Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Dua Bayangan
🦋
"Kemarin… kau marah padaku," bisik Miss Ki nyaris tak terdengar. Ada getar halus di suaranya—bukan sekadar takut dimarahi, tapi takut kehilangan kepercayaan dari satu-satunya orang yang ia percaya: Ed.
Ed tak langsung menjawab. Ia hanya menatap tajam ke dalam mangkuk porselen di tangannya, sebelum akhirnya meletakkan potongan daging mentah di dalamnya.
"Semua tindakanmu… selalu dalam pengawasanku. Jika itu salah, sudah pasti akan kucabut sebelum tumbuh. Kau tahu itu." nada suaranya datar, namun mengandung tekanan.
"Kau yang paling tahu… ke mana dendam ini mengalir."
Miss Ki mengangguk pelan, menerima mangkuk itu. Ia menunduk, seperti murid yang telah ditegur.
"Bayi itu… sudah kutitipkan ke rumah temanku," gumamnya, pelan.
"Namanya?"
"Aku… tidak tahu."
Ed menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, matanya tetap lekat pada perempuan di depannya.
"Kau saja yang menamainya. Ia hanya punya ibu, tak punya ayah. Pria yang harusnya jadi pelindungnya, pergi bahkan sebelum anak itu melihat dunia."
Miss Ki menggigit bibirnya. Kemudian, lirih,
"Anthony."
Ed tersenyum samar, namun matanya tetap kelam.
"Nama yang bagus. Mungkin aku harus membangun panti… untuk anak-anak yang tidak diinginkan. Dan kau… yang memberi mereka nama."
"Terserah kau saja, Ed…"
CEKLEK.
Suara pintu terbuka menginterupsi keheningan.
"Aku datang!"
Seorang pria masuk sambil menenteng dua ekor ayam segar, wajahnya ceria seperti anak kecil. Kaos putihnya sedikit kotor, celana jeans pendeknya tampak usang, tapi senyumannya—hangat dan tulus.
"Kenapa lama sekali?!" protes Miss Ki dengan nada kesal. Ia memang tidak suka daging sapi, dan sedari tadi hanya menunggu ayam.
***
Di sisi lain kota, Shara melangkah mantap memasuki lobby AS Grup bersama sekretarisnya, Tessa. Tekanan di wajahnya terlihat jelas—keuangan perusahaan Wardana sedang runtuh, dan ia tak punya pilihan selain meminta bantuan dari musuh dalam balutan senyum: Auliandra Calderon.
"Maaf, Nyonya. Anda harus membuat janji lebih dulu sebelum bertemu Nona Auliandra," ujar resepsionis, sopan namun tegas.
Shara mengepal tangannya.
"Apa kau tahu siapa aku!?" bentaknya.
"Maaf, siapapun Anda—aturan tetaplah aturan."
Keributan kecil itu segera menarik perhatian beberapa karyawan yang lewat.
"Siapa wanita ini?"
"Kau nggak tahu? Itu nyonya Shara Patrania Wardana."
"Perusahaan merekakan... yang katanya nemuin mayat di balik dinding kantor?"
"Iya, rumor bilang itu tumbal pembangunan gedung mereka."
"APA KALIAN TAK PUNYA KERJAAN LAIN SELAIN BERGOSIP!?" Shara membentak hingga suaranya memantul ke dinding marmer lobby. Beberapa karyawan langsung menghilang seperti kabut.
Tessa segera menenangkan sang nyonya, mengingatkan bahwa image tetap penting, meski reputasi sudah hancur.
"Ada apa ini?"
Sebuah suara tenang datang dari arah lift. Nira—sekretaris pribadi Auliandra—berdiri dengan tangan memegang nampan sarapan.
Setelah mendengar penjelasan, Nira hanya menatap resepsionis dengan satu lirikan datar—cukup membuat gadis itu menunduk penuh rasa bersalah.
"Ikut saya," ucap Nira datar, memimpin mereka ke lantai 30.
Begitu lift terbuka, mata Shara terbelalak. Interior kantor CEO AS Grup tak ubahnya penthouse pribadi: lantai marmer mengilap, sofa kulit Italia, karpet Persia, lukisan klasik, dan pajangan mahal. Ini bukan sekadar kantor—ini pameran kekuasaan.
Di tengah ruangan, Auliandra berdiri. Anggun, tenang, dan penuh wibawa.
"Oh… Nyonya Shara. Apa yang membuat Anda datang?"
"Saya ingin bicara empat mata," ujar Shara sambil menjabat tangan Auliandra. Pandangannya singgah pada gelang di tangan Auliandra—gelang itu. Seringaian kecil muncul di bibir Shara.
"Silakan duduk."
"Jangan terlalu formal, Nak. Kau bisa memanggilku ‘ibu’."
Nira menoleh cepat, nadanya menusuk, "Saya rasa Anda harus sadar batasan Anda, Nyonya Shara. Hanya Nyonya Ayla yang pantas disebut ibu oleh Nona Auliandra."
Auliandra mengangguk. "Saya tidak nyaman dengan sebutan itu. Ibu saya sangat posesif, dan tidak mengizinkan saya memanggil wanita lain sebagai ibu. Jadi... pahami batasannya."
Shara menahan emosi di balik senyuman manis. Ia menekan rasa malu dan berpura-pura santai.
Namun semuanya makin pahit saat Auliandra membaca proposal pinjaman yang dibawa Shara. Dokumen yang seharusnya resmi, malah ditulis dengan gaya kasual seperti pesan instan: banyak singkatan, typo, dan susunan tak profesional.
"Nyonya Shara Wardana, saya setuju meminjamkan dana… dengan syarat: 3 bulan, plus bunga. Setuju?"
"Sangat setuju."
Auliandra menambahkan, "Nanti malam, saya akan bertemu rekan bisnis di Restoran Star. Ajak putra Anda, Gavriel. Mungkin koneksi saya bisa membantu."
Shara nyaris tak percaya. Tawaran itu seperti tangan Tuhan. Namun yang tidak ia tahu… ini adalah ujian. Dan Auliandra bukan wanita yang bisa dimanipulasi hanya dengan sepotong gelang.
***
Malam ini, Auliandra melangkah anggun memasuki Restoran Star yang ia kosongkan khusus. Dress peach berkilau lembut melingkupi tubuh rampingnya. Wewangian mawar mengisi udara, berpadu melodi piano yang mengalun sendu.
Tak lama, pintu terbuka. Shara dan Gavriel masuk dengan aura aristokrat. Namun langkah Gavriel terhenti.
Matanya menangkap sosok wanita di tengah ruangan.
Wajah itu…
Senyum itu…
Tatapan itu…
Valora...?
Tidak. Ini bukan Valora.
Tapi Auliandra.
Dan untuk sesaat, Gavriel tidak tahu… apa yang lebih menakutkan: kemiripan itu—atau kenyataan bahwa ia merasa tertarik... lagi.
19.07
Jam dinding antik di restoran Star berdentang lembut, seolah menjadi saksi bisu dari makan malam yang disusun bukan sekadar untuk makan atau urusan bisnis, tapi untuk membuka sebuah permainan yang lebih besar.
Auliandra menyambut Shara dan Gavriel dengan senyum diplomatis.
"Selamat datang. Silakan duduk," ucapnya seraya mempersilakan keduanya duduk di kursi seberangnya.
Tangan kanan Auliandra yang mengenakan gelang berlian opal mencolok di bawah cahaya lampu gantung kristal. Shara memperhatikannya… terlalu fokus, seakan sedang menunggu sesuatu terjadi.
Namun gelang itu…
Tetap diam.
Tak ada reaksi.
Tak ada efek.
Shara menggigit dalam-dalam sisi dalam bibirnya. Gelang itu seharusnya membuat Auliandra lebih lunak… lebih penurut. Tapi justru sejak mengenakannya, Auliandra semakin sulit ditebak.
"Saya memesan menu khas restoran ini. Tidak perlu khawatir, semuanya halal dan sehat," ujar Auliandra.
"Dan jangan khawatir, tidak ada wine malam ini. Saya tahu Tuan Gavriel baru keluar dari rehabilitasi," lanjutnya tajam.
Gavriel sedikit terkejut. "Anda tahu terlalu banyak, Nona Auliandra."
"Itulah pekerjaan saya," balas Auliandra datar.
Shara melirik anaknya sekilas. Interaksi ini terasa terlalu personal, terlalu cepat mendalam. Sesuatu yang tidak ia sukai.
Makanan disajikan. Satu per satu: sup labu hangat dengan krim, salmon panggang dengan saus lemon-butter, dan penutupnya panna cotta dengan saus mawar merah. Semuanya cantik. Sempurna. Terlalu sempurna untuk malam yang terasa menyesakkan.
Ketika pembicaraan bisnis mulai dibuka, Auliandra mencondongkan tubuh sedikit ke depan, matanya menatap Shara lekat-lekat.
"Sebelum saya kenalkan pada rekan bisnis saya, saya hanya ingin tahu satu hal."
"Apa itu?"
"Kenapa… saya?"
Shara sempat terdiam.
"Kenapa Anda memohon bantuan… dari saya?" ulang Auliandra, kali ini dengan tekanan pada setiap katanya.
Shara meneguk airnya sebelum bicara. "Karena koneksi Anda luas, Anda cerdas, dan… saya percaya pada intuisi Anda."
Auliandra tertawa kecil, namun pahit. "Anda tidak mempercayai saya, Nyonya Shara. Anda ingin mengendalikan saya. Tapi Anda lupa satu hal…"
Ia menatap gelang di tangannya lalu melirik Shara.
"… saya tidak mudah dimanipulasi."
Gavriel menghentikan gerakan garpunya. Ia tahu kalimat itu bukan sekadar retorika. Ada sesuatu yang lebih dalam sedang berlangsung di balik meja makan ini.
Shara tetap mempertahankan senyum.
"Saya hanya ingin hubungan yang baik di antara kita."
"Sayangnya… saya tidak mencari hubungan," bisik Auliandra, kali ini menatap Gavriel dalam-dalam.
"Saya mencari kebenaran."
Suasana menjadi semakin tegang.
"Dan saya rasa... Tuan Gavriel bisa membantu saya menemukannya," lanjut Auliandra sambil mengalihkan pandangannya sepenuhnya pada pria itu.
"Kebenaran yang seperti apa?" suara Gavriel rendah, nyaris seperti gumaman, namun matanya tak berkedip.
Auliandra berdiri pelan, berjalan mengitari meja, lalu berdiri tepat di samping Gavriel. Ia bersandar sedikit, membisik di dekat telinganya:
"Kebenaran tentang... Valora Majesty."
Gavriel menoleh cepat. Matanya melebar, rahangnya mengeras. Nama itu. Luka itu. Masa lalu yang belum terkubur.
"Bagaimana kau tahu nama itu?"
"Karena aku mencarinya. Dan karena kita... punya lebih banyak kesamaan daripada yang kamu sadari."
Tatapan Auliandra lembut, namun ada misteri dalam caranya berbicara. Seolah-olah dia bukan hanya sekadar tahu tentang Valora… tapi pernah menjadi bagian dari cerita itu.
Shara merasa tidak nyaman dengan percakapan ini. "Nona Auliandra, saya rasa ini di luar topik—"
"Tenang, Nyonya Shara." Auliandra kembali ke tempat duduknya.
"Malam ini bukan sekadar urusan bisnis. Ini malam untuk membuka luka lama. Dan saya yakin… Gavriel mengerti betapa berharganya kebenaran."
Gavriel tak menjawab. Tangannya mengepal di bawah meja.
Ada perasaan lama yang kembali hidup. Ada luka yang belum pernah sembuh.
Dan mungkin… hanya wanita di hadapannya ini yang bisa mengupas lapisan luka itu—atau menusuknya lebih dalam.
🦋To be continued...