Ibu Susu Untuk Reina
"Darah! Ada darah!" seru Ayaka, salah seorang rekan kerja Gendis yang menolongnya.
Gendis mengerang menahan sakit. Dahinya banjir dengan keringat. Wajah perempuan tersebut mulai pucat.
Dunia seakan berputar dalam pandangannya. Perlahan semua menjadi gelap. Dia pingsan.
Suara sirine ambulans bertalu-talu membelah jalanan ibukota. Semua kendaraan menyingkir, memberikan jalan untuk mobil berwarna putih itu. Badan Gendis tergolek lemas di atas brankar.
"Selamatkan anakku, meski nyawaku taruhannya. Tolong selamatkan anakku." Suara Gendis tak benar-benar keluar dari bibirnya.
"Tenang, Bu. Masih bisa dengarkan suara saya?" tanya seorang perawat yang duduk tepat di samping Gendis.
Mata Gendis tidak terpejam, tetapi tak benar-benar terbuka lebar juga. Dia masih setengah sadar, sesekali mendesis menahan nyeri dan badan yang terasa remuk. Perlahan Gendis mengangguk, anggukannya hampir tak terlihat.
"Bisa atur napas, supaya Ibu lebih tenang? Tarik napas ... embuskan lewat mulut. Tarik napas ... embuskan." Perawat terus memberikan instruksi kepada Gendis.
Gendis pun mengikutinya. Perlahan kesadarannya pulih. Perut perempuan tersebut kembali mengalami kontraksi.
"Perutku sakit, Sus! Sakit sekali!" ujar Gendis sambil menangis.
Air mata dan keringat bercampur menjadi satu. Seakan seluruh tulang di tubuhnya patah secara bersamaan. Kekuatannya bak menguap ke udara.
"Nggak apa-apa, Bu. Pasti Ibu dan anaknya selamat. Ayo Bu, kita atur napas lagi." Perawat muda itu terus berusaha menenangkan Gendis.
Namun, Gendis kembali tak sadarkan diri karena dihantam rasa sakit luar biasa yang belum pernah dia alami sebelumnya. Perawat panik, dia berusaha membangunkan Gendis dengan menepuk pipinya. Namun, gagal.
Laju mobil ambulans semakin cepat. Tak lama berselang, mereka sampai di rumah sakit. Dokter mencari wali untuk menandatangani surat persetujuan operasi.
"Tapi, dia hanya tinggal sendirian di sini, Pak," sahut Ayaka rekan kerja Gendis.
"Ya sudah, Mbak saja yang tanda tangan."
Ayaka terdiam, matanya menatap ragu lembaran kertas di atas map itu. Saat kembali terdengar tangisan dan teriakan Gendis dalam ruang IGD, Ayaka akhirnya membubuhkan tanda tangan di atas sana. Gendis pun langsung dibawa ke ruang operasi.
Ayaka mondar-mandir di depan ruangan itu. Perempuan yang dia selamatkan delapan bulan lalu karena hampir bunuh diri itu, kini nyawanya sedang terancam. Gendis jatuh dari tangga darurat karena kurang memperhatikan langkah.
Kejadiannya berlangsung begitu cepat sehingga Ayaka pun terlambat menolongnya. Setelah menunggu hampir dua jam, seorang dokter keluar. Dia membawa bayi dalam selimut putih. Bayi itu diam, tak bergerak, apalagi bernapas.
"Maaf, tapi bayinya tidak selamat."
Kaki Ayaka mendadak lemas. Dia langsung masuk ke ruang pemulihan. Di dalam sana Gendis masih lemas dengan alat medis yang menempel.
"Kenapa anakku nggak menangis, Aya. Aku nggak dengar suara tangisnya, Aya." Suara Gendis begitu lemah, hampir tak terdengar.
Ayaka mati-matian menahan tangis. Dia tak menjawab karena merasa ada batu besar yang kini mengganjal tenggorokan. Air matanya deras membasahi pipi.
"Kok kamu nangis? Kenapa, Aya? Aku masih hidup, loh. Apa yang kamu tangisi? Bayiku mana, Aya? Kok nggak IMD di dadaku?"
Pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dari bibir Gendis, layaknya berondongan tembakan bagi Ayaka. Perlahan bibirnya terbuka. Dia berusaha mengatur napas dan menjawab semua pertanyaan dari Gendis sekuat hati.
"Tadi, bayimu ada kok, Ndis. Digendong keluar sama dokter. Sekarang kamu fokus sama pemulihanmu dulu, ya? Biar nanti kuat pas ketemu adik." Ayaka menelan tangisnya dan berusaha mengganti dengan sebuah senyum getir.
Gendis mengangguk kemudian perlahan mengatur napas. Dia ada dalam ruang pemulihan sekitar 30 menit sebelum akhirnya masuk ke bangsal. Ayaka setia menemani Gendis hingga malam tiba.
Ketenangan itu kembali terusik karena Gendis yang mempertanyakan keberadaan bayinya. Ayaka kali ini tidak bisa lagi berbohong. Dia menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya mengembuskannya kasar.
"Ndis, sebenarnya ...." Ayaka menahan napas.
Air mata perempuan tersebut mulai meleleh. Napasnya tersengal perlahan. Dari napas patah-patah itu, terciptalah sebuah isak tangis yang pecah.
"Aya, kok kamu malah nangis? Sebenarnya ada apa?" tanya Gendis dengan dahi berkerut.
"Aya, kok bayiku nggak segera dibawa ke sini ya? Apa aku yang harus ke sana? Yuk, antar aku ke ruang bayi, Ya." Gendis berusaha turun dari brankar.
Akan tetapi, rasa nyeri pasca operasi belum pulih sepenuhnya. Dia meringis dan akhirnya kembali duduk dan bersandar pada dinding. Ayaka masih menangis tergugu, wajahnya pun banjir dengan air mata.
"Ndis, aku mohon kuatkan hatimu. Aku tahu ini akan berat, tapi tolong bertahanlah! Bayimu ... bayimu tidak selamat!"
"Apa?" Suara Gendis semakin lemah.
Gendis merasa semua seperti mimpi. Perlahan suara tangis Ayaka semakin jauh, lemah, tak terdengar di telinga Gendis. Tatapannya menggelap, dia kembali tak sadarkan diri.
***
"Aya, tolong ambilkan pompa ASI!" teriak Gendis kepada Ayaka yang sejak tadi duduk di sampingnya.
"Aduh, bayiku pasti kehausan! Ayo kirim ini ke rumah sakit! Dia nggak boleh minum susu formula! Lihat ASI-ku sangat berlimpah! Tolong nanti antarkan ASI perah ini ke rumah sakit, ya?" pinta Gendis sambil menatap kosong Ayaka.
Sudah satu bulan kondisi psikis Gendis terguncang. Dia tengah berilusi bahwa bayinya ada di rumah sakit. Ayaka begitu setia menemani meski batinnya ikut tersiksa.
Sahabat yang sudah dia kenal itu semakin terlihat menyedihkan karena kehilangan bayi. Gendis selalu bercerita bahwa akan menjaga bayi itu usai Ayaka menyelamatkan dirinya yang hendak menggoreskan pecahan kaca pada nadi. Kisah sedih Gendis membuat Ayaka selalu setia ada di sisi sang sahabat.
"Ndis, aku tahu kamu sedih. Tapi, tolonglah sadar. Kehidupanmu harus tetap berlanjut! Mungkin ini sudah takdir Tuhan, Ndis! Bayimu itu sudah meninggal!" teriak Ayaka di antara isak tangisnya yang pecah.
"Kamu itu ngomong apa, Aya! Bayiku masih ada di rumah sakit! Dia hanya kurang sehat karena lahir kurang bulan!" teriak Gendis sambil menatap tajam Ayaka.
"Gendis, sadarlah! Ini sudah satu bulan! Aku bahkan sudah membawamu ke makamnya berkali-kali! Tolong lapangkan dada dan terima kenyataan! Bayimu sudah tiada, Ndis!" ujar Ayaka sambil mengguncang tubuh Gendis.
"Aya, bayiku masih di rumah sakit! Ayo! Aku buktikan! Ikut aku!" Gendis menarik lengan Ayaka.
Keduanya langsung menuju ke rumah sakit dengan memesan taksi. Setelah sampai di sana, Gendis melangkah cepat menuju ruangan khusus bayi. Dia berhenti di depan jendela kaca besar.
Pupil mata Gendis bergerak-gerak mencari keberadaan bayinya. Tiba-tiba dia histeris, memaksa untuk menerobos masuk. Seorang perawat menghalanginya karena mengganggu ketenangan.
Bayi-bayi yang awalnya tidur dengan lelap, kini mulai menangis bersahut-sahutan. Ayaka langsung menarik Ivy keluar dari ruangan itu. Dia membawa sang sahabat menjauh.
"Aya, mana bayiku! Kenapa bayiku hilang! Ayaka! Mana! Ada yang mengambilnya dariku!"
"Ndis, sadarlah!" teriak Ayaka dengan sebuah tamparan keras mendarat di pipi Gendis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
AlikaSyahrani
kamu harus kuat gendis iklaskan anakmu mungkin alloh sangat sayang ama anakmu hinggah dia kembalidipangkuannya
2025-10-26
0
Ida Nur Hidayati
kasihan Gendis....
2025-09-15
0
Esther Lestari
hadir
2025-09-06
1