Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2d. Kisah Lembide: Penunggu Laut Tawar
Malam itu, pondok pengajian Teungku Bide sunyi. Hanya lampu minyak bergoyang, asap kemenyan mengepul memenuhi ruangan. Teungku Bide duduk bersila, wajahnya berkeringat meski udara dingin menusuk. Di depannya, sehelai bulu ekor kerbau yang ia yakini sebagai rambut Mutia, diletakkan di atas wadah tanah liat yang mengepulkan asap.
Dengan suara berat ia mulai melafalkan mantra:
“Wahai roh yang memiliki sehelai rambut ini… datanglah kepadaku dengan penuh rasa cinta… datanglah… datanglah…”
Mantra itu ia ulangi berkali-kali, matanya terpejam, kedua tangannya terangkat ke langit-langit pondok. Nafasnya memburu, hatinya dipenuhi obsesi terhadap Mutia.
Asap kemenyan semakin pekat, melingkar-lingkar seperti ular hitam. Suara gesekan aneh terdengar dari lantai pondok, seakan sesuatu merayap dari dalam tanah.
Tiba-tiba, udara menjadi dingin menusuk. Dari sudut gelap ruangan, terdengar suara berat, bukan suara perempuan lembut yang ia harapkan, melainkan suara parau yang membuat darah berdesir:
“Kau memanggilku, Bide… tapi aku bukan Mutia.”
Teungku Bide tersentak, matanya terbuka. Asap hitam menebal, membentuk siluet menyerupai kerbau, dengan mata merah menyala. Bau anyir darah memenuhi ruangan.
“A-apa ini?!” Teungku Bide mundur, tubuhnya gemetar.
“Kau menipu roh… sehelai bulu hewan kau kira milik manusia… kau tak memanggil cinta, Bide. Kau memanggil kutukan…”
Suara itu menggema, lalu berganti dengan tawa panjang yang membuat bulu kuduk berdiri.
Api dari wadah tanah liat tiba-tiba padam, tapi ruangan justru semakin terang oleh cahaya merah menyala dari asap. Bayangan hitam itu melesat keluar pondok, menuju arah danau Laut Tawar.
malam itu, Teungku Bide dihantui rasa bersalah dan ketakutan. Tapi nasi sudah jadi bubur. Tanpa sadar, ia telah membuka jalan bagi roh jahat untuk masuk ke dalam jiwanya
Pondok tempat tinggal Teungku Bide sudah porak-poranda oleh ritual gagal. Teungku Bide, dengan wajah pucat pasi, berlari terbirit-birit keluar, jubahnya tersangkut di ranting, nafasnya terengah-engah.
Di belakangnya, suara menyeret yang mengerikan terus mengikuti: gesrek… gesrek… gesrek…
Gulungan kulit kerbau itu mengejar tanpa henti. Dari gulungan itu keluar suara menggelegar yang menggema ke seluruh desa:
“Wahai Teungku sesat… yang tamak dan tak tahu diri… saatnya kau menerima balasan!”
Warga yang masih terjaga malam itu melihat sekilas bayangan hitam berlari ke arah danau, diikuti gulungan besar yang melompat-lompat seperti makhluk hidup. Mereka hanya bisa menutup pintu rapat-rapat, ketakutan setengah mati.
Di tepi danau Laut Tawar, bulan pucat memantulkan cahaya dingin di atas permukaan air. Teungku Bide berlari kencang, berharap bisa lolos. Tapi tepat ketika ia sampai di bibir danau, kulit kerbau itu menerkam.
“Tidak! Ampun! Lepaskaaaan!” jeritnya.
Gulungan kulit itu melilit tubuhnya, menjerat erat dari kaki hingga dada. Tulang-tulangnya berderak, napasnya terhenti. Dengan satu hentakan, kulit kerbau itu melemparkannya ke udara, lalu menghantamkan tubuhnya keras-keras ke dalam permukaan air.
Byuuuurrr!
Riak besar mengguncang, lalu air kembali tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada jejak Teungku Bide, hanya buih dan bau anyir yang tertinggal di udara.
Namun dari kedalaman danau, terdengar suara samar… jeritan panjang yang makin lama makin tenggelam:
“Aaaaaaaahhh—”
Setelah itu, sunyi. Hanya hembusan angin malam menyapu permukaan Laut Tawar.
Warga percaya, malam itu Teungku Bide bukan hanya mati tenggelam, tapi jiwanya juga direnggut oleh iblis, sebagai korban pertama dari kutukan yang ia buka sendiri.
Dan sejak kejadian itu, gangguan gaib di desa semakin sering muncul. Anak-anak mulai bermimpi buruk, air sumur berbau amis, dan dari arah danau, sering terdengar suara samar-samar… seolah ada yang memanggil nama Dino dan Mutia.
*****
Keesokan harinya, kabar tentang hilangnya Teungku Bide menyebar cepat. Dari mulut ke mulut, warga desa saling bertukar cerita.
“Aku melihat sendiri tadi malam, Teungku berlari ke arah danau… lalu lenyap begitu saja!” kata seorang lelaki tua gemetar.
Namun berita lain tak kalah mengerikan. Seorang nelayan yang pulang larut malam bersumpah melihat sesuatu aneh di permukaan danau.
“Aku melihat seperti tikar besar… tapi bergerak sendiri di atas air. Sesekali menggulung, lalu tenggelam.”
Warga lain menimpali dengan wajah pucat:
“Bukan hanya tikar… aku melihat seperti ikan lele… tapi sebesar kerbau! Siripnya mengibas, matanya merah menyala.”
Orang-orang pun makin yakin, Sesuatu telah bangkit. Sosok gaib penunggu Laut Tawar itu kini mulai menampakkan diri dalam berbagai rupa—kadang sebagai gulungan kulit, kadang sebagai ikan raksasa yang mengintai dari dasar air.
Suasana desa mencekam. Malam hari, orang tua melarang anak-anak keluar rumah. Angin dari arah danau terasa dingin menusuk, membawa bisikan samar-samar.
“Dino… Dino…”
Mutia mendengar panggilan itu dalam tidurnya, membuat ia terbangun dengan keringat dingin. Ia tahu… semua ini berhubungan dengan kesalahan Teungku Bide dan rambut yang ia tukarkan dengan bulu kerbau.
Di tepi danau, kabut tebal sering turun tiba-tiba. Dari kejauhan, warga melihat bayangan besar bergerak di bawah air, kadang muncul sebentar, lalu lenyap. Tidak ada yang berani mendekat.
Sejak malam Teungku Bide hilang di danau, kehidupan Mutia dan Dino tak pernah sama lagi.
Mutia sering terbangun tengah malam, tubuhnya basah oleh keringat. Di ujung kamar, ia melihat bayangan samar Teungku Bide berdiri, wajahnya pucat, matanya kosong, bibirnya terus bergerak memanggil:
“Mutia… Mutia… ikutlah aku ke dasar danau…”
Kadang bayangan itu tak hanya muncul dalam mimpinya, tapi juga dalam kenyataan. Saat ia menimba air di sumur, tiba-tiba terdengar suara berat di telinganya:
“Dino… bawalah anak itu kepadaku…”
Mutia terkejut, ember di tangannya hampir terlepas. Ia menoleh, tapi yang ada hanya kesunyian, hanya riak air sumur yang bergetar.
Dino pun mulai merasakan hal aneh. Hampir setiap malam ia bermimpi didatangi sosok gurunya. Wajah Teungku Bide penuh luka, matanya melotot, dan tubuhnya dililit gulungan kulit kerbau basah. Dari mulutnya meneteskan air hitam.
“Dino… ikut aku… kita berenang di danau Laut Tawar… keindahannya tak tertandingi….”
Dino terbangun dengan tubuh gemetar. Ia tak berani menceritakan semuanya pada ibunya, tapi Mutia bisa merasakannya dari tatapan kosong anaknya yang makin hari makin pucat.
Suara-suara dari arah danau pun makin sering terdengar. Malam-malam tertentu, ketika kabut turun, penduduk desa mendengar jeritan panjang menyerupai suara Teungku Bide. Suara itu bercampur dengan bisikan yang memanggil-manggil nama Mutia dan Dino.
Orang-orang tua di kampung mulai berbisik:
“Roh Teungku Bide belum tenang. Ia menjadi bagian dari danau Laut Tawar, dan kini ia menagih korban berikutnya…”
Mutia semakin resah. Ia sadar, dirinya dan Dino kini sedang diincar.
Rasa bersalah itu muncul dari Mutia, seandainya ia tidak menipu Teungku Bide dengan memberikan rambut ekor kerbau - mungkin kejadian ini tidak sampai seperti sekarang. Namun nasi telah jadi bubur - Teungku Bide sudah tiada, Mutia hanya bisa berdo'a untuk keselamatan keluarganya.