Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.
Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.
Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Bukan Siapa-Siapa Bagimu
Hari Senin datang dengan segala rutinitasnya. Seperti biasa, Arash bangun lebih pagi dari alarm. Ia merapikan tempat tidur, mandi, lalu berdiri di depan cermin—memastikan penampilannya rapi. Kemeja putih lengan panjang dipadukan dengan celana hitam formal, jilbab hitam sederhana membingkai wajahnya.
Tidak ada yang istimewa, tapi rapi. Dan itu cukup bagi Arash.
Ia memesan ojek online sejak sepuluh menit lalu, tetapi pengemudinya tak kunjung tiba.
"Aduh… kenapa hari ini lama sekali?" gumamnya resah, jari mengetuk-ngetuk ujung ponsel.
Sementara itu, di tempat lain, Devan sama sekali belum kembali ke rumah Adhitama sejak kemarin. Ia memilih bermalam di apartemen pribadinya—masalah yang membuat pikirannya kusut masih belum ingin ia hadapi.
Ia butuh ruang, butuh jeda.
......................
Arash akhirnya sampai di kantor, tepat beberapa detik sebelum pintu lift menutup. Dan tanpa ia duga, seseorang menahan pintunya dari luar.
Devan.
Mereka berdua sama-sama terdiam sepersekian detik. Arash buru-buru menundukkan kepala penuh hormat.
“Selamat pagi, Pak Devan,” ucapnya pelan.
Devan hanya mengangguk singkat. Tak ada ekspresi, tak ada suara. Acuh tak acuh seperti biasa, meski matanya sempat melirik Arash dengan cepat.
Begitu pintu lift terbuka di lantai eksklusif, mereka melangkah keluar bersamaan. Arash langsung menuju mejanya yang sudah menunggu dengan tumpukan dokumen. Sementara Devan hanya datang sebentar, memeriksa laporan, lalu pergi bersama Malik tanpa penjelasan apa pun.
Arash tidak peduli. Dia sudah terbiasa dengan pola kerja bosnya itu.
......................
Tak terasa, waktu makan siang pun tiba. Sebagian besar karyawan pergi ke luar kantor, restoran atau kantin terdekat. Sementara Arash memilih duduk di mejanya, membuka bekalnya: dua potong roti dan satu kotak buah.
Ia menggigit rotinya pelan. Sederhana, tapi cukup. Yang penting ia bisa menghemat pengeluaran.
Ketika ia baru mengunyah gigitan ketiga, suara ting dari lift membuatnya menoleh.
Dari lift khusus direksi keluar seorang wanita. Tinggi semampai, kulit cerah, rambut panjang tergerai sempurna. Makeup-nya tebal dan terlihat sangat profesional. Seluruh outfit-nya adalah barang branded dari kepala sampai kaki—tanpa perlu diperjelas.
Wanita itu melangkah menuju meja Arash dengan dagu terangkat, tatapannya dingin menghakimi.
“Devan ada?” ujarnya ketus, tanpa sapaan.
Arash langsung bangkit. “Maaf, Ibu. Pak Devan sedang di luar bersama Pak Malik.”
“Telepon dia,” ucap wanita itu datar. “Suruh kembali ke kantor secepatnya.”
Arash berkedip. Dia ini siapa? Tapi ia tetap menjaga sopan santun.
“Maaf sebelumnya, apa Ibu sudah ada janji dengan Pak Devan?”
Wanita itu menyeringai sombong. “Saya tidak perlu janji. Saya Vena Utomo—calon istri Devan.”
Arash tercekat sepersekian detik, namun sikapnya tetap profesional. “Baik, mohon maaf karena saya tidak tahu. Silakan duduk di ruang tunggu, saya hubungi Pak Devan.”
Vena melangkah pergi dengan gaya angkuh, duduk sambil memainkan ponsel seolah kantor ini miliknya.
Arash menekan nomor Devan.
“Halo, Pak,” ucap Arash saat sambungan tersambung.
“Ya, kenapa?” suara Devan terdengar langsung, tanpa emosi.
“Maaf, sebelumnya ada yang mencari Bapak.”
“Siapa?”
Arash melirik singkat ke arah Vena. “Calon istri Anda.”
Hanya ada jeda satu detik sebelum klik—Devan menutup telepon tanpa sepatah kata pun.
Arash menatap layarnya sebentar. Ya sudah. Ia kembali duduk dan melanjutkan bekalnya tanpa memikirkan siapa pun.
Lima belas menit berlalu. Devan tak kunjung datang juga.
Vena mulai gelisah. Tumit sepatunya mengetuk-ngetuk lantai marmer, ekspresinya kesal.
Ia berdiri dan menghampiri Arash lagi. “Dia lama banget! Kamu yakin sudah menghubungi dia?”
“Saya sudah menghubungi beliau, Bu. Mungkin masih ada urusan mendadak,” jawab Arash sopan.
Vena mendengus, lalu kembali ke kursi tunggu—namun baru dua langkah, pintu lift terbuka.
Devan muncul.
Vena langsung menghampirinya cepat-cepat, seolah baru menemukan oase di gurun.
“Kak Devan! Aku seneng banget kita dijodohkan,” ucapnya dengan nada manja yang terdengar dibuat-buat.
Devan menatapnya datar. “Ada perlu apa, Nona Utomo?”
“Kak… aku mau ngajak makan siang. Kita perlu quality time. Mama juga nyuruh aku—”
“Saya sudah makan,” potong Devan dingin. “Dan saya tidak ada waktu untuk Anda.”
Vena terperanjat. Wajahnya memerah antara malu dan marah.
“Kak Devan!” serunya. “Aku pastikan kak Devan akan bertekuk lutut sama aku suatu hari!”
"Silakan,” jawab Devan ringan. “Apa pun yang ingin Anda buktikan, silakan.”
Vena menghentak kakinya keras-keras lalu pergi dengan wajah kesal.
Devan mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arash yang sedang membereskan kotak bekalnya.
“Arash, tadi—”
“Pak,” potong Arash pelan namun tegas, “nanti jam dua ada meeting dengan divisi finansial. Mohon dicek ulang dokumennya.”
Devan terdiam. Ia ingin menjelaskan sesuatu, tapi Arash sudah kembali ke mode profesionalnya. Formal. Datar. Tidak memberi ruang bagi percakapan pribadi.
Dia benar-benar tidak peduli… pikir Devan.
Tapi entah kenapa, itu membuat dadanya terasa sesak.
Sementara bagi Arash?
Penjelasan Devan bukan urusannya. Tidak penting. Tidak perlu dipikirkan.
Ia hanya asisten pribadinya. Dan Devan… hanya atasannya.
Setidaknya, itu yang Arash yakinkan pada dirinya.
Namun Devan menatap punggungnya lebih lama daripada yang ia ingin akui.
mellow banget...... beneran nangis aku ini.....
pe di ledekin ma bocil......😭😭😭😭
😡
ga sabar tunggu update nya....💪
dengan begitu Devan bisa istirahat dari kerjaan nya...ga seperti robot lagi....
di tambah bonus...bisa lebih intens lagi dengan Arash.....💪