"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Suka..
Bastian menarik napas pendek, lalu mengalihkan pandangannya seolah ingin menghindari tatapan gadis itu. “Kamu ini suka banget ngomong sembarangan.”
“Enggak sembarangan kok,” jawab Riri cepat. Ia melangkah lebih dekat, jarak mereka kini hanya tinggal beberapa jengkal. “Aku emang suka denger Om ngomong. Suka liat Om kerja. Suka lihat Om fokus. Pokoknya… aku suka.”
Bastian spontan menatap Riri, tatapannya berubah serius, ia terkejut mendengar ucapan gadis di hadapannya. “Riri, jangan main-main,” ucapnya rendah.
“Aku gak main-main.” Suara Riri terdengar lebih pelan tapi penuh tekad. “Aku tahu ini mungkin aneh… tapi aku gak bisa pura-pura gak ngerasain apa-apa.”
Beberapa detik keheningan tercipta. Hanya terdengar suara AC dan langkah orang jauh di lorong. Bastian akhirnya melangkah mundur setengah langkah, mencoba menjaga jarak.
“Kamu sadar gak siapa saya?” katanya tenang tapi jelas. “Saya bos kamu. Dan saya ini sahabat Papa kamu. Kamu tau ini bukan hal yang sederhana, Riri.”
“Aku tahu,” jawab Riri tanpa ragu. “Makanya aku gak bilang hal ini di depan orang lain. Aku cuma mau jujur ke Om… saat kita berdua kayak gini.”
Bastian memejamkan mata sejenak, menahan sesuatu dalam dirinya. “Kamu bikin semuanya jadi rumit, Riri…”
Riri tersenyum tipis. “Atau mungkin… aku cuma bikin Om ngerasa sesuatu yang Om sendiri gak mau akui?”
Tatapan mereka bertemu lagi, kali ini lebih dalam, lebih panas dari biasanya. Sekilas, ada sesuatu di mata Bastian… sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
“Pulanglah, Ri,” akhirnya Bastian berkata pelan. “Sudah malam.”
Riri mengangguk, tapi sebelum pergi, ia menoleh lagi sambil tersenyum jahil. “Aku pulang sekarang. Tapi besok, aku bakalan tetap suka sama Om.”
Bastian hanya bisa menghela napas panjang saat melihatnya pergi. Dalam hati, ia tahu batasannya… tapi detak jantungnya barusan tak bisa ia bohongi.
___
Pagi itu, ruang rapat lantai 15 dipenuhi suara kertas dibalik dan laptop dibuka. Tim Humas dan Marketing yang bersiap melakukan presentasi progress bulanan di hadapan Bastian sebagai direktur utama.
Riri duduk di barisan depan bersama Rico dan dua seniornya. Rambutnya diikat setengah, membuat wajahnya tampak lebih dewasa dari biasanya. Bastian masuk tepat waktu dengan kemeja putih dan jas biru navy yang rapi. Aura karismatiknya membuat beberapa karyawan perempuan saling berbisik kecil.
“Pagi semuanya,” ucap Bastian tegas. “Kita mulai rapat hari ini.”
Riri menegakkan duduknya. Dalam hati, ia berbisik pelan, “Gila, kenapa dia makin kelihatan keren kalau pakai jas kayak gitu…”
Rico yang duduk di sebelahnya mendengar gumaman kecil itu dan menahan tawa. “Ri… kamu ngiler ya?” bisiknya pelan.
“Diam, Ric,” bisik Riri balik sambil nyikut Rico pelan.
Presentasi dimulai. Tim Humas menjelaskan rencana strategi publikasi acara perusahaan besar bulan depan. Saat giliran Riri, semua mata mengarah padanya. Ia berdiri dengan penuh percaya diri, meski jantungnya berdetak kencang karena Bastian duduk tepat di hadapannya.
“Baik, jadi… untuk segmentasi media, kami membaginya menjadi tiga kategori utama…” Riri menjelaskan dengan lancar. Tapi di sela-sela penjelasannya, matanya beberapa kali bertemu dengan Bastian. Tatapan itu membuatnya sedikit gugup, tapi ia justru menikmatinya.
Bastian memperhatikan dengan seksama. “Menarik,” komentarnya setelah Riri selesai menjelaskan. “Tapi ada satu hal… bagian koordinasi dengan pihak media eksternal. Kamu yang tangani?”
Riri tersenyum manis. “Iya, Pak. Saya yang tangani. Saya janji gak akan bikin Om… eh, Bapak kecewa.”
Ruangan langsung sedikit ramai oleh tawa kecil para karyawan yang mendengar ‘Om’ hampir lolos dari mulut Riri. Rico langsung menutup mulutnya menahan tawa.
Bastian menaikkan alisnya, sedikit tersenyum. “Fokus, Riri.”
“Iya, Pak,” jawab Riri cepat, pipinya sedikit merona. “Maaf, Pak.”
Setelah rapat selesai, semua orang mulai membereskan berkas. Riri sengaja melangkah agak pelan agar bisa keluar ruangan belakangan. Saat hanya tersisa mereka berdua, Bastian menatapnya sambil menyilangkan tangan.
“Om, eh Pak… tadi aku keren gak?” goda Riri dengan senyum nakal.
Bastian mendengus kecil. “Kamu hampir bikin saya tertawa di depan semua orang.”
“Tapi kan aku tetap bikin Om bangga, iya kan?” Riri mendekat sedikit sambil mengedip pelan.
Bastian menatapnya dalam. “Kamu itu… selalu aja bikin suasana jadi gak bisa tenang.”
Riri terkikik pelan. “Emang aku maunya begitu.”
Bastian berbalik, menahan senyum yang nyaris muncul. “Balik kerja, Riri. Sebelum saya benar-benar kehilangan fokus.”
Riri menatap punggungnya yang menjauh sambil menggigit bibir bawah. “Aduh, Om Bas… kenapa sih bikin aku makin terpesona?”
__
Sore itu hujan turun deras tiba-tiba. Karyawan berhamburan keluar dari lobi kantor dengan payung masing-masing. Beberapa yang tidak membawa payung memilih menunggu hujan reda di depan pintu kaca besar Dinantara Group.
Riri berdiri di dekat pilar, merapatkan blazer tipisnya sambil menghela napas panjang. “Kenapa sih hujannya pas banget jam pulang…” gumamnya kesal. Ia membuka tas, berharap ada payung lipat, tapi nihil.
“Dingin ya?” suara Rico tiba-tiba muncul di belakangnya.
“Iya, Ric. lo bawa payung gak?”
“Nggak juga. Tapi gue mau nebeng bareng anak keuangan, kita searah soalnya,” jawab Rico sambil menunjuk ke arah mobil jemputan. “Lo gimana?”
Riri tersenyum kecut. “Kayaknya nunggu reda aja deh.”
"Kalau gitu, gue balik duluan ya, Ri."
"Iya Ric, hati-hati."
Setelah Rico pergi, Riri berdiri sendirian. Ia menatap hujan lebat dengan mata menerawang. Dalam diam, pikirannya melayang pada Bastian. Entah kenapa, sosok pria itu selalu muncul dalam benaknya setiap saat sunyi.
“Masih di sini?” suara berat dan familiar terdengar dari sisi kanan. Riri menoleh dan mendapati Bastian berjalan keluar dengan payung hitam besar di tangan.
“Om… eh Pak Bastian,” Riri agak kaget. “Iya nih, nunggu hujan reda. Aku gak bawa payung.”
Bastian melirik sebentar ke arah gerimis lebat. “Mobil kamu?”
“Lagi dipinjem Papa. Biasanya aku bareng Rico, tapi dia udah pulang duluan,” jawab Riri.
Beberapa detik hening. Bastian lalu menghela napas kecil. “Ya sudah. Ayo bareng saya. Saya antar ke rumah.”
“Eh, gak usah repot, Pak. Saya bisa naik ojek online juga—”
“Riri,” potong Bastian dengan nada sedikit tegas tapi tenang. “Hujan seperti ini? Kamu mau sakit?”
Riri tersenyum kecil dan menunduk, “Hehe… iya Pak.”
Mereka pun berjalan berdampingan di bawah satu payung besar. Riri sedikit mendekat agar tidak kehujanan. Bahunya nyaris bersentuhan dengan Bastian. Aroma parfum maskulin khas pria dewasa itu membuat jantungnya berdetak cepat.
“Om selalu wangi, ya,” celetuk Riri tanpa sadar.
Bastian menoleh cepat, sedikit kaget. “Apa?”
“Eh, gak… gak apa-apa!” Riri menutup mulutnya sambil tertawa gugup.
Bastian menggeleng sambil tersenyum tipis — senyum langka yang hanya muncul saat mereka berdua. Tapi dalam hati, ia merasa dadanya menghangat. Ada sesuatu pada gadis itu… sesuatu yang membuatnya tak bisa cuek begitu saja.
Saat di mobil, Riri duduk di kursi penumpang dengan posisi santai, menatap ke arah jendela yang dipenuhi titik-titik hujan.
“Om,” panggilnya pelan.
“Hmm?”
“Apa om gak pernah kepikiran buat nikah lagi?” tanyanya polos.