Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.
Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.
Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Profesional atau Menjauh?
Sejak pagi, suasana kerja Arash berbeda dari biasanya. Tak ada gumaman pelan yang biasanya keluar dari mulutnya saat melihat tumpukan dokumen. Tak ada omelan kecil yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Bahkan ekspresi wajahnya lebih datar dari biasanya—seolah ia menyimpan sesuatu yang ingin ia jauhi.
Devan memperhatikan itu.
Sejak mereka bertemu di lift tadi, Arash terlihat lebih kaku, lebih dingin, lebih… menjaga jarak.
Devan berdiri beberapa meter dari meja Arash, ragu-ragu namun tetap melangkah mendekat. Ia mengetuk meja ringan.
“Rash,” panggilnya.
Arash mengangkat kepala. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Nada suaranya sangat formal. Seperti tidak mengenal Devan di luar hubungan pekerjaan.
“Kamu ikut meeting bareng saya dan Malik,” ucap Devan.
“Maaf, Pak,” jawab Arash datar. “Pekerjaan saya masih banyak. Lagi pula itu bukan ranah saya.”
Devan mengerutkan kening.
“Rash, kamu masih marah?”
Arash langsung menegakkan punggung, ekspresinya profesional. “Maaf, Pak. Mohon jangan membicarakan hal lain saat sedang bekerja.”
Kalimat itu menampar Devan lebih keras daripada yang Arash sadari.
“Kamu beda, Rash…” ucap Devan pelan, nyaris seperti keluhan.
“Saya masih sama,” jawab Arash tanpa menatap matanya. “Saya hanya bekerja secara profesional.”
Devan terdiam beberapa detik, seperti sedang berusaha membaca dinding yang Arash bangun begitu rapat.
“Baiklah,” akhirnya ia menyerah. “Saya permisi.”
Devan berbalik, dan tepat di momen itu Malik muncul dari belakang, memegang tablet berisi agenda meeting.
Saat Devan melangkah pergi, Malik bersandar sedikit ke meja Arash dan membisik.
“Jangan terlalu kaku, Nona… takutnya nanti jatuh cinta.”
Arash menoleh cepat, wajahnya jelas tidak suka. “Bukan urusan Anda, Pak Malik.”
Malik hanya tertawa kecil. “Saya kan cuma bercanda.”
Ia bergegas menyusul Devan yang sudah berada di depan, meninggalkan Arash dengan perasaannya yang tidak ingin ia akui.
......................
Di ruang meeting, atmosfer terasa tegang.
Devan duduk di kursi utama, namun sorot matanya tidak fokus. Ia berkali-kali memandang ke arah pintu, seolah berharap seseorang yang ia tahu tak akan datang.
Malik mempresentasikan laporan pendapatan bulanan, namun Devan tidak mengikuti.
“Pak Devan?” panggil Malik setelah beberapa menit. “Ini bagian yang harus Anda approve.”
“Hmm? Oh… iya,” jawab Devan, tapi jelas pikirannya melayang.
“Kita sudah bahas ini dua kali, Pak,” ucap Malik lagi, kini dengan nada teguran. “Fokus sedikit.”
Devan menutup mata sejenak, mengembus napas panjang.
“Ayo lanjut.”
Malik meliriknya dengan tatapan mengerti. Ia tahu bosnya sedang tidak baik-baik saja—dan satu-satunya yang membuat laki-laki itu tidak fokus hanya satu kemungkinan: Arash.
......................
Sementara itu, jauh dari gedung kantor, seorang wanita sedang memulai drama barunya.
Vena Utomo.
Begitu keluar dari gedung, ia langsung masuk ke mobilnya dan meluncur ke rumah keluarga Adhitama. Tidak sampai satu jam, ia sudah berdiri di ruang tamu yang megah itu.
Begitu melihat Diana, ibu Devan, Vena langsung mengambil langkah cepat dan breng!—ia memeluk wanita itu sambil menangis tersedu.
“Aunty…” isaknya. “Devan… Devan kasar sama aku… dia nolak aku… dia bilang nggak ada waktu buat aku…”
Diana mengelus punggungnya lembut. Air muka Diana tidak terkejut sama sekali.
“Ssshh… tenang, Nak. Aunty sudah duga Devan pasti akan begitu.”
Vena menangis lebih dramatis, menyeka air mata yang bahkan tidak sempat mengalir.
“Padahal… aku berusaha, Aunty… aku cuma mau jadi calon istri yang baik…”
Diana menarik napas panjang, lalu duduk di samping Vena.
“Nak, Devan memang sulit. Tapi bukan berarti kamu menyerah. Aunty akan tetap dukung kamu.”
Vena menunduk—dan tersenyum kecil, kemenangan terselip di balik pura-pura lemah itu.
Tak lama kemudian, Danu muncul dari arah tangga.
“Ada apa ini ramai-ramai?” tanya Danu.
“Aku… aku ditolak Devan, Om…” ucap Vena lirih, suaranya masih tremor meski air matanya tidak lagi turun.
Danu mengangguk, lalu menepuk bahu Vena. “Sabar ya. Om yakin, kalau kamu terus mendekati dia, Devan pasti luluh.”
Vena mengangguk lembut, padahal di dalam pikirannya ia berkata:
Ya… makin cepat aku bisa kontrol kalian semua, makin baik.
......................
Sementara itu, kembali di kantor…
Arash benar-benar tenggelam dalam pekerjaan. Ia mengetik cepat, memeriksa dokumen, mengirim email, dan membalas pesan satu per satu.
Ia bahkan tidak memberi waktu untuk sekadar menarik napas panjang.
Tugas kuliahnya? Ia bahkan baru ingat kalau beberapa laporan magang belum ia kerjakan.
“Ya Allah…” keluh Arash lirih sambil menutup wajah dengan kedua tangan. “Kenapa baru ingat sekarang…”
Namun ia tidak punya waktu untuk mengeluh. Ia harus menyelesaikan laporan kantor dan tugas kuliah.
Satu-satunya cara: lembur.
Arash kembali ke layar laptopnya. Matanya sudah lelah, tapi ia tetap memaksakan diri.
Lebih baik fokus ke pekerjaan daripada memikirkan orang yang tidak seharusnya di pikirkan.
Namun pikirannya tak bisa diam.
Bayangan Devan muncul berkali-kali: saat lelaki itu menatapnya di lift, saat mengajaknya ikut meeting, saat bertanya apakah ia masih marah…
Arash mengusap wajahnya cepat-cepat.
"Sudahlah. Itu bukan urusanku."
Ia menolak memikirkan hal yang bahkan tidak punya nama.
Tapi entah kenapa, dadanya terasa sesak.
......................
Di ruang meeting, Devan memijat pelipis. Firasatnya tidak enak. Entah kenapa ia merasa Arash menjauh—sengaja menjauh.
Dan anehnya… ia membenci perasaan itu.
Sangat membenci.
“Ada kendala, Pak?” tanya Malik pelan.
Devan membuka mata, dingin. “Tidak.”
Tapi Malik hanya tersenyum kecil, mengetahui kebohongan itu tanpa perlu mengatakannya.
Devan benci dirinya sendiri hari itu. Ia tidak fokus bekerja, tidak bisa membaca laporan, dan hanya memikirkan satu hal yang membuatnya ingin kembali ke lantai eksklusif:
Arash… kamu kenapa menjauh dari saya?
Namun ia menahan diri.
Karena kalau ia kembali sekarang…
Ia takut Arash menganggapnya tidak profesional.
Dan itu adalah hal terakhir yang ingin ia dengar dari mulut Arash.
mellow banget...... beneran nangis aku ini.....
pe di ledekin ma bocil......😭😭😭😭
😡
ga sabar tunggu update nya....💪
dengan begitu Devan bisa istirahat dari kerjaan nya...ga seperti robot lagi....
di tambah bonus...bisa lebih intens lagi dengan Arash.....💪