0o0__0o0
Lyra siswi kelas dua SMA yang dikenal sempurna di mata semua orang. Cantik, berprestasi, dan jadi bintang utama di klub balet sekolah.
Setiap langkah tariannya penuh keanggunan, setiap senyumnya memancarkan cahaya. Di mata teman-temannya, Lyra seperti hidup dalam dunia yang indah dan teratur — dunia yang selalu berputar dengan sempurna.
***
"Gue kasih Lo Ciuman....kalau Lo tidak bolos di jam sekolah sampai akhir." Bisik Lyra.
0o0__0o0
Drexler, dengan sikap dingin dan tatapan tajamnya, membuat Lyra penasaran. Meskipun mereka memiliki karakter berbeda. Lyra tidak bisa menolak ketertarikannya pada Drexler.
Namun, Drexler seperti memiliki dinding pembatas yang kuat, membuat siapapun sulit untuk mendekatinya.
***
"Mau kemana ?" Drexler menarik lengan Lyra. "Gue gak bolos sampai jam akhir."
Glek..! Lyra menelan ludahnya gugup.
"Lyra... You promise, remember ?" Bisik Drexler.
Cup..!
Drexler mencium bibir Lyra, penuh seringai kemenangan.
"DREXLER, FIRST KISS GUE"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Kehidupan Lyra
...0o0__0o0...
...Ruang tengah kini sepi....
...Hanya suara jam antik berdetak pelan di dinding, menandai waktu yang terasa berjalan lambat....
...Guntur baru saja naik ke ruang kerjanya — meninggalkan Regina sendirian di bawah....
...Wanita itu berdiri di depan tangga, menatap arah kamar Lyra di lantai atas dengan pandangan yang sulit di jelaskan. Antara benci, iri, dan puas....
...Regina menarik napas panjang, lalu tertawa pelan. Tawa yang bukan karena bahagia, tapi karena menang kecil dalam permainan yang ia ciptakan sendiri....
...“Selalu sama,” gumamnya lembut, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. “Setiap kali nama perempuan itu muncul, wajah Mas Guntur langsung berubah…”...
...Tangannya terulur, menyentuh bingkai foto keluarga yang tergantung di dinding. Di dalamnya, ada sosok Guntur, Lyra kecil, dan seorang wanita cantik berwajah teduh....
...Regina menatap foto itu lama, jemarinya menelusuri permukaan-nya perlahan....
...“Cantik, ya…” suaranya lirih. “Tapi semua yang cantik pasti cepat tersingkir.”...
...Senyum kecil terbit di bibirnya, dingin....
...“Dan lihat, bahkan setelah pergi pun, bayangan kamu masih nyisah di rumah ini. Lewat anakmu itu.”...
...Regina melangkah menuju sofa, duduk anggun, lalu menuang teh yang sudah dingin. Ia memutar cangkir di tangannya sambil menatap kosong ke arah pintu....
...“Lyra…” ia menyebut nama itu pelan, nada suaranya seperti menguji sesuatu di lidahnya. “Gadis keras kepala yang suka menantang tanpa rasa takut. Persis ibunya. Pandai bicara, pandai menatap seolah dia tahu segalanya.”...
...Regina menyesap tehnya, lalu tersenyum miring....
...“Tapi kamu lupa satu hal, Sayang. Dalam rumah ini, yang paling tenang… justru yang paling berbahaya.”...
...Regina menatap cermin besar di seberang ruangan, melihat bayangan dirinya yang tampak tenang dan sempurna....
...“Orang bilang, saya lembut. Saya penyabar. Tapi mereka nggak tahu… kelembutan juga bisa membunuh, pelan-pelan. Tanpa darah. Tanpa suara.”...
...Regina meletakkan cangkir itu di atas meja, lalu berdiri kembali....
...“Teruslah bicara seenaknya, Lyra. Terus tantang Papamu. Semakin kamu melawan, semakin dia jauh darimu.”...
...Senyumnya mengembang, manis tapi kejam....
...“Dan saat itu terjadi… aku yang akan berdiri di sisinya. Aku yang akan menang.”...
...Regina menatap sekali lagi ke arah tangga, lalu berbalik dengan langkah ringan, seolah tak ada dosa yang menempel di tubuhnya....
...Hanya aroma parfum mahal yang tertinggal di udara — wangi, lembut, dan berbahaya....
...0o0__0o0...
...DI dalam kamar bernuansa ungu dengan disain model BTS itu terlihat sangat elegan. Bahkan semua poster 7 bujang BTS tertempel rapi di dinding....
...Hening....
...Hanya napas Lyra yang berat, mengisi ruang yang terlalu besar dan terlalu dingin. Ia bersandar di pintu, matanya terpejam, pipinya masih terasa panas — bukan karena tamparan Regina, tapi karena rasa yang lebih menyakitkan dari itu....
...Pengkhianatan yang datang dari rumah yang seharusnya melindunginya....
...Perlahan, Lyra melangkah menuju meja rias....
...Cermin besar di depannya memantulkan bayangan gadis muda berwajah cantik dengan pipi memerah dan mata tajam yang berusaha tetap kokoh....
...Wajah itu menatapnya balik — wajah yang terlihat seperti mamanya....
...“Mirip banget, ya,” gumamnya pelan sambil menatap bayangan itu. “Sampai mereka benci ngelihat gue, cuma karena Mama masih hidup di muka gue.”...
...Lyra menarik kursi, duduk, dan menyentuh bekas tamparan di pipinya....
...“Mama… kalau aja masih di sini, mungkin gue nggak akan sekeras ini.”...
...Suaranya serak, tapi tenang....
...“Gue cuma capek. Capek harus pura-pura kuat di tempat yang cuma tahu cara nyakitin.”...
...Lyra menunduk, menarik napas panjang....
...Bayangan masa kecilnya menari di benaknya — Mamanya yang tertawa sambil menata rambutnya di depan cermin yang sama, suara lembut yang dulu menenangkan....
...Kini yang tersisa hanya gema, samar dan menyakitkan....
...Di luar, suara langkah terdengar samar — mungkin Guntur, mungkin Regina....
...Lyra menatap pintu dengan tatapan datar....
...“Biarlah mereka pikir gue pembangkang,” gumamnya pelan. “Gue nggak butuh pengakuan dari orang yang nggak pernah benar-benar sayang sama gue.”...
...Lyra berdiri, melangkah ke jendela besar kamarnya....
...Kota di bawah sana berkelip — seolah dunia lain sedang hidup tanpa tahu apa yang terjadi di mansion megah itu....
...Lyra menyentuh kaca dingin jendela, suaranya nyaris tak terdengar....
...“Gue nggak akan kalah, Ma. Sekalipun mereka semua nyoba terus jatuhin gue.”...
...Lyra tersenyum tipis — senyum yang bukan milik anak muda biasa, tapi milik seseorang yang terlalu sering di sakiti hingga tahu caranya bertahan tanpa menangis....
...Senyum yang diam-diam berjanji....
...Jika mereka ingin perang diam-diam, Lyra akan melawan dengan keheningan yang lebih tajam....
...0o0__0o0...
...Malam itu, udara di mansion masih dingin....
...Angin semilir menembus tirai kamar Lyra. Tapi di dalam hati gadis itu, semuanya masih kelam dan berantakan....
...Lyra berdiri di depan lemari, menarik jaket hitamnya dengan gerakan cepat. Tanpa banyak bicara, ia mengikat rambutnya tinggi, lalu mengambil tas balet di sudut ruangan....
...Sebelum keluar, pandangan-nya sempat menatap cermin sekali lagi — wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan badai yang siap meledak kapan saja....
...“Studio,” gumamnya pelan. “Satu-satunya tempat yang nggak berisik.”...
...Lyra turun menapaki anak tangga tanpa suara....
...Di ruang makan, Regina dan Guntur duduk berhadapan, membicarakan sesuatu yang bahkan tidak ingin Lyra dengar....
...Begitu ujung sepatu haknya menyentuh lantai marmer, Regina menoleh dengan senyum lembut yang penuh kepalsuan....
...“Mau ke mana lagi malam-malam begini, Lyra ?”...
...Nada suaranya terdengar manis, tapi Lyra tahu — racun selalu bersembunyi di balik kelembutan itu....
...“Latihan balet,” jawabnya singkat, datar....
...“Latihan balet ?” Regina menaikkan alis pura-pura khawatir. “Kamu baru beberapa jam pulang, sayang. Kenapa tidak istirahat dulu ?”...
...Suara lembut itu terdengar seperti belaian pisau tumpul di telinga Lyra....
...Lyra menatapnya, dingin....
...“Kalau saya istirahat, saya bisa mati bosan dengar suara manis Anda terus,” katanya, tersenyum tipis — senyum yang cukup untuk membuat Regina kehilangan kata....
...“Lyra.”...
...Suara tegas sang ayah membuat gadis itu menoleh, menatap tanpa gentar....
...“Kenapa ?” ujarnya datar. “Kalau mau ceramah, simpan buat besok. Aku gak punya waktu buat dengerin ocehan unfaedah.”...
...Nada Lyra yang menantang membuat darah Guntur mendidih. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan diri....
...“Kamu cuma punya dua pilihan,” katanya perlahan tapi tajam. “Akhiri kegiatan baletmu yang gak berguna itu... atau semua fasilitas kamu Papa sita. Termasuk mobil sport kesayangan mu.”...
...Lyra terdiam sejenak. Tatapannya makin tajam, tapi bibirnya justru melengkung sinis....
...“Oh, come on, Papa. Anda jelas tahu, balet itu bagian dari hidup aku.”...
...Dengan gerakan tenang, Lyra mengeluarkan dompet dari tas, lalu melempar semua isinya ke atas meja. Kartu-kartu itu berserakan di antara piring dan gelas makan malam....
...“Ambil. Aku gak butuh fasilitas dari Anda,” katanya datar. Lyra melangkah maju, menatap Papanya lurus-lurus....
...“Dan jangan coba-coba sentuh mobilku. Karena itu bukan pemberian Anda.” Suaranya rendah, tapi mengandung ancaman dingin....
...Keheningan menegang. Dua pasang mata saling mengunci tajam, keras, tanpa niat mengalah....
...Sampai akhirnya suara lembut Regina memecah udara yang padat....
...“Lyra, sayang… jangan terus melawan Papamu, nak. Tanpa fasilitas, kamu cuma akan mempersulit hidup mu sendiri,” ucapnya lembut....
...Padahal di balik senyum itu, pikirannya berdesis kejam....
..."Bagus, terus lawan Papamu, Lyra. Biar semua fasilitas mu jatuh ke tangan ku."...
...Lyra menoleh ke arahnya, menatap dengan sorot tajam yang nyaris menusuk....
...“Menurut Anda, tanpa fasilitas dari Papa saya bakal menderita ?” ia terkekeh pelan. “In your dreams.”...
...Rahang Regina mengeras, tapi senyumnya tetap di paksakan. “Mama cuma ingin kamu tidak salah ambil pilihan, Nak.”...
...“Jalang seperti Anda tahu apa soal pilihan ?” balas Lyra pelan, namun nadanya menancap seperti belati. “Selain pilihan ngakang sama pasangan orang.”...
...Tanpa ragu, Lyra mengambil segelas susu dari meja dan mengguyurkan-nya ke kepala Regina....
...“Minum yang banyak. Biar otak lo gak bodoh.”...
...Tak..!...
...Gelas kosong itu di letakkan di meja dengan dentuman keras....
...“Lyra, jangan kurang ajar!” Guntur membentak, berdiri dari kursinya. “Minta maaf sama mama kamu!”...
...“Yes, I am,” sahut Lyra tenang. “Minta maaf ? Sama jalang Anda ? Bahkan di dalam mimpi Anda pun gak akan pernah terjadi.” Suaranya dingin, tapi matanya berkilat tajam....
...Tanpa menunggu reaksi, Lyra berbalik....
...Ia melangkah keluar, membiarkan udara malam yang dingin menusuk kulitnya — tapi terasa jauh lebih segar dari pada napas siapa pun di dalam rumah itu....
...0o0__0o0...
😌
dexler udh dateng tuh matilah kau bagas 😂😂
😉🤭😅