Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33.SEMAKIN JELAS
Salju tipis turun di luar jendela rumah sakit. Udara musim dingin Amerika merembes sampai ke koridor, membuat lampu-lampu putih di langit-langit tampak semakin dingin. Di kamar perawatan itu, Sari duduk dengan selimut tebal menyelimuti tubuh, sementara Lanang menata beberapa dokumen yang baru saja diberikan Pak Aldo.
Malam itu terasa panjang bagi mereka berdua.
“Ini daftar universitas yang bisa menerima proses transfer paling cepat,” kata Pak Aldo, meletakkan map biru di meja kecil.
Lanang membacanya satu per satu.
Nama universitas asing itu tampak indah di atas kertas, tapi baginya terasa seperti daftar “jarak” antara dirinya dan kampung halaman.
“Aku… masih belum percaya ini semua terjadi begitu cepat, Pak,” ucap Lanang lirih.
Pak Aldo menepuk bahunya.
“Kamu tidak sendiri. Aku di sini. Ibu kamu juga semakin membaik.”
Sari yang duduk di ranjang tersenyum lembut.
“Lanang… kamu ambil kesempatan ini. Jangan khawatirkan Ibu.”
“Justru aku kuliah supaya bisa jaga Ibu,” jawab Lanang.
Sari menghela napas pelan. “Ibu cuma nggak mau kamu merasa hidupmu berhenti karena Ibu…”
Lanang menatap matanya. “Ibu adalah hidupku.”
Sari terdiam. Ucapan itu menembus dinding rapuh memorinya yang masih berjuang membuka diri.
Tiba-tiba Sari memijit pelipisnya. Napasnya memburu.
“Bu? Sakit lagi?” Lanang langsung memegang tangannya.
Sari menggeleng, namun suaranya bergetar. “Ada… potongan gambar muncul. Suara. Seseorang memanggil namaku…”
Lanang menahan napas.
“Nama… Retno.”
Sari menatap tangannya sendiri seperti benda asing.
“Nama itu muncul sangat jelas barusan. Lalu… ada laki-laki… tapi aku tidak bisa melihat wajahnya.”
Pak Aldo segera mencatat. “Ini perkembangan yang sangat baik, Bu.”
Sari memejamkan mata lagi, seakan memaksa ingatan itu kembali.
“Laki-laki itu… sepertinya marah. Tapi juga… sedih.”
Lanang merasakan dadanya runtuh perlahan.
Apakah itu ayahnya? Arif Dirgantara?
Atau seseorang lain dari masa lalu ibunya?
Sari membuka mata, menatap anaknya.
“Aku takut, Nang…”
Lanang mengecup tangannya.
“Jangan takut. Aku di sini.”
Di balik pintu, tanpa mereka sadari, seorang perawat memperhatikan mereka sebentar sambil berbisik lirih pada rekannya:
“Kasihan sekali keluarga itu. Mereka jauh dari rumah dan cuma punya satu sama lain.”
Rengganis duduk di teras rumahnya di Gumalar, memeluk jaket tebal sambil menatap langit malam yang berbeda jauh dari langit Amerika tempat Lanang berada.
Ia baru saja pulang dari kampus, ujian kecil menumpuk, namun pikirannya tidak pernah bisa sepenuhnya fokus.
Ia membuka ponselnya.
Tidak ada pesan baru dari Lanang sejak siang tadi.
Rengganis menggigit bibir.
“Apa dia capek lagi…?”
Ia akhirnya mengirim pesan:
Nang, jangan lupa makan ya. Kamu pasti sibuk urus Ibu Sari dan dokumen kuliah. Tapi jangan sampai sakit… aku khawatir.
Ia menatap layar lama.
Pesannya hanya dibaca—belum dibalas.
Rengganis menghela napas.
Ibunya keluar membawa teh hangat.
“Masih mikirin Lanang?”
Rengganis meraih cangkir. “Dia jauh, Bu. Aku cuma… nggak mau dia merasa sendirian.”
Ibunya tersenyum dalam.
“Kalau Tuhan tulis dia untukmu, sejauh apa pun akan kembali.”
Wajah Rengganis memerah. “Bu…”
Ibunya menepuk pundaknya. “Tapi kalau tidak… kamu harus tetap kuat, Nduk. Jangan menunggu sampai kau sendiri tersesat.”
Rengganis menatap bintang di langit.
“Yang penting dia nggak tersesat…”
Di kantor Dirgantara Group yang senyap, Arif Dirgantara menatap layar laptopnya yang penuh data dan laporan pencarian.
Ia baru saja menelpon koneksinya di Hong Kong, lalu Singapura, kemudian Amerika.
Semua jawabannya sama:
Tidak ada catatan pasien bernama Sari Retnowati atau Retno Kinasih.
Tidak ada data mahasiswa baru bernama Lanang Damar Panuluh.
Tidak ada rekam medis internasional yang cocok.
Arif menunduk, menekan kedua pelipisnya.
Hartono masuk pelan.
“Kamu belum istirahat?”
Arif tidak menjawab.
“Kami… ingin membantu,” ujar Hartono lirih.
Arif menatapnya tajam. “Kalian cukup lakukan satu hal.”
“Hal apa?”
“Jangan halangi aku lagi. Jangan pernah coba sembunyikan masa lalu itu dari aku.”
Diah masuk dan berkata dengan suara bergetar,
“Arif… kalau Retno hidup… dan kalau dia sudah punya keluarga… apakah kamu siap menerima kenyataan bahwa kamu sudah tidak ada tempat di hidup mereka?”
Arif terdiam lama.
Lalu ia menjawab pelan:
“Aku tidak mencari tempat untuk diriku.”
Ia menatap foto Retno yang selalu dibawanya.
“Aku hanya ingin meminta maaf. Sebelum semuanya terlambat.”
Hartono akhirnya meletakkan sebuah berkas ke meja.
“Ini koneksi terakhir yang aku punya. Rumah sakit luar negeri yang biasa bekerja sama dengan kementerian kesehatan. Kalau Retno menjalani operasi besar… kemungkinan besar lewat mereka.”
Arif mengambil berkas itu dengan kedua tangan yang bergetar.
Malam semakin larut.
Lanang baru saja selesai membereskan dokumen ketika suara rintihan lembut terdengar dari ranjang.
“Lanang…”
Suara Sari lirih, ketakutan.
Lanang segera mendekat. “Ibu kenapa?”
Sari memegang kepalanya, kali ini lebih kuat.
“Suara itu muncul lagi… suara laki-laki itu…”
Lanang menahan napas.
“Suara apa, Bu?”
“Dia memanggilku… Retno…”
Sari mulai tremor.
“Seperti sedang mencariku…”
Lanang menelan keras.
“Ibu aman. Tidak ada siapa-siapa di sini. Tidak ada yang akan menyakiti Ibu.”
Namun Sari justru terisak pelan.
“Bukan… bukan suara yang menakutkan… tapi suara yang… hilang. Seperti seseorang yang sudah lama kucari tapi tidak pernah bisa kutemukan.”
Lanang tidak bisa berkata apa-apa.
Kata-kata itu terasa seperti hantaman di dadanya.
Ia memeluk ibunya erat.
“Ibu… apapun yang terjadi… aku di sini. Kita hadapi bersama.”
Sari mengangguk, wajahnya menenggelam di bahu anaknya.
Di luar kamar itu, angin musim dingin semakin tajam.
Ada sesuatu di udara malam itu—sesuatu yang menandai bahwa jarak antara masa lalu dan masa kini semakin menipis.
Seseorang sedang mencari.
Seseorang sedang mengingat.
Dan seseorang sedang berusaha melupakan.
Namun takdir sudah mulai bergerak..
menarik