Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Persimpangan Batin
Beberapa menit kemudian, suasana mereda. Reina tertidur lelap di pelukan Gendis, bibir mungilnya masih sedikit menempel di dada, seakan enggan melepas sumber kenyamanan itu.
Yumi, dengan langkah gontai, berjalan keluar dari kamar. Hiro segera menyusulnya ke ruang keluarga di lantai dua. Di sana, Yumi duduk di sofa dengan bahu lunglai.
Jemarinya meremas kain rok, matanya kosong menatap lantai kayu yang mengilap. Semua ketegasan dan keberaniannya di lantai atas seakan lenyap, berganti kekosongan yang pahit.
Hiro duduk di hadapannya. Tidak ada kata yang langsung keluar dari mulutnya. Hanya bunyi detik jam dinding yang mengisi jeda.
“Aku bukan ibu yang baik, ya?” suara Yumi akhirnya pecah, lirih, seolah takut mendengar suaranya sendiri.
Hiro menggeleng pelan. “Kakak hanya … terlalu ingin sempurna. Padahal Reina butuh yang sederhana. Kehangatan, susu, dan dekapan.”
Mata Yumi berkaca-kaca lagi. Dia menunduk, menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Sesaat dia membiarkan dirinya menangis, tak menahannya, tanpa berpura-pura kuat.
“Aku takut, Hiro.” Tangisnya semakin keras.
“Aku takut kalau aku membiarkan perempuan itu menyusui Reina … dia akan merebut tempatku. Dia akan jadi ibunya, bukan aku lagi.” Perlahan Yumi mengangkat wajahnya dan menatap adik iparnya itu dengan mata basah.
"Kamu tahu sendiri aku dan Reiki jauh-jauh ke sini untuk bisa memilikinya. Di Jepang sangat sulit mengadopsi anak karena sebagian besar hanya diasuh sementara pihak panti asuhan, tidak untuk diadopsi. Kami meminta bantuanmu dan butuh waktu setahun untuk mendapatkannya, Hiro. Kalau sampai dia ...." Ucapan Yumi menggantung di udara.
"Aku paham kekhawatiranmu, Kak."
Hiro menghela napas panjang. Dia mencondongkan tubuh, menggenggam tangan kakak iparnya erat. Hal itu membuat Yumi mengangkat wajah dan menatap Hiro dengan jelas.
“Tidak ada yang bisa menggantikan Kak Yumi. Gendis hanya memberi apa yang Reina butuhkan sekarang. Tapi Reina … tetap anak Kakak. Tetap anak Kak Reiki.”
Kata-kata itu menusuk, tetapi sekaligus menghibur. Yumi memejamkan mata, berusaha percaya. Setelah cukup lama, dia mengusap wajahnya, menarik napas panjang, lalu berdiri.
“Aku akan menjenguk Reiki dulu. Aku belum sempat mendatanginya sejak kecelakaan.” Suaranya lemah, tetapi lebih tenang.
“Tolong jaga Reina baik-baik. Dan … jaga Gendis, meski aku masih belum bisa menerimanya sepenuhnya.”
Hiro mengangguk. “Aku janji.”
Yumi berjalan menuruni tangga, sesekali menoleh ke belakang, lalu menghilang melewati pintu besar rumah itu. Hiro masih terpaku di atas sofa. Banyak sekali pikiran yang kini berkecamuk dalam benaknya.
Keheningan turun begitu Yumi benar-benar pergi. Sesaat setelah mobil Yumi menjauh, langit berubah mejadi sedikit muram, dan air turun perlahan mengguyur tanah. Suara hujan gerimis di luar yang menetes pelan di jendela besar membuat pikiran Hiro sedikit lebih tenang.
Hiro beranjak dari sofa, lalu melangkah ke kamar lagi. Saat pintu terbuka, dia melihat Gendis sedang duduk di tepi ranjang, Reina terlelap di pelukannya. Lampu kamar temaram, menciptakan bayangan lembut di wajah keduanya.
Hiro mendekat, duduk di kursi dekat ranjang. Matanya tak lepas dari Gendis yang sedang menatap Reina dengan sorot penuh kasih. Melihat keduanya terlihat nyaman bersama membuat Hiro tersenyum tipis.
“Dia tenang sekali,” bisik Gendis, seakan takut suaranya membangunkan bayi itu.
“Tadi aku pikir aku tidak akan pernah bisa memeluknya lagi.” Gendis mengangkat tangan Reina perlahan, lantas mengecup lembut jemarinya.
Hiro tersenyum tipis, tetapi tak bertahan lama. Ada sesuatu di tatapan Gendis. Sebuah keraguan yang tajam, seperti bayangan yang perlahan merayap di balik ketenangan itu.
“Apa perempuan tadi sudah pergi?” tanya Gendis akhirnya.
“Ya,” jawab Hiro singkat.
Gendis menunduk, mengusap pipi Reina dengan ujung jarinya. “Dia … sepertinya masih mencintaimu.”
Hiro terhenyak. “Apa maksudmu?”
“Cara dia menatapmu, cara dia bicara padamu … seolah dia tidak ingin ada orang lain di sampingmu. Bahkan aku pun … merasa hanya orang asing di sini.” Suara Gendis bergetar, tetapi matanya menatap lurus, penuh dengan luka yang tak bisa dia sembunyikan.
Hiro terdiam. Kata-kata itu seperti anak panah yang menancap tanpa ampun. Dia ingin menjelaskan semua yang terjadi, tetapi hati kecilnya seakan berbisik jika diungkapkan akan membuat semuanya menjadi lebih rumit.
"Setelah mendekapnya, aku semakin takut kehilangan Reina, Hiro. Aku takut hidupku kembali tak baik-baik saja setelah kontrak ini berakhir. Membayangkan istrimu membawa bayi ini pergi membuat dadaku semakin sesak."
Air mata kembali menetes dari sudut mata Gendis. Dia buru-buru menunduk, menyembunyikannya dari Hiro.
Hiro menatapnya lama. Dia ingin berkata sesuatu, ingin meyakinkan, tetapi lidahnya kelu. Ada terlalu banyak hal yang belum dia ceritakan. Terlalu banyak rahasia yang dia simpan.
Keheningan panjang menggantung di antara mereka. Hanya napas kecil Reina yang terdengar, seperti jembatan tipis yang masih menyatukan dua jiwa yang terbelah keraguan.
Hiro akhirnya mengulurkan tangan, menyentuh bahu Gendis dengan hati-hati. “Semoga apa yang kamu takutkan tidak akan pernah terjadi, Ndis. Kamu hanya menolong Reina dengan menyusuinya.”
Gendis menggeleng cepat. Air mata semakin membanjiri pipi mulus perempuan tersebut. Dia kembali menatap Reina dan membelai lembut pipinya dengan ujung jari.
"Kamu salah, Hiro. Aku melakukan ini bukan untuk menolong Reina. Sejujurnya ...." Gendis mendongak menatap Hiro dengan pandangan kabur.
"Aku setuju menyusuinya karena aku ingin mengisi kekosongan ini. Mengisi kekosongan jiwa seorang ibu yang kehilangan anaknya. Aku mulai menyayangi Reina, Hiro. Bagaimana ini? Apa boleh aku egois dan memintanya tetap tinggal bersamaku selamanya?" Bahu Gendis bergetar hebat.
Perempuan tersebut kembali merengkuh tubuh Reina. Bayi itu menggeliat dalam dekapan Gendis dengan mata tetap terpejam. Gendis menghujani Reina dengan kecupan.
"Kalau begitu kamu pasti akan mengerti perasaan Yumi. Kamu nggak akan menjadi berubah egois jika memposisikan diri sebagai Yumi."
Gendis terdiam seketika. Dia beranjak dari kursi, lantas meletakkan tubuh mungil Reina ke dalam kotak bayi. Reina menggeliat sekilas seakan sedang meregangkan otot dengan mengangkat kedua tangannya ke atas kepala.
"Tapi kami berbeda, Hiro. Sepertinya aku tidak bisa untuk tidak egois." Suara Gendis bergetar, tatapannya masih fokus mengamati Reina yang terus melalukan gerakan kecil untuk menemukan posisi nyamannya.