Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Perebutan di Gerbang Sekolah
Mobil Jordan melaju perlahan ketika memasuki kawasan sekolah. Siang itu dia kembali ke sekolahan Leon. Dia menunggu lumayan lama hingga bocah itu keluar dari gerbang sekolah.
Ketika melihat Leon keluar dari gerbang, Jordan pun beranjak dari mobil. Namun, lelaki tersebut kalah cepat dengan Noah. Dia mematung ketika mendengar percakapan antara Leon dan Noah.
Untuk kedua kalinya Jordan mendengar bahwa Noah adalah ayah Leon. Hatinya hancur berkeping-keping. Rasanya seperti telah dikhianati oleh seorang kekasih yang pergi dengan lelaki lain.
"Paman Jordan!" ujar Leon usai menghapus air matanya.
Jordan tersenyum kaku sambil melambaikan tangannya kepada Leon. Sontak Noah menoleh. Tatapannya tajam saat melihat Jordan sudah ada di belakangnya.
Lelaki tersebut perlahan bangkit dan berdiri tegap di hadapan Jordan. Jemari Noah menggenggam erat tangan mungil Leon, seakan enggan kehilangan bocah laki-laki tersebut. Rahang Noah mengeras dengan mata yang semakin menyipit.
"Untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Noah dengan nada bicara yang sangat dingin.
"Bukan urusanmu!" ujar Jordan tak kalah dingin.
"Tentu ini menjadi urusanku! Kamu bagian dari masa lalu Laura! Kamu terus berusaha menekannya dan kini mendekati anaknya! Apa maksudmu?" teriak Noah sambil mendorong dada Jordan menggunakan ujung telunjuknya.
"Bukan urusanmu!" Lagi-lagi Jordan mengucapkan kalimat yang sama.
Lelaki tersebut seolah ingin membentengi diri dari serangan pertanyaan Noah. Jordan balik kanan dan bersiap untuk masuk kembali ke mobilnya. Namun, tiba-tiba Noah menghampiri lelaki tersebut dan mencengkeram kerah jasnya.
"Jangan pernah muncul lagi di hadapan Leon. Mungkin di perusahaan, kamu atasanku! Tapi di luar sini, kamu bukanlah siapa-siapa dalam keluargaku!" ujar Noah dengan rahang mengeras.
"Apa kamu tidak tahu, Noah?" Jordan mendekatkan bibirnya pada telinga Noah.
"Aku lebih dulu menikmati tubuh Laura dibandingkan kamu. Tubuhnya sangat wangi dan menggoda!" bisik Jordan sambil menyeringai seakan memegang kendali atas diri Noah.
"Dasar brengsek!" ujar Noah sebelum melayangkan tinju ke udara.
"Berhenti!" teriak Leon.
Bocah laki-laki itu kini kembali menangis tergugu. Bahkan sekarang Leon duduk bersimpuh di atas trotoar sambil menutup telinganya dengan kedua telapak tangan. Sontak Noah melepaskan cengkeraman tangannya dari jas Jordan.
Jordan terkekeh ketika merapikan kembali pakaiannya. Dia tersenyum miring saat Noah kembali menatapnya tajam. Jordan mengembuskan napas berat sebelum akhirnya kembali bicara.
"Perbaiki dulu emosimu, Noah. Sebagai seorang ayah, seharusnya kamu memberikan contoh yang baik untuk anakmu!" ujar Jordan sebelum akhirnya masuk ke mobil.
Noah terdiam seketika. Meski menyebalkan, apa yang dikatakan oleh Jordan ada benarnya. Dia mengusap wajah kasar dan langsung menggendong tubuh mungil Leon.
Keduanya kini masuk ke mobil. Sepanjang perjalanan pulang, Leon hanya diam. Bocah tersebut tampak murung dengan isak tangis yang sesekali keluar dari bibirnya.
"Leon, nanti paman akan membicarakan tentang kepindahanmu kepada mama, ya? Jadi jangan murung terus. Kita akan mendapatkan jalan keluar yang terbaik untuk kamu." Noah tersenyum lembut dan mulai mengacak rambut Leon.
Leon menoleh, lantas menghapus air matanya sambil mengangguk beberapa kali. Hari itu Noah memutuskan untuk izin pulang lebih awal dan menemani Leon hingga Laura pulang dari kantor. Hari sudah larut ketika Laura pulang.
Apartemen Laura tampak berantakan dengan mainan yang berhamburan di ruang tamu. Cucian piring masih menumpuk dan beberapa panci digunakan untuk memasak sesuatu. Perempuan itu mengembuskan napas kasar.
"Astaga, aku capek. Melihat kekacauan ini kepalaku semakin mau meledak!" ujar Laura sambil mengembuskan napas.
Laura berniat untuk membereskan semua kekacauan itu. Namun, sudut matanya menangkap sesuatu yang janggal. Tudung saji tertutup rapat tidak seperti biasanya.
Ketika membuka benda itu, Laura mendapati sepiring spageti carbonara. Senyum kecil kini terlukis di bibir perempuan tersebut. Rasa lelah dan kesalnya bagai menguap ke udara.
Laura menarik kursi, dan memutuskan untuk makan lebih dulu sebelum bersih-bersih. Rasa makanan itu tidak spesial. Namun, sebuah catatan kecil membuat hidangan sederhana itu terasa sangat nikmat.
Catatan tersebut dituliskan di balik foto Leon. Putranya itu memakai celemek berdiri di depan panci dengan bantuan kursi. Kedua tangannya menggenggam spatula dan piring kosong.
"Dasar, untung ada hasilnya akibatnya kekacauan di dapur ini." Laura menggeleng dan mulai menyantap makanan secara perlahan.
Selesai makan, Laura langsung membereskan rumah. Ketika semua hampir selesai, Noah keluar dari kamar Leon. Lelaki tersebut terlihat agak kusut karena baru bangun.
"Makasih sudah menjaga Leon untukku, Noah. Maaf akhir-akhir ini jadi merepotkanmu." Laura tersenyum tipis kemudian mendekati Noah yang kini duduk di ruang tengah.
Keduanya pun mengobrol mengenai kejadian tadi siang. Noah menceritakan soal perundungan yang dialami oleh Leon. Selain itu, dia juga bercerita soal Jordan yang masih terus berusaha menemui Leon.
"Mungkin itu karena ikatan batin antara Jordan dan Leon. Aku juga heran, kenapa Jordan bisa segigih itu." Laura mengusap wajah kasar.
"Kalau begitu, mungkin dengan memindahkan Leon ke sekolah lain akan menyelesaikan dua masalah sekaligus."
"Tapi, kasihan Leon. Dia harus kembali menyesuaikan diri. Kamu juga tahu, dia belum lama sekolah di sana. Besok aku akan mencoba untuk berdiskusi dengan gurunya." Laura tersenyum kecut dengan tatapan menerawang.
"Baiklah, aku percaya sama kamu. Kamu adalah ibunya. Kamu pasti tahu yang terbaik untuk Leon." Noah beranjak dari kursi dan berpamitan.
Setelah pintu tertutup rapat, Laura mengempaskan tubuhnya ke atas sofa. Perempuan tersebut memijat kening yang berdenyut. Kehidupannya bahkan serumit ini ketika terus menghindar dari Jordan.
"Aku besok akan datang ke sekolah saat jam makan siang!" ujar Laura.
---
Suara anak-anak yang riuh keluar dari gerbang, kini mengudara di langit siang itu. Beberapa di antara mereka sedang menunggu jemputan, sementara yang lain sudah pulang. Siang itu Leon masih menunggu Laura yang sedang ada di kantor guru.
Leon duduk di pos satpam karena diminta oleh Laura. Ketika sedang jenuh menunggu, tiba-tiba terdengar suara familiar yang memanggil nama Leon. Sontak bocah tersebut menoleh ke arah sumber suara.
"Paman Jordan!" ujar Leon dengan senyum mengembang.
"Apa kamu mengenalnya?" tanya satpam.
Leon mengangguk sehingga membuat pria dengan seragam safari hitam itu mengizinkannya mendekati Jordan. Terlebih melihat kemiripan keduanya membuat lelaki bernama Sapno itu tidak curiga.
"Saya hanya akan membawanya sebentar ke minimarket samping, Pak!" seru Jordan kepada satpam.
"Ya, Pak! Hati-hati di jalan!" ujar Sapno sambil melambaikan tangan.
Lima belas menit kemudian Laura datang dan menghampiri Sapno. Dia menanyakan keberadaan sang putra kepadanya. Alangkah terkejutnya Laura ketika mendengarkan penjelasan petugas keamanan tersebut.
"Bapak gimana, sih! Seharusnya jangan membiarkan dia pergi dengan orang asing!"
"Hah, orang asing? Saya pikir dia kerabat Bu Laura karena sangat mirip dengan Leon. Maafkan saya, Bu." Sapno terus menunduk karena rasa bersalah.
"Jangan takut, Pak. Anda tidak salah! Saya memang kerabatnya!" ujar Jordan yang kini berjalan mendekati mereka sambil menggendong Leon.