NovelToon NovelToon
Bermimpi Di Waktu Senja

Bermimpi Di Waktu Senja

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life
Popularitas:26
Nilai: 5
Nama Author: Mbak Ainun

Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12: Retakan di Dinding Hati

Pengerjaan struktur lantai dua "Rumah Senja" sedang berada pada puncaknya. Suara bising dari mesin pengaduk semen (molen) menjadi musik latar yang mengisi hari-hari di bantaran sungai. Namun, di tengah keriuhan itu, Aris mulai merasakan ada yang tidak beres. Bukan pada bangunan yang sedang ia dirikan, melainkan pada tubuhnya sendiri.

Pagi itu, saat hendak menaiki tangga bambu untuk memeriksa kelurusan kolom praktis, pandangan Aris mendadak kabur. Jantungnya berdegup dengan irama yang tak beraturan, seperti mesin tua yang dipaksa bekerja melampaui kapasitasnya. Ia terhuyung sejenak, mencengkeram tiang penyangga kayu dengan telapak tangan yang gemetar.

"Pak Aris! Bapak tidak apa-apa?" Hendra segera berlari menghampiri, wajahnya penuh kecemasan.

Aris memejamkan mata erat, mencoba mengusir kunang-kunang yang menari di penglihatannya. "Hanya kurang kopi, Hendra. Jangan berhenti bekerja, waktu kita tidak banyak."

"Bapak sudah dua minggu tidak pulang ke apartemen. Bapak tidur di balai warga yang lembap itu," tegur Hendra keras. "Tubuh Bapak bukan beton, Pak. Bapak butuh istirahat."

Aris hanya tersenyum tipis, sebuah senyuman yang menyembunyikan rasa nyeri di dadanya. Ia tahu Hendra benar. Namun, setiap kali ia memejamkan mata, ia merasa seolah-olah waktu sedang mengejarnya dengan sabit besar. Ia takut jika ia berhenti barang sejenak, ia tidak akan pernah bisa berdiri lagi untuk melihat atap rumah ini terpasang.

Tantangan kedua datang sore harinya dari arah langit. Awan hitam yang luar biasa pekat bergulung dari arah selatan. BMKG baru saja merilis peringatan dini tentang cuaca ekstrem yang akan melanda Jakarta akibat fenomena siklon tropis di Samudra Hindia. Bagi warga bantaran, ini adalah berita buruk; bagi proyek yang belum memiliki atap permanen, ini adalah ancaman kehancuran.

"Kita harus mengamankan lantai atas!" teriak Aris di tengah deru angin yang mulai kencang. "Tutup semua material semen dengan terpal! Pastikan perancah kayu diikat kuat!"

Hujan turun bukan lagi sebagai rintik, melainkan seperti air terjun yang tumpah dari langit. Dalam hitungan jam, permukaan sungai naik dengan kecepatan yang mengerikan. Air yang berwarna cokelat pekat mulai meluap, membawa sampah-sampah besar yang menghantam fondasi bawah bangunan yang masih dalam tahap pengeringan.

Aris berdiri di tengah hujan badai, mengenakan jas hujan plastik tipis yang berkibar ditiup angin. Ia mengarahkan warga untuk membuat tanggul darurat dari karung-karung berisi tanah. Air mulai menggenangi mata kaki, lalu naik ke lutut.

"Pak Aris, masuk ke dalam! Berbahaya!" teriak Pak RT dari kejauhan.

Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar. Sebuah batang pohon besar yang terbawa arus sungai menghantam salah satu tiang penyangga perancah di sisi timur. Struktur kayu itu berderit, tampak miring dan mengancam akan merobohkan bagian dinding yang baru setengah jadi.

Tanpa pikir panjang, Aris berlari menerjang air yang setinggi pinggang. Ia mencoba menarik tali pengikat yang terlepas, berusaha sekuat tenaga menahan beban yang sebenarnya tak mungkin ditahan oleh tenaga manusia setua dirinya.

"Jangan menyerah sekarang!" terangnya pada diri sendiri, giginya gemeretak menahan dingin dan nyeri.

Saat itulah, rasa sakit itu datang kembali. Kali ini lebih hebat. Seperti ada tangan raksasa yang meremas jantungnya dengan kejam. Aris tersungkur di dalam air yang kotor. Pandangannya gelap. Suara teriakan Hendra dan warga di sekitarnya terdengar sayup-sayup, seolah tenggelam oleh suara hujan yang semakin riuh.

Dalam kegelapan itu, Aris merasa ia kembali berada di balkon apartemennya, menatap senja yang paling indah yang pernah ia lihat. Sarah berdiri di sana, tersenyum dan mengulurkan tangan.

"Belum waktunya, Aris," bisik suara itu di dalam pikirannya. "Rumahmu belum selesai."

Aris tersentak bangun saat merasakan tekanan kuat di dadanya. Ia berada di dalam balai warga yang darurat, dikelilingi oleh wajah-wajah cemas. Hendra sedang melakukan pertolongan pertama, sementara seorang dokter dari klinik terdekat—yang juga merupakan sukarelawan—sedang memeriksa nadinya.

"Bapak mengalami serangan jantung ringan," ucap dokter itu dengan nada serius. "Jika Bapak tidak segera dibawa ke rumah sakit dan beristirahat total, serangan berikutnya bisa fatal."

Aris menoleh ke arah jendela, menatap ke arah proyek Rumah Senja yang masih berdiri kokoh di tengah badai, meskipun perancahnya miring. Air matanya menetes. Bukan karena takut akan kematian, melainkan karena takut ia akan mengecewakan harapan-harapan yang sudah ia kumpulkan.

"Bangunannya..." bisik Aris lemah.

"Bangunannya aman, Pak," potong Hendra sambil memegang tangan Aris. "Warga bekerja sepanjang malam. Mereka tidak membiarkan satu batu bata pun jatuh. Mereka bilang, jika Pak Aris bisa bertaruh nyawa untuk rumah mereka, maka mereka akan memberikan nyawa mereka untuk menjaga mimpi Pak Aris."

Malam itu, di tengah badai yang masih mengamuk, Aris menyadari satu hal penting. Rumah Senja bukan lagi sekadar proyek arsitekturnya. Bangunan itu telah memiliki jiwanya sendiri, yang kini hidup di dalam hati setiap warga bantaran. Bahkan jika fisiknya runtuh, mimpi itu tidak akan lagi bisa dihancurkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!