Setelah enam tahun menjalani hubungan jarak jauh, Raka dan Viola kembali dipertemukan. Namun cinta tak selalu berjalan mulus, mereka harus menghadapi tantangan dan rintangan yang menguji kekuatan cinta mereka.
Apakah cinta mereka akan tetap kuat dan bertahan, ataukah jarak akan kembali memisahkan mereka selamanya?
"Nggak ada yang berubah. Love only for you, Viola. Hanya kamu..." ~Raka.
🍁🍁🍁
Novel ini merupakan Sequel dari novel yang berjudul 'Sumpah, I Love You'. Selamat menyimak dan jangan lupa tinggalkan jejak. 😇😇😇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : LOFY
Amel menjatuhkan tubuhnya duduk diatas sofa, handphonenya dia letakkan diatas meja. Setidaknya sekarang dia sudah merasa sedikit lega karena Raka sudah tahu kalau Viola menyusulnya pergi ke London.
"Parah Lo. Kalau nggak dipaksa buka mulut, Lo nggak bakal ngaku kan kalau Lo tahu Vio pergi ke London?" Amel menatap kesal pada Dian yang duduk di sofa berbeda. Sengaja dia datang ke rumah Dian untuk mengintogerasi sahabatnya itu. Dian dan Viola kerja satu kantor, tidak mungkin Dian tidak tahu kemana Viola pergi.
"Lah, gue kan hanya menjalankan tugas seperti yang Vio suruh." ujar Dian membela diri. "Gue disuruh tutup mulut rapat-rapat dan tidak boleh bilang sama siapapun. Vio bilang, dia akan nelfon gue kalau dia udah ketemu sama Raka, baru tuh gue boleh ngomong sama kalian."
"Iya tapi nyatanya mana? Vio nelfon Lo nggak?" tanya Amel masih dengan raut kesalnya. "Kalau Vio kenapa-kenapa, Lo mau tanggung jawab?"
"Niat gue nolong kok malah jadi gue yang salah sih!" Dian menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung.
Amel bangun, melemparkan bantal kecil ke pangkuan Dian. "Nih ngomong aja sama bantal." Dia berjalan ke arah ranjang milik Dian, membaringkan tubuhnya disana.
Dian menoleh ke arah Amel, melihat sahabatnya yang sudah berbaring tengkurap. "Eh Mel, gue belum selesai ngomong. Emang gue yang salah gitu?"
"GUE NGANTUK...!"
-
-
-
Hampir satu jam lebih Raka berlari kesana-kemari, bertanya pada orang-orang dengan menunjukkan foto Viola yang ada di handphonenya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang tahu, membuatnya merasa semakin cemas dan khawatir.
Hingga kini dia mencari ke jembatan tower bridge, salah satu tempat yang sering ramai dikunjungi. Dan benar saja, dia melihat seorang gadis tengah berdiri memunggunginya dengan merentangkan kedua tangan.
"Cantik?" panggilnya keras, tegas. Langkahnya kian mendekat, pelan, tetap menjaga jarak karena dia tahu saat ini gadisnya sedang tidak baik-baik saja. "Apa ini beneran kamu? Atau hanya ilusi ku saja?"
Suara itu seperti magnet, mampu menggetarkan hati yang sedang kalut. Perlahan kedua matanya terbuka, tangannya dia turunkan, tapi masih enggan untuk membalikkan badan.
"Apa aku bermimpi jika ini kamu?" ucapnya lagi, paham jika saat ini gadisnya sedang ingin dibujuk. Hingga dia sengaja tidak langsung mendekat. "Mungkin aku yang terlalu rindu, hingga aku berharap yang aku lihat di hadapanku sekarang adalah gadisku, kesayanganku."
"Aku akan menghitung mundur, jika kamu tidak mendekat dan memelukku. Itu berarti ini hanya mimpi, aku yang terlalu berharap jika kamu ada disini." Sengaja dia memberikan tantangan seperti itu karena Viola tetap diam, seolah tidak merespon ucapannya.
"Tiga..."
Hening.
"Dua..."
Masih tidak respon. Viola masih diam mematung.
"Satu..."
Viola tetap tidak bergeming. Dia menunduk semakin dalam, kedua tangannya mengepal kuat, mendadak tubuhnya terasa kaku dan seperti sulit untuk digerakkan.
"Oke, mungkin kamu memang hanya bayangan. Nggak mungkin gadisku datang menemuiku kesini. Aku pergi sekarang..."
"Heuh..." Viola mendongak, berbalik cepat dan melihat Raka yang sudah berdiri memunggunginya, mulai melangkahkan kakinya menjauh darinya.
Secepat angin yang berhembus kencang, Viola berlari ke arah Raka, melingkarkan kedua tangannya di pinggang, memeluknya dari arah belakang. Membuat langkah Raka terhenti detik itu juga.
"Ini aku... Aku datang untuk kamu... Aku rindu kamu, Raka..."
Raka tersenyum, dia tahu Viola akan datang untuk memeluknya. "Aku tahu, aku juga rindu."
Raka melepaskan tangan Viola dari pinggangnya, berbalik dan menatap wajah kekasihnya yang terlihat sembab.
"Apa hembusan angin disini terlalu kencang sampai air mata kamu tumpah semua?" tanyanya sembari mengusap sisa air mata yang masih menempel di wajah Viola.
Diam. Viola mengulum bibirnya rapat-rapat, wajahnya tertunduk. Tidak mungkin dia bercerita tentang apa yang dia dengar di cafe tadi, yang ada Raka pasti akan menertawakannya karena dia masih sensitif-an jika ada yang membicarakan soal usia.
"Tadi aku nyasar, aku nggak tahu jalan pulang ke rumah kamu. Karena takut, jadi aku nangis," ucapnya sedikit gugup, menggigit bibir bawahnya.
Raka mengangguk paham, seolah percaya begitu saja. "Kamu datang kenapa nggak ngabarin aku? Kalau kamu bilang kan aku bisa jemput."
"Kalau aku bilang namanya bukan kejutan, Raka." jawabnya pelan. "Tapi... Kok kamu bisa tahu aku ada disini? Bukannya tadi kamu lagi di..." Viola menggantung kalimatnya saat menyadari tatapan Raka yang begitu intens, seolah sedang membaca kejujuran pada wajahnya.
Situasi mendadak hening, hanya mata mereka yang saling bertemu pandang, sambil berdiri saling berhadapan. Debaran jantung didalam sana terasa semakin kencang, menahan rindu yang sangat dalam dan tidak bisa terbendung lagi. Dua tahun bukan waktu yang sebentar, terakhir mereka bertemu di pernikahan kakak Viola yang terjadi dua tahun lalu. Itupun hanya sebentar, karena saat itu Raka harus kembali pergi ke London untuk meneruskan kuliahnya.
"Kenapa? Kok natapnya gitu?" tanyanya pelan, sedikit canggung.
Raka tersenyum tipis. "Kamu cantik, terlihat lebih dewasa sekarang," puji Raka.
Alih-alih memahami pujian yang dilontarkan oleh kekasihnya, Viola malah salah paham. "Heh... Dewasa apa tua? Tadi kamu dan teman-teman kamu ngatain aku tua dan kayak tante-tante. Oh my god Vio, kenapa sih kamu nggak bisa marah kalau sudah berhadapan langsung dengan Raka seperti ini? Padahal kan tadi niatnya mau bunuh diri, nyebur ke air dan ikut berenang sama lumba-lumba."
Raka mengibaskan tangannya di depan wajah Viola. "Heh, kok malah bengong. Ayo kita pulang, kamu pasti capek dan lapar kan?" Diraihnya tangan sang kekasih dan digenggamnya erat.
"Tunggu!" tahan Viola sebelum Raka mulai melangkah. "Aku capek, gendong..." rengeknya manja.
Raka tertawa pelan, melepaskan genggaman tangannya dan memposisikan dirinya berjongkok di hadapan Viola. "Ayo, naik!"
Viola tersenyum senang, segera naik ke punggung Raka. Aroma maskulin pria menguar kuat di indera penciumannya ketika dia sudah ada dalam gendongan. Wangi yang sama, wangi yang selalu dia rindukan.
-
-
-
Lisa berjalan menuruni tangga dan melangkahkan kakinya menuju ke arah ruangan kerja suaminya. Diraihnya gagang pintu dan dibukanya sedikit. Tangannya tertahan saat dia mendengar suaminya sedang berbicara dengan seseorang di telefon.
Samar-samar Lisa ikut mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh suaminya dengan seseorang yang dia tidak ketahui siapanya. Hingga setelah suaminya selesai menelfon, Lisa membuka pintu ruangan itu sedikit lebih lebar. Dia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Arman yang sedang berdiri didepan meja kerjanya.
"Aku dengar kamu tadi membicarakan tentang rencana perjodohan. Memangnya siapa yang mau dijodohkan, Mas?"
...♥️♥️♥️...
.covernya kelar juga akhirnya👏👏
aaah bapak nya Raka pasti ini...
pengen sleding si papa 😠😠😠😠😠
so sweet 😍😍😍😍
sosor terus Raka, tunjukan klo di hati kamu hanya Viola satu satu nya...
kalian udah sama sama dewasa bukan anak SMA lagi yang marahan atau ada masalah malah lari...
hadapi bersama sama... apalagi masalah si Arman itu,selagi Raka gak berpindah hati pasti kamu tetap satu satu nya Vio