodinya.
Sekitar 30 detik dia masih diam. Ok aku anggap dia nggak berani. Aku membalikkan badan memunggungi dia, aku ingin melanjutkan hobi menghayalku sambil memandangi air sumur.
Tapi belum sempat tanganku berpijak pada dinding sumur aku rasakan sebuah tangan yang mendorongku keras, hingga aku sendiri tak bisa menompang tubuhku.
Byuuuur!!!!
Tubuh ku terpelanting jatuh ke dalam sumur. Dasar manusia beraninya nusuk dari belakang.
"Wah, wah, wah maennya curaang gini!" Teriakku, Ketika aku sudah bisa menyeimbangkan berat tubuhku di atas air.
"Untung yang Kamu dorong jago berenang, lah kalau kamu yang aku dorong, udah jadi ****** kamu sekarang!" Geramku lagi.
"Hahaha sukurin, makanya jangan macam-macam!" Allah ya karim, emang kalau musuh ya pasti bahagia di atas penderitaan lawannya.
"Ayo naik! katanya jago berenang" sindir dia lagi. Gigiku sudah menggeretuk menahan marah.
Ingin rasanya aku mengumpat, tapi untung aku pernah belajar akhlak kalau berkata kasar itu dosa.
Ku ayunkan Kaki dan tangan ku mendekati pinggir sumur, untung airnya sekarang besar kalau tidak makin susah aku buat naik.
Aku berkeliling mencari lubang di tepian sumur untukku jadikan tempat kakiku berpijak. Aku memandang ke segala arah dan ketemu, akhirnya.
Aku segera berenang mendekati tepian sumur yang ada lubangnya. Aku menatap Himmi sekilas, dia masih berdiri di tempatnya semula dengan wajah puas karena berhasil menceburkanku.
"Eh Kutil! tolongin kek, nggak punya rasa kemanusiaan sama sekali apa!" Teriakku dngan kesal.
"Ih ogah, naik aja sendiri!" Teriaknya nggak kalah nyaring. Ini lagi si Nisa kemana?, dia ngeluarin apaan sih lama banget, nggak tau apa teman nya lagi kesusahan.
Aku akhirnya berhasil menaikkan sebelah kakiku. Namun ketikaku naikkan kakiku yang sebelah yang tadi aku taruh di atas lubang, kok nyangkut? aku tarik kakiku lebih keras lagi namun seperti ada sesuatu yang menahannya
"Bantuin woe! tanggung jawab!" teriakku pada Himmi.
Namun memang dasar keras kepala, satu senti pun dia tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Ku lepaskan satu pegangan tanganku dari pinggiran sumur untuk menarik kakiku yang sebelah, namun hasilnya masih tidak bisa.
Aku mencoba mencari tau apa yang membuat kakiku menyangkut
"Apa itu?" Lirihku ketika melihat sebuah benda putih namun masih terlihat tidak jelas karna aku tidak memakai kaca mata.
Belum sempat tanganku berpegangan lagi, benda putih itu tiba-tiba bergerak dan menarikku ke dalam sumur lagi.
Byuuurrr!!
Suara tubuhku yang terhempas ke dalam air semakin besar, membuat Nisa yang baru keluar dari toilet langsung berteriak.
"Rara!" Seru Nisa panik, aku juga masih bisa melihat kepanikan dari Himmi juga, dia berlari menghampiri ku, sebelum aku benar-benar tenggelam.
"To-long!!" teriakku ketika kepalaku berhasil menyembul keluar dalam air, namun itu tidak berlangsung lama.
Tarikan itu semakin membawaku ke dalam sumur. aku beristighfar dalam hati, sebenarnya apa yang terjadi? sebelum aku kehabisan napas, aku beranikan diri untuk membuka mataku melihat ada apa di dalam sumur ini.
Seketika tubuhku menegang melihat seorang wanita yang tersenyum tepat di depan wajah ku.
Tarikan itu semakin membawaku ke dalam sumur. Aku beristigfar dalam hati, sebenarnya apa yang terjadi? sebelum aku kehabisan napas, kuberanikan diri untuk membuka mataku melihat ada apa di dalam sumur ini.
Seketika tubuhku menegang melihat seorang wanita yang tersenyum tepat di depan wajah ku.
👽
"Aku dimana? " lirihku. Mataku tak berhenti menatap ke sekeliling arah. Namun hanya gelap yang dapat aku lihat.
Aku segera memasang kuda-kuda jika nanti sesuatu terjadi di tempat ini. Tapi tempat apa ini? aku beranikan diri melangkah menyusuri jalan yang begitu gelap.
Sebenarnya aku dalah tipe manusia yang tidak takut sama yang namanya gelap, beneran deh. Tapi untuk sekarang, perkataan itu aku tarik.
Tapi tunggu bentar, bukankah aku sedang berada di asrama? Astaga, iya. kenapa aku bisa lupa.
Lagian kenapa Abang PLN matiin lampu, perasaan kami tetap bayar listrik. Aku kembali memfokuskan pandangan ku dan ternyata benar aku memang berada di asrama tepatnya di samping sumur.
Pantesan gelap, aku jalannya muter-muter hanya di bagian sumur ini dari tadi, tapi kenapa lampunya begitu cepat di matiin.
Aku meraba tubuhku, ternyata sudah kering. ya aku baru ingat tadi pagi aku terjatuh ke dalam sumur.
Tapi kenapa aku masih ada di sini ? wah benar-benar teman aku ya, nggak ada niatan gitu mereka bawa aku balik ke asrama. Ingatkan aku buat balas dendam nanti sama mereka.
Tubuh aku merinding, saat mengingat apa yang aku lihat tadi di dalam sumur. Dengan sisa keberanian aku berlari mencari jalan keluar, nggak sia-sia aku hidup karatan di asrama ini jadinya insting ku bekerja dengan baik meski di tempat gelap.
Aku langsung membuka pintu, lalu keluar dengan cepat berlari menuju asrama. Namun kakiku tiba-tiba kaku saat berada di tengah jalan.
Aku menatap sekeliling. Hal pertama yang aku lihat adalah kesunyian, sepi tak ada satu manusiapun yang berada di luar asrama.
"Ini sudah jam berapa sih ? apa orang-orang sudah pada tidur?" lirihku sembari terus mengedarkan pandangan keseluruh arah.
Tanpa sengaja ekor mataku melihat seseorang mengintip di balik jendela asrama yang tepat berada di samping ku.
Aku berjalan pelan mendekatinya. Namun yang aku lihat sekarang hanya sebuah boneka yang tergantung di sana.
"Hallo! apa ada orang ?" suaraku berusaha memastikan. Namun tak ada sautan.
"Jangan takut woe! aku bukan setan, pocong, wewe gombel atau apapun yang kamu pikirin. Aku cuma mau nanya, sekarang udah jam berapa?" teriakku sebal karena orang di dalam tak juga menjawab.
Byuuurrr
"Subhanallah, walhamdulillah, Allahuakbar!!" teriak ku ketika tiba-tiba air kolam yang cukup dekat dengan asrama, bersuara seperti ada benda yang jatuh.
Selain sifatku yang pencicilan, aku juga punya sifat latah yang kadang-kadang tidak tertolongkan.
Aku segera menengok memastikan apa yang terjatuh. Namun tak ada apa-apa bahkan air di dalam kolam itupun tak bergerak sedikit pun. Aku menelan salivaku dengan susah payah.
Seram.
Kata itulah yang terlintas di benak ku sekarang. Untuk pertama kalinya dalam sejarah mondokku, aku takut berada di tempat ini.
Setelah mengumpulkan sisa keberanian yang ada, aku segera berlari secepat yang aku bisa. Dan untuk pertama kalinya juga aku menyesali kenapa kamarku berada di pojok paling timur, dengan artian paling jauh dari tempat ku sekarang.
Semua cerita-cerita seram yang pernah aku dengar berlarian memenuhi fikiran ku sekarang. Insting ku mengatakan banyak pasang mata yang tengah memperhatikan ku sekarang.
Ingin rasanya aku teriak, supaya orang-orang yang tidur nyenyak ini terbangun.
Tapi anggota tubuh ku tidak singkron dengan fikiran ku sekarang. Mulutku masih saja terbungkam.
Sampai. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Aku segera putar ganggang pintu agar cepat terbuka.
Namun tiba-tiba tubuh ku terhempas menabrak pohon mangga besar yang ada di depan kamar ku.
aku memekik kesakitan dalam hati. Karna bibirku benar-benar terkunci.
Belum sempat aku bangun. tiba-tiba kaki kanan ku terangkat, entah siapa yang saat ini niat banget buat mengusili ku. Aku tau kalau aku banyak fans tapi mereka tidak perlu memberiku kejutan seperti ini.
Lagi-lagi kaki ku di tarik, membuat tubuh mungilku berselancar di atas trotoar. Cukup, ini sudah kelewatan batin ku.
Rasanya aku ingin mengumpat, tapi ke siapa? bahkan orang yang menyertku sekarang saja aku tidak tau.
Aku melihat sekeliling, dan sekarang aku kembali ke depan asrama yang tadi, dimana di sampingnya ada kolam.
Tiba-tiba tubuhkun terangkat seperti kapas, melayang memutar di tengah kolam sebelum terpelanting membentur air di bawahnya.
Byuuuurrrrrr
👽
Aku terbangun dengan napas yang memburu. Apa itu tadi? cuma mimpi? benarkah?. Aku mencubit pipiku dengan keras
"Aduh!" Desisku kesakitan. Alhamdulillah cuma mimpi. Tapi kenapa terasa begitu nyata?. Dan dimana aku sekarang?.
Mata ku kembali mejelajah sekeliling. Dan ternyata aku di rumah sakit, dengan selang infus yang entah kapan mungkin di pasang di tangan ku.
Aku menarik nafas beberapa kali, menetralisirkan jantungku yang baru saja terasa memompa darah dua kali lebih cepat.
Kenapa dikamar ini sepi sekali? gerutu ku dalam hati.
Aku kembali berbaring, mencoba melupakan mimpi yang baru saja aku alami. Aku mengubah posisi tidur ku menghadap kanan, dengan harapan mendapatkan kenyamanan, atau setidaknya ketenangan.
Namun lagi-lagi tubuhku di buat menegang. Wanita di dalam sumur itu lagi, kini tepat berada di samping ku dengan senyum yang membuat kesadaran ku segera kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!