carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
“Sayang, ayo makan.”
“Iya, Pa. Papa belum makan? Aku kira Papa sudah makan. Maafin aku lama ya, Pa. Aku jadi nggak enak sama Papa.”
“Tidak apa-apa, Sayang. Jangan merasa tidak enak. Papa nggak apa-apa kok, beneran.”
Setelah mereka makan, akhirnya Carol berpikir apa yang harus ia lakukan agar cookienya enak. Anton mencoba melihat ke arah Carol yang sedang merenung. Ketika Carol sadar sedang diperhatikan, ia langsung melanjutkan makan tanpa berkata apa-apa.
Anton mencoba menghibur Carol agar putrinya itu tidak merasa sendirian, karena ia tahu betapa berartinya Carol di hidupnya.
“Kamu masih sedih karena makanan kamu belum terlalu sempurna?” tanya Anton lembut.
“Iya nih, Pa. Kayaknya aku bingung juga harus bagaimana biar makananku sempurna.”
“Kamu hanya perlu terus berlatih kok. Nggak perlu terlalu patah semangat, karena kegagalan itu pasti. Tapi kamu harus bisa belajar dari kegagalan itu, dan Papa yakin kamu pasti bisa.”
Carol yang mendengar itu hanya diam dan termenung. Ia bertanya dalam hati, apakah benar yang dikatakan papanya. Jika dirinya mencoba lagi, apakah akan berhasil?
Walau tahu bagaimana pun hasilnya nanti, Carol tetap ingin mencoba. Setidaknya dirinya tidak terlalu patah semangat dengan hasil apa pun yang akan datang.
“Ya udah, Pa. Makasih ya udah semangatin aku. Nanti aku coba lagi deh, siapa tahu berhasil kali ini,” ucap Carol dengan senyum kecil.
Anton hanya tersenyum mendengar perkataan anaknya. Ia tidak menyangka bahwa dirinya bisa menghibur anaknya. Padahal selama ini Anton dikenal tidak pernah bisa menghibur orang lain—bahkan wanita sekalipun. Tapi kali ini, anaknya bisa terhibur karena kata-kata sederhana darinya.
Anton merasa bangga karena bisa membuat Carol tersenyum. Ia bertekad untuk terus berusaha agar anaknya selalu bahagia dan tidak merasakan kesedihan lagi.
---
Malam itu, di kamar, Carol berpikir bagaimana cara membuat cookie yang enak agar bisa mencoba bisnis baru. Ia merasa karena dirinya suka makan, mungkin bisnisnya juga sebaiknya berhubungan dengan makanan.
Keesokan paginya, Carol mencoba lagi resep kemarin. Ia membuatnya dengan penuh semangat, menggunakan bahan-bahan yang sudah ada. Semua pegawai hanya diam melihat Carol yang sedang memberantakan dapur—seolah-olah hal itu sudah biasa.
Saat memanggang, Anton turun ke dapur. Semua pengawal diam menunggu Nona Carol menyiapkan cookie tersebut. Anton hanya tersenyum melihat semangat putrinya. Ia bangga karena Carol kini ingin memiliki bisnis sendiri tanpa harus membebani dirinya.
---
Tring!
Handphone Anton berdering—dari Gerald.
“Halo, bro. Kenapa?”
“Lu lagi di mana? Gua di depan rumah lu nih. Gua masuk ya?”
“Oh, yaudah. Masuk aja, kebetulan gua juga lagi di rumah kok.”
Gerald masuk ke dalam rumah. Saat itu, ia melihat Carol sedang membuat cookie.
Carol kaget ketika melihat Gerald, tapi tetap menyapanya dengan hangat.
“Halo, Om. Apa kabar?”
“Baik. Kamu lagi bikin apa? Lagi bikin cookie, ya?”
“Iya nih, Om. Aku mau coba buat-buat kue aja, soalnya aku ngerasa bosen di rumah.”
“Loh, kenapa kamu di rumah? Bukannya kamu sekolah ya?”
Anton langsung menarik tangan Gerald tanpa berkata apa-apa, sementara Carol tetap melanjutkan membuat cookienya.
Carol merasa bingung dengan perkataan Gerald tadi. Ia sempat berpikir, harusnya tadi dirinya menjawab apa adanya agar bisa mendapat jawaban yang lebih baik dari Gerald. Tapi yasudahlah.
---
Di ruang kerja Anton.
“Ada apa, bro? Tumben banget ke rumah,” tanya Anton.
“Jadi gini, bro. Ada tender bagus dan gede banget. Ini proposalnya, coba lu baca.”
Gerald menyerahkan proposal kepada Anton. Anton menerimanya dengan tenang lalu membacanya.
Nominalnya tidak main-main. Anton bingung, sebenarnya ini pembayaran untuk apa. Kenapa hanya untuk membangun rumah sakit biayanya bisa semahal itu? Ia menatap Gerald dengan curiga.
Apakah Gerald sedang mencoba menipunya? Atau ini semacam pembalasan dendam karena tender kemarin tidak dimenangkan oleh Gerald?
Anton tidak mau berpikir gegabah. Ia mencoba menenangkan diri dan memikirkannya matang-matang.
“Gerald, maaf. Bukan gua nggak mau, tapi gua pikirin dulu ya. Nominalnya besar banget. Kalau lu mau, nggak apa-apa, lu jalanin aja sendiri. Gua nggak masalah kok.”
“Ini kesempatan bagus, loh, Anton. Kapan lagi bisa dapat modal sebesar ini dan keuntungan segede itu!”
“Ya, untuk sekarang gua belum bisa. Sekali lagi gua minta maaf, ya. Mungkin lu bisa coba sendiri untuk perusahaan lu.”
Anton hanya tersenyum sambil mengembalikan proposal itu. Gerald terlihat marah ketika keluar dari ruangan.
---
Saat Carol hendak membawa cookie ke ruang kerja, ia melihat Gerald keluar dengan wajah kesal.
“Papa, kok Om Gerald sudah pergi? Emang urusannya sama Papa sudah selesai?”
“Iya, Sayang, sudah. Ada apa, Sayang?”
“Kok cepat banget, Pa? Padahal aku mau nyuruh Om Gerald cobain cookie aku, loh.”
Anton hanya tersenyum dan tidak memedulikan Gerald. Ia mengambil cookie buatan Carol. Saat itu, Anton yang sedang memakai kacamata tampak begitu menawan di mata Carol.
Terkadang Carol bingung—umur berapa papanya menikah dengan mamanya, dan kapan dirinya dilahirkan. Ia bertanya-tanya sendiri dalam hati.
“Kenapa, Sayang? Kok diam saja, kayaknya ada yang kamu pikirin?”
“Tidak, kok, Pa. Aku cuma lagi mikir aja, cookie aku enak nggak?”
“Enak kok. Papa suka rasanya. Papa review jujur, ya—bukan bohong atau cuma mau nyenengin kamu aja.”
Carol merasa senang mendengar pujian dari papanya. Setelah itu, Anton mengajaknya berbicara di ruang kerjanya.
“Carol, ada yang mau Papa bicarakan sama kamu.”
“Ya, Pa?”
Anton membawa cookie yang ada di tangan Carol. Setelah masuk ke ruangan, Carol melihat papanya dengan heran.
“Carol, Papa mau nanya. Bagaimana perasaan kamu selama liburan di rumah? Gimana rasanya?”
“Kenapa Papa nanya begitu tiba-tiba? Aku jadi bingung. Ada apa sih, Pa? Kalau ada yang mau Papa tanya, tanyain aja, biar aku bisa jawab.”
Anton terdiam. Ia bingung mau mulai dari mana.
“Papa kenapa sih, Pa? Kayaknya serius banget. Aku jadi takut, deh. Papa beneran nggak ada yang Papa tutupin dari aku, kan?”
Entah kenapa, rasanya sulit sekali bagi Anton untuk berbicara kepada anaknya sendiri. Padahal Carol sudah menunggu lama. Ia takut pembicaraan itu malah membuat anaknya sedih. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa cepat atau lambat, Carol harus tahu.
“Papa mau bicara apa sih? Dari tadi Papa diam aja. Apa Papa pura-pura mau bicara, tapi akhirnya nggak jadi?”
“Iya, ya... Papa jadi lupa mau bicara apa. Ya udah deh, lain kali aja. Nanti kalau Papa ingat, Papa bakal bicara sama kamu.”
Anton menghindari pembicaraan itu. Ia belum siap. Bahkan dirinya sendiri masih sulit menerima kenyataan yang harus ia sampaikan.
---
“Papa, aku kayaknya mau coba mulai sekolah besok, deh. Soalnya aku udah merasa bosan di rumah. Boleh nggak aku ke sekolah?”
Anton yang mendengar itu mencoba menanggapinya dengan bijak.
“Kamu udah berani ke sekolah? Kalau memang udah siap, nggak apa-apa. Tapi Papa takutnya kamu belum benar-benar siap. Nanti malah trauma kamu makin panjang.”
Seolah-olah Anton tidak bisa lepas dari anaknya itu. Walaupun Carol bukan anak kandungnya, entah kenapa Anton merasa sangat terikat dan sakit bila harus berpisah darinya.
Namun Anton juga tidak mau Carol disakiti oleh orang lain tanpa ia ketahui.
Akhirnya, Carol keluar dari ruangan itu. Ia mencoba melupakan pembicaraan barusan. Carol berpikir, tidak ada hal yang perlu ia pikirkan lagi selain membuat cookie dan belajar.
Ia senang karena papanya mendukung rencananya untuk sekolah besok, tapi di sisi lain, ia masih takut. Apakah ia benar-benar siap kembali ke sekolah, meski trauma itu belum hilang sepenuhnya?
Haruskah Carol pindah sekolah? Atau mungkin sekolah di rumah saja, seperti anak-anak lain?
Carol ingin pindah sekolah, tapi ia juga takut tidak diterima di sekolah lain.