Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, aku bangkit dari tempat tidur memperhatikan satu persatu teman-temanku.
Mungkin memang aku harus sendiri, aku nggak mau menyelakai mereka jika terlibat dalam situasi sekarang ini.
Aku rapikan kembali selimut yang tadi menutupi tubuhku, berjalan pelan tak ingin membangukan satupun dari mereka.
"Ra?" Panggilan itu membuatku langsung berhenti, padahal aku sudah berjalan setenang mungkin. Ini telinga mereka yang terlalu peka atau memang aku yang terlalu ribut sampai membangunkan salah satu diantara mereka.
"Kamu belum tidur?" Aku membalikkan badan berusaha setenang mungkin,
"Belum Fit, kamu sendiri kenapa bangun?" Aku berjalan kembali ke tempat tidur, Fitri terlihat gelisah.
"Sebenarnya dari tadi aku nggak bisa tidur, sakit perut. pengen pergi ke toilet tapi nggak berani. Niatnya mau nunggu sampai jam 3, tapi kayaknya nggak aku sanggup"
"Kenapa nggak bangunin aku? biasanya juga gitu" Aku memang sudah menjadi langganan mereka kalau mereka tiba-tiba sakit perut atau kebelet tengah malam.
"Kamu kan lagi sakit, aku lihat kamu juga baru tidur. Jadinya nggak enak buat bangunin"
Aku bangkit dan menyuruhnya berdiri. Aku paling nggak bisa melihat temanku kesusahan kayak gini. Kesempatan juga aku memang berniat pergi kesumur tadi, jadi sekarang lebih bagus kalau ada teman nggak akan ada yang berfikir macam-macam kalau tengah malam pergi ke sumur.
Tapi jika ada apa-apa nanti bagaimana? Sudahlah jangan fikirin hal yang belum pasti.
"Ayo aku temenin" Fitri mengangguk, dia memang terlihat begitu kesakitan. Bayangkan saja nahan mules dari tadi, nggak kebayang sakitnya.
"Jilbab mu Fit" Aku mengingatkan Fitri yang hampir keluar tanpa menggunakan jilbab. Meskipun cuma pergi ke toilet yang masih kawasan asrama putri, tetapi jangan lupa di dalam kawasan ini juga ada rumah para ustadz dan ustadzah yang sudah menikah dan takutnya bertemu sama pak Rahman juga, pasalnya aku selalu bertemu bapak penjaga kantin itu di tepi kolam setiap nemenin teman-teman.
Fitri langsung menyambar jilbab dan ember.
"Ayo Ra, aku udah nggak tahan" Fitri membuka pintu, aku menyusulnya keluar dan berjalan di sampingnya.
"Na udaah tau belum, di angkatan kita ada santri baru" Aku meliriknya sejenak, Dasar emang temanku yang satu ini padahal lagi sakit perut dan buru-buru gini masih saja bahas yang menurutku nggak ada faedahnya.
"Ceritanya nanti aja, Nanti kamu makin sakit perut"
"Tapi dia ganteng pake banget Ra, kemarin aku sama yang lain nggak sengaja lihat dia"
"Iya-iya ayo buruan" Aku kembali mengingatkan, Fitri mengangguk dan mempercepat langkahnya.
Apa kataku tadi benar, malam ini aku kembali bertemu dengan pak Rahman, Penjaga kantin ini suka sekali tengah malam duduk sendiri di tepi kolam.
"Malem pak" Sapaku ketika melewati pak Rahman, pak Rahman menoleh lalu tersenyum, begitu terus setiap kali aku menyapanya kalau bertemu malam-malam seperti ini. Pak Rahman mengangkat tangan kanannya menunjuk ke arah Makam yang tepat berada di depan kami. pesantren tempatku ini memang diapit sama dua makam, satu makamnya lebih menjorok ke wilayah asrama putri dan satu makam lagi menaungi asrama putra lebih mirip seperti payung.
Pak Rahman mengangguk ketika aku menatapnya bingung.
"Ra ayo!" Teriak Fitri yang ternyata sudah berada di dekat pintu masuk. Aku segera bergegas kasihan dia, entah dari kapan nahan sakit perut.
Fitri masuk ke dalam toilet, dan sekarang tinggal aku sendiri diluar. Aku hendak duduk di tepi sumur namun niat itu ku urungkan, aku nggak mau kejadian seminggu lalu kembali terulang. Aku suah cukup stres dengan apa yang aku alami sekarang.
Aku berjalan mendekati kran yang ada di dekat sumur, sambilan nungguin Fitri lebih baik aku wudhu untuk menenangkan hati dan fikiran, karena jujur saja aku masih penasaran kenapa pak Rahman menunjuk kearah makam dan mengangguk ke arah ku tadi.
Aku memutar kran, membiarkan air kran itu mengalir membasahi tanganku. terasa dingin tapi ada yang aneh, kenapa airnya bau bangkai kayak gini?
Aku membuka mata yang dari tadi ku pejamkan saat menikmati sentuhan air yang memanjakan kulit ku.
"Astagfirullah" Aku langsung menutup kran itu kembali, Kenapa airnya berubah warna menjadi merah? dan baunya sungguh begitu menyengat.
Aku melirik kearah toilet, dari suara yang aku dengar Fitri sudah selesai.
Aku kembali menatap genangan air di depanku yang kini lebih terlihat seperti genangan darah. Aku harus bersihin ini semua sebelum Fitri keluar. Temanku yang satu ini cukup penakut, aku nggak mau mendengarnya teriak histeris atau bahkan bisa jadi pingsan melihat ini semua.
Aku segera menimba air kemudian menumpahkannya tepat ke atas genangan itu. tumpahan ketiga akhirnya warna merah itu hilang namun masih meninggalkan bau yang begitu menyengat.
Fitri melangkah keluar aku lihat dia menutup hidungnya.
"Ra, kamu buka kran itu ya?" Aku mengangguk mengiyakan
"Ke-kenapa Fit?"
"Sudah tiga hari ini kran itu nggak boleh dibuka sama ustadzah, kata beliau kayaknya di tempat penampungan airnya ada bangkai hewan makanya airnya jadi bau, tapi aku nggak nyangka bakalan sebau ini" Aku terdiam sejenak. Penampungan air, bangkai, makam? jangan-jangan....
"Ra!" Aku menoleh ke arah Fitri lagi-lagi aku melamun.
"Kamu nggak kebauan berdiri di situ? ayo pulang" Aku mengangguk kemudian berjalan menyusul Fitri. Lidah ku terasa kelu hanya mengucap kata iya saja terasa berat.
"Masih di sini pak?" Kali ini Fitri yang menegur pak Rahman, pak Rahman hanya menoleh lalu tersenyum.
"Kami balik dulu ya pak, Fitri saranin jangan sering begadang nanti cepat sakit" Aku menatap Fitri dan pak Rahman bergantian, Jadi Fitri juga sering ketemu pak Rahman disini?
Fitri kembali melangkahkan kakinya setelah pak Rahman mengangguk. Aku berhenti sejenak lalu menoleh kembali, Pak Rahman ternyata sedang melihat kami dan lagi-lagi dia kembali tersenyum. Terbersit dalam fikiranku, sebenarnya apa yang pak Rahman lakukan tiap malam di tempat itu?
Aku memperhatikan sedetail mungkin, semoga aku dapat petunjuk. Aku tersenyum puas, ternyata dugaanku benar. Selama ini yang aku lihat bukan pak Rahman tetapi makhluk lain yang mirip dengan pak Rahman, terlihat jelas sekali bahwa pak rahman yang sedang tersenyum kearah ku sekarang tubuhnya ketika duduk tidak menyentuh tepian kolam itu menjelaskan bahwa dia memang bukan manusia.
"Akhirnya nyampai juga" Fitri membuka pintu asrama kemudian meletakkan ember yang dia bawa di tempatnya. Kini kami suah berada di dalam kamar asrama.
"Eh Ra, kira-kira jam seginian pak Rahman ngerjain apa ditepi kolam?"
" Balet" Kata ku asal-asalan, Fitri lebih baik tidak tau kalau yang tadi itu bukan pak Rahman.
"Iiih Rara! Aku serius, Hmmm... Aku sempat mikir kalau itu bukan pak Rahman, apa lagi kemarin pas aku nemenin Dela ke toilet, beliau rada-rada aneh gitu. Untung aja sekarang sama kamu, kalau sama Dela udah lari aku kayak kemarin" Fitri tertawa mengingat kisahnya sendiri.
"Sstttt! ketawanya jangan keras-keras!" Fitri segera menutup mulutnya, dia lupa kalau ini sudah tengah malam.
"Ya udah ayo tidur, besok kita harus bangun pagi"
" kamu mau masuk sekolah besok Ra?" Aku mengangguk sembari membungkus diriku dengan selimut. Fitri terlihat ragu.
"Semua akan baik-baik saja kok Fit" Aku memberikan senyum terbaikku, fitri mengangguk dan ikut tersenyum.
"Ra, tadi kamu sudah kunci pintu belum?" Aku kembali membuka mata mengingat-ingat.
"Kayaknya sudah Fit, tapi aku lebih baik periksa lagi buat mastiin" Aku bangun dengan selimut yang masih membungkus tubuhku, berjalan kearah pintu memastikan pintu sudah dikunci.
Ternyata benar, aku memang sudah mengunci pintu tapi gorden di jendela dekat pintu masih terbuka, aku menyibak hendak menutup kaca itu sempurna, namun tanganku terhenti ketika sosok pak Rahman tadi berdiri tepat di hadapanku hanya terhalang jendela kaca yang memang tembus pandang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments