Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.
Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.
Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.
Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______
Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam
Tidak ada malam yang benar-benar tenang lagi di rumah itu. Bahkan ketika bulan menggantung sempurna dan jalanan sunyi, ada suara-suara tak terdengar yang bergema di dalam dinding. Penyesalan, kemarahan, dan duka yang terus mengendap.
Sumin sudah membulatkan tekad. Ia tidak akan membiarkan pengkhianat bernama Kim Jihoon lolos begitu saja setelah menyakiti mamanya dan membunuh adiknya. Ia pun mengendap-endap memasuki ruang kerja Jihoon. Untung saja, Jihoon masih punya rasa malu untuk tidak menapakkan kaki di rumah mereka.
Sumin duduk di depan laptop, cahaya biru menyorot wajah letihnya. Matanya menatap file demi file yang ia buka diam-diam. Email kantor Jihoon, laporan keuangan perusahaan, itinerary perjalanan bisnis yang tidak pernah benar-benar "bisnis".
Ia menemukan semuanya.
Bukti foto hotel di Busan. Bukti pembayaran makan malam romantis yang diambil dari dana operasional perusahaan milik kakek dari pihak mamanya. Bahkan pesan WhatsApp antara Jihoon dan Hana yang secara tidak sengaja terbaca saat ia menggunakan ponsel Jihoon yang tertinggal.
Kalau kamu bukan istri adikku, aku sudah menikahimu sejak dulu.
Kita pasti akan bersama. Aku yakin.
Sumin ingin muntah membaca itu. Tapi ia harus menyalin semua. Ia membuat salinan di flashdisk yang ia simpan di bagian terdalam laci bukunya, bersama dengan foto USG sang adik yang kini hanya tinggal kenangan.
“Ma, sabar sebentar,” bisiknya pada foto itu, “aku janji akan membuat papa membayar rasa sakit mama.”
...----------------...
Sementara itu, Yujin duduk sendirian di kamar Sunghan dengan lampu yang sudah dimatikan. Sunghan sudah tidur di sebelahnya, meringkuk seperti anak kucing yang baru kehilangan rasa aman.
Yujin memandang langit-langit, tangannya memegang perut yang kini sudah rata. Ia belum menangis lagi sejak pulang dari rumah sakit. Bukan karena ia tidak sedih. Tapi karena tangis sudah tak cukup lagi untuk mewakili luka di dadanya.
“Bayi kecilku...” gumam Yujin sambil mengusap perutnya, “kamu bahkan belum sempat kupeluk.”
Ketukan di pintu membuatnya menoleh pelan.
“Boleh aku masuk?” suara Jisung terdengar tenang dan ragu.
Yujin cukup terkejut karena tiba-tiba adik suaminya itu sudah berada di rumahnya.
“Masuk saja.”
Pintu terbuka. Jisung melangkah masuk disusul oleh Yewon yang berlari kecil ke arahnya.
“Tantu Yujin!” pekik Yewon.
“Hai, Sayang!” balas Yujin dengan suara bersemangat yang ditahan, mengingat Sunghan sudah tertidur.
“Wonnie merengek minta diantar ke sini,” ucap Jisung.
Yujin tertawa kecil, “Wonnie tidur di sebelah Sunghan, ya. Ini sudah malam.”
Yewon mengangguk lucu, lalu segera naik ke tempat tidur. Ia tidur di sebelah kanan Sunghan. Sedangkan Yujin bersandar pada headboard di sebelah kiri putranya.
“Masih belum bisa tidur?” tanya Jisung sambil duduk di sisi ranjang.
Yujin tersenyum kecil, “aku sudah terbiasa tidak tidur lagi.”
Jisung menunduk, “aku juga.”
Hening beberapa detik.
“Wonnie bilang ingin memanggilmu mama,” ucap Jisung tiba-tiba.
Yujin sedikit terkejut, lalu menoleh pada gadis kecil yang ternyata sudah terlelap.
“Dia sudah disakiti oleh mamanya. Aku jadi tidak tega untuk mengoreksi,” imbuh Jisung.
“Jangan dikoreksi,” jawab Yujin, “kalau dia nyaman begitu, biarkan saja.”
Jisung mengangguk pelan, “Wonnie itu ... kuat sekali. Tapi aku bisa lihat kalau dia juga sangat hancur. Dia masih belum mau bicara dengan Hana. Aku sedih melihatnya harus menghadapi semua ini di usia yang masih sangat kecil.”
Yujin tidak menjawab, ia hanya bisa menunduk. Ini memang bukan salahnya, tapi ia merasa bersalah. Ia merasa bersalah pada Yewon, Sunghan, dan Sumin. Anak-anak itu tidak seharusnya menderita karena masalah orang dewasa.
...----------------...
Keesokan harinya, di ruang tamu, Sumin duduk berhadapan dengan Jisung. Sumin memang bukan tipe yang dekat dan manja dengan orang lain, jadi ia tidak banyak basa-basi dengan pamannya.
“Ada apa, Sumin? Kenapa kamu minta bicara empat mata?” tanya Jisung dengan nada lembut.
Sumin menghela napas, lalu menyerahkan flashdisk kecil pada Jisung, “isinya bukti perselingkuhan papa dan tante Hana.”
Kedua bola mata Jisung membelalak terkejut. Ia menerima flashdisk itu dengan tangan ragu. Ia menelan ludah sambil mengamati flashdisk itu.
“Kamu mengumpulkan semua ini sendirian?” tanya Jisung tidak percaya.
Sumin terkekeh pelan, tidak ada kesan menyenangkan dalam tawanya, “aku tidak bisa membiarkan papa hidup tenang setelah menghancurkan kehidupan kami. Dan paman Jisung, paman bisa menggunakannya untuk memenangkan hak asuh Yewon.”
Jisung mengedipkan matanya beberapa kali. Dirinya yang bekerja sebagai pengacara, tapi mengakui bahwa Sumin sangat cerdas dan lebih cerdik darinya.
“Lalu, apa rencanamu untuk membalas papamu?” tanya Jisung.
“Kita lihat dulu bagaimana ke depannya. Biarkan papa tenggelam dalam dosanya dulu, baru aku akan mulai menghancurkannya,” jawab Sumin dengan nada serius.
Dan saat itu juga, Jisung sadar bahwa keponakannya itu tidak bisa dihentikan lagi.
...🥀🥀🥀🥀🥀...