NovelToon NovelToon
A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:480
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:

"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."

Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.

Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?

"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10: Kekecewaan Yoonjae

“Yang menyuruh saya… adalah Harabeoji-mu…”

••

Langit malam masih sama gelapnya ketika Yoonjae keluar dari panti jompo itu. Udara dingin menusuk tulang, tapi yang lebih dingin adalah perasaan di dadanya. Langkahnya terasa berat, pikirannya kacau. Nama itu… Harabeoji… terus terngiang di kepalanya.

Sepanjang perjalanan menuju kantor Kim Grup, tangan Yoonjae menggenggam erat setir mobil, jemarinya sampai memutih. Hatinya berkecamuk antara marah, kecewa, dan… takut. Takut kalau semua yang selama ini dia keluarga nya rasakan, ternyata memang benar-benar ulah dari keluarga mereka sendiri.

Tak butuh waktu lama, mobilnya berhenti di depan gedung megah Kim Grup. Lampu kantor di lantai tertinggi masih menyala, tanda Jihoon belum pulang. Itu sudah jadi hal biasa. Kakak tertuanya itu, meski keras dan cuek, selalu jadi orang yang paling memikirkan perusahaan… dan keluarga.

Yoonjae melangkah masuk. Security yang mengenalinya hanya menunduk sopan tanpa banyak tanya. Lift membawanya ke lantai tertinggi, dan tak lama, dia berdiri di depan pintu kaca besar bertuliskan

*Kim Jihoon rooms*.

Tanpa mengetuk, Yoonjae mendorong pintu itu. Di dalam, Jihoon duduk di balik meja kerjanya, tangan sibuk meneliti berkas-berkas, kemeja putihnya sudah sedikit kusut. Tatapan tajam itu langsung terangkat saat mendengar pintu terbuka.

"Hyung aku ingin bicara," ujar yoonjae sembari menatap sang kakak.

“Telat sekali pulangnya, ada apa sampai harus datang kemari?” ujar Jihoon datar, tanpa mengalihkan fokus dari dokumen. Yoonjae tak langsung menjawab. Dia berjalan ke depan meja sang kakak, lalu melemparkan map kecil berisi foto dan catatan dari Han Mingyun- detektif pribadinya ke atas meja kerja sang kakak. Jihoon menghentikan aktivitasnya, alisnya mengernyit.

“Apa ini?” ujar Jihoon sembari menatap map tersebut. Yoonjae menatapnya lurus, suaranya rendah namun tegas.

“Bukti. Tentang Ara. Dugaan ku selama ini yang selalu kalian ragukan itu adalah kebenaran nya,” ujar yoonjae.

Mata Jihoon langsung berubah serius. Dia membuka map itu, membaca cepat lembar demi lembar. Foto suster Song Hee… alamat panti jompo… catatan kecil… dan satu nama yang membuat tatapannya mengeras.

“Harabeoji… terlibat dalam semua ini? Bagaimana mungkin?” gumam Jihoon, nadanya dingin. Dia mengangkat pandangannya ke arah Yoonjae.

"Setelah semua ini Hyung masih tidak percaya?" Ujar Yoonjae.

“Jelaskan.” ujar Jihoon.

Yoonjae menarik napas dalam, lalu mulai menceritakan semuanya. Tentang pertemuannya dengan suster Song Hee… tentang pengakuan wanita itu… tentang malam saat Ara hilang… dan tentang Harabeoji yang disebut-sebut sebagai orang yang menyuruh bayi itu dibawa pergi. Jihoon mendengarkan tanpa menyela, wajahnya sulit dibaca. Tapi Yoonjae tahu, di balik ketenangan itu, Jihoon sedang menahan badai amarahnya sendiri.

Setelah Yoonjae selesai bicara, keheningan memenuhi ruangan. Jihoon menyandarkan tubuh ke kursinya, kedua tangan terlipat di dada, rahangnya mengeras.

“Aku sudah lama curiga… tapi aku berharap aku salah…” ucap Jihoon akhirnya, nadanya datar kalimat itu tak sanggup dia lanjutkan. Wajah kakak tertuanya menegang, tatapan matanya gelap.

“Tapi tetap saja kita tidak bisa gegabah, aku akan pastikan semuanya dulu. Kita butuh bukti yang lebih kuat sebelum menuduh Harabeoji sendiri.” lanjut Jihoon akhirnya.

“Tapi...” ucapan Yoonjae langsung di potong Jihoon.

“Jangan pakai emosi, Yoon. Kau tahu, keluarga kita… kalau ini bocor ke publik, reputasi perusahaan dan keluarga bisa hancur. Aku tahu ini soal Ara… tapi kita harus main cerdas apalagi ini belum jelas kita tidak bisa menyerang Harabeoji hanya karena satu saksi yang mengatakan jika Harabeoji lah yang menyuruh nya pergi dari ruangan bayi itu, karena bisa saja ada kejadian lain yang belum terungkap.” Jihoon memotong, nada suaranya tegas seperti biasa.

Yoonjae mengatupkan rahangnya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu Jihoon benar. Tapi hatinya… hatinya ingin segera menuntaskan semua ini. Yoonjae menghembuskan napas keras, tangannya mengepal di atas meja kerja Jihoon yang mewah itu.

“Hyung selalu begitu… selalu sok rasional sampai lupa, karena ini keluarga kita yang hancur! Dari awal Hyung tidak pernah percaya dengan kecurigaan ku, dari awal juga aku katakan jika Harabeoji lah yang tahu di mana Ara sekarang!” ujar Yoonjae nada nya jelas kesal karena dari awal saudara nya itu tidak pernah mendengar kan apapun yang dia katakan bahkan setelah dirinya mendapat kan bukti tersebut kakak' nya itu masih saja memikirkan tentang reputasi perusahaan nya.

Jihoon menatap adiknya tanpa bergeming, ekspresi wajahnya dingin tapi ada bayangan lelah di sana.

“Dan kamu selalu emosional, Yoon… kita tidak butuh emosi untuk mencari kebenaran.” ujar Jihoon sembari memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa nyeri.

“Kamu pikir ini cuma soal kebenaran? Ini soal hidup Ara! Hidup Eomma! Hidup Appa! Kalau waktu itu Hyung mendengarkan aku… kalau waktu itu kita selidiki lebih dalam, mungkin...” ucapan Yoonjae terpotong.

“Cukup. Kamu pikir aku tidak memikirkan ini setiap malam? Bedanya, aku tidak mau asal tuduh Harabeoji tanpa bukti. Dia kakek kita, Yoonjae…” Jihoon memotong kalimat Yoonjae, suaranya berat tapi tetap tenang.

“Dan dia juga orang yang dari dulu terang-terangan benci punya cucu perempuan, suster Song Hee yang bilang langsung, Hyung! Dia menyebut nama Harabeoji sendiri!” potong Yoonjae cepat.

Jihoon terdiam, akhirnya bangkit dari kursinya, berjalan perlahan ke arah jendela besar kantornya. Lampu-lampu kota Seoul berpendar di balik kaca. Dia menarik napas panjang sebelum bicara lagi.

“Kalau ini benar… kalau Harabeoji memang dalangnya… maka semuanya akan berubah, Yoon.” ujar Jihoon dia bingung harus melangkah kemana, langkah nya sebagai kakak pertama dan anak pertama begitu terbatas karena nama keluarga menggelayut di punggung nya. Yoonjae menatap punggung kakaknya, sorot matanya penuh luka yang selama ini dia pendam.

“Sudah lama semuanya berubah, Hyung… hanya kamu saja yang masih pura-pura semuanya baik-baik aja.” Ujar Yoonjae pelan. Jihoon masih berdiri membelakangi Yoonjae, tatapannya jauh ke luar jendela. Sementara Yoonjae, masih berdiri di depan meja, dadanya naik-turun cepat menahan emosi.

“Kamu pikir aku tidak sedih? Aku yang pertama kali melihat Eomma makin hari makin hancur. Aku yang harus tahan melihat Appa setiap malam duduk sendiri, menunggu kabar Ara… Kamu pikir aku tidak merasakan itu semua, Yoon? Hanya karena aku yang paling tenang bukan berarti aku tidak terluka, aku juga terluka atas kepergian mereka bertiga...” Suara Jihoon akhirnya terdengar, rendah tapi tegas.

“Kalau kamu merasa, kenapa selama ini kamu hanya diam? Kita bisa cari lebih awal! Kita bisa bongkar semua ini dulu, tapi kamu selalu bilang ‘tunggu waktu yang tepat’ , ‘jangan gegabah’, ‘ini semua harus pakai logika’! Sampai kapan, Hyung? Sampai Ara udah tidak bisa kita temukan? Sampai semuanya tinggal penyesalan? Kita sudah berpisah terlalu lama dengan Ara apa dia akan mau menerima kita ? Bagaimana hidup nya di luar sana selama 22 tahun itu? Bagaimana? Hyung tidak berpikir ke sana?!” Yoonjae membalas cepat, suaranya meninggi.  Jihoon membalikkan badan, kini menatap langsung ke arah Yoonjae. Sorot matanya dalam, ada luka, ada penyesalan, tapi juga ketegasan yang selama ini bikin dia jadi pilar keluarga mereka.

“Aku diam bukan karena aku tidak peduli, Yoonjae. Aku diam karena aku tau keluarga kita itu seperti ranjau. Salah langkah sedikit, semuanya meledak. Dan itu akan membuat semuanya semakin sulit.” ujar jihoon berusaha menahan diri menghadapi sikap adiknya itu.

“Sudah meledak, Hyung! Eomma meninggal… Appa meninggal… Ara hilang… keluarga ini udah lama hancur, dan kamu hanya  pura-pura tidak melihat!” Yoonjae membentak, suaranya nyaris pecah.

"Begitu caramu bicara pada kakakmu sendiri?" Napas Jihoon terdengar berat. Tangannya mengepal di samping tubuhnya, tapi wajahnya tetap tenang. Hanya matanya yang berkaca-kaca, nyaris tak terlihat di balik ketegasan itu.

“Kamu tidak mengerti seberapa berat menjadi aku, Yoonjae,” ujarnya perlahan. “Aku harus jadi ayah dan ibu sekaligus kakak untuk kamu, untuk Minjoon, setelah Appa dan Eomma tidak ada. Aku harus mengurus perusahaan, menjaga nama baik keluarga… dan di balik semua itu, setiap malam aku juga memikirkan Ara. Hanya karena aku tidak seberisik dirimu bukan berarti aku pura-pura tidak melihat. Aku juga ingin Ara kembali berkumpul bersama kita seperti keinginan Appa dan Eomma, tapi bukan dengan cara gegabah yang bisa saja merusak banyak hal. Kita tidak bisa menuduh Harabeoji hanya karena pernyataan dari Suster Song Hee.” Jihoon berjalan mendekat ke arah Yoonjae. Hening sesaat. Hanya suara napas berat Yoonjae yang terdengar hingga akhirnya dia kembali berkata.

“Tapi hari ini… kamu meragukanku? Hanya karena keterangan yang belum benar-benar jelas?” lanjut Jihoon pelan.

“Belum benar-benar jelas? Kamu masih bilang ‘belum jelas’? Setelah apa yang Suster Song Hee katakan? Dia jelas-jelas bilang Harabeoji yang menyuruh dia meninggalkan Ara di ruangan waktu itu. Kamu pikir dia mengarang cerita selama dua puluh dua tahun kemudian cuma buat hiburan?” Yoonjae menyeringai miris, nadanya sinis. Jihoon menggeleng pelan, ekspresinya dingin.

“Aku tidak bilang dia mengarang. Tapi kamu sendiri bilang, dia juga tidak tahu ke mana Ara dibawa, siapa yang mengambil, bagaimana caranya. Semua hanya kata-kata, Yoon. Tanpa bukti, kita tidak bisa menuduh seseorang, apalagi keluarga sendiri.” ujar Jihoon berusaha bersabar dan berharap bisa menenangkan emosi adiknya. Ia tidak ingin terbawa emosi.

“Kamu masih memikirkan nama baik keluarga?! Kamu pikir aku peduli dengan itu? Selama ini kita hidup dalam bayang-bayang Harabeoji itu, tunduk dengan perintah dia, pura-pura semua baik-baik aja… sementara dia mungkin... mungkin… jadi alasan kenapa Eomma mati karena stres, Appa sakit hati, Ara hilang!” bentak Yoonjae, wajahnya memerah karena emosi.

"CUKUP! KAMU MELEWATI BATASANMU HARI INI, KIM YOONJAE!" bentak Jihoon, membuat Yoonjae terdiam dan sedikit tersentak mendengar nada tinggi sang kakak—nada yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Namun ketika ia ingin bicara, Jihoon kembali berbicara.

“Jangan asal bicara! Aku tidak pernah bilang aku tidak sedih atas kepergian mereka, kau harus catat itu. Tapi aku juga tidak mau keluarga ini hancur hanya karena kita terbawa emosi. Sekali lagi, Yoonjae… ini bukan cuma soal dendam atau sakit hati. Ini soal masa depan kita. Perusahaan, reputasi keluarga, bahkan hidup Ara kalau dia masih ada di luar sana dalam keadaan hidup!” Jihoon membalas, suaranya kali ini kembali meninggi, walau masih terkontrol. Yoonjae terdiam, dadanya naik-turun cepat. Matanya berkaca-kaca, tapi sorotnya masih penuh kemarahan yang belum reda.

“Kalau kamu terus memikirkan reputasi, Hyung… kita mungkin akan kehilangan Ara selamanya...” ucapnya lirih. Wajahnya menunduk, seolah tidak berani menatap wajah sang kakak lagi. Jihoon menghela napas berat, kedua tangannya bertumpu di meja. Ia memejamkan mata sejenak, menahan diri.

“Aku tidak mau kita saling melawan, Yoonjae. Tolong dengarkan Hyung kali ini. Hyung tidak mau kamu gegabah, Yoon... jangan membuat masalah besar menjadi semakin besar,” ujarnya pelan. Yoonjae menatap kakaknya tajam, lalu memalingkan wajah dengan getir.

“Masalah terbesar kita sudah dimulai sejak Ara hilang, Hyung...” ujar Yoonjae sembari menghela napas kasar. Ia melangkah menuju pintu keluar; menurutnya percuma bicara dengan Jihoon yang tidak mau mengerti perasaannya sendiri.

"Yoonjae... Hyung belum selesai bicara... Kim Yoonjae," panggil Jihoon tapi Yoonjae tetap pergi.

Tanpa menoleh lagi ke arah sang kakak, ia melangkah cepat. Sepatu pantofelnya beradu dengan lantai marmer kantor mewah itu, memantulkan suara nyaring di ruangan yang kini terasa dingin. Setiap langkah seperti menegaskan amarah yang mengendap di dadanya, seolah Seoul malam itu ikut menahan napas menyaksikan pertikaian dua saudara itu.

“Yoonjae... Astaga.” suara Jihoon memanggil pelan dari dalam ruangan—terdengar lebih seperti peringatan daripada panggilan saudara. Tapi Yoonjae tak menghiraukan.

Dia menaiki lift, dan tak butuh waktu lama akhirnya sampai di lantai bawah. Tangannya merogoh saku, menarik kunci mobil, dan dalam hitungan detik ia sudah berada di basement parkiran gedung itu.

Pintu mobil sport hitamnya dibanting pelan. Suasana sore kota Seoul yang dingin tak cukup menenangkan pikirannya. Lampu-lampu gedung yang mulai gemerlap seperti ejekan, seolah semua orang di luar sana baik-baik saja… sementara keluarganya berantakan sejak dua puluh dua tahun lalu. Mesin mobil dinyalakan, deru suara mesin membelah kesunyian. Yoonjae memegang setir erat, matanya menatap lurus ke depan.

“Kalau Hyung terlalu sibuk memikirkan nama baik keluarga ini… setidaknya aku masih punya satu orang lagi yang mungkin mau mendengar ku setelah mengetahui semua ini... ” gumamnya lirih, separuh marah, separuh sedih.

Tanpa pikir panjang, dia melajukan mobilnya menembus jalanan Seoul yang sore itu cukup lengang. Tangannya mengatur setir dengan kecepatan stabil, namun isi kepalanya kacau. Bayangan wajah suster Song Hee, pengakuannya… dan nama Harabeoji yang terucap, terus berputar di pikirannya.

Tak butuh waktu lama, mobilnya mulai memasuki kawasan elit tempat salah satu cabang café milik Minjoon berada. Lampu neon bertuliskan nama café itu menyala terang, namun suasana di dalam sudah tak terlalu ramai karena waktu sudah lewat jam sibuk. Udara malam Seoul yang dingin menyusup lembut di sela gedung-gedung tinggi, menambah kesan sepi di sekitar tempat itu.

Yoonjae memarkir mobilnya dengan cepat, matanya masih gelap oleh emosi dan kekecewaan yang belum juga reda. Malam itu, dia tak butuh kopi. Dia butuh jawaban… dan dukungan yang selama ini terasa hilang.

Begitu masuk ke dalam café, aroma kopi dan vanilla samar memenuhi ruangan, bercampur dengan musik lembut dari speaker yang nyaris tak terdengar. Tapi tak satu pun dari itu mampu meredakan kegelisahan di dadanya. Pandangannya langsung tertuju ke sudut ruangan—tempat Minjoon duduk sendiri di meja VIP dekat kaca besar, dengan laptop terbuka dan beberapa berkas di depannya. Posisi santainya jelas menunjukkan, meskipun dia pemilik tempat ini, Minjoon lebih sering nongkrong di sini untuk mengurus bisnis sambil mengawasi karyawan, bukan sibuk melayani tamu.

“Hyung?” panggil Minjoon begitu melihat Yoonjae datang dengan wajah penuh emosi. Nada suaranya terdengar bingung, tapi juga sedikit khawatir.

Tanpa banyak bicara, Yoonjae langsung duduk di hadapan adiknya. Napasnya masih berat, matanya tajam menatap lurus.

“Kita harus bicara, Joon…” suara Yoonjae nyaris bergetar menahan emosi. Minjoon menyandarkan tubuhnya ke kursi, menutup laptopnya perlahan.

“Hyung, kenapa seperti orang yang sedang dikejar debt collector?” ujar Minjoon, mencoba bercanda meski wajah kakaknya tampak keras dan serius.

“Karena ini serius. Aku baru saja bertemu dengan Suster Song Hee,” potong Yoonjae cepat. Tangannya mengacak rambutnya sendiri, frustrasi.

“Suster Song Hee? Siapa dia?” tanya Minjoon, keningnya berkerut bingung.

“Kamu ingat orang yang membantu Appa mengambil foto kita waktu di ruang bayi itu?” tanya nya.

“Sungguh? Lalu apa?” ujar Minjoon menegakkan posisi duduknya. Ekspresi Minjoon berubah seketika. Wajahnya yang tadinya santai, kini menegang.

“Dia… dia mengaku, Joon. Dia yang terakhir membawa Ara keluar dari ruangan bayi waktu itu.” Ucapan Yoonjae membuat Minjoon terdiam. Bola matanya bergerak gelisah, pikirannya berputar cepat.

“Sungguh, Hyung?” tanya Minjoon lirih.

Yoonjae mengangguk pelan, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih rendah—seolah kata-kata itu sendiri terasa berat untuk diucapkan.

“Dia diperintahkan… oleh Harabeoji...” lanjut nya.

Minjoon menegang. Untuk beberapa saat dia hanya diam, mencoba memproses semuanya. Suasana di antara mereka terasa begitu berat. Hanya suara jam dinding café yang berdetak pelan, berpadu dengan desis lembut mesin espresso yang baru saja dimatikan barista.

Lalu, Minjoon berdehem pelan, menatap ke arah kakaknya dengan sorot mata yang mulai berubah tajam.

“Hyung… aku tidak tahu harus percaya atau tidak,” ucap Minjoon, suaranya pelan tapi tegas.

"Jangan mulai joon-ah," ujar Yoonjae mulai terpancing emosi lagi tapi cepat - cepat minjoon menyela tidak ingin memancing emosi kakak nya lagi.

"Bukan seperti itu maksudku, Hyung, Aku juga pernah berpikir Harabeoji terlibat… mau bagaimana pun, semua petunjuk mengarah padanya. Dia tidak pernah menyukai anak perempuan, dan saat Eomma melahirkan bayi perempuan itu… bayi itu justru menghilang." ucap Minjoon pelan, nada suaranya mengambang di antara keyakinan dan keraguan. Minjoon terdiam sejenak, kedua tangannya saling menggenggam, seolah mencari pegangan di tengah keraguannya.

"Tapi di sisi lain, dia adalah kakek kita, Hyung. Orang yang merawat kita setelah kepergian Eomma dan Appa… yang tetap menjaga kita sampai Jihoon Hyung mampu berdiri sendiri dan mengurus kami semua. Aku mulai meragukan kecurigaanku sendiri… rasanya sulit untuk menuduh orang yang selama ini selalu ada di sisi kita." Ujar Minjoon yang membuat Yoonjae menatap adiknya lekat-lekat. Ekspresinya tenang, tapi dinginnya kata-kata yang keluar segera menusuk Minjoon tanpa ampun.

"Justru karena dia orang terdekat, Joon. Ingat, orang yang paling mungkin menyakiti kita bukan mereka yang datang membawa pedang dan menunjukkan niat jahatnya di depan mata… tapi keluarga. Orang yang kita percaya sebagai pelindung, yang memeluk kita, yang memberi nasihat… merekalah yang paling mudah membunuh kita… dengan pisau kecil, tersembunyi, di balik punggungnya."Ujar yoonjae yang membuat Minjoon terdiam. Tak ada lagi yang bisa ia katakan.

“Hyung sudah bicara pada Jihoon-hyung?” tanya Minjoon menatap kakaknya, dan Yoonjae mengangguk pelan. Matanya masih merah karena emosi yang belum sepenuhnya reda.

“Jihoon-hyung tidak mau langsung percaya. Dia menyuruhku mencari bukti konkret… tapi aku tidak bisa diam, Joon. Sudah dua puluh dua tahun. Kita sudah cukup sabar. Kau ingin kehilangan Ara untuk selamanya?” ujar Yoonjae, menatap adiknya lekat-lekat. Minjoon terdiam lagi, lalu menghela napas panjang.

“Kalau begitu… kita cari buktinya bersama, Hyung. Aku juga lelah menunggu keajaiban datang sendiri. Mianhae, sudah meragukan feeling-mu sebelumnya,” ucap Minjoon pelan. Matanya menatap Yoonjae serius.

Mendengar ucapan itu, tatapan Yoonjae mulai melembut. Rasa kesal yang tadi ia bawa perlahan luntur.

“Kita pasti bisa, Joon…” ujarnya tenang, dan Minjoon mengangguk.

“Tapi… kita harus hati-hati. Jika Harabeoji benar-benar terlibat… ini bukan cuma urusan keluarga. Ini bisa jadi berbahaya. Aku paham kekhawatiran Jihoon-hyung,” ujar Minjoon dengan nada rendah, seolah khawatir suara kecil pun bisa terdengar oleh dunia luar. Yoonjae menatap adiknya, lalu senyum tipis muncul di sudut bibirnya.

“Aku tidak peduli. Selama itu bisa membawa Ara pulang.” ujar nya yang membuat Minjoon membalas senyum itu, meski hatinya ikut tegang. Malam itu, mereka tahu, semuanya baru saja dimulai.

Setelah cukup berbincang, akhirnya Minjoon memilih pulang lebih dulu bersama Yoonjae, meskipun mereka kembali dengan mobil terpisah.

Mobil keduanya melaju cepat membelah jalanan ibu kota Seoul malam itu. Lampu kota memantul di kaca mobil, sementara lagu pelan dari radio terdengar samar—seolah menjadi pengiring langkah dua saudara yang siap membuka kembali luka lama keluarga mereka.

...

Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, akhirnya mobil keduanya memasuki area rumah milik keluarga Kim. Rumah besar dengan warna putih dominan itu berdiri kokoh di bawah pekatnya langit Seoul malam itu. Udara dingin menggigit, dan suara mesin mobil yang melambat terdengar kontras di tengah keheningan kawasan elit itu.

Mobil yang dikendarai oleh Minjoon dan Yoonjae berhenti di pelataran rumah mewah tersebut. Seperti biasanya, Yoonjae—yang terkenal selalu cepat dan malas berbasa-basi—langsung berjalan lebih dulu menuju dalam rumah, sementara Minjoon mengikuti langkahnya di belakang dengan tenang.

Begitu masuk, mereka melihat Jihoon sudah berada di ruang tamu. Pria itu terlihat rapi dengan pakaian rumah berwarna abu lembut, rambutnya disisir rapi ke belakang, memberi kesan tenang namun tegas seperti biasa. Minjoon melipir sebentar dan ikut duduk, sementara Yoonjae terus berjalan tanpa memperhatikan sapaan sang kakak tertua. Hal itu, tentu saja, membuat Jihoon—yang memang tidak suka diabaikan—merasa tersinggung.

“Aku bicara padamu, Kim Yoonjae!!” seru Jihoon dengan nada tegas, membuat langkah adiknya itu terhenti.

“Kenapa lagi, Hyung…” sahut Yoonjae malas, bahunya sedikit terangkat. Nada suaranya jelas menahan emosi, dan Minjoon yang duduk di sofa hanya bisa menghela napas. Ia tahu, ini akan menjadi awal dari perdebatan panas di antara kedua kakaknya, dan memilih diam daripada disebut memihak salah satu.

“Kenapa lagi? Aku menyapamu! Kau tidak dengar? Kenapa kau mengabaikan kakakmu sendiri?!” ujar Jihoon, nada suaranya meninggi.

“Hanya menyapa, tidak dijawab saja repot,” balas Yoonjae ketus, membuat wajah Jihoon memerah menahan amarah.

“Hyung…” ujar Minjoon pelan, mencoba menahan tangan Jihoon yang hendak melangkah maju.

“Kau jangan ikut campur!” bentak Jihoon, menghentakkan tangan Minjoon hingga terlepas. Langkahnya cepat dan berat menuju Yoonjae yang sama sekali tidak gentar.

“Kau makin tidak sopan makin hari, Yoon! Apa maumu, hah?!” seru Jihoon, kini berdiri tepat di hadapan adik pertamanya itu.

“Aku ingin kau percaya kalau Harabeoji memang terlibat dalam semua ini! Apa itu sulit bagimu, hah?! Apa reputasi publik lebih penting dibandingkan adik kita sendiri?!” balas Yoonjae, suaranya meninggi, matanya berkilat marah. Jihoon menatap balik dengan tajam, rahangnya mengeras.

“Jadi ini tentang itu lagi?! Kau bertindak tidak sopan padaku hanya karena aku tidak setuju kalau kau bertindak gegabah?!” ujar nya yang sudah di ambang batas sabar nya.

“Selalu itu yang kau katakan—‘bertindak gegabah’, ‘jangan terburu-buru’—aish! Lalu apa yang kita lakukan dengan diam selama ini bukan tindakan gegabah?! Sudah dua puluh dua tahun, Hyung! Dua puluh dua tahun kita mencari Ara, dan saat petunjuk akhirnya muncul—orang yang jelas tahu di mana Ara berada—kau bilang ini gegabah? Bertanya padanya itu gegabah, hah?!” Suara Yoonjae bergetar di akhir kalimatnya.

Nada amarahnya bercampur dengan kelelahan dan luka lama yang tak pernah sembuh. Minjoon hanya bisa menunduk, menatap lantai marmer putih yang memantulkan bayangan tiga pria keluarga Kim itu—bayangan yang kini terpecah, seperti keluarga mereka sendiri.

“Aku bilang aku yang akan bicara. Tapi bukan sekarang, aku butuh waktu. Dan aku melarangmu karena aku tahu seperti apa sifat gegabahmu, huh? Kalau kau bertindak tanpa pikir panjang, itu hanya akan menghancurkan kita sendiri. Keputusan yang diambil saat emosi tidak akan menghasilkan apa pun… kau mengerti?!” ujar Jihoon dengan nada tegas namun tetap berusaha sabar. Bahunya tegang, tapi sorot matanya masih berusaha menahan diri—berusaha tetap jadi kakak tertua, pengganti kepala keluarga.

“Lalu kita harus apa, huh? Diam dan menunggu keajaiban Tuhan yang entah kapan datangnya? Begitu maksudmu?!” balas Yoonjae tajam, matanya menyala penuh amarah yang semakin tak terkendali.

Plak!

Satu tamparan keras melayang dari Jihoon tepat mengenai pipi kiri Yoonjae. Suaranya nyaring, bergema di ruangan luas itu. Kepala Yoonjae terpelanting ke samping, matanya membulat, napasnya tertahan di tenggorokan. Ujung bibirnya sedikit bergetar ketika tangan kanannya refleks terangkat menyentuh pipinya yang kini terasa panas dan perih.

“Hyung… Astaga, jangan seperti itu,” panggil Minjoon pelan, suaranya nyaris berbisik, tapi Jihoon langsung menatapnya tajam—pandangan yang cukup membuat adik bungsu itu terdiam dan menelan kembali niatnya untuk bicara.

“Kalau begitu pandanganmu padaku… lakukan apa pun sesukamu! Geurae, terserah padamu! Kalau kau pikir aku tidak ikut berduka, tidak memikirkan semuanya hanya karena aku tidak berisik—maka lakukan apa pun yang kau mau! Tapi ingat, Yoon… kau yang memulai batas di antara kita!” suara Jihoon meninggi, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan terlalu lama. “Aku sudah berusaha bersabar, tapi aku juga manusia. Kesabaranku punya batas! Kalau kau masih ingin berjalan di jalanmu sendiri, silakan… tapi jangan panggil aku Hyung lagi, aku tidak mau punya adik pembangkang seperti mu!” Nada terakhirnya terdengar seperti sayatan tajam—dingin, namun menyakitkan.

Tanpa menunggu reaksi dari Yoonjae, Jihoon berbalik dan melangkah cepat menaiki tangga menuju lantai atas. Dalam langkah tergesanya, bahunya sempat menyenggol lengan Yoonjae hingga tubuh pria berusia tiga puluh dua tahun itu sedikit terdorong ke belakang.

Minjoon masih berdiri mematung di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah tangga yang kini hanya menyisakan keheningan. Ia tidak tahu harus menyusul Jihoon atau tetap di sisi Yoonjae.

Sementara itu, Yoonjae masih berdiri membeku di tempatnya. Tangan kirinya menggenggam pipi yang mulai memerah, napasnya naik-turun tak beraturan. Pandangannya kosong menatap lantai marmer yang memantulkan bayangan samar tubuhnya sendiri.

Suara langkah kaki Jihoon di tangga perlahan menghilang, meninggalkan keheningan yang terasa pekat di rumah itu. Hanya detik jam dinding dan hembusan angin dari pendingin ruangan yang terdengar.

Yoonjae menarik napas panjang—bukan untuk menenangkan diri, tapi karena ia bahkan tidak tahu lagi harus merasa apa.

“Aigoo… wae ireohke dwaesseo… (Yaampun, kenapa jadi seperti ini,)” gumam Minjoon lirih, nyaris tak terdengar, sebelum akhirnya ia menunduk dalam, menahan emosi yang belum sempat tumpah sepenuhnya.

1
Ramapratama
jangan jangan... adik yang hilang itu di adopsi keluarga Park kah?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!