"Himmi!" Aku melihat teman-teman yang lain pada berhamburan keluar, ketika melihat tubuh Himmi sudah menempel di langit-langit kelas, bola matanya berubah putih, aku semakin mencium wangi melati yang begitu menyengat.
"Rara, kamu juga keluar" Ustadz Alawi memperingati, aku melihat ke arah luar, teman-teman yang lain meneriaki namaku untuk segera keluar, bahkan Iqlima terlihat menangis. Ustadz terlihat menelpon seseorang.
"Maaf Ustadz, tapi kayaknya dia memang menginginkan Rara di sini"
"Hahahaha!!!!!Kamu memang harus mati!"
"Rara! Awas!"
Brakk!!!
Aku terperangah, tiba-tiba kursi yang ada di paling pojok terangkat dan melayang ke arahku, namun untung saja aku cukup gesit, sehingga kursi itu hanya membentur tembok.
"Keluar Ra!" Mungkin benar kata Ustadz, aku harus keluar. Aku segera berlari menuju pintu namun tiba-tiba
Brakk!!
Pintu tertutup cukup keras, membuatku hampir terpekik. Tidak ada pilihan lain aku harus tetap diam di sini.
Aku melihat tubuh Himmi mulai melayang di udara, mengeluarkan tawa yang sungguh mengerikan.
"Siapa kamu! dan apa tujuan kamu masuk ke tubuh perempuan ini!" Ustadz Alawi menghampiri Himmi yang masih melayang.
Himmi tidak menjawab, hanya suara tawanya yang semakin keras.
"Him, istighfar. Kendalikan diri kamu! jangan biarkan makhluk itu mengendalikan kamu!" Aku berusaha mengingatkannya
Ustadz Alawi berhasil meraih pergelangan kaki Himmi, beliau berusaha menariknya kebawah. Namun dengan sekali hentakan Ustadz Alawi terpental menghantam kursi.
Himmi melayang mendekatiku yang masih mematung di dekat pintu, apa yang harus aku lakukan? Bohong kalau akau mengatakan tidak takut.
Lagi-lagi kursi di dekatku terangkat, aku yakin kursi itu pasti akan terlempar ke arah ku.
Aku berjalan pelan mendekati Himmi, tepatnya makhluk yang meminjam tubuh Himmi.
"Ra! Apa yang kamu lakukan!" Terdengar terikan dari luar.
"Apa urusan kamu dengan aku?" Aku mencoba bertanya pelan, sejujurnya aku begitu penasaran, apakah aku pernah berbuat salah kepada dia. Himmi hanya menatapku tajam, mata putihnya seakan ingin keluar.
"Apa aku pernah menyakiti kamu?" Tubuh Himmi Perlahan turun, berdiri di hadapanku dengan jarak yang cukup dekat.
"Jika kamu ada masalah dengan aku, jangan bawa dia! Kasihan tubuhnya" Aku mengedipkan mata, memberi isyarat pada Ustadz Alawi, kesempatan Ustadz untuk mengunci tubuh Himmi. Dengan gesit Ustadz Alawi memegang kepala Himmi, sekuat tenaga mendorongnya agar tertidur di lantai. Ustadz Alawi mulai membacakan ayat-ayat ruqiyah.
"Aku tidak suka ada yang ikut campur!" Himmi mulai teriak histeris, tubuhnya menggeliat ke sana kemari berusaha melepaskan diri dari ustadz Alawi.
Pintu tiba-tiba terbuka, memperlihatkan Ustadz Syarif dan beberapa Ustadzah yang lain yang kini sudah berada di dalam ruangan. Tunggu kenapa ada Ilham juga di sini?
"Astaghfirullah!" Ku palingkan pandanganku ke arah Ustadz Alawi yang memekik kesakitan, ku lihat tangan kanan beliau berdarah yang ternyata di gigit oleh Himmi.
Ustadz dan Ustadzah yang ada di sana segera ikut membantu Ustadz Alawi untuk memegang Himmi. Kenapa Ilham malah diam di ambang pintu, apa fungsinya dia ikut ke sini kalau hanya sebagai penonton. Ilham menatapku seolah bertanya ada apa? karena aku memandangnya dengan tatapan seperti sekarang. Percuma saja dia tidak akan mengerti bahasa tubuh, Aku segera memalingkan muka darinya, namun ternyata Himmi sudah berdiri di depanku hanya berjarak beberapa senti, memperlihatkan senyum menyeramkannya.
Aku melihat para Ustadz dan Ustadzah terlihat menahan sakit, karena mereka ternyata terpelanting cukup jauh dari tempat semula, dan aku tidak menyadari itu, astaga kemana fokusku tadi.
Aku berusaha setenang mungkin, berpura-pura tidak takut dihadapan makhluk yang merasuki Himmi sekarang.
Apa yang harus aku lakukan dengan jarak yang sedekat ini, ruangan ini sungguh berantakan dibuatnya sekarang, Hening tak ada satu orang pun yang berani bersuara.
Aku mundur perlahan, membuat jarak dengan Himmi, Tiba-tiba kakiku terasa kaku, aku melihat kebawah ternyata ada makhluk lain yang memeganginya, mereka tertawa melihat aku yang tak bisa bergerak.
Kursi yang tak jauh dariku terangkat dan melayang ke arah ku. Aku pasrah kini aku tak bisa menghindar, ku pejamkan mata erat, berharap sakit yang akan ku rasakan berkurang dengan tidak melihat kursi itu menghantam tubuhku. Dalam hatiku berfikir kenapa makhluk ini tidak mencekikku langsung seperti yang pernah dia lakukan? apa dia berfikir dengan cara ini aku akan lebih sakit.
Bug!
lima detik, enam detik tak ada apapun yang aku rasakan. Apa aku pingsan sampai tidak merasakan hantaman keras dari kursi itu, atau jangan-jangan aku sudah mati? Tapi setidaknya sebelum aku pingsan atau mati pasti ada rasa sakit jika kursi itu menghantamku. Atau apakah ini yang di namakan mati husnul khotimah, mati tapi tidak merasa sakit sedikitpun.
"Aaaaaa!!!!!!" Aku mengerenyitkan mataku yang masih tertutup rapat, di alam baka ternyata aku masih bisa mendengar Himmi teriak.
"Ra, kamu nggk apa-apa?" Aku membuka mata perlahan, inikah suara malikat maut? tapi kok kayak suara perempuan.
"Ustadzah?" Aku menatap Ustadzah Salma tak percaya. Alhamdulillah, ternyata aku masih hidup. Tapi tunggu dulu, kemana kursi yang tadi melayang ke arahku, perasaan tadi aku dengar kursinya menghantam tubuhku.
Aku mengalihkan pandangan ke arah Himmi yang masih meronta kesakitan, Ada Ustadz Alawi dan Ustadz Syarif yang sekarang tengah memegangnya, dan juga Ilham yang sekarang sedang memegang kaki Himmi dengan tangannya yang memakai sarung tangan. Aku melihat dia tengah memencet ibu jari kaki Himmi sambil membacakan ayat-ayat ruqiyah dengan suaranya yang begitu merdu.
Astaghfirullah, Sadar Ra. Kondisi lagi gawat darurat kayak gini masih mikir yang Iya-iya.
Himmi pingsan, setelah cukup lama meronta dan teriak-teriak nggak jelas, sekarang jin yang ada di dalam tubuhnya sudah keluar, namun wangi melati itu masih ada di dalam ruangan ini. Aku yakin sosok itu masih ada di ruangan ini. Aku mencoba mengedarkan pandangan mencari letak keberadaannya.
Ustadzah Salma memanggil sebagian santriwati yang menonton di luar ruangan untuk membantu para Ustadzah membopong tubuh Himmi ke asrama.
"Jangan kebiasaan suka bengong, dia masih di sini berarti nyawa kamu masih belum aman" Aku menatap tidak percaya dengan siapa yang bicara, dari mana dia tau kalau aku juga mengkhawatirkan hal itu.
Ilham berjalan melewati ku, keningnya terlihat mengeluarkan darah, aku lihat Himmi sudah di bopong keluar dari dalam kelas. Aku merasa diriku seperti patung hanya bisa melihat tanpa bisa membantu apapun.
"Rara! kamu nggak apa-apa kan? apanya yang sakit? apa kamu nggak takut tadi? Himmi serem banget" Fitri mulai meraba tubuhku memastikan aku memang baik-baik saja, Dela menatapku khawatir. Kini aku hanya bertiga yang masih di dalam kelas ini, lebih baik aku megajak mereka keluar, dari pada tubuh salah satu di antara mereka nanti kembali di pinjam sama jin itu.
"Kita keluar dulu, jangan disini"
"Kamu benar Ra, aku masih merinding" jawab Dela. Sembari melangkahkan kaki, aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan jin itu, memang wangi melati itu tidak terlalu menyengat sekarang, tapi aku yakin dia masih di sini.
"Ra, lebih baik kita pulang juga. Soalnya pengajian sudah di bubarkan sama Ustadzah tadi. Aku mengangguk kemudian menutup pintu kelas yang sebelum itu lampunya ku matikan, begitulah kebiasaan yang di terapkan pada kami, setelah pengajian yang biasanya selesai sekitar jam sepuluh sampai sebelas malam, sebelum pulang kami harus memastikan lampu sama pintu kelas sudah di matikan dan di tutup. Namun malam ini Ustadzah terpaksa menghentikan pengajian, karena insiden malam ini di kelasku.
"Ra..."
"Ssttt! Fit, kamu nanyanya nanti aja kalau sudah sampai asrama" Tegur Dela, dia mungkin khawatir karena melihatku hanya diam dari tadi. Setelah sampai di tengah majelis Aku melirik ke arah kelas untuk memastikan dan ternyata benar, dia masih di sana. Dalam gelapnya kelas itu aku bisa melihat makhluk itu melayang di tengah-tengah kelas, memperhatikan ku lekat dengan mata putihnya.
"Ternyata benar, dia masih disana" Gumam ku tanpa sadar dan tentunya di dengar oleh Fitri dan Dela. Andai saja tubuhnya utuh aku lihat, namun sayang yang terlihat hanya matanya dan beberapa organ dalamnya yang bergelantungan.
"Ra, jangan nakutin deh" Dela dan Fitri segera menyeret ku pulang.
👽👽👽
Aku masih enggan untuk bicara meskipun Fitri dan Nisa dari tadi menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku sekarang, Mimpi tentang Malik, air keran itu, Ilham, Himmi dan sekarang wangi melati itu. Dulu memang pernah kedua orang tuaku bercerita tentang penampakan sosok jin yang mengeluarkan wangi bunga melati, tapi itu dikatakan hanya sebuah cerita yang benar atau tidaknya masih menjadi pertanyaan di pondok pesantren ini.
"Eh ngomong-ngomong Ilham gimana? pasti kepalanya sakit. Orang kursi itu keras banget ngebentur kepalanya" Lamunan ku buyar ketika mendengar nama Ilham, aku menatap Nisa penuh tanya, apa yang terjadi sebenarnya.
"Maksud kamu apa Ca?"
"Gara-gara kamu, Ilham harus di bawa ke rumah sakit!" Aku menoleh ke arah Iqlima yang baru masuk, dia menatapku tajam, Untuk pertama kalinya aku melihat dia semarah ini sama aku.
"Ma udah deh, Rara juga nggak akan nyangka kalau Ilham Senekat itu"
"Tapi Del, kursi itu bikin kepala Ilham berdarah! dan itu semua gara-gara Rara!"
Apa, ternyata kursi itu tidak menghantam tubuh aku, tapi Ilham. Pantas saja aku mendengar suaranya tapi tidak merasakan sakitnya. Baik, sekarang aku merasa menjadi manusia yang semakin tidak berguna.
"Kamu kenapa sih Ma! Coba bayangin kalau kursi itu benar-benar mengenai Rara, siapa yang bakalan kamu salahin ah?! apa kamu akan salahin Ilham gara-gara nggak nolongin Rara! atau mau nyalahin jin, setan itu yang masuk ke dalam tubuh Himmi!" Iqlima diam sejenak masih menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku definisikan, gara-gara aku mereka jadi berantem kayak gini.
"Kalau saja kamu tidak keganjenan sama Ilham, dia pasti tidak akan nolongin kamu!"
"Cukup Ma!" Kini Fitri yang meninggikan suara, Iqlima kembali mendengus kesal kemudian pergi meninggalkan kami dengan suasana yang masih begitu mencekam.
"Maafin aku, aku benar-benar nggak tau kalau Ilham..."
"Sudah Ra, kamu nggak salah. Lagian Himmi kesurupan nggak ada sangkut pautnya sama kamu" Nisa mencoba menenangkan.
Aku tidak yakin dengan apa yang Nisa bilang, pada kenyataannya Makhluk itu memang mengincar aku, bukan kali ini saja tapi ini untuk ketiga kalinya, dan itu masih menjadi tanda tanya besar dalam pikiranku, apa yang telah aku perbuat sehingga aku menghadapi situasi seperti ini sekarang, apa aku pernah mengusiknya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments