NovelToon NovelToon
BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Kehidupan Tentara / Roman-Angst Mafia
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Yuni_Hasibuan

Ini tentang TIGA TRILIUN...
yang dipermainkan oleh DIMITRY SACHA MYKAELENKO, hanya demi satu tujuan:
menjebak gadis yang sejak kecil selalu menghantui pikirannya.

Dialah Brea Celestine Simamora—putri Letkol Gerung Simamora, seorang TNI koplak tapi legendaris.
Pak Tua itulah yang pernah menyelamatkan Dimitry kecil, saat ia bersembunyi di Aceh, di tengah api konflik berdarah.

Kenapa Dimitry sembunyi? Karena dialah
pewaris Mykaelenko—BRATVA kelas dunia

Kepala kecilnya pernah di bandrol selangit, sebab nama Mykaelenko bukan sekadar harta.
Mereka menguasai peredaran berlian: mata uang para raja, juga obsesi para penjahat.

Sialnya, pewaris absurd itu jatuh cinta secara brutal. Entah karena pembangkangan Brea semakin liar, atau karena ulah ayah si gadis—yang berhasil 'MENGKOPLAKI' hidup Dimitry.

Dan demi cinta itu… Dimitry rela menyamar jadi BENCONG, menjerat Brea dalam permainan maut.

WARNING! ⚠️
"Isi cerita murni fiksi. Tangung sendiri Resiko KRAM karena tertawa"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tiga Triliun yang bikin kejang

***

“Sebelum aku bilang apa yang ku inginkan… gimana kalau aku ceritakan dulu sejarah cincin ini?”

Suara Dimitry tenang, santai banget malah, sambil memutar cincin di jarinya.

Pak Mora otomatis menelan ludah. History? Berat kali bahasanmu, Wak!

“Bapak tahu nggak,” lanjut Dimitry, nadanya naik setengah oktaf, “ini bukan sekadar cincin. Dan batu di dalamnya… bukan batu sembarangan.”

Pak Mora makin kicep. Sumpah, rasanya kayak salah masuk kandang harimau. Kenapa juga tadi sok-sokan nantangin Dimitry buat jujur? Sekarang malah disuruh ikut kelas sejarah mafia keluarga Mykaelenko.

Dimitry tersenyum samar. Senyum yang malah bikin bulu kuduk berdiri.

“Orang-orang menyebutnya The Mykaelenko Heart of Darkness. Tapi bagi keluargaku… ia adalah jantung kekuasaan. Batu ini muncul pertama kali waktu aku masih bocah, bahkan sebelum aku dikirim ke Aceh.”

Ia berhenti sejenak, pandangannya menerawang, lalu kembali tajam.

“Malam itu, ayahku membawaku ke tambang rahasia keluarga kami—Shadow Vein. Ada ledakan kecil, celah baru terbuka… dan di sanalah benda ini berbaring. Hitam. Berat. Agung. Seolah tambang itu sendiri menyerahkannya pada kami.”

Pak Mora ikut terhanyut. Gaya bicara Dimitry bikin dia seolah-olah bisa melihat adegan itu langsung.

“Sejak malam itu,” Dimitry melanjutkan, “orang percaya… batu ini tidak ditemukan. Batu ini memilih sendiri. Dan ia memilihku.” Matanya berkilat, dingin, bikin ruang limosin makin sesak.

“Batu itu… akhirnya dipotong dan dipoles setelah menunggu waktu yang tepat, dan pengrajin potong yang benar-benar ahli. Hasilnya jadi dua: satu jadi cincin di jariku. Satu lagi—jadi kalung.”

Dimitry menoleh sekilas, senyumnya tipis.

“Kalung yang sebenarnya dimaksudkan… untuk pasangan si pemilik cincin.”

Hening.

Sampai di sini Dimitry berhenti, pandangannya menusuk tenang ke arah Pak Mora. Seolah-olah ia sengaja memberi ruang bagi pria paruh baya itu untuk mencerna arti kalimatnya.

Pak Mora terdiam. Otot rahangnya sempat menegang, lalu ia mengerjap, berusaha menelan rasa tegang yang naik ke kerongkongan. Baru setelah beberapa detik, mulutnya refleks mengeluarkan kata-kata.

“Mam… maksudmu, kalung itu… kalung itu untuk calon istrimu? KENAPA MALAH KAU SURUH PAKAI SAMA ANAKKU?!”

Nada suaranya naik di bagian akhir, seperti meledak tanpa bisa ditahan.

Dimitry malah menanggapinya santai, bahkan nyaris terdengar geli.

“Jawabannya sudah Bapak temukan sendiri. Makanya bisa teriak kencang begitu. Aku tidak salah bicara kan, Pak Letkol Simamora?”

Ck. Kalau ada lomba menyindir dengan wajah setenang air, Dimitry jelas juaranya.

Pak Mora mendengus, tergagap menutupi guncangan batinnya.

“Ya… ya, tau lah. Nggak usah dipertegas begitu. Tapi… ini sama aja artinya, kau menganggap anakku itu—calon istrimu?”

Sejenak ruangan itu sepi. Yang terdengar cuma desis halus AC dan detak jantung Pak Mora yang seperti ingin meloncat keluar.

Pertanyaan berikutnya pun meluncur begitu saja, tanpa sempat disaring.

“Tapi kau kan belum kenal anakku?”

Dimitry mengangkat alis, senyum tipisnya muncul lagi.

“Kata siapa aku belum kenal Brea?”

“Ya kata aku lah! Kita aja baru ketemu lagi sekarang. Gimana caranya kau bisa ketemu anakku, kalau waktu itu aja dia belum lahir—masih di perut mamaknya.” Pak Mora blak-blakan, nyaris terdengar frustasi.

“Pak… aku mungkin belum pernah bertemu langsung. Tapi percayalah, aku sudah kenal Brea,” ucap Dimitry enteng, namun matanya berkilat.

Pak Mora refleks membalas, agak emosional, “Maksudmu apa? Selama ini kau stalker anakku, gitu?!”

“Kata stalker itu kurang tepat,” Dimitry menjawab tetap kalem. “Aku tidak pernah berniat menguntit. Aku hanya mencari tahu. Informasi tentang kalian. Tentang keluarga penolongku dulu. Itu saja.”

Pak Mora menghela napas kasar, lalu mendesis, “Bah! Itu cuma main kata. Makna stalker yang kau perhalus. Pintar kali kau cari alasan.” dia bicara Ceplas-ceplos. Tapi jelas masih belum puas, masih penasaran. Malah lanjut nanya,

“Belum pernah ketemu, kok bisa kau bilang kenal?”

Nada Pak Mora ketus, alisnya naik setengah tiang.

Dimitry nggak langsung nyaut. Malah tangannya santai merogoh dompet kulit tua yang kelihatan sudah kenyang makan asam garam—sampai benangnya ada yang nyerabut. Dari dalamnya, dia keluarin selembar foto. Warnanya agak pudar, klasik banget.

Pak Mora otomatis nyorot matanya.

‘Lho… itu…’

Foto itu jelas Brea. Masih berseragam SMA, senyum tipis ke arah tanah, kayak nggak sadar ada yang mengambil fotonya diam-diam.

Dimitry menatap foto itu lama, bibirnya rapat, napasnya teratur. Baru setelahnya dia sodorin ke Pak Mora.

“Kadang, kita nggak perlu bicara langsung untuk tahu siapa seseorang. Aku sudah mengikuti langkahnya dari jauh. Bukan untuk menguntit,” suaranya berat, agak serak, “tapi untuk memastikan dia aman.”

Pak Mora bengong. Foto itu sampai bergetar di tangannya.

‘Ini orang… dari mana bisa pegang senyum anakku?’

Belum sempat Mora nanya, Dimitry malah narik sesuatu lagi dari sakunya. Kali ini lipatan kertas lusuh, tapi dijaga rapi dalam plastik bening. Disodorin lagi ke Mora.

“Apa lagi ini?” Mora spontan manyun, curiga setengah mati. Tapi begitu matanya nangkep ceceran tulisan ceker ayam yang khas, langsung terbelalak.

“Eh… ini—ini tulisan Brea?!” suaranya patah-patah, nyaris keplintir. “Kok bisa dia kirim surat buat kau?”

Dimitry menarik napas dalam, kelihatan agak berat.

“Itu… bukan surat untukku. Itu surat untuk ayahnya.”

Pak Mora kaku.

‘Lah, bukannya aku ini ayahnya?’

Dimitry buru-buru melanjutkan, nadanya makin pelan, lebih ke lirih.

“Aku dulu berniat menemui bapak sebelum pindah tugas ke Papua. Tapi terlambat. Sama seperti Brea—aku datang telat. Bapak sudah keburu berangkat.”

Hening sejenak. Dimitry memandang jauh, matanya seperti lagi muter ulang film lama.

“Aku masih ingat jelas. Hari itu bukan cuma para istri yang menangis. Anak-anak pun ikut tersedu. Dan di antara mereka… ada Brea. Itu pertama kali aku melihat anak bapak.”

Suara Dimitry mulai pecah, tangannya mengepal samar.

“Masih kecil. Cantik. Tapi kecantikannya ketutupan air mata. Dia telat datang, masih pakai seragam sekolah, nangis-nangis sambil berlari, nyoba ngejar bapaknya yang mau berangkat. Pemandangan itu… terus menempel di kepalaku.”

Pak Mora terdiam. Napasnya jadi nggak stabil.

Dimitry menunduk, nada suaranya turun lagi, seolah nyesek sendiri.

“Aku kasihan. Aku tanya dia kenapa, tapi malah membuang surat kecil itu ke tanah. Mungkin marah sama Bapak."

"Sejak hari itu… aku nggak bisa berhenti memperhatikan dia."

Hati Pak Mora langsung mencelos. Bingung antara ingin marah ke Dimitry karena tak pernah memberikan surat itu padanya, atau malah marah sama dirinya sendiri, yang sering sekali mengecewakan Brea.

Setengah dari dirinya juga pengin ngomel, “Kau ini stalker, ha?” tapi setengah lagi… justru goyah. Karena kata-kata Dimitry kedengeran tulus. Nggak lebay, nggak sok puitis. Asli.

“Huh… dasar kau. Muka saja kayak Rambo, hati ternyata Rinto. Sama persis kayak aku.”

Pak Mora mendengus, pura-pura galak. Tapi matanya yang basah berkilat justru bikin kalimatnya terdengar miris.

Dimitry tersenyum samar. Tapi belum sempat ia berkata apa-apa, Pak Mora tiba-tiba nyeletuk, “Tapi aku masih penasaran sama satu hal…”

Dimitry menatapnya malas. Besar betul rasa ingin tahu bapak satu ini—persis sama dengan anaknya.

“Kau belum bilang, berapa harga Kalung itu sebenarnya. Di sertifikat yang di sembunyikan istriku, cuma ada nomor series,” lanjut Pak Mora.

Dimitry mengangkat alis, heran. “Bapak yakin mau tahu harganya?”

Pak Mora mengangguk, kaku.

Dimitry hanya menarik napas berat, tatapannya menajam.

“Pak, nilainya tidak bisa dihitung dengan uang. Kalau pun terpaksa masuk lelang… paling murah harga itu bisa tembus lebih dari dua ratus juta dolar. Tapi yang mereka beli bukan sekadar berlian. Mereka membeli sepotong sejarah. Seperempat jantung dari Imperium Mykaelenko.”

Hening.

Sekejap, seisi mobil limosin itu serasa disedot ke ruang hampa.

“Dua ratus juta… DOLAR?” Pak Mora tiba-tiba menjerit, melongo. “Itu… itu tiga triliun, kan?!”

Mukanya langsung pucat. Nafasnya ngos-ngosan. Kepala berkunang-kunang.

Berlian tiga triliun… bisa buat beli dua pesawat!

Dan ia… dia malah ngasih batu itu gitu aja ke Brea?

Lebih parahnya lagi… anak gadisnya yang bodoh itu sempat nyolokin BERLIAN TIGA TRILIUN ke lampu neon?

Pak Mora hampir mau muntah darah. Bibirnya kejang-kejang.

“Aku harus pulang sekarang!” cicitnya tiba-tiba, langsung bangkit.

“Hah? Kenapa, Pak?” Dimitry ikut kaget.

“Ak… aku… anakku… ah, entahlah! Pokoknya aku harus pulang sekarang juga!” serunya panik, lalu melangkah cepat menuju pintu.

“Pak!” teriak Dimitry. “Kita belum selesai bicara! Aku belum dengar jawaban bapak—setuju atau tidak kalau aku menikahi anakmu?!”

Ckiiitttt!!

Langkah Pak Mora mendadak berhenti. Ia menoleh dengan wajah shock. “Hah? Nikah??”

Dimitry mengangguk kecil, kalem.

Tapi bukannya menjawab, Pak Mora malah kabur terbirit-birit keluar dari rumah.

Meninggalkan Dimitry melongo sendirian, benar-benar tak menyangka reaksi Pak Mora bakal kayak gitu.

***

1
sasi Cia
Alamakkkk...share lock aja WC nya di mana 😭😭😭
sasi Cia
Whahahaha
sasi Cia
GO GO GO!!
Xavia
Jelek, bosen.
sasi Cia: idihhh alay lu! manusia kek kau ini, cuma bisa koar koar, ngekritik kosong, mulut besar, cocok banget tinggal di hutan, soal nya gak guna ,🙊🙊
total 2 replies
Esmeralda Gonzalez
Aku suka banget sama karakter tokoh utamanya, semoga nanti ada kelanjutannya lagi!
Yuni_Hasibuan: Sip,,,,
Terimakasih banyak Say.
Tetep ikutin terus.. Ku usahakan baka update setiap hari.


Soalnya ini setengah Based dari true story. Ups,,, keceplosan.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!