Pagi ini aku bisa bernapas lega, setidaknya ini adalah senin ke tiga, aku tidak dihukum semenjak aku memijakkan kaki di kelas tiga. Sebuah rekor terbaru bagiku.
Otak cerdasku masih juga tidak menemukan alasan yang tepat atas apa yang di lakukan oleh Malik tadi. Aku tau tadi itu malik melakukan kesalahan karena telah berbohong pada Himmi, semoga kejadian tadi tidak menimbulkan keributan antara aku dengan Himmi.
Pasalnya Himmi begitu posesif jika menyangkut santriwan yang satu itu. Siapapun yang dia tahu berpapasan atau tidak sengaja bertemu dengan Malik, akan langsung diintrogasi olehnya.
"Baiklah anak-anak, kalau tidak ada pertanyaan ibu sudahi materi pada hari ini. Silahkan ketua kelas pimpin do'a " Aku tersadar dari hayalan yang dari jam pertama membuat nyawa ku gagal fokus pada pelajaran.
Dan sekarang pelajaran kedua pun telah selesai, perasaan baru beberapa menit pelajaran dimulai.
Aku menoleh ke arah papan yang kini warna putihnya sudah ternodai dengan tinta hitam sang spidol, mataku beralih ke buku tulis yang ada dihadapanku sekarang dan ternyata masih kosong melompong, putih suci belum ternodai.
Maafkan aku telah mengabaikanmu kertas putih, aku tak bermaksud, hanya saja kepalaku terlalu sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa penyebab Malik melakukan hal itu tadi terhadapku.
Aku memijit pelipisku beberapa kali mengembalikan kesadaran yang belum juga sempurna. Baiklah, ingatkan aku nanti kalau aku punya niatan menghapus hobi melamun yang merugikanku ini.
"Baiklah teman-teman untuk lebih barokahnya pelajaran kita pada pagi menjelang siang ini, mari sama-sama kita menutupnya dengan do'a kafaratul majlis"
"Bismillahirrahmanirrahim subhaanakallaumma wa bihamdika asy-hadu alla ilaha illa anta as-tagfiruka wa natubuilaik. Allahumma innii ishtaudi'uka maa 'allamtaniihi faardud'hu ilayna 'inda haajatina walaa tanshaniihi yaarobbal 'aalamiina" Suara kami serentak memenuhi ruang kelas sebelum kami keluar untuk istirahat.
"Ra, kamu nggak ikut apel tadi, ya?" tanya Dela sedikit berbisik.
Aku melirik ke arah Himmi yang tengah sibuk membereskan buku-bukunya.
"Ssttt!" Ku acungkan telunjukku meminta Dela untuk diam. Dia mengangguk mengerti.
"Nanti aku ceritain." Bisikku pelan, Dela mengangguk dan segera menarikku keluar dari kelas.
Kami berjalan pelan menuju asrama untuk sarapan, untuk anak pondok seperti kami sarapan pagi itu adalah hal yang langka, dari pada ribet dan kena hukuman kalau telat ke sekolah jadinya waktu sarapan, kami ulur ke jam 10, tepatnya ketika keluar main.
"Jadi Malik nyembunyiin kamu maksudnya?" Tanya Fitri masih penasaran, setelah aku cerita kepada mereka penyebab keselamatanku pagi ini dari hukuman.
"Ya bisa di bilang gitu" Jawabku ragu, karna sejujurnya aku sendiri masih penasaran.
"Cie-ciee yang akhirnya pucuk di cinta wulampun tiba." Memang teman-teman sengklek, mereka malah godain aku. Bukannya bantu aku untuk berpikir.
"Eh, ada santriwan di depan." Lirih Iqlima yang memang dari tadi fokus melihat jalan membuat langkah kami berhenti seketika.
"Anak kelas tiga" Ucap Nisa sembari tatapannya lurus mengarah ke mereka.
"Pasti di minta Abah buat bersihin sarang walet." Sambungnya lagi. Sepertinya benar, karena aku melihat mereka mulai menaiki tangga menuju sarang walet.
Kawasan asrama santriwati memang berada di dalam wilayah kediaman Abah dan keluarga beliau, jadinya wajar kalau banyak santriwati yang tau siapa saja yang abah sering dimintai tolong untuk membantu beliau.
"Eh, ada Malik juga ternyata" Seru Nisa lagi yang refleks membuat tatapanku mencari orang yang di maksud.
"Tapi boong!" Serunya lagi dengan tawanya yang langsung mengubah ekspresi wajahku.
Seketika sorak bulliyan terlontar dari mereka, ketika melihat ku kelagapan. Ya Allah teman-teman siapa, sih? Aku menunduk malu menyembunyikan rona merah yang kini bermuara di wajahku.
"Ada apa ini ribut-ribut!"
pertanyaan yang lebih tepatnya terdengar seperti seruan itu, seketika membungkam mulut kami. Kami sampai lupa kalau sekarang lagi berjalan melewati asrama para Ustadzah.
"Afwan ustadzah, kami keceplosan." Kata Dela mewakili. Ustadzah Salma hanya menggeleng, beliau sudah hafal bagaimana tabi'at masing-masing diantara kami, pasalnya beliau adalah ustadzah yang bertanggung jawab di kamar kami.
"Kami permisi dulu ustadzah, assalamu'alaikum." Kami pun bergegas mencari jalan pintas untuk segera sampai ke asrama dikarenakan jalan yang biasanya kami lewati kini banyak santriwan disana bersama dengan Abah.
Kami akhirnya mengambil jalan pintas yaitu jalan yang melewati Sumur besar kebanggaan para santriwati.
Sumur itu memang besar, bayangkan saja satu lingkarannya bisa memuat sampai 40 santriwati di pinggirnya.
Sumur itu menjadi tempat terpavorit santriwati untuk mandi selain airnya yang dangkal, tidak repot- repot untuk menimba, didekat sumur itu juga ada pancuran air keran yang alirannya dari mata air asli.
"Ssstt, aku sakit perut, nih!" Adu Nisa sambil memegang perutnya yang terasa melilit.8a
"Toilet ada di depan mata, Ca." Peringat Dela yang memang anak ini omongannya selalu blak-blakan. Tapi ada benarnya juga.
"Kamu ini nggak ngerti kode. Temeniin, aku nggak berani." Rengek Nisa sembari memasang wajah memelas.
"Ya, udah kalian duluan aja, biar aku yang temanin Ica" Kataku memberi saran. Teman-teman yang lainpun setuju dan pergi ke asrama duluan.
Nisa bergegas menuju toilet, namun kakinya terhenti ketika ia ingat sesuatu.
"Ra, di dalam, kan nggak ada air. boleh minta tolong timbain, perutku terlalu sakit buat nunduk"
Aku menggeleng geli, efek sakit perut itu menjiwai sekali. Bahkan bisa bikin orang pinter jadi long loading.
Tak perlu menunggu lama aku menyodorkan satu ember full ke arah Nisa, aku sudah bilang air di sumur itu tidak dalam, meski begitu timba tetap harus ada di sediakan di pinggirnya.
Dan untuk informasi juga tinggi sumur itu hanya sampai atas mata kaki sedikit kalau berdiri, kalau dalam nya jangan di tanyakan karena menginjak 6 tahun aku di pondok ini, air sumurnya tak pernah kering.
Dan untung saja ketika pelajaran fisika tidak ada satu guru pun yang pernah berniat untuk menyuruh para santriwati buat mengukur kedalaman sumur ini.
Aku duduk di pinggiran sumur memandangi airnya yang jernih. Aku menyipitkan mata, seperti ada sesuatu di dalam sumur, tapi apa? Semakin aku memperhatikan semakin terlihat samar, tidak jelas. Ini ni efek kaca mata tertinggal di kelas.
"Aku tau kamu tadi pagi nggak ikut apel." Suara itu jelas mengagetkan aku yang tengah fokus memandangi air sumur itu.
"Himmi, ck kamu ternyata." Dengusku kesal. Aku yakin pasti akan ada perang dunia ke lima sekarang.
"Bisa nggak kalau mau ajak orang ngomong itu permisi dulu, bilang apa kek, biar kesibukan orang kagak terganggu" Lanjutku lagi.
Aku udah bilang, aku orangnya pencicilan. Jadinya ini mulut susah banget buat di rem.
"Jangan kepedean ya! mentang-mentang tadi pagi malik umpetin kamu. kamu pikir dia suka terus sama kamu? " Sudah aku bilang, Himmi akan mengintrogasi setiap manusia yang dia lihat berbicara ataupun hanya sekedar berpapasan dengan Malik.
"So? This is a problem for you?" Jawabku ketus, jujur aku sudah muak sama sikap Himmi, yang dengan pedenya mengklaim ke semua orang kalau Malik itu milik dia.
Ingin rasanya aku plastikin dia terus masukin ke karung buat paketin beruang kutub di antartika. Tapi sepertinya beruang kutub tidak akan kenyang kalau hanya Himmi saja yang dia makan. Atau bahakan nanti beruangnya sakit perut jika yang dia makan bentuknya seperti ini. Aku bergidik sendiri.
Aduh, memikirkan itu, aku jadi kasihan terhadap nasib beruang kutub itu.
"Wah.... wah mulai ngelunjak ni Bontet"
Apa, Bontet? Allahuakbar benar-benar, dah, nih bocah satu. Mentang-mentang badan aku imut,tinggi semeter kotor, ngatain sekate-kate. Aku berdiri lalu meniup ujung jilbab ku malas. Sepertinya dia benar-benar mengajakku perang kali ini.
"Terus apa mau kamu KUTIL, ah!, mau ngajak berantem? Ayo ! Aku ladenin sekarang. Jangan mentang-mentang selama ini aku diam, terus kamu anggap aku nggak berani!"
Dan pada akhirnya kesabaran yang sudah lama aku pupuk dengan kasih sayang sekarang hangus oleh bocah satu ini. Sepertinya memang sesekali dia harus diberi pelajaran biar pintar sedikit.
Aku bisa melihat jelas, raut wajah marah dari Himmi. aku tau dia semakin marah gara-gara aku ngatain dia kutil, kutil itu singkatan dari kurus, tinggi. Iya kalau ada langsing nya masih mending. Bayangin dah gimana bodinya.
Sekitar 30 detik dia masih diam. Ok aku anggap dia nggak berani. Aku membalikkan badan memunggungi dia, aku ingin melanjutkan hobi menghayalku sambil memandangi air sumur.
Tapi belum sempat tanganku berpijak pada dinding sumur aku rasakan sebuah tangan yang mendorongku keras, hingga aku sendiri tak bisa menompang tubuhku.
Byuuuur!!!!
Tubuh ku terpelanting jatuh ke dalam sumur. Dasar manusia beraninya nusuk dari belakang.
"Wah, wah, wah maennya curaang gini!" Teriakku, Ketika aku sudah bisa menyeimbangkan berat tubuhku di atas air.
"Untung yang Kamu dorong jago berenang, lah kalau kamu yang aku dorong, udah jadi ****** kamu sekarang!" Geramku lagi.
"Hahaha sukurin, makanya jangan macam-macam!" Allah ya karim, emang kalau musuh ya pasti bahagia di atas penderitaan lawannya.
"Ayo naik! katanya jago berenang" sindir dia lagi. Gigiku sudah menggeretuk menahan marah.
Ingin rasanya aku mengumpat, tapi untung aku pernah belajar akhlak kalau berkata kasar itu dosa.
Ku ayunkan Kaki dan tangan ku mendekati pinggir sumur, untung airnya sekarang besar kalau tidak makin susah aku buat naik.
Aku berkeliling mencari lubang di tepian sumur untukku jadikan tempat kakiku berpijak. Aku memandang ke segala arah dan ketemu, akhirnya.
Aku segera berenang mendekati tepian sumur yang ada lubangnya. Aku menatap Himmi sekilas, dia masih berdiri di tempatnya semula dengan wajah puas karena berhasil menceburkanku.
"Eh Kutil! tolongin kek, nggak punya rasa kemanusiaan sama sekali apa!" Teriakku dngan kesal.
"Ih ogah, naik aja sendiri!" Teriaknya nggak kalah nyaring. Ini lagi si Nisa kemana?, dia ngeluarin apaan sih lama banget, nggak tau apa teman nya lagi kesusahan.
Aku akhirnya berhasil menaikkan sebelah kakiku. Namun ketikaku naikkan kakiku yang sebelah yang tadi aku taruh di atas lubang, kok nyangkut? aku tarik kakiku lebih keras lagi namun seperti ada sesuatu yang menahannya
"Bantuin woe! tanggung jawab!" teriakku pada Himmi.
Namun memang dasar keras kepala, satu senti pun dia tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Ku lepaskan satu pegangan tanganku dari pinggiran sumur untuk menarik kakiku yang sebelah, namun hasilnya masih tidak bisa.
Aku mencoba mencari tau apa yang membuat kakiku menyangkut
"Apa itu?" Lirihku ketika melihat sebuah benda putih namun masih terlihat tidak jelas karna aku tidak memakai kaca mata.
Belum sempat tanganku berpegangan lagi, benda putih itu tiba-tiba bergerak dan menarikku ke dalam sumur lagi.
Byuuurrr!!
Suara tubuhku yang terhempas ke dalam air semakin besar, membuat Nisa yang baru keluar dari toilet langsung berteriak.
"Rara!" Seru Nisa panik, aku juga masih bisa melihat kepanikan dari Himmi juga, dia berlari menghampiri ku, sebelum aku benar-benar tenggelam.
"To-long!!" teriakku ketika kepalaku berhasil menyembul keluar dalam air, namun itu tidak berlangsung lama.
Tarikan itu semakin membawaku ke dalam sumur. aku beristighfar dalam hati, sebenarnya apa yang terjadi? sebelum aku kehabisan napas, aku beranikan diri untuk membuka mataku melihat ada apa di dalam sumur ini.
Seketika tubuhku menegang melihat seorang wanita yang tersenyum tepat di depan wajah ku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Leon
Tambahin lagi adegan romantisnya, thor. Aku suka banget sama chemistry antara tokoh utama 😍
2023-08-10
1
Elysia
OMG! Gemes banget!
2023-08-10
1
Grecia Amiel
Tidak ada cara yang lebih baik untuk menghabiskan malam selain dengan membaca cerita ini.
2023-08-10
1