Aqilla Pramesti begitu putus asa dan merasa hidupnya sudah benar-benar hancur. Dikhianati dan diceraikan oleh suami yang ia temani dari nol, saat sang suami baru saja diangkat menjadi pegawai tetap di sebuah perusahaan besar. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Namun, takdir berkehendak lain, siapa sangka nyawanya diselamatkan oleh seorang pria yang sedang berjuang melawan penyakitnya dan ingin hidup lebih lama.
"Apa kamu tau seberapa besar perjuangan saya untuk tetap hidup, hah? Kalau kamu mau mati, nanti setelah kamu membalas dendam kepada mereka yang telah membuat hidup kamu menderita. Saya akan membantu kamu balas dendam. Saya punya harta yang melimpah, kamu bisa menggunakan harta saya untuk menghancurkan mereka, tapi sebagai imbalannya, berikan hidup kamu buat saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Brengsek kau, Mas." Suara Aqilla menggema di ruangan sempit itu, matanya membulat, memerah dan berair. "Kenapa baru sekarang kau bilang kau Ayahnya, hah? Kemarin-kemarin kau ke mana aja? Setelah kau mencampakkan aku dan anak-anak, sekarang kau menyebut dirimu Ayah dan meminta hakmu?"
"Makannya, batalkan saja pernikahan kamu, Aqilla. Kalau nggak, saya bakalan ajukan hak asuh mereka. Kalau kamu gak mau berpisah dari anak-anak, turuti kata-kata saya," tegas Ilham dengan penuh penekanan.
Aqilla menepis kedua tangan Ilham dengan kasar, seraya tersenyum menyeringai. "Tak perlu mengajukan hak asuh segala, Mas. Kalau kamu mau anak-anak kita, silahkan. Aku akan dengan suka rela memberikan mereka sama kamu."
"Biar kamu tau gimana repotnya ngurus dua anak. Aku yakin, tak lama kamu akan mengembalikan mereka lagi padaku," batin Aqilla, memandang tajam wajah Ilham dengan penuh rasa dendam.
Ilham membulatkan kedua mata. "Apa? Ka-kamu gak akan nyesel berpisah sama mereka?" tanyanya, tidak menyangka bahwa Aqilla akan memberikan jawaban yang mengejutkan.
"Kenapa harus nyesel? Toh, kamu Ayahnya. Aku yakin kamu gak akan menyakiti mereka. Kamu bilang kalau kamu punya hak sebagai Ayahnya, 'kan?" tanya Aqilla seraya tersenyum menyeringai. "Lagian, selama ini kamu gak tau gimana repot-nya aku ngurus mereka sambil jualan dan ngurus rumah. Sementara kamu malah asik-asikkan sama selingkuhan kamu."
"Sekali kamu memberikan mereka sama saya, saya gak akan pernah mengembalikan mereka lagi sama kamu."
Aqilla terdiam dengan dada naik turun menahan sesak. Apa ia sanggup hidup tanpa anak-anaknya? Apa ia rela kedua buah hatinya diasuh oleh ibu tiri? Sudah menjadi rahasia umum, sosok ibu tiri memiliki citra yang buruk. Ya, meskipun tidak semua ibu tiri seperti itu, masih ada sosok ibu tiri yang memiliki hati malaikat seperti artis bernama Ashanty yang dengan sepenuh hati membesarkan anak sambungnya layaknya anak kandung sendiri.
"Maafin Ibu, Kaila, Keano, maaf karena Ibu egois. Ibu janji akan menjemput kalian lagi nanti," batin Aqilla, seketika memejamkan kedua mata.
Suara dering ponsel seketika mengejutkan mereka. Aqilla segera merogoh tas bermerek Hermes miliknya, meraih ponsel canggih dari dalam sana. Kedua sisi bibirnya seketika tersenyum lebar seraya memperlihatkan layar ponsel kepada mantan suaminya.
"Calon suamiku nelpon, dengan satu perintah dariku saja, kamu bisa dipecat dari perusahaan ini. Mau?" tanyanya, tersenyum menyeringai.
"Sial," gumam Ilham, segera memutar badan dengan perasaan kesal.
Beruntung, mereka sudah tiba di lantai dasar dan pintu lift pun terbuka lebar. Aqilla kembali menatap layar ponsel sebelum akhirnya mengangkat sambungan telepon.
"Halo, Mas," sapanya seraya melangkah keluar dari dalam lift, meletakan ponsel di telinga.
Ilham melakukan hal yang sama seperti Aqilla. Mengikutinya dari belakang, bahkan memandang tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung rambut.
"Dasar wanita sialan, kamu pikir saya akan membiarkan kamu menikah sama Bos saya? Heuh ... saya gak rela kamu menikah sama laki-laki lain apalagi laki-laki yang lebih baik dari saya," batinnya, diam-diam mendengarkan pembicaraan Aqilla.
"Maaf, Mas. A-aku gak jadi ke kantor kamu," ucap Aqilla, ia sama sekali tidak menyadari langkahnya tengah diikuti oleh Ilham.
"Ya udah gak apa-apa, Qilla. Saya juga lupa kalau hari ini jadwal cuci darah. Kita masih ada waktu, gimana kalau fitting baju pengantinnya lusa aja?"
"Mau aku temenin ke Rumah Sakit?"
"Rumah Sakit?" batin Ilham, seketika mengerutkan kening.
Konsentrasi Ilham seketika buyar, mencoba untuk mencerna kalimat terkahir yang baru saja diucapkan oleh Aqilla, langkah kakinya melangkah pelan seraya berpikir.
"Apa Pak Radit sakit keras? Kenapa Aqilla harus menemani beliau ke Rumah Sakit? Saya harus menyelidiki ini. Walau bagaimanapun, saya harus mencari cara agar mereka membatalkan pernikahan," batinnya, kembali mempercepat langkahnya, menghampiri Aqilla yang baru saja mengakhiri sambungan telepon.
"Tunggu, Aqilla. Kita belum selesai bicara," pintanya, seraya meraih pergelangan tangan Aqilla, memaksakannya untuk berhenti.
Aqilla secara refleks menghempaskan telapak tangan Ilham. "Apa-apaan kamu, Mas? Kamu mau dipecat dari perusahaan ini, hah?" bentaknya, dengan emosi.
Ilham menatap sekeliling, berharap aksinya tidak diketahui oleh Radit, pemilik perusahaan. "Sekarang kamu tinggal di mana? Karena kamu udah sepakat mau memberikan anak-anak sama saya, secepatnya saya akan menjemput mereka."
"Tak usah capek-capek menjemput mereka karena aku akan mengantarkan sendiri mereka sama kamu, Mas."
"Iya, tapi sekarang kamu tinggal di mana? Setau saya, kamu gak punya rumah, kedua orang tua kamu juga udah gak ada."
Aqilla tersenyum menyeringai. "Kamu lupa kalau calon suamiku itu kaya raya?"
Ilham terdiam seraya menghela napas panjang.
"Dia membelikan aku rumah dan mencukupi semua kebutuhan aku dan anak-anak. Jadi, tak usah mengkhawatirkan aku. Oke?"
"Siapa yang mengkhawatirkan kamu, Aqilla? Saya cuma ingin tau di mana kamu tinggal. Ka-kamu gak tinggal di rumahnya Pak Radit, 'kan? Kamu gak kumpul kebo sama dia, 'kan?"
"Mau aku kumpul kebo atau kumpul sapi sekali pun, itu bukan urusan kamu. Kalau kamu mau anak-anak, aku yang akan mengantarkan mereka sama kamu. Yang jelas, ancaman kamu gak berhasil. Aku gak akan pernah membatalkan pernikahan aku sama Mas Radit, paham?" Ucapan terkahir Aqilla sebelum wanita itu melangkah dengan cepat meninggalkan mantan suaminya.
Ilham terdiam dengan perasaan kesal. "Oke, kamu jual saya beli, Aqilla. Kamu nantang saya, ya. Saya gak akan pernah membiarkan kamu menikah sama Pak Radit. Saya akan melakukan apapun untuk membatalkan pernikahan kamu. Saya gak rela kamu menikah sama laki-laki lain," batinnya, kedua tangannya seketika mengepal.
Rasa panas tiba-tiba memenuhi dada bahkan terasa membumi hanguskan organ intinya di dalam sana. Melihat perubahan mantan istrinya, dari yang biasa saja menjadi luar biasa, dari yang lusuh menjadi cantik paripurna, membuatnya dihantui rasa cemburu yang luar biasa. Andai dulu Aqilla merawat dirinya seperti ini, mungkin ia tidak akan pernah berselingkuh dengan wanita bernama Dona yang saat ini tengah berbadan dua.
"Seharusnya dari dulu kamu seperti ini, Aqilla. Cantik dan berkelas. Kenapa waktu kamu masih jadi istri saya, penampilan kamu malah seperti gembel," batinnya lagi, memandang tubuh Aqilla hingga wanita itu benar-benar menjauh dan menghilang dari pandangan mata.
Ponsel canggih miliknya seketika berdering nyaring, Ilham merogoh saku jas hitam yang ia kenakan, meraih ponsel canggihnya dari dalam sana. Menatap layarnya dengan kening dikerutkan.
"Nomor siapa ini?" gumamnya, menatap nomor asing yang terpampang di layar ponsel.
"Halo," sapanya, meletakan ponsel di telinga.
"Ilham?"
"Iya, betul. Anda siapa?"
"Saya Radit. Dateng ke ruangan saya sekarang juga."
"Hah? Pa-Pak Radit?"
Bersambung ....