Aku bergegas mengambil buku dan mukenahku, tidak ingin membuat yang lain menunggu lama.
Hari ini aku bersikeras untuk masuk sekolah, meskipun ustadzah sama yang lainnya menyuruhku untuk istirahat.
Ayolah, kalian pasti tahu rasanya disuruh untuk beristirahat sepanjang hari, dimana hal yang di kerjaan hanya tiduran saja, kadang bangun cuma untuk makan atau tidak ke kamar mandi. Capek bukan?
Tadi malam tidurku cukup nyenyak. wanita itu tak pernah datang lagi setidaknya sampai pagi ini.
Dia benar, aku harus mengontrol rasa takutku. Agar aku bisa beraktivitas seperti biasa.
Aku hanya tersenyum sekedarnya, ketika mendengar guyonan receh dari teman-temanku.
Aku yang biasanya selalu heboh, tiba-tiba kalem seperti ini, hal ini cukup menyita perhatian ke 5 temanku.
"Kamu nggak apa-apa Ra?" Ini sudah pertanyaan ke 7 dari Iqlima semenjak 2 jam terakhir, di antara ke lima temanku, aku paling dekat dengan Iqlima. Jadi wajar jika dia yang terlihat begitu perhatian.
"Santuy ma, aku nggak papa, " kataku menghibur.
"Iya udah sekarang kita ke lab, nggak mau kan kena omel pak multazam cuma gara-gara telat. "
Aku menggangguk mengiyakan, guru kiler itu pasti sudah menunggu di dalam laboratorium. Kami bergegas mengejar ketertinggalan dari teman-teman yang lain.
👽
Bruuukk!
“Allah ya karim!” geramku menahan sakit, siapa lagi yang punya kerjaan mendorong kursiku sampai membuat aku terjatuh, udah tau kursi laboratorium kalau kena senggol seperti apa, apalagi sampai didorong sekeras ini, tapi untung saja sikuku bekerja dengan cepat untuk menahan berat badanku, kalau tidak sudah dipastikan ini kepala yang duluan meet and greet sama lantai. Aku menoleh kebelakang, Ternyata Himmi lagi yang punya kerjaan .
“Sorry nggak sengaja. ”
Aku melongo melihat tampang tak berdosa dari orang yang tadi mendorongku dan sekarang minta maaf tanpa terdengar sedikitpun penyesalan
“Dendam apa sih kamu ke aku? Heran deh, perasaan niat banget buat nyelakain aku mulu, ” kataku sembari berusaha bediri.
Aku mengusap sikuku yang berdarah dan lumayan sakit tentunya. Aku menyipitkan mata memandang heran ke arah Himmi, apakah ada yang lucu dengan pertanyaanku tadi? Sampai Himmi tertawa nggak jelas seperti sekarang.
Aku mengedarkan pandangan ternyata teman-teman yang lain rupanya sudah keluar dari laboratorium
“Kesambet apaan kamu?! Jangan ketawa suaramu kaya kaleng kerupuk, ” kataku guyon, ternyata kalemku tidak bertahan lama.
Himmi berjalan mendekatiku dengan tawa yang semakin lama semakin besar. Aku memperhatikan gerak geriknya, sepertinya ada yang salah dari anak ini.
Aku semakin meperhatikan setiap gerak geriknya sampai aku lupa untuk menghidari Himmi yang ternyata sekarang berdiri tepat di depanku.
“Mata itu, ” gumamku setelah melihat mata Himmi yang berbeda dari sebelumnya.
“Akhhh!” suara jeritanku tertahan ketika tiba-tiba saja Himmi mencekik leherku sampai kakiku tak bisa menyentuh tanah.
Aku meronta, mencoba melepaskan tangan himmi yang sebentar lagi akan membuatku kehabisan napas.
“Him s-sa-dar!” Aku mencoba menyadarkan dia, namun yang aku dapati dia malah memberikan senyum yang menurutku sangat mengerikan.
Dadaku sudah terasa sesak. Rasa takut yang dari tadi berusaha aku kendalikan sekarang mulai menyusup kedalam pikiranku.
Aku harus minta tolong, tapi pada siapa? Yang ada di dalam ruangan ini sekarang bukanlah manusia, jika aku meminta tolong kepada mereka, maka mereka akan tahu kalau aku bisa melihat mereka.
“Kamu harus mati!”
tubuhku tiba-tiba melayang dan membentur tembok, menciptakan suara benturan yang cukup keras.
“Allah...” lirihku dalam hati. Semua tulangku rasanya remuk, tapi semoga tidak.
Aku berusaha bangkit dengan sisa tenaga yang aku punya. Aku yakin ini bukan benar-benar Himmi, dari mata itu aku tahu ada makhluk lain yang merasukinya, tapi siapa? Kenapa aku tidak bisa melihatnya sedangkan makhluk-makhluk yang lain bisa aku lihat, bahkan bukan dia saja yang masuk ke dalam tubuh Himmi.
Aku kembali terperangah saat lamunanku disadarkan dengan tangan Himmi yang kembali mencekik leherku. Dasar aku, bisa-bisanya melamun di saat genting seperti ini.
“Him... k-ka-lau mau ny-ekek ja-nga-an di leh-her dong!” gerutuku sebal. Suaraku sudah susah payah bisa keluar, bukannya di kasih keringanan, himmi malah semakin mengeraskan cekikan tangannya di leherku.
Aku nggak boleh diam saja, bisa-bisa aku beneran mati konyol di sini. Bakalan ada berita yang beredar dengan caption “seorang santri mati karena di cekek teman kelasnya” wah bahaya bisa menggemparkan seluruh jagat raya kalau kayak gini.
Aku meraih pergelangan tangan Himmi dengan tangan kananku mencoba melepaskan tangannya dari leherku.
Aku merasakan pergelangan Himmi mulai memanas dan matanya mendelik begitu menyeramkan. Tapi tetap saja tangan itu belum berniat sedikitpun untuk mengakhiri aksinya.
“Lepaskan!” suara itu mengagetkanku dan Himmi, aku rasakan tangan Himmi mulai terlepas dari leherku, namun tiba-tiba tubuhnya terpelanting beberapa meter.
Aku menoleh kearah seseorang yang ternyata telah mendorong Himmi.
“Malik?” kata ku tak percaya dengan sosok orang yang aku lihat sekarang.
Mataku beralih kearah Himmi yang merintih kesakitan memegang pergelangan tangannya yang ku lihat terkelupas. Apa! Terkelupas?.
Aku mendengar suara langkah kaki berlari masuk ke laboratorium. Aku melihat beberapa guru dan juga teman-teman ku masuk ke dalam.
“Apa-apaan ini?!” pertanyaan itu terlontar dari pak Multazam guru praktikum kami. Aku yang masih mencerna kejadian ini hanya bisa memandang ke arah himmi yang terlihat kesakitan.
“Rara! Apa yang sudah kamu lakuin ke Himmi!” kata pak Multazam lagi, ini bukan sebuah pertanyaan tapi sebuah tuduhan.
“ Ah?” gumam ku lirih, kenapa sekarang aku yang di salahin, disini yang jadi korbannya kan aku, tapi kenapa aku yang jadi tersangkanya sekarang.
Semua mata memandangku penuh tanda Tanya termasuk teman-temanku yang sekarang tengah duduk di sampingku.
“ Aku...aku” aku kehabisan kata-kata buat menjelaskan ini semua, aku yakin sekarang aku lah yang jadi tersangkanya di sini dan himmi adalah korbannya.
Tapi jika aku cerita yang sebenarnya pasti semua yang ada disini tidak aka nada yang percaya.
"Sebaiknya kita bawa Himmi ke rumah sakit dulu, kayaknya tangan Himmi terkena larutan keras” bu Dian memberi saran yang langsung di setujui pak Multazam.
Aku hanya mematung melihat Himmi yang begitu kesakitan, makhluk itu sudah tidak ada tapi sesekali aku melihat mata Himmi berubah-ubah. Sepertinya makhluk itu ingin masuk kembali.
“ Ra” panggil Iqlima, menyadarkanku dari semua fikiran yang sekarang memggelayuti otak ku.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Dela
“ lihat ini” kataku sembari menunjukkan bajuku yang kena darah sikuku tadi.
“ Siapa yang berdarah?” Tanya Fitri masih tak mengerti.
Aku menaikkan lengan bajuku sampai siku untuk memperlihatkan siku ku yang tadi terluka. tapi aneh luka itu sudah tidak ada bahkan bekasnyapun tak terlihat.
Aku semakin mematung, masih tak percaya dengan apa yang saat ini aku alami. Bukti apa yang akan membela diriku nanti jika aku kembali ditanya, otomatis semua akan menyalahkanku kembali.
“Malik” lirihku, iya tadi ada malik di sini. Pasti dia bisa memberikan saksi.
Tapi tunggu dulu, jika malik memberikan saksi pasti akan semakin banyak opini yang akan merebak. tidak, itu tidak boleh terjadi. Dan kemana dia? Hilang begitu saja setelah orang-orang ini masuk tadi.
“Aku mau balik ke asrama” kataku berusaha bangun dengan sisa tenaga yang aku punya. Kepalaku rasanya ingin pecah memikirkan kejadian yang baru saja menimpaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments