NovelToon NovelToon
A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:481
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:

"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."

Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.

Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?

"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6: Mimpi itu.

Setelah makan malam penuh ketegangan itu berakhir, semua orang perlahan kembali ke kamar masing-masing. Begitu pun aku. Sejak siang tubuhku sudah terasa letih karena pekerjaan, ditambah lagi dengan masalah keluarga yang terus berulang tanpa henti. Seolah aku tidak diberi ruang untuk bernapas, apalagi beristirahat.

Sejak Eomma dan Appa meninggalkan kami untuk selamanya, hidupku berubah drastis. Bukan sulit dalam hal materi, tapi dalam hal mental. Saat itu aku masih terlalu muda, terlalu labil untuk menanggung beban sebesar ini—melanjutkan perusahaan keluarga sekaligus menjaga dua adikku. Aku tidak tahu bagaimana bisa melewati masa-masa itu, tapi nyatanya aku berhasil... meskipun satu amanat dari orang tuaku belum juga terpenuhi: menemukan adik perempuan kami yang hilang.

Langkahku gontai saat menuju kamar. Dengan perlahan, kugenggam handle pintu dan membukanya. Cahaya temaram dari lampu tidur yang kunyalakan menciptakan suasana hangat, meski hening menusuk dinding-dinding ruangan. Aku berjalan menuju balkon dan menatap langit malam Seoul yang bertabur bintang. Udara dingin menerpa wajahku, membuatku menarik napas panjang.

Banyak hal berputar di kepalaku malam itu—terlalu banyak hingga rasanya otakku bisa meledak kapan saja.

Jihoon POV off...

“Eomma, Appa... bagaimana jika sampai akhir aku tidak bisa menemukan adikku? Siapa sebenarnya yang terlibat, dan di mana aku harus mencari petunjuknya?” ujar Jihoon lirih, matanya menatap langit malam seolah berbicara dengan kedua orang tuanya di surga.

Sebagai manusia biasa, Jihoon sering kali merasa lelah. Sikap kedua adiknya yang keras kepala kadang membuatnya kewalahan, terlebih setelah pertengkaran yang baru saja terjadi. Ia menutup matanya, mencoba menenangkan diri. Angin malam membawa aroma dedaunan dari taman kecil di halaman belakang, samar terdengar suara kendaraan dari kejauhan.

Jihoon menunduk sejenak, membiarkan keheningan memeluk dirinya. Lalu perlahan, ia melangkah menuju ranjang besar di tengah kamar. Kain seprai berwarna abu muda terasa dingin saat disentuh kulitnya. Ia merebahkan diri, menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu lembut.

•••

“Jangan ganggu aku!” seru seorang anak laki-laki yang tengah duduk di lantai sambil menulis sesuatu di buku tulisnya. Matanya memerah karena menahan kesal, sementara sang kakak yang duduk di sebelahnya justru menatap dengan senyum penuh jahil.

“Terserah aku, ya,” balas sang kakak, menjulurkan lidahnya seperti biasa — kebiasaan yang selalu berhasil membuat adiknya menangis.

“Aku akan bilang ke Eomma! Hyung tidak punya hal lain yang bisa dilakukan selain menggangguku, ya?” ujarnya dengan suara bergetar, menahan air mata yang akhirnya tumpah juga.

“Kesibukanku memang mengganggumu,” jawab si kakak santai, kembali menjulurkan lidah sebelum tertawa kecil.

Pertengkaran kecil itu hanya bagian dari hari-hari mereka — seolah menjadi bumbu kehidupan di rumah keluarga Kim. Namun, di tengah isak tangis yang masih terdengar, suara lembut namun lemah memanggil dari arah kamar utama.

“Yoonjae-ya... Minjoon-ah...” Suara ibu mereka, Yoo Yeejin, terdengar lirih. Seketika keduanya terdiam. Wajah ceria berganti cemas. Mereka saling pandang, lalu berlari kecil menuju kamar orang tua mereka. Langkah kaki mereka beradu dengan detak jantung yang makin cepat.

“Hyung... kenapa dengan Eomma?” tanya Minjoon pelan, suaranya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku tidak tahu. Kita lihat saja,” jawab Yoonjae singkat, berusaha terdengar tenang meski napasnya mulai tersengal. Sesampainya di depan pintu kamar, Yoonjae menelan ludah, lalu bertanya dengan hati-hati.

“Eomma, gwaenchanayo? Aku boleh masuk?” tanya nya bingung.

“Cepat... masuklah, Nak...” suara itu nyaris hanya bisikan.

Tanpa pikir panjang, Yoonjae membuka pintu sedikit kasar. Pemandangan di dalam kamar membuat darahnya seolah berhenti mengalir. Nyonya Yoo Yeejin tergeletak di lantai, tubuhnya menggigil, napasnya tersengal. Cairan putih keruh telah membasahi lantai marmer di bawahnya.

“Eomma!” jerit Yoonjae panik, lututnya lemas, melihat itu Minjoon langsung berlari memeluk ibunya erat-erat, tubuh kecilnya bergetar hebat.

“Eomma... wae ireoke dwaesseo...?” (Eomma, kenapa begini?) tangisnya pecah.

“Sepertinya Eomma akan melahirkan...” ucap sang ibu terbata.

“Eomma, aku... aku harus panggil Appa!” ujar Yoonjae berinisiatif.

“Ambil ponsel di atas meja... cepat, sayang...” ujar Nyonya Yoo Yeejin lirih sambil menunjuk dengan sisa tenaga terakhirnya. Kakinya tak lagi kuat, tubuhnya menggeliat menahan rasa sakit di perut.

“Eomma... baby-nya akan baik-baik saja, kan?” tanya Minjoon dengan suara serak, menatap wajah ibunya dengan mata yang penuh air mata. Yoo Yeejin menatap putra bungsunya lembut. Dalam kesakitan yang luar biasa, ia masih berusaha tersenyum. Telapak tangannya terangkat lemah, mengusap rambut hitam Minjoon yang basah oleh air mata.

“Baby-nya baik-baik saja, Minjoon-ah... ini hanya waktunya dia untuk melihat dunia...” suaranya lembut, nyaris berbisik, namun cukup untuk menenangkan hati kecil itu.

“Iya? Dia akan jadi orang seperti kita?” tanya Minjoon dengan mata polos yang belum memahami sepenuhnya apa maksud ucapannya sendiri. Nyonya Yoo Yeejin hanya mengangguk pelan. Wajahnya pucat, napasnya mulai tersengal, tapi senyumnya masih berusaha ia pertahankan untuk menenangkan kedua anaknya.

Di sudut ruangan, Yoonjae yang sedari tadi sibuk menekan layar ponsel akhirnya berhasil tersambung dengan sang ayah.

“Ada apa, Yeobo?” suara pria paruh baya terdengar di seberang sana, disertai deru napas tergesa.

“Appa! Eomma menangis… dia bilang bayinya mau keluar,” ujar Yoonjae dengan nada panik, hampir terbata-bata.

“Apa?!” suara ayahnya terdengar kaget. “Baiklah, berikan ponsel pada Eomma. Appa akan pulang sekarang, kamu jaga Eomma arraseo?!” ujar nya yang membuat Yoonjae mengangguk tanpa sadar, dengan langkah tergesa menyerahkan ponselnya pada sang ibu.

“Ku… ku mohon cepat pulang, ini sakit,” lirih Nyonya Yoo Yeejin di antara helaan napas pendeknya.

“Bertahanlah sebentar, Yeobo. Aku akan panggil ambulans, karena mungkin aku tidak bisa sampai secepat itu,” jawab suaminya, suaranya bergetar menahan panik.

“Ya…” sahut Nyonya Yoo Yeejin lirih, nadanya nyaris tenggelam oleh rasa sakit yang kian menggerogoti tubuhnya.

Sambungan telepon berakhir. Kini, hanya ada Nyonya Yoo Yeejin dan dua anak kecilnya di kamar itu — sementara putra sulung mereka, Jihoon, masih di sekolah karena kegiatan tambahan yang membuatnya pulang lebih lambat.

“Eomma… apa sakit sekali?” tanya Yoonjae dengan suara kecil. Ia ikut berjongkok di samping sang ibu, mengusap peluh di dahi wanita itu dengan ujung bajunya yang sudah kusut. Nyonya Yoo Yeejin mengangguk pelan, air matanya menetes tanpa bisa ditahan.

“Nak… ambilkan Eomma air, ya,” ujarnya dengan suara gemetar.

Tangisnya akhirnya pecah — bukan hanya karena rasa sakit, tapi juga karena ketakutan dan kesepian di saat genting seperti itu.

Yoonjae langsung berlari menuju dapur, kakinya nyaris terpeleset di lantai marmer yang dingin. Sementara itu, Minjoon hanya bisa memandangi ibunya yang terbaring lemah di lantai. Bocah kecil itu menatap dengan mata berkaca, dan ketika melihat air mata sang ibu menetes, tangisnya pun pecah.

“Eomma… jangan menangis, nanti Appa datang, ya…” ujarnya dengan suara terisak, mencoba menenangkan meski dirinya sendiri ketakutan. Dia memeluk tubuh sang ibu erat, seolah takut jika pelukan itu lepas dia akan kehilangan wanita itu selamanya.

Udara sore dari jendela yang terbuka masuk perlahan, membawa aroma injeolmi dan suara kendaraan samar. Di tengah kesunyian itu, terdengar hanya satu hal — degup jantung nyonya Yoo Yeejin yang berusaha bertahan di antara dua dunia: antara rasa sakit dan keinginan kuat untuk tetap hidup demi anak-anaknya.

Cukup lama mereka menunggu, hingga akhirnya terdengar suara bel dari arah pintu.

Ding-dong!

Nyonya Yoo Yeejin sontak membuka matanya yang hampir terpejam menahan sakit. Ia mengira itu adalah petugas dari rumah sakit yang datang bersama ambulans. Nafasnya terengah, tapi ia berusaha bicara.

“Sayang, coba lihat… mungkin itu petugas rumah sakit. Bawa mereka ke sini, Eomma sudah tidak tahan lagi,” ujarnya dengan suara serak. Yoonjae langsung mengangguk, matanya besar dan gugup.

“Ne, Eomma! Aku buka sekarang!” serunya, lalu berlari kecil ke arah pintu dengan langkah tergesa. Suara sandalnya beradu cepat dengan lantai marmer rumah mereka.

Benar saja, beberapa saat kemudian Yoonjae muncul bersama tiga orang petugas medis berpakaian putih dengan tanda merah di lengannya. Salah satu di antaranya membawa tandu lipat dan kotak peralatan. Mereka segera membantu Nyonya Yoo Yeejin, membopong tubuh lemah itu keluar rumah.

Minjoon berdiri terpaku di depan kamar, tangannya memegangi boneka beruang yang selalu ia bawa ke mana pun. Matanya berkaca, mengikuti langkah petugas yang membawa eomma-nya.

Sebelum masuk ke mobil ambulans, Nyonya Yoo Yeejin menatap kedua anaknya. Wajahnya pucat, tapi ia tetap berusaha tersenyum.

“Yoon… Eomma titip adikmu sebentar, ya. Sebentar lagi Jihoon hyung akan pulang. Jangan bertengkar, oke? Eomma percaya padamu.” Tangannya yang bergetar menyentuh pipi Yoonjae sebentar sebelum akhirnya dilepaskan.

“Ne, Eomma… aku janji,” jawab Yoonjae pelan, menahan tangis. Ia menggenggam tangan kecil Minjoon yang mulai menangis terisak.

Sirine ambulans berbunyi pelan, lalu semakin menjauh. Mobil itu membawa pergi Nyonya Yoo Yeejin di tengah udara dingin malam Seoul.

Kedua anak itu berdiri di depan pintu rumah yang terbuka, diterangi lampu. Mereka hanya diam, memandangi bayangan mobil yang semakin kecil di ujung jalan. Minjoon mengusap air matanya dengan punggung tangan kecilnya.

“Hyung… Eomma kenapa harus sakit?” suaranya lirih, penuh ketakutan. Yoonjae menatap langit malam yang kelam, lalu menunduk.

“Eomma kuat, Joon-ah. Appa juga akan pulang. Nanti kalau Jihoon hyung datang, kita nunggu bersama, ya?”ujar nya.

Minjoon hanya mengangguk pelan, memeluk bonekanya lebih erat. Angin malam berhembus melewati halaman rumah, membawa aroma dedaunan dan suara jauh sirine yang semakin memudar. Di tengah kesunyian itu, dua anak kecil itu berdiri mematung — menunggu keajaiban kecil yang belum mereka mengerti sepenuhnya.

Sementara itu, Nyonya Yoo Yeejin yang telah sampai di rumah sakit segera ditangani oleh tim medis. Lampu ruang operasi menyala terang, memantul di lantai putih yang dingin. Suara langkah cepat para perawat dan dentingan alat logam terdengar bersahut-sahutan, menciptakan suasana tegang namun teratur.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Kim Myungchul berlari masuk dengan napas terengah. Wajahnya pucat dan panik. Meski ini bukan kali pertama ia mendampingi istrinya melahirkan, rasa takut itu selalu datang — takut kehilangan, takut melihat wanita yang paling ia cintai menahan sakit di ambang antara hidup dan mati.

“Yeobo… aku di sini,” ujarnya sambil menggenggam tangan Yoo Yeejin yang dingin dan basah oleh keringat. Ia menatap wajah istrinya yang pucat, bibirnya nyaris tak berwarna. Yeejin menoleh perlahan, napasnya pendek.

“Aku… aku takut, Yeobo…” bisiknya dengan suara lirih. Tuan Kim menunduk, menempelkan dahinya pada punggung tangan sang istri.

“Gwaenchana, Yeobo… kau kuat. Aku di sini. Bertahanlah sedikit lagi.”

Suasana ruang operasi begitu sunyi, hanya terdengar instruksi dokter yang cepat dan tegas. Detak jantung dari monitor berdentum pelan, seolah ikut menegangkan suasana. Myungchul tak beranjak sedikit pun, terus menggenggam tangan istrinya erat, seakan ingin menyalurkan seluruh keberanian yang ia punya.

Waktu seakan berjalan lambat. Lalu—

Tangisan bayi pecah, nyaring dan kuat, memantul di seluruh ruangan. Semua orang di sana akhirnya menghela napas lega.

“Selamat, anak kalian perempuan. Cantik sekali… dan sehat,” ujar sang dokter dengan senyum lelah namun tulus. Ia menyerahkan bayi kecil berkulit merah muda itu ke perawat, lalu meletakkannya perlahan di atas dada Yeejin. Myungchul menatap terpaku, matanya memanas. Ia mencium kening istrinya berulang kali.

“Kamsahamnida Yeobo… terima kasih, Tuhan,” gumamnya lirih.

“Cantik sekali… anak Appa,” ucapnya sambil menatap bayi mungil itu yang mulai tenang, masih menggenggam ujung kain.

Wajah kecil itu merah, matanya masih terpejam, dan bibir mungilnya bergerak pelan seperti mencari kenyamanan. Myungchul tersenyum samar, menyentuh lembut pipi putrinya yang baru lahir.

“Selamat datang… putriku, selamat datang di dunia ini,” bisiknya pelan sebelum matanya terpejam karena lelah dan efek obat bius yang mulai bekerja.

Dokter melanjutkan prosedur dengan hati-hati hingga akhirnya operasi benar-benar selesai. Bayi kecil itu dibawa oleh perawat ke ruang newborn nursery untuk dibersihkan dan diperiksa, sementara Yoo Yeejin dipindahkan ke ruang perawatan khusus pascaoperasi.

Myungchul duduk di samping tempat tidur istrinya. Ia masih menggenggam tangan wanita itu, enggan melepasnya sedetik pun. Tatapannya lembut, penuh syukur dan rasa takut yang perlahan mereda. Ia kemudian menyalakan ponsel, menekan nomor sopir keluarga.

“Ahjussi, tolong antar anak-anak ke rumah sakit. Mereka pasti khawatir, bawa mereka ke ruang rawat lantai dua, kamar nomor tujuh belas.” ujarnya pelan.

Setelah menutup telepon, ia kembali menatap wajah istrinya yang masih terlelap. Ia mengusap rambutnya perlahan lalu mengecup nya perlahan sebelum akhirnya berbisik lirih.

“Kau sudah berjuang sangat baik, Yeobo. Sekarang, istirahatlah. Aku akan menjaga kalian.”

Di luar jendela rumah sakit, lampu kota Seoul berkilau. Suara kendaraan malam terdengar samar, kontras dengan keheningan ruang rawat itu. Dalam cahaya redup, seorang ayah menunggu dengan sabar — di antara rasa lega, cinta, dan doa yang belum selesai diucapkan.

Ia kemudian mengabari keluarga besarnya dan juga keluarga dari pihak istrinya untuk menyampaikan kabar bahagia tentang kelahiran putri mereka. Suaranya terdengar hangat dan bergetar pelan saat mengucapkan.

“Dia lahir dengan selamat... bayi perempuan.”

Waktu berjalan lambat di ruang rawat itu. Hanya suara detik jam dan dengung mesin infus yang menemani. Hingga akhirnya, pintu terbuka pelan menampilkan seorang pria paruh baya—sopir keluarga mereka—bersama tiga anak laki-laki kecil yang langsung berlari ke arah Tuan kim.

“Appa!” seru mereka hampir bersamaan.

Myungchul tersenyum, berjongkok untuk memeluk ketiganya erat-erat. Pelukan itu penuh kehangatan sekaligus rasa lega setelah malam yang panjang.

“Semuanya baik-baik saja, hm? Jangan menangis lagi, nanti Eomma sedih kalau tahu kalian khawatir,” ujar Tuan Kim lembut, sambil mengusap kepala putra-putranya satu per satu.

Ketiganya mengangguk kecil, namun Minjoon—si bungsu yang kini telah kehilangan posisinya sebagai anak paling kecil—tetap terisak. Matanya bengkak, pipinya merah, dan bahunya naik turun karena tangis yang tertahan. Ia memang anak paling sensitif di antara mereka. Hal kecil pun bisa membuatnya menangis tanpa alasan yang jelas.

“Joon-ah, sudah ya... Eomma baik-baik saja,” ucap Tuan Kim lembut sambil menarik Minjoon ke dalam pelukannya. Anak itu menenggelamkan wajahnya di dada sang ayah.

“Appa... aku takut...” gumamnya dengan suara kecil.

“Aniya, semuanya sudah berlalu. Sekarang Eomma sedang beristirahat,” ujar sang ayah, menepuk lembut punggung putranya.

Sang sopir tersenyum melihat pemandangan itu sebelum berpamitan pelan dan menutup pintu, meninggalkan mereka dalam kehangatan kecil di ruang putih itu.

“Appa, apa saat aku lahir dulu Eomma juga menangis seperti tadi?” suara Minjoon terdengar lagi, kali ini lebih pelan dan lirih. Myungchul menatapnya sejenak lalu mengangguk sambil tersenyum kecil.

“Iya, sayang. Saat kalian lahir dari perut Eomma, dia merasakan hal yang sama. Menangis, tapi bukan karena sedih... melainkan karena berjuang agar kalian bisa melihat dunia.” ujar nya.

“Jadi waktu aku juga?” tanya Jihoon, si kakak tertua.

“Iya. Saat kamu lahir, saat Yoonjae, dan saat Minjoon juga. Semuanya sama,” jawab Tuan Kim dengan nada tenang. Ketiganya saling pandang, lalu Yoonjae, yang paling blak-blakan, mengernyit polos.

“Berarti Eomma sudah menangis kesakitan empat kali? Appa, kenapa Tuhan tidak berhenti saja memberi Eomma bayi? Bukankah itu seperti Tuhan menyiksa Eomma?” tanyanya tanpa beban. Pertanyaan itu membuat Myungchul terdiam sejenak. Ia menatap mata anaknya, mencoba mencari kata yang paling tepat untuk ke-tiga putra nya yang bahkan belum mengerti dunia sepenuhnya.

“Aniya... Tuhan tidak menyiksa Eomma. Tuhan sedang memberkati kita dengan malaikat-malaikat kecil. Kadang... bentuk kasih sayang Tuhan memang terlihat seperti kesakitan, tapi sebenarnya itu hadiah. Kalian paham?” ujarnya pelan sambil tersenyum.

Jihoon dan Yoonjae mengangguk perlahan, meski di wajah mereka masih terlihat kebingungan anak-anak yang belum sepenuhnya mengerti makna kalimat itu.

Namun Myungchul tahu, suatu hari nanti mereka akan mengerti — bahwa di balik setiap tangisan seorang ibu, tersimpan cinta paling murni yang pernah ada.

“Appa, apa Eomma akan terus tidur?” tanya Yoonjae pelan sambil mendekati ranjang sang ibu. Ia memanjat kursi di samping tempat tidur, lalu meraih tangan lembut wanita cantik itu yang masih terlelap karena pengaruh obat bius. Jemarinya kecil, namun genggamannya erat, seolah tak ingin melepaskan.

“Sebentar lagi Eomma bangun, Yoon. Dia hanya masih lelah,” jawab Myungchul lembut, mengusap rambut anak keduanya itu. “Oh ya, apa kalian ingin melihat adik kalian?” tanyanya kemudian, mencoba mengalihkan perhatian kedua putranya dari kecemasan.

“Serius? Dia sudah jadi orang seperti kita?” Minjoon akhirnya bersuara setelah sedari tadi hanya menunduk, matanya masih sembab.

“Iya, dia cantik sekali. Kalau sudah besar nanti, kalian harus menjaganya baik-baik, hmm? Dia akan jadi wanita cantik seperti Eomma kalian.” ujar Tuan Kim sambil tersenyum hangat. Hal itu langsung membuat Yoonjae menatap ayahnya dengan mata berbinar.

“Appa, ayo kita lihat sekarang! Aku penasaran,” ujarnya bersemangat, menggenggam tangan Myungchul erat-erat hal itu membuat Myungchul terkekeh kecil merasa gemas dengan tingkah putra nya itu.

“Arasseo, ayo.” Ia menatap ketiga putranya penuh kasih, lalu berjalan bersama mereka menuju ruang bayi.

Sebelum masuk, mereka mengikuti semua prosedur yang diwajibkan rumah sakit: mencuci tangan, mengenakan masker, dan mengganti sepatu dengan sandal steril—aturan yang biasa diterapkan di rumah sakit Korea untuk menjaga kebersihan. Setelah semuanya siap, seorang suster yang tersenyum ramah mengantarkan mereka masuk.

Begitu langkah pertama menjejak ke dalam ruangan, aroma lembut bedak bayi dan suara tangisan halus terdengar di udara. Yoonjae terpaku ketika pandangannya jatuh pada seorang bayi kecil yang terbaring dalam inkubator berwarna putih susu. Kulitnya pucat kemerahan, mungil, dan matanya yang belum terbuka sepenuhnya tampak bergetar lembut, seolah berusaha mengenal dunia barunya.

“Ya ampun… kecil sekali, Appa,” ujar Jihoon pelan, matanya membulat menatap lekat ke arah bayi mungil yang kulitnya masih merah muda dan lembut seperti kelopak bunga.

“Kalian juga dulu sekecil itu,” jawab Myungchul sambil tersenyum tipis, matanya menatap lembut ketiga putranya yang kini berdiri berjajar di depan inkubator.

“Appa, apa boleh ambil gambar bayi itu untuk kami?” tanya Yoonjae penuh antusias, suaranya bergetar antara kagum dan takjub.

“Boleh… tapi kalian belum bisa memegangnya,” jawab Myungchul lembut. Namun sebelum sempat ia melanjutkan, seorang suster yang sedari tadi memperhatikan mereka ikut menimpali.

“Kalau mereka bisa hati-hati, tidak apa-apa, Tuan,” ujarnya dengan senyum ramah, logat khas Seoul-nya terdengar lembut di telinga.

“Benarkah? Akh, kalau begitu tolong ambilkan dan berikan pada mereka,” kata Tuan Kim senang, menunduk sopan pada suster itu.

Perawat itu mengangguk kecil, lalu berjalan perlahan ke arah boks bayi. Ia menunduk, menyelipkan kedua tangannya di bawah tubuh mungil itu, lalu mengangkatnya dengan sangat hati-hati—seolah-olah bayi itu terbuat dari kaca tipis yang bisa pecah kapan saja.

“Pelan-pelan, ya. Jangan sampai bayinya bangun,” bisik sang suster sambil menyerahkan bayi itu ke Jihoon terlebih dahulu.

Jihoon menerima dengan kedua tangan gemetar. Ia begitu tegang, tapi senyumnya merekah saat menatap wajah kecil itu. Myungchul mengambil kamera dan berkata.

“Senyum, Jihoon-ah.”

Klik. Cahaya dari flash kamera menyinari wajah mereka yang penuh kebahagiaan.

“Nah, sudah,” ujar Myungchul setelah mengambil beberapa gambar. Suster itu kembali mengulurkan tangan, mengambil bayi itu dengan penuh kehati-hatian, lalu menyerahkannya kepada Yoonjae—yang dari tadi tampak paling bersemangat.

Begitu bayi mungil itu berada di pelukannya, Yoonjae menunduk pelan dan mengecup pipi bayi itu dengan lembut. Gerakannya spontan, tulus, penuh kasih sayang kakak yang baru mengenal adiknya.

Myungchul tersenyum lebar dan kembali mengabadikan momen itu. Dalam hatinya, ia tahu—gambar sederhana ini akan menjadi kenangan berharga di kemudian hari.

“Appa… dia lucu sekali,” ujar Yoonjae lirih, menatap wajah adik kecilnya yang tenang dalam pelukan. Ada rasa kagum, cinta, dan tanggung jawab yang baru tumbuh di sana.

“Iya, Joon-ah… mau foto juga?” tanya sang ayah lembut sambil melirik ke arah Minjoon yang berdiri di sampingnya sejak tadi. Mata anak itu masih sembap, bulir air matanya belum benar-benar kering. Ia tampak ragu, jari-jarinya saling menggenggam di depan tubuh mungilnya.

“Nanti jatuh…” ujarnya pelan, suaranya serak dan bergetar.

“Tentu tidak, Nak. Kamu bisa memegangnya dengan baik. Lagi pula, mulai sekarang kamu akan menjadi Oppa, kan?” ujar Myungchul tersenyum lembut, mengusap kepala putranya yang hitam legam dengan penuh kasih sayang.

“Sungguh?” tanya Minjoon polos, matanya sedikit membesar, seolah tak percaya dengan kata “Oppa” yang baru saja disematkan padanya.

“Iya, sungguh. Kalian semua sekarang adalah Oppa untuknya,” jawab Myungchul dengan senyum bangga.

Suster yang sejak tadi mendampingi mereka perlahan menunduk, lalu menaruh bayi itu dengan sangat hati-hati di tangan Minjoon. Ia memastikan posisi bayi tetap seimbang sebelum benar-benar melepaskan pegangan tangannya.

Minjoon tampak menahan napas, kedua tangannya kaku menahan tubuh mungil yang terasa begitu ringan namun menakutkan baginya.

“Appa…” ujarnya lirih, matanya memohon bantuan.

“Tidak apa-apa, Joon-ah. Lihat sini, senyum sedikit, ya,” ujar Myungchul lembut sambil mengangkat ponselnya.

Klik.

Beberapa foto berhasil terambil dengan sempurna—Minjoon yang gugup, namun dengan senyum kecil yang muncul di sela ketakutannya. Melihat hasilnya, Myungchul tertawa kecil, rasa haru memenuhi dadanya. Akhirnya, ketiga putranya kini telah memiliki potret kenangan bersama sang adik kecil. Suster itu ikut tersenyum, lalu berkata sopan.

“Tuan Kim, sebaiknya Anda juga ikut berfoto bersama mereka. Jika diizinkan, saya bisa mengambilkannya untuk Anda.” ujar nya yang membuat Tuan Kim menatapnya dengan senyum hangat dan mengangguk.

“Kamsahamnida,” ujarnya pelan sebelum menyerahkan ponselnya. Ia kemudian berjongkok, menyesuaikan tinggi dengan ketiga putranya, dan dengan hati-hati menggendong bayi kecil itu di pelukannya.

Klik.

Satu foto keluarga sederhana—seorang ayah bersama ketiga putra dan bayi perempuan kecil mereka—terabadikan dengan sempurna.

Setelah sesi singkat itu, suster kembali mengambil bayi tersebut dengan penuh kehati-hatian dan menaruhnya kembali ke dalam box bayi. Ia kemudian menunduk sopan dan berkata.

“Tuan, mohon maaf… demi kenyamanan para bayi, sebaiknya Anda dan anak-anak keluar sekarang.” ujar nya yang membuat Myungchul mengangguk mengerti.

“Tentu. Kamsahamnida,” Ia menggandeng tangan ketiga putranya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan dengan hati yang hangat—sementara suara langkah mereka yang lembut berpadu dengan aroma khas disinfektan rumah sakit yang menenangkan.

Mereka akhirnya keluar dari ruang bayi dan kembali ke ruang rawat Yoo Yeejin. Aroma lembut antiseptik bercampur dengan wangi bunga chrysanthemum yang diletakkan di vas dekat jendela. Di sana, Yeejin sudah sadar dari pengaruh obat bius dan sedang diperiksa oleh dokter perempuan paruh baya yang mengenakan jas putih dengan name tag bertuliskan Dr. Han Soo-jin.

Begitu melihat keluarga kecil itu datang, sang dokter menoleh dan tersenyum ramah.

“Semuanya sudah baik-baik saja, Tuan Kim. Tekanan darah dan detak jantungnya stabil. Luka operasi juga sudah dibersihkan, tidak ada tanda-tanda perdarahan. Tapi untuk dua puluh empat jam ke depan, mohon jangan biarkan beliau banyak bergerak dulu, ya,” ujar Dokter Han dengan nada lembut namun tegas. Myungchul mengangguk sambil menatap wajah istrinya yang tampak lemah tapi damai.

“Terima kasih, Dok. Kami akan pastikan beliau beristirahat penuh. Bagaimana dengan rasa nyerinya?” ujar nya.

“Saya sudah berikan analgesik ringan yang aman untuk ibu menyusui. Mungkin nanti malam efek biusnya akan benar-benar hilang, jadi rasa nyeri bisa sedikit meningkat. Jika itu terjadi, panggil saja perawat jaga, mereka tahu harus bagaimana,” jelas Dokter Han lagi sambil menulis sesuatu di papan catatan kecilnya.

“Baik, kami mengerti. Kamsahamnida, Dokter Han,” ujar Myungchul sambil membungkuk sopan.

“Selamat atas kelahiran putri kalian, Tuan dan Nyonya Kim. Bayinya sangat sehat dan tenang, sepertinya ia akan jadi gadis yang kuat.” ujar Dokter Han tersenyum kecil.

Setelah memberikan salam hormat, sang dokter meninggalkan ruangan dengan langkah ringan. Yoo Yeejin tersenyum manis, walau wajahnya masih terlihat sayu dan pucat.

“Kalian dari mana?” tanyanya lembut, matanya langsung mencari ketiga putranya. Minjoon, yang sedari tadi berdiri paling dekat, segera meraih tangan ibunya dengan hati-hati. Jemari kecilnya menggenggam tangan wanita itu erat-erat, seolah takut kehangatan itu hilang.

“Joon-ah, masih menangis? Kenapa?” tanya Nyonya Kim lembut.

“Aku sayang Eomma... aku takut Eomma terluka,” jawab Minjoon dengan suara serak, membuat senyum kecil muncul di bibir pucat ibunya.

“Eomma tidak terluka, Joon-ah. Eomma hanya menangis bahagia tadi karena putri Eomma akan lahir ke dunia. Itulah sebabnya air mata itu keluar, bukan karena sakit,” ucapnya lembut sambil mengusap tangan putranya dengan ibu jarinya.

“Eomma! Tadi kami sudah lihat bayinya! Bahkan kami sudah berfoto dengan dia!” seru Jihoon bersemangat.

“Benarkah? Coba Eomma lihat fotonya.” tanya Nyonya Kim, menoleh ke arah putra tertuanya.

“Di ponselnya Appa, Eomma,” sahut Yoonjae cepat.

Myungchul tersenyum, lalu mengeluarkan ponselnya. Ia memperlihatkan foto-foto ketiga putranya yang sedang menggendong bayi kecil itu satu per satu. Mata Yoo Yeejin berbinar-binar menatapnya, senyum lembutnya merekah penuh haru.

“Kalian semua tampan sekali, dan bayi itu… sangat cantik.” ucap nya pelan.

“Perawat bilang bayi itu baru bisa dibawa ke sini nanti, setelah menjalani masa penyesuaian,” ujar Myungchul menjelaskan, masih dengan nada lembut. Yeejin mengangguk pelan, matanya mulai sayu karena kelelahan. Namun, sebelum ia memejamkan mata, suara lembut Minjoon kembali terdengar.

“Appa, eomma… siapa nama bayi itu? Apa dia juga punya nama?” tanyanya polos.

“Kim Ara,” jawab Yeejin dengan senyum kecil, menatap mata Minjoon penuh kasih.

“Cantik sekali namanya,” ujar Jihoon kagum. “Benar, kan, Yoon?” lanjut nya meminta pendapat sang adik, Yoonjae mengangguk cepat, senyum kecil muncul di wajahnya yang tadi muram. Kedua orang tuanya saling pandang, dan Myungchul meraih tangan istrinya pelan.

“Dia juga sangat ringan, seperti boneka. Apalagi kulitnya halus sekali,” ujar Yoonjae dengan mata berbinar, mengingat kejadian saat ia mencium pipi mungil adiknya tadi.

“Iya, aku sempat berpikir dia bukan manusia seperti kita, Eomma apa dia bisa besar seperti kita semua?” timpal Jihoon polos. Nada suaranya membuat suasana kamar seketika hangat oleh tawa kecil. Tuan Kim dan Nyonya Kim hanya saling pandang, senyum tipis terlukis di wajah mereka.

“Kalian dulu juga seperti itu waktu masih bayi, dan iya sayang, semua yang lahir kedua ini pasti tumbuh besar seiring berjalannya waktu, dan kalian harus menjaga Ara dengan baik.” ujar Yeejin lembut, suaranya penuh nostalgia.

Ketiga bocah laki-laki itu saling pandang dengan ekspresi seolah baru mendengar rahasia besar. Mereka kemudian tertawa kecil, sementara Yeejin menatap mereka dengan mata yang teduh dan penuh kasih.

Percakapan terus berlanjut, penuh tawa dan pertanyaan polos dari ketiga bocah itu. Hingga akhirnya, pintu kamar terbuka perlahan. Beberapa anggota keluarga besar mulai berdatangan. Mereka datang silih berganti dengan senyum dan ucapan selamat. Ada yang membawa buah tangan berupa samgyetang, ada pula yang membawa buket bunga baby’s breath—simbol doa untuk kelahiran yang suci dan damai.

“Selamat ya, uri Ara-ie! Anak perempuan pertama di keluarga Kim, daebak!” ucap salah satu bibi dengan riang sambil menepuk pelan bahu Tuan Kim.

Myungchul membungkuk sopan, sementara Yeejin tersenyum lembut, walau tubuhnya masih lemah. Suasana kamar menjadi ramai dan penuh ucapan syukur.

Namun, di tengah tawa itu, suasana sedikit berubah ketika harabeoji—ayah dari Myungchul—datang. Lelaki tua berwajah tegas itu berjalan pelan dengan tongkat kayu di tangannya. Di sampingnya, halmeoni tersenyum lembut sambil membawa selimut rajut kecil berwarna merah muda.

Begitu bayi Ara digendong oleh halmeoni, ekspresi harabeoji tampak kaku. Bibirnya terkatup rapat, matanya menatap bayi itu tanpa ekspresi. Bahkan ketika semua orang berdecak kagum menyebut Ara cantik seperti ibunya, harabeoji hanya menghela napas pendek.

“Perempuan?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membuat suasana hening beberapa detik. Halmeoni menoleh dengan pandangan lembut namun tegas.

“Perempuan atau laki-laki, dia tetap cucumu, Yeobo. Dia darah keluarga Kim juga,” ucapnya lirih namun berwibawa.

Myungchul menundukkan kepala sopan, menahan diri agar tidak menegur ayahnya di hadapan keluarga lain. Ia hanya menggenggam tangan istrinya lebih erat, memberi isyarat bahwa ia akan tetap melindungi keluarganya apa pun yang terjadi.

Yoo Yeejin menatap bayi mungil itu dari jauh dengan senyum kecil, meski hatinya sedikit getir. Ia tahu, di balik kebahagiaan kelahiran ini, masih ada pandangan lama tentang garis keturunan yang menilai anak laki-laki lebih tinggi nilainya.

Namun, bagi mereka berdua— Myungchul dan Yeejin—kehadiran Kim Ara adalah anugerah yang paling berharga.

Hingga cukup lama mereka menyambut keluarga yang datang silih berganti ke rumah sakit. Suasana penuh tawa dan ucapan selamat itu perlahan berubah menjadi duka mendalam ketika seorang perawat berlari masuk dengan wajah panik, lalu menyampaikan kabar tak terduga — bayi mereka hilang.

Ruangan seketika menjadi hening. Hanya terdengar isak tertahan dari Yeejin yang masih lemah di ranjangnya.

“Bayi kami… hilang?” suaranya bergetar, matanya membesar tak percaya.

Pihak rumah sakit segera bertindak, menelusuri setiap lorong, memeriksa setiap rekaman CCTV, memanggil seluruh staf yang bertugas di ruang bayi. Namun hasilnya nihil. Rekaman CCTV tiba-tiba gelap di menit kejadian, seolah ada tangan tak terlihat yang memutusnya. Tidak ada satu pun bukti yang bisa menjelaskan ke mana bayi itu pergi.

Yeejin menjadi orang yang paling terpukul. Ia baru saja melahirkan dengan penuh perjuangan, bahkan belum satu hari menatap wajah putri kecil yang ia kandung sembilan bulan. Kini, ia harus menerima kenyataan bahwa bayinya lenyap tanpa jejak — tanpa alasan, tanpa kabar.

Ketiga anaknya hanya bisa menangis di pelukan sang ayah, menyaksikan bagaimana ibunda mereka perlahan jatuh dalam keputusasaan. Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun berlalu, tubuh Yeejin semakin lemah. Ia sering menatap kosong jendela, membisikkan nama bayinya dalam doa yang tak pernah terjawab. Hingga akhirnya, Tuhan memanggilnya pulang lebih cepat.

Kehilangan itu juga menggerogoti jiwa Kim Myungchul. Ia tak mampu mengikhlaskan kepergian istrinya. Dalam hitungan bulan, ia pun menyusul, meninggalkan tiga putra mereka dalam kesepian yang begitu sunyi.

Sebelum ajal menjemput, kata-kata terakhir tuan Kim terngiang jelas di telinga anak-anaknya.

“Temukan adik kalian… keluarga ini belum lengkap tanpanya.”

•••

“Huh… astagaa…” Jihoon terbangun dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Dada naik turun cepat, seolah baru berlari puluhan kilometer. Ia menatap lekat foto keluarga yang tergantung di dinding kamarnya — foto lama, warnanya mulai memudar.

“Eomma… Apa yang harus aku lakukan?” ujar nya lirih.

Dia berdiri perlahan, melangkah menuju meja kecil di sudut kamar luas itu. Di atasnya berdiri sebuah figura kayu tua. Ia meraih bingkai itu dengan tangan bergetar. Foto di dalamnya sudah buram, tapi masih jelas menampakkan dirinya kecil sedang menggendong seorang bayi perempuan — satu-satunya foto keluarga mereka sebelum semuanya berubah.

Jihoon menatap lama foto itu, matanya berembun.

“Di mana kamu, Ara… jika kamu merasakan nya pulang lah Ara, Oppa menunggu mu,” ucapnya lirih, suaranya hampir tak terdengar, tenggelam di antara desah napas dan sepi yang menggema di ruangan itu.

1
Ramapratama
jangan jangan... adik yang hilang itu di adopsi keluarga Park kah?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!