Manusia Nyebelin

Kini aku sudah rapi dengan pakaian seragam yang melekat ditubuhku, pelajaran kedua akan segera dimulai, aku harus bergegas.

"Ternyata gini ya rasanya, mandi tanpa bayang-bayang orang yang ngantri" Nisa mulai melilitkan handuk dirambut basahnya, dia terdengar begitu puas bisa mandi dengan waktu yang cukup lama.

"Mapel kedua kita apa Ra?"

"Bahasa Indo, Del" Dela mengangguk lalu segera mencari buku bahasanya.

"Kalian ini, dengar apa nggak sih aku ngomong?" Nisa menatap kami sebal.

"Mendingan cepatan deh Ca, soalnya bentar lagi mau ganti jam" Dela mengingatkan. Nisa menurut, dia segera menyambar baju yang sudah di setrika dari tadi malam.

"aku duluan ya, Assalamu'alaikum " Dela melangkah keluar mengambil sepatunya di rak.

"Wa'alaikumussalam"

"Astaga!"

"Kenapa sih Ca?" Ada apa lagi dengan makhluk jenis perempuan yang satu ini.

" Ada yang ketinggalan di kamar mandi! " Nisa bergegas keluar meninggalkan aku sendiri yang sedang mencari buku, efek tadi malem nggak belajar jadinya lupa nyiapin buku.

Setelah kepergian Nisa, aku rasakan udara di dalam kamar terasa dingin, aku tau pasti ada makhluk lain yang bersamaku sekarang.

Aku bersikap seperti biasa, seolah tidak menyadari kedatangannya. Entah sejak kapan aku mulai terbiasa. Setelah semua buku yang aku cari ketemu, aku segera menyambar mukenah, 5 menit aku rasa masih cukup hanya untuk sholat dhuha.

Pada Rakaat pertama aku rasakan bagian belakang mukenahku diangkat, samar-samar suara tawa itu tertangkap oleh telingaku. Aku berusaha untuk tetap tidak tergoda. bagaimanapun mereka hanya makhluk yang jauh lebih hina dari pada manusia.

Belum berhenti sampai disitu, ketika sujud terakhirku, aku rasakan ada sesuatu yang menekan punggungku dari atas.

Mau makhluk yang satu ini sebenarnya apa?

"Assalamu'alaikum warahmatullah, Allahummainnanas alukaridhokawaljannah" Kupalingkan muka ke kanan untuk mengakhiri sholat.

"Assalamu'alaikum warrahmatullah, Wana'udzubikaminsyakhtikawannar"

Aku sedikit terkejut ketika ku palingkan muka ke arah kiri, hampir saja mukaku berbenturan dengan wajah makhluk yang dari tadi menggodaku.

Kesal, Iya kenyataannya aku bukannya takut tapi kesal, dia memamerkan deretan giginya yang tak beraturan.

Aku segera melipat mukenahku setelah berdo'a sebentar. matanya yang putih terus saja memperhatikan apa yang aku lakukan.

"Mau kamu apa sih?" Rasa penasaranku tak bisa disembunyikan lagi, kenapa wanita ini terus saja muncul dihadapanku.

"Itu kan.." aku kembali teringat pada sosok yang masuk ke dalam tubuh Himmi ketika melihat mata makhluk di depanku sekarang. Apa jangan-jangan makhluk ini? Tapi mana mungkin dari kemarin dia cuma mengganggu sedikitpun tidak terlihat ingin mencelakai aku, sedangkan yang masuk ke dalam tubuh Himmi ingin main-main dengan nyawa aku.

"Eh Ra, belum berangkat?" Aku memalingkan pandangkan ke arah Nisa yang baru kembali.

"Udah nyampe kelas Ca, aku dari tadi"

"Oh kamu balik lagi ya?" Udah aku tebak, Nisa pasti menganggap ucapanku serius.

"Tau ah Ca" Aku segera bangkit kemudian merapikan seragam ku yang sedikit kusut.

Nisa terlihat kebingungan sejenak, kalau pelajaran loadingnya ngalahin sinyal 4G saking cepatnya, tapi kenapa hal beginian sinyal di kepalanya berubah 2G.

Aku lihat Nisa mengambil mukenahnya yang tergantung di belakang lemari, bagus deh diamnya berarti duniaku aman, biasanya dia bakalan bertanya sampai otak cerdasnya mulai memahami.

"Ca, aku duluan ya"  Tak ada sahutan, aku menoleh ternyata dia sudah mulai sholat.

Aku melihat ujung mukenah Nisa mulai terangkat, tawa itu lembali aku dengar.

"Emang setan tuh ya, sukanya ngegoda" gerutuku agak keras sambil merapikan buku yang akan aku bawa sekolah.

Aku melihat makhluk itu berhenti mengganggu Nisa, dan menghilang. Gitu aja terus kerjaannya, datang pergi. Nggak capek apa?

"Eh bontet! aku bukan setan!" teriaknya, lalu tiba-tiba sudah nangkring aja di atas lemari ku. Kaget? ya lumayan. Aku baru tau ada makhluk jenis dia yang ngeselinnya ngalahin manusia. Nama ku sudah bagus kayak gini di panggil bontet lagi, pasti dia dengarnya dari Himmi waktu di sumur minggu lalu, dia juga yang punya gara-gara narik aku ke dalam, dan pada akhirnya aku seperti sekarang harus menjalani hidup yang agak berbeda tidak seperti biasanya.

"lah terus apa!?"

" Aku itu jin, ingat itu!. Sekali lagi panggil aku setan, aku cemplungin lagi kamu ke dalam sumur" ancamnya lalu menghilang kembali.

Aku bengong tidak percaya, Setan eh maksud aku jin bisa ngancam juga ternyata.

"Kamu mah Ra, jangan ganggu aku kalau lagi sholat. Kamu sendiri yang bilang, kalau ganggu orang sholat itu berarti dia setan" Aku menggaruk alisku yang tak gatal. Gimana mau jelasinnya, kenyataannya memang dia di ganggu setan bukan aku.

"Ribet Ca, aku berangat dulu. Assalamu'alaikum" Menjawab juga percuma, Nanti pasti akan panjang pembahasannya kayak jalan tol.

Aku berjalan pelan dan berusaha setenang mungkin ketika melewati kolam kembar yang menghimpit jalan. Aku memandang ke atas bukit yang sebenarnya adalah sebuah makam, sekelebat ingatan aneh bermunculan di kepalaku.

"Kamu harus mati! siapapun yang menolong dia harus mati!"

"Ustadz... sa-dar, ini Ma-lik! Akhh!"

"Ra!"

"Eh Malik!" Aku langsung menutup mulutku ketika mendengar tawa yang sudah tak asing lagi. Aduh kenapa latah ini harus nyebut nama Malik.

"Eh ibu, kok disini?" Aku yakin pipiku sudah memerah, karena menahan malu. Masalahnya yang membuatku kaget adalah Bu Ana, guru bahasaku.

"Ibu tadi ke rumah Bu Iin sebentar, kamu kok baru berangkat sekolah, jam pertama nggak masuk?"

"Tadi kebetulan bantu-bantu Ustadz Alawi bersihin ruang kerja abah bu" Ibu Ana mengangguk paham, karena di pondok ini yang paling di utamakan adalah adab terutama terhadap guru, jadi apapun perintah guru harus dilaksanakan, asalkan perintahnya masih berada di zona baik, karena orang berilmu belum tentu beradab tapi orang yang beradab sudah tentu berilmu, jadi disini ilmu yang paling dipupuk adalah adab. Oleh karena itu pantang bagi seorang santri untuk menolak perintah dari gurunya.

"Ibu di kelas kamu sekarang ?"

"Iya Bu"

"Kebetulan, kalau begitu ikut ibu ke kantor sebentar"

"Ke-ke kantor bu?" Semoga yang aku dengar tadi salah, selama aku sekolah dan  menjabat menjadi santri, hal yang paling aku hindari adalah pergi ke kantor, karena kantor letaknya di wilayah sekolah santriwan.  Bagaimana nasib aku nanti.

"Iya Ra"

"Kalau begitu, Rara ajak teman dulu bu" Setidaknya kalau berdua, aku tidak terlalu malu.

"Sama ibu aja Ra"  Kalau sudah begini aku bisa apa selain menurut. Aku berjalan mengekor di belakang, buku yang tadi aku bawa untuk sementara waktu ku taruh di depan ruangan tahfidz yang tidak terlalu jauh dari gerbang biru.

Padahal aku belum melewati gerbang biru, tapi imajinasiku sudah terbang kemana-mana, aku berharap semoga semua santriwan masuk ke dalam kelas, tidak ada yang memiliki jam olahraga yang mengharuskan mereka berada di luar.

Namun aku harus menelan kekecewaan, ternyata gini rasanya harapan bertepuk sebelah tangan, aku pikir hanya cinta yang bisa bertepuh sebelah tangan tapi ternyata harapan juga bisa.

"Ya Allah bantu hamba" lirihku pelan, pemandangan di samping jalan yang akan aku lewati membuat nyaliku ciut.

"Kenapa Ra?" Aku berusaha bersikap biasa, padahal saat ini kakiku sudah susah payah menopang tubuhku yang gemetaran.

"Rara nggak apa-apa Bu" Bu ana kembali berjalan, aku menundukkan kepala, aku sengaja memfokuskan pandangan ke arah kakiku dan bersiap-siap untuk mulai pura-pura tuli.

"Ibu, titip salam sama yang di belakangnya"

"Cari koin jatuh ya?"

"Awas entar kakinya kejedot batu"  Sudah aku duga, pasti bakalan banyak suara yang akan aku dengar dari makhluk yang berlabel santriwan ini, nasib jadi beda jenis dari mereka. Ternyata pura-pura tuli itu tidak mudah, kenyataannya aku masih bisa mendengar mereka melontarkan kata-kata yang membuat pipiku mulai memanas.

"Ya Allah, tolong Rara. Rara malu"

Yang bisa aku lakukan saat ini hanya menunduk dan mencoba mengalihkan perasaan grogi dengan menggulung-gulung ujung jilbabku.

"Kalian ini kebiasaan kalau ada santriwati yang lewat"

"Iri bilang Bos!"

"Bukan begitu, tapi lihat dia jadi malu"

Entah itu kalimat aku dengar dari siapa, intinya dari mereka ada yang berusaha membubarkan kegilaan yang sedang aku dengar.

ingat kan aku, ini untuk terakhir kalinya aku pergi ke kantor jika ada santriwan yang masih berkeliaran di luar kelas.

Sebenarnya mereka tidak salah, karena memang jam pelajarannya ada di luar kelas. Tapi yang membuatnya salah adalah suara - suara yang mereka lontarkan kalau spesies jenis kami memasuki kawasan mereka, perasaan kalau mereka masuk wilayah kami, kami biasa aja nggak kayak mereka. Maklumkan saja karena kami memang jarang bertemu.

Aku bisa bernafas lega, Akhirnya aku sampai juga di kantor. Aku melirik ke arah jalan yang tadi aku lalui, padahal tidak begitu jauh tapi kenapa aku berjalan terasa lama sekali.

"Ra tunggu di sini sebentar ya, ibu ke dalam dulu" Aku mengangguk hormat, kini aku sudah duduk di dalam kantor, tepatnya di depan ruang TU. Kantor terlihat sepi karena semua guru pasti sudah masuk ke dalam kelas.

"Tumben ke sini Ra" Aku menoleh, segera bangun ketika Bu dian memasuki ruangan, aku segera mencium tangan beliau.

"Iya Bu, soalnya sama Bu Ana tadi"

" Taruh di Rak sana Ham, terima kasih sudah bantu Ibu" Aku baru menyadari kalau ternyata Bu Dian tidak sendiri, aku mencoba mencuri pandang, aku memutar bola mata malas, ternyata anak baru itu lagi. dia memakai seragam olahraga, aku tau sekarang berarti yang tadi kumpul di lapangan itu kelasnya dia.

"Bawa paket ini ke kelas ya Ra, Nanti ibu nyusul" Aku mengalihkan pandangan ke arah tumpukan paket yang di pegang Bu Ana.

Nanti ibu nyusul? Itu artinya aku harus jalan sendiri balik ke kelas dengan tumpukan paket yang sebanyak itu? Astaghfirullah ibu Ana bercanda?

Aku berjalan mendekati tumpukan paket yang aku rasa sedang tertawa ria mengejek ku. Aku mematung sejenak memikirkan cara membawa diri dan paket ini pergi tanpa melewati kerumunan santriwan atau paling nggak tanpa ada suara-suara seperti tadi.

Ingin rasanya aku pinjam pintu kemana saja milik doraemon supaya bisa langsung pergi dari tempat ini. atau nggak sediain aku baling-baling bambu. 

"Ayo jalan, masih mau bengong terus di sini?" Baiklah ternyata aku menghayal lagi, dan tunggu dulu kenapa Ilham bawa sebagian paket yang seharusnya aku bawa.

"Loh paketnya mau di bawa kemana?" Ilham mengerenyitkan keningnya.

"Itu paket buat kelas aku" Aku kembali menegaskan, mungkin saja manusia satu ini gagal paham.

" Gimana sih kamu Ra, kan emang bu Ana yang minta tolong Ilham bantuin kamu bawa"  Jelas bu Dian, Mata bulatku nyaris melebar sempurna, gimana ceritanya bisa seperti ini.

"Udah kelamaan mikir, aku juga masuk kelas sekarang" Ilham berjalan keluar terlebih dahulu, aku segera mengambil paket yang tersisa lalu melangkah keluar.

Aku cukup lega karena semua santriwan sekarang sudah duduk rapi di dalam kelas mereka. Niatnya tadi mau sewa Tayo jika saja mereka masih berkeliaran di luar.

Ilham terlihat mematung di ujung tangga depan pintu, memang manusia aneh. Aku berinisiatif berjalan mendahuluinya namun tiba- tiba ujung jilbabku di tarik dari belakang.

"Nggak sopan banget sih!" Ini orang benar-benar tidak waras, bagaimana bisa dengan entengnya dia berani menarik ujung jilbabku di tempat umum.

"Kamu di belakang" katanya singkat

"Kalau aku nggak mau?!"  Jangan salahkan aku sekarang, jiwa bar-barku sudah dia usik. Aku nggak peduli jika nanti mengundang tatapan mata yang lain.

Ilham menarik nafasnya lalu memandangku lekat. Aku segera mengalihkan pandangan, fikiran ku kenapa tiba-tiba membandingkannya dengan Malik.

"إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ

Sesungguhnya wanita itu menghadap ke depan dalam bentuk setan dan ke belakang dalam bentuk setan pula, Hadist ini riwayat  Muslim no.2491, kamu tau? ketika perempuan menghadap depan maka setan akan duduk di atas kepalanya lalu menghiasinya untuk orang yang melihatnya dan ketika wanita menghadap belakang maka setan akan duduk di atas bagian belakang tubuh perempuan untuk memperindahnya. Masih mau jalan duluan, nggak takut aku tergoda?"  Aku menunduk merasa begitu tertampar.

"Terima kasih, tapi kayaknya kamu lupa tafsiran Qur'an surah An-nur ayat 30 yang ditafsirkan  oleh ibnu katsir dimana beliau berkata, Ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya yang beriman untuk menjaga atau menahan pandangan mereka dari hal-hal yang diharamkan atas mereka. Maka janganlah memandang kecuali memandang kepada hal-hal yang diperbolehkan untuk dipandang. Dan tahanlah pandanganmu dari hal-hal yang diharamkan" Aku tersenyum puas melihat Ilham langsung menunduk

"Jadi matanya di jaga ya, jangan tatap aku kayak gitu" Ilham tidak merespon dia langsung berjalan mendahuluiku.

Aku menghebuskan nafas kasar, sambil melirik arah sekitar, untung saja sepi jadi tidak ada yang melihat dan dengar perdebatan aku sama Ilham tadi.

Aku kemudian ikut melangkahkan kaki ketika jarak aku dengan Ilham sudah cukup jauh.

Aku berjalan sambil menunduk, apa aku terlalu berlebihan tadi? kenapa aku merasa bersalah. Aku cuma memperingati dia, lagian siapa yang nggak gerogi di tatap seperti tadi, katanya nggak mau tergoda tapi matanya jelalatan kayak gitu, dasar aneh.

Hampir saja aku menabrak Ilham yang kini telah berdiri menghadapku membelakangi gerbang biru yang sebentar lagi akan kami lewati, untung ada buku paket yang menjadi pahlawanku kali ini. Kalau tidak, bisa gawat.

"Apa lagi sih, ada yang salah lagi?!" Ini manusia dulu sekolahnya dimana sebelum pindah ke sini, kenapa nggak ngerti-ngerti aturan pondok. Kalau kayak gini terus aku bakalan kena hukuman.

"Jangan pergi ke kantor sendiri, apalagi kalau santriwan banyak yang keluyuran di luar kelas"

"Masalah kamu apa sebenarnya sama aku?"  Kenapa dia jadi ngatur-ngatur aku kayak gini.

"Aku nggak suka lihat mereka natap kamu kayak tadi!, mereka nggak boleh seperti itu, kalian bukan mahram!" Suara Ilham meninggi. Aku menatap sekitar takut, semoga tidak ada yang sedang menyaksikan adegan yang tak terduga ini, aku cukup terkejut dengan apa yang dikatakan Ilham.

" Oh kamu fikir, kamu boleh!. Kita juga buka mahram, apa kamu lupa!"

" Tapi mata aku sudah halal buat natap kamu Ra, sedang mereka tidak!"

Ilham menunduk ketika aku menatapnya lekat, Ini pertama kalinya aku menatap lawan jenis selama ini, hanya karena aku ingin melihat apakah ada kebohongan di mata itu.

" Kalian ngapain di sini?" Aku dan ilham menoleh kaget, sejak kapan Ustadz Syarif berada di sana, apa beliau mendengar semua percakapan kami.

" Afwan Ustadz,  Saya hanya di suruh  membantu dia membawa paket ini ke kelas" Ustadz Syarif menatap menyelidik. Aku hanya mampu menunduk, semoga ini tidak menjadi masalah ke depannya.

"Iya sudah"

"Terima kasih Ustadz, kami permisi dulu" Ilham memberi isyarat dengan kepalanya agar aku mengikutinya.

"Mari Ustadz" Aku kembali melangkah, aku sesekali menatap punggung Ilham. Kenapa semua jadi membingungkan seperti ini?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!