Duda Dan Anak Pungutnya
Hujan turun deras malam itu. Seorang pria berjubah hitam berjalan di bawah payung, setengah tubuhnya tetap basah karena angin membawa butiran hujan ke segala arah. Ia terus melangkah menuju rumahnya.
Sesampainya di depan rumah, pria itu—yang bernama Anton—melihat sebuah kotak kecil di depan pintu. Ia berhenti, terkejut.
“Loh… bayi siapa ini?” gumamnya.
Anton menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada siapa pun di sekitar. Ia kemudian menunduk, membuka sedikit kotak itu, dan mendapati seorang bayi mungil terbaring di dalamnya. Tanpa berpikir panjang, Anton mengangkat kotak itu dan membawanya masuk ke rumah.
Namun, begitu di dalam rumah, kedua orang tua Anton langsung menentang keras keputusannya membawa bayi itu.
“Anton, kamu tidak boleh membawa anak itu masuk ke rumah!” seru ayahnya.
Anton menatap mereka penuh harap. “Papa, Mama… aku tahu ini gila, tapi aku ingin merawatnya. Aku akan membesarkan bayi ini sampai dewasa.”
Namun, kedua orangtuanya tetap tak mau mendengarkan. Mereka justru menuduh Anton telah berbuat hal memalukan.
“Papa sudah membesarkan kamu dengan baik, Anton,” kata sang ayah dengan nada marah. “Tapi ternyata kamu menghamili wanita lain dan tidak bertanggung jawab! Mulai hari ini, kamu keluar dari rumah ini. Bawa semua barangmu, tapi jangan sentuh uang Papa. Kamu sudah bukan anak Papa lagi!”
Anton terdiam. Kata-kata itu menusuk hatinya. Ia ingin menjelaskan bahwa bayi itu bukan anaknya, tapi ia hanya ingin menolong. Namun, tak ada gunanya—orang tuanya sudah menutup telinga.
Dengan perasaan hancur, Anton keluar dari rumah. Ia berjalan tanpa arah, kebingungan hendak ke mana membawa bayi kecil itu. Ia mencoba mendatangi rumah sahabatnya, namun sahabatnya menolak membuka pintu.
Anton benar-benar bingung. Bayi ini masih butuh susu, butuh suntikan kesehatan, butuh perhatian. Ia belum memberi nama untuk bayi itu. Setelah berpikir lama, Anton akhirnya berkata pelan,
“Carol… ya, kamu akan jadi Carol. Nama itu cocok untukmu.”
Anton menatap bayi mungil itu dengan lembut. Ia sadar, dirinya tidak punya apa-apa. Tapi entah mengapa, ada perasaan kuat di dalam dirinya yang membuatnya tak bisa meninggalkan bayi itu. Seolah ada ikatan batin antara mereka.
Ia berpikir, kenapa ada orang tua yang tega membuang bayi sesempurna ini? Bayi yang tak bersalah, yang bahkan belum bisa membuka matanya dengan sempurna.
Apa hati ibunya benar-benar sekeras itu? Tak ada sedikit pun rasa bersalah setelah mengandung selama sembilan bulan?
Anton berjanji pada dirinya sendiri—jika suatu hari ia menjadi orang tua, ia tak akan pernah membiarkan anaknya merasa tak diinginkan.
Tak lama kemudian, Anton menelepon teman gamenya yang tinggal di luar negeri. Temannya bernama Gerald. Mendengar keadaan Anton, Gerald menawarkan tumpangan dan bantuan. Tanpa berpikir panjang, Anton membawa Carol ke luar negeri.
Gerald menjemput Anton di bandara.
“Bro, ini siapa namanya?” tanya Gerald sambil menunjuk bayi kecil di pelukan Anton.
“Carol,” jawab Anton singkat.
“Cantik,” kata Gerald tersenyum. “Tapi… maaf bro, lu udah nikah?”
Anton menggeleng cepat, khawatir Gerald akan salah paham. “Bukan begitu. Dia anak yang dibuang di depan rumah gue. Gue nggak tega, jadi gue rawat dia.”
Gerald menghela napas. “Lu nggak takut orangtuanya nyari nanti?”
Anton menjawab tegas, “Nggak. Karena sekarang dia anak gue. Gue yang akan jaga dia.”
Gerald hanya bisa diam. Akhirnya ia berkata, “Ya udah bro, semangat ya. Jaga Carol baik-baik. Gue yakin dia bakal jadi anak yang hebat. Gue dukung lu selalu.”
Anton merasa bersyukur. Walau hanya teman dari dunia game, Gerald menunjukkan ketulusan luar biasa.
Waktu berlalu. Dengan bantuan Gerald, usaha Anton mulai berkembang. Setelah beberapa tahun, mereka berpisah usaha. Gerald bahkan membelikan gedung untuk Anton agar bisa mandiri. Anton terharu dan berterima kasih atas kepercayaan itu.
Namun, di balik kesuksesannya, Anton tetap merasa rindu pada mamanya. Diam-diam ia masih mengirim uang ke rekening orang tuanya.
Carol tumbuh besar. Karena pekerjaan Anton yang padat, ia jarang punya waktu bersama anaknya. Tapi ia selalu berusaha menyempatkan diri. Ia tahu Carol tumbuh tanpa sosok ibu, maka ia berusaha menjadi dua orang tua sekaligus.
Namun, seiring bertambahnya usia, Carol mulai merasa hampa. Ia sering mendengar bisikan orang-orang bahwa dirinya anak buangan. Itu membuatnya marah dan sedih.
“Kenapa Mama tega membuang aku?” ucapnya suatu malam dengan air mata.
Anton memeluk Carol erat. “Kamu nggak perlu tahu kenapa, Nak. Yang penting, Papa selalu di sini buat kamu. Kamu anak Papa, dan Papa sayang banget sama kamu.”
Carol pun tumbuh menjadi gadis cantik berusia 17 tahun. Banyak pria menyukainya, tapi Anton selalu canggung menghadapinya. Ia takut, suatu hari nanti, Carol tahu bahwa ia bukan ayah kandungnya.
Sore itu, Carol mengetuk pintu ruang kerja ayahnya.
“Masuk,” kata Anton.
Carol masuk dengan gaun indah yang pernah dibelikan Anton. Pria itu terdiam menatapnya—gadis kecilnya kini telah dewasa.
“Papa,” kata Carol pelan, “mau dansa sama Carol?”
Tanpa berpikir panjang, Anton bangkit dan mengulurkan tangan. Mereka berdansa perlahan di tengah ruangan. Anton menatap wajah Carol yang cantik dan anggun, lalu tersenyum penuh rasa haru.
Entah kenapa, saat itu Anton merasa terhanyut oleh keindahan yang tidak hanya lahir dari wajah Carol, tapi dari cinta dan perjuangan yang telah mereka lalui bersama.
Seketika Anton sadar bahwa Carol kini sudah dewasa. Sudah saatnya Carol mencari pria yang layak untuk dirinya.
Anton teringat pada janjinya dulu — ketika Carol berumur tujuh belas tahun, ia akan memberikan kebebasan penuh padanya. Ia tak akan lagi mengatur hidup Carol. Walau terasa berat, Anton tahu waktunya telah tiba.
Namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa sebelum melepaskan Carol, ada satu hal penting yang harus ia katakan: kebenaran tentang siapa dirinya.
Anton ingin menjelaskan semuanya, agar Carol tidak semakin larut dalam kebencian yang ia simpan selama ini. Tapi entah mengapa, kata-kata itu sulit sekali keluar dari mulutnya. Ia takut kehilangan Carol, takut wajah lembut itu berubah dingin saat tahu kebenarannya.
“Carol,” ucap Anton pelan, berusaha menenangkan hatinya. “Sampai sini saja ya, Papa ngantuk dan mau tidur. Maaf ya, sayang.”
Carol tersenyum lembut. Ia lalu mendekat dan mengecup pipi papanya. Anton tertegun. Ia tak menyangka Carol akan melakukan hal itu.
Setelah Carol keluar dari ruang kerja, Anton duduk terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ada perasaan aneh yang sulit ia jelaskan — sesuatu yang tidak seharusnya ia rasakan. Ia menunduk, menatap lantai kosong, dan bertanya dalam hati, ada apa dengan aku sebenarnya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments