Sekitar lima menit akhirnya aku sampai juga di depan gerbang yang langsung bersambung dengan maqam.
"Semoga tidak terkunci, bismillah" Aku tersenyum sumringah karena harapanku sesuai dengan kenyataan. Aku menarik gerbang itu pelan agar tidak menimbulkan bunyi yang nanti malah mengundang penghuni asrama ini.
Setelah berhasil melewatinya, Kini saatnya aku harus menutup gerbang itu kembali seperti semula.
" Alhamdulillah" Aku segera berbalik, Hendak melangkah menaiki tanjakan menuju maqam tapi..
Bug!
"Allahuakbar!" Pekikku hampir terjatuh karena menabrak seseorang. Tunggu dulu, aku ragu dengan ucapan ku yang mengatakan seseorang, karena nyatanya ini sudah tengah malam, sudah melewati batas untuk manusia beraktivitas, apa lagi di tempat gelap seperti ini, jalan menuju maqam lagi. Atau jangan-jagan ini makhluk jadi-jadian itu lagi.
"Ngapain kamu ngikutin aku lagi?! tuh muka mau aku bedakin beneran? biar kagak gosong sebelah! Tapi aku nggak punya bedak mahal, cuma yang ada bedak bayi doang " Di tempatku sekarang benar-benar gelap, untuk melihat wujud apa yang aku tabrak tadi aku sungguh kesulitan. Tapi aku yakin yang ada di depanku bukan manusia, mana ada manusia berkeliaran jam segini.
"Ngapain kamu disini?"
"Kayak kenal nih suara? " kata ku pelan, aku menyipitkan mata berusaha menangkap cahaya yang ada, supaya wajah di depanku bisa terlihat.
"Allahuakbar! Ni setan kenapa bisa berubah wujud jadi Ilham?"
" Sembarangan ngatain orang setan!"
"Kamu beneran Ilham?" Aku masih tidak percaya, mungkin setan di depan ku sekarang mau ngeprank.
"Ngapain kamu di sini? sudah hampir jam setengah satu malam"
"Kamu yang ngapain di sini? Mana ada manusia berkeliaran di tempat ini jam seginian" Aku kembali membalas perkataannya dengan pertanyaan.
"Lah kamu? manusia bukan?"
"Astaghfirullah! Jadi kamu mau bilang aku setan!" Aku melotot meski aku tau dia nggak bakalan lihat.
"Seperti yang kamu bilang tadi, manusia mana ada yang keliaran jam segini" Aku terdiam, mencerna kalimat yang sempat aku ucapkan, benar juga apa yang Ilham bilang, aku juga manusia tapi masih bisa berkeliaran jam seginian.
"bener juga sih, eh tapi kamu Ilham beneran? nggak jadi-jadian, kan?"
"Iya..."
"Ilham! apa kamu masih di luar? kenapa lampunya belum nyala?" Ilham segera menyalakan senter yang ternyata dari tadi dia bawa, aku menggelengkan kepala, apa fungsinya dari tadi tuh senter di tangan, manusia aneh di kasih penerang malah mau gelap-gelapan.
"Cepat sembunyi di sana" Bisik ku setelah ingat kalau tadi aku sempat mendengar suara orang, kami berdua hampir lupa ternyata tempat kami masih terlalu dekat dengan kawasan asrama santriwan, Ilham sih yang salah kenapa dari tadi nggak nyuruh aku kecilin volume.
"Loh kok aku yang sembunyi?"
" Kamu mau kita dikawinin di sini?!" Ilham masih mencerna ucapanku, siapa yang tidak akan berburuk sangka jika melihat dua manusia lawan jenis berada di tempat gelap seperti ini, tengah malam lagi. Bisa gawat kalau ketahuan.
Dia menarik ujung jilbabku dari belakang, membuat ku susah berjalan karena terseret. Cuma dia yang berani melakukan hal ini sama Rabbania Zaikalina, tunggu pembalasanku.
"Eh lepasin!"
"Diam!" suaranya tertahan
" Kamu yang seharusnya sembunyi" Astaga aku lupa, yang jadi penyusup sekarang, kan, aku. Kenapa Ilham yang aku suruh sembunyi.
Dengan suka rela akhirnya aku menurut, untung ada pohon besar yang nggak terlalu jauh dari gerbang. Aku segera berjongkok, di saat seperti ini aku sangat bersyukur memiliki tubuh yang mungil, bukan pendek ya.
Aku mendengar suara pintu gerbang di dorong perlahan.
"Ham?" Suara itu aku hapal, milik Ustadz Alawi.
"Iya Ustadz" Ilham sedikit berlari mendekati Ustadz Alawi.
"Kamu ngobrol sama siapa? Kayak suara perempuan?"
Oalah, Ya Allah tamat lah riwayat aku sekarang, kalau sampai ketahuan.
"Leak yang kemarin malam itu Ustadz, dia datang lagi"
Allahuakbar, Manusia sekece, seimut, secantik dan sebahenol ini disamain sama Leak, kayaknya tuh matanya Ilham kudu dioprasi. Eh tapi apa yang dia bilang tadi, datang lagi? Jadi mereka sudah sering ketemu sama leak itu.
"Kemana dia sekarang?" Ilham diam sejenak, aku yakin dia sedang membuat alibi di dalam fikirannya, karena nyatanya yang di lawan bicara tadi manusia beneran bukan makhluk jadi-jadian itu.
"Biasa Ustadz, dia doyan hilang" Ustadz Alawi mengangguk, senter yang di bawa ke duanya mampu menerangi tempat sekitar, jadinya mataku tidak bekerja ekstra hanya untuk mencari cahaya dan mentransfernya ke retina.
Mumpung ada cahaya, aku gunakan untuk melihat-lihat sekitar. Mataku terfokus pada benda putih yang bergerak-gerak di atas maqam tepatnya di atas tong air yang ingin aku selidiki.
"Mau ngapain makhluk itu di sana?"Aku terus memperhatikan gerak gerik makhluk jadi-jadian itu sampai helusan lembut di pucuk kepalaku membuatku sedit kaget dan tentunya memberikan efek latahku kambuh.
"Ayam goreng!" Aku langsung menutup mulutku, semoga Ustadz Alawi tidak mendengar. Efek terkejut bercampur lapar jadi latahnya begini. Aku segera menengok kebelakang, melihat siapa yang iseng sekali membuatku kaget. Kosong tak ada apapun.
"Loh Ustadz sama Ilham kemana? udah main pergi aja" Aku segera bangkit dari posisi jongkokku, merapikan jilbab dan rok ku yang kusut. Aku harus melanjutkan perjalananku, nanggung sudah sejauh ini. Aku yakin Ustadz sama Ilham sudah kembali ke asrama, semoga saja Ilham tidak ember.
"Allahuakbar!" Sekarang tanganku refleks meninju seseorang yang ada di depanku, siapa suruh ngagetin.
"Aduh!"
"Ilham? Eh maaf-maaf, kamu sih ngagetin" Entah berapa kali jantungku olahraga malam ini, gara-gara kaget.
"Kamu ternyata serem juga!"
"Mau di pukul lagi? mumpung aku masih sehat!" Ilham segera menggeleng. Aku jadi teringat kejadian tadi di kelas, kenapa aku baru sadar kalau kepala Ilham diperban, peci hitamnya menutupi perban itu tapi masih bisa aku lihat.
"Maaf ya, gara-gara aku kamu jadi luka kayak gitu" Ilham mengangguk. Hening sejenak, dari pada berada di suasana tidak mengenakkan seperti ini lebih baik aku naik ke maqam.
"Mau kemana lagi, cepet balik ke asrama. Sebelum orang berfikir yang nggak-nggak tentang kita"
"Kamu aja kali yang fikirannya iya-iya"
"Maksud kamu?" Aku memutar mata jengah, percuma ngejelasin, malah makin lama nanti aku disini.
"Udah ah! Lama-lama kamu cerewet, balik sana, tidur. Aku mau ke maqam sebentar" Aku melangkahkan kaki melewatinya, namun kini Ilham makin berani, dia menarik tanganku membuat tubuhku tertarik dan hampir membentur dia.
" Makin berani kamu ya!" Tangan imutku yang mati-matian aku jaga supaya nanti yang memegangnya duluan adalah imam masa depanku sekarang telah ternodai.
"Ada yang salah?" Dasar manusia kurang ajar, kurang asem, kelebihan micin. dengan santainya bertanya seperti ini. Aku diam, mataku mulai berair, harga diriku benar-benar dia lecehkan, dia fikir aku wanita apaan yang se-enak jidadnya dia pegang-pegang.
Aku kembali melangkah, menaiki tanjakan yang cukup curam dan tentunya gelap. Dengan hati yang masih terasa perih, bisa-bisanya manusia seperti dia ada dipondok ini.
"Rara!" Aku kembali merasakan tubuhku di tarik, namun karena berada di tanjakan yang cukup curam , aku tidak mempertahankan keseimbangan dan pada akhirnya tubuhku berguling ke bawah.
Srek!
Brakk!!
Sekitar setengah meter dari tubuhku, ranting pohon yang cukup besar patah dan terjatuh, jika saja aku tidak di tarik tadi pastinya aku sudah berada di bawah ranting itu, gepeng mungkin.
Aku begidik ngeri, bersyukur aku masih di selamatkan.
"Kamu nggak pa-pa?" Kesadaranku kembali, kenapa aku sering sekali melamun disaat-saat genting seperti ini. Tapi wajar tadi aku masih syok, terkejut dengan apa yang barusan terjadi.
Aku segera bangkit ketika merasakan tubuhku dipeluk, haruskah aku marah, haruskah aku masih berfikir dia hanya mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Baiklah Rara mari berfikir positif, Ilham tadi cuma mau menolong nggak lebih, meskipun tangan jahannam milik Ilham tidak punya sopan santun sedikitpun.
"Ternyata ulah dia" Aku ikut mendongak mengikuti arah cahaya senter yang diarahkan Ilham.
"Kamu pernah ketemu dia?" Untuk saat ini lupakan kejadian memalukan tadi, fokus sama apa yang sekarang ada di depan mata.
Ilham mengangguk
"Sering, dari semenjak aku baru tiga hari di sini. Makhluk itu sering datang ke maqam, makanya aku sama Ustadz Alawi sering ngeronda ke sini, niatnya mau nangkap dia. Akhirnya ketemu lagi"
"Apa gara-gara dia nyium bau bangkai di tong air itu ya?" Ilham menatap ku heran.
"Tong air?"
" Iya, itu tujuan aku kesini, mau memastikan bangkai apa di tong itu, soalnya air keran yang berasal dari tong itu bau bangkai, bahkan kemarin pas aku nyalain malah yang keluar darah"
"Aku ikut!"
"Eh nggak-nggak, nggak usah! mending kamu pulang, cuci kaki cuci muka, tarik selimut terus tidur. Kamu di sini cuma nyusahin aku, bikin setruk, gara-gara naik tensi!" Enak aja mau ikut, yang ada nanti dia makin berani macam-macam.
"selain serem, kamu ternyata cerewet juga" Ilham berjalan terlebih dahulu, dasar keras kepala. Kalau sudah seperti ini aku bisa apa.
"Awas aja kalau kamu berani pegang-pegang lagi! aku pastiin pulang dari sini tangan kamu sudah hilang" Ilham tidak menggubris, dia mematikan senter yang ada di tangannya membuat suasana di sini benar-benar gelap. Aku ikut berjalan pelan, tanjakan yang cukup curang dan sedikit berkerikil membuat ku harus ekstra hati-hati. Tak ada apapun yang bisa aku lihat.
"Awas jatuh!" Suara Ilham menghentikan langkahku, aku benar-benar tidak bisa melihat kemana aku melangkah.
"Mundur dua langkah lalu belok kanan" Aku mendengar Ilham memberi aba-aba di depanku.
"Kemana? Udah tau gelap gini" Tanpa sadar aku merengek, aku benar-benar takut untuk mengambil langkah, karena aku tau berapa tinggi tempat ku sekarang, kalau jatuh efeknya lumayan bisa dirawat di rumah sakit kurang lebih satu bulan.
Aku merasakan tanganku di genggam dan kembali di tarik.
"Almarhum ayah kamu, sudah menyerahkan tanggung jawabnya ke aku. Jadi sebisa mungkin aku harus menjaga kamu" Mataku mulai berkaca, mendengar dia menyebut almarhum ayah, membuat kabut kesedihan tiba-tiba muncul.
"Aku nggak kurang ajar, seperti yang kamu fikirkan. Aku berani seperti ini karena aku sudah punya alasan yang pasti"
"A-apa?" Aku nggak bisa menyembunyikan rasa gugup bercampur sedih, karena cuma dia laki-laki selain ayah yang kontak fisik denganku.
"Kamu Istri aku" Lagi-lagi kalimat itu yang dia sebut.
"Seingat aku, aku nggak pernah kecelakan terus kepala bocor bangun-bangun amesia sampai lupa kalau aku pernah nikah, jangan ngarang !" Aku benar-benar nggak habis fikir dengan manusia di dekatku sekarang, kenapa dia begitu ngotot kalau aku istrinya, dia aja masih sekolah gini.
"Kamu emang nggak pernah kecelakaan"
"Lah terus? jangan gara-gara IQ ku cuma 150 jadi kamu fikir hanya untuk mengingat masa lalu aku nggak sanggup?"
"Bukan gitu, lama-lama ribet ya ngomong sama kamu"
"Siapa suruh ngomong!"
"Udah-udah Nanti kamu akan tau, lebih baik sekarang kita fokus dulu sama apa yang kamu cari" Gara-gara adu mulut sama dia aku sampai lupa kan tujuan utama aku.
"Jangan di lepas, Aku berani tanggung jawab kamu nggk bakalan dapat dosa" Ilham kembali berkata ketika aku hendak menarik tanganku dari genggamannya. Dia kira aku anak TK apa.
"Kamu mau main-main sama dosa! sekalian aja bilang kamu jangan masuk neraka biar aku aja, kamu nggak kuat" Aku berusaha meniru suara Dilan.
Ilham lagi-lagi hanya diam, dia berjalan kembali menyeretku mengikuti langkahnya menaiki tanjakan, meskipun gelap aku tau tinggal satu belokan lagi kami akan sampai di gerbang maqam.
Anehnya aku menurut, tidak melepas genggaman tangan Ilham. Ya Allah bilang sama malaikat Rakib dan Atid ya, dosa nya ini Ilham yang tanggung, Rara cuma jadi korban. Nolakpun nggak sanggup. Jadi nanti malaikat Mungkar Nakir nggak nyiksa Rara dalam kubur. kan ada malaikat Rakib Atid yang jadi saksi dan klarifikasiin.
"Yah kekunci, gimana dong?" Aku yang terlebih dahulu meraba gerbangnya menemukan gembok besar yang mengunci maqam. Ilham masih tetap diam namun genggaman tangannya ia lepas. Dalam hati tak henti-hentinya aku mengucap syukur, kebayang nggak rasanya pertama kali tangan kamu di genggam sama lawan jenis, bayangkan saja dulu, begitulah aku sekarang. Untung gelap jadinya nggak ada yang bisa lihat gimana rupa muka aku sekarang.
"Ayo masuk" Darimana dia dapat kunci? tiba-tiba gerbang udah kebuka aja sama dia, aku menurut. Hal pertama yang kami lihat adalah Selak yang dari tadi mengganggu, makhluk jadi-jadian itu terlihat sedang mengitari tong air yang aku maksud.
"Kamu bener-bener mau di make over sama aku? makanya masih berani nongol di sini?" Dia tidak menggubris, diam pun tidak. Makhluk itu masih sibuk dengan acara memutarnya.
"Selain jelek, kamu budek juga ya"
Ilham menyalakan senter menyorotkan cahayanya ke arah makhluk jadi-jadian itu yang tentu saja membuatnya langsung terbang kabur.
Aku menatap Ilham dungu, aku yang dari tadi capek ngoceh nggak membuat makhluk itu pergi, giliran Ilham yang hanya menyorotkan senter membuat dia terbang jauh, karena aku bisa lihat dia terbang keluar dali kawasan pondok pesantren yang luasnya Maa syaa allah ini.
"Semua makhluk kamu bercandain ya?" Ilham menatapku penasaran. Siapa yang bercandain, aku benar-benar niatan buat make up tuh Selak, kasihan kan nanti nggak ada yang mau kalau mukanya masih gosong kayak gitu, udah bau lagi.
"Diam, suara apa itu?" Tiba-tiba aku sama Ilham mendengar gemuruh yang tak jauh dari kami. Aku menunduk malu.
"Kamu kira pura-pura berani itu nggak bikin laper?" Ilham menatapku sejenak, aku tau dari raut wajahnya dia ingin tertawa, namun dengan segera senter di tangannya ia matikan.
"Ngomong-ngomong kamu bicara apa tadi sama Ustadz Alawi?"
"Beliau minta tolong aku buat cek sakral di maqam ini"
"oo gitu"
"Ayo kita cek tong airnya" Benar juga apa yang Ilham bilang, aku juga sudah penasaran bangkai apa yang ada di dalam. Kami berjalan mendekati tong air yang lumayan tinggi itu, untung ada tangga yang bisa membuat kami bisa melihat ke dalam.
"Biar aku yang naik" Ilham mecegahku ketika aku hendak menaiki tangga tong itu. Dia berjalan ke tepi maqam hendak menaruh beberapa kunci yang kali ini aku lihat, pantas saja dia bisa buka semua gerbang.
"Kelamaan" Aku yang sudah nggak sabar akhirnya menaiki tangga itu duluan, Semakin dekat dengan bibir tong itu bau bangkai itu semakin menyengat, aku berhenti sejenak mengikat ujung jilbabku ke hidung untuk menghindari bau yang membuat perutku mual.
Ilham yang melihatku menaiki tangga itu segera berlari, percuma memarahiku, aku sudah terlanjur naik.
Aku melirik ke dalam tong melihat bangkai apa di dalam, namun karena benar-benar gelap yang ada hanya warena hitam.
"Ham, lemparin senternya dong!" anggap saja senter ini bola bekel jadinya gampang untuk di tangkap, dan benar senternya mendarat sempurna di tanganku.
Aku segera menyalakannya kemudian mengarahkan cahaya senter itu ke dalam tong.
"Kayaknya benar ada bangkai Ham" Teriakku dari atas ketika yang pertamaku lihat adalah air yang masih berwarna merah namun tidak semerah kemarin. Aku alihkan cahaya senter itu ke arah bongkahan hitam yang mengapung di atas air.
Aku mematung menyaksikan apa yang sekarang aku lihat. Gemuruh di dadaku tak bisa aku bendung, membuat tubuhku gemetar hebat.
"Ra! Kamu kenapa?" Tanganku kurasakan melemas, hingga genggamannya terlepas membuat tubuhku melayang jatuh.
Ini tidak mungkin
Batinku terus memberontak dengan apa yang aku lihat tadi, Sampai aku menyadari tubuhku tidak menghempas tanah.
"Ra!" Aku menatap kosong ke arah Ilham yang ternyata telah menyelamatkan tubuhku hingga tidak membentur tanah.
Air mataku lolos, aku berusaha menengakan hati dan fikiranku sekarang. Ilham yang melihatku seperti ini segera menyenderkan ku di pohon, ia segera menaiki tangga tong itu, aku berharap apa yang aku lihat tadi hanya halusinasi.
"Malik!" Ilham bergumam lirih namun masih mampu aku dengar. Ucapannya tadi mematahkan semua tameng yang aku buat, apa yang aku lihat bukan halusinasi, Aku semakin menangis histeris, jadi bangkai yang selama ini aku sangka hewan ternyata adalah jasad Malik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Niswah
kok bisa bangkai malik ada di dlm.
siapa yng membunuhnya
2023-10-07
1