Sebelum ada bintang, sebelum Bumi terbentuk, dia sudah ada.
Makhluk abadi tanpa nama, yang telah hidup melewati kelahiran galaksi dan kehancuran peradaban. Setelah miliaran tahun mengembara di jagat raya, ia memilih menetap di satu tempat kecil bernama Bumi — hanya untuk mengamati makhluk fana berkembang… lalu punah… lalu berkembang lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Monster di sudut gang
[Keesokan Paginya – Universitas Jiangcheng]
Suara raungan mesin Porsche 911 GT3 RS memecah keheningan pagi. Warnanya mencolok — ungu metalik dengan aksen hitam. Mobil itu melaju dengan mantap, lalu berhenti mulus di area parkir paling mencolok di kampus. Suara mesin menggeram sekali lagi sebelum akhirnya mati.
Semua kepala menoleh.
"Woi itu mobil siapa?"
"Astaga... GT3 RS asli?! Di kampus?!"
Pintu mobil terbuka. Seorang gadis muda keluar dari dalamnya. Rambut sebahu, disisir rapi, kulit cerah, tubuh tinggi semampai, dan mata tajam seperti panah es. Ia mengenakan seragam kampus yang sudah disesuaikan dengan gaya high class: rok hitam, kemeja putih bersih, sepatu boots pendek.
Wajahnya cantik — tidak kalah dari Su Ziyan — tapi aura yang ia bawa berbeda. Lebih tenang, tidak angkuh, dan misterius.
"Siapa itu?" bisik salah satu mahasiswa.
"Gua baru pertama kali lihat dia. Murid baru?"
"Dia secantik Su Ziyan... tapi rasanya dinginnya beda. Lebih... lembut, tapi tetap nggak bisa didekati."
Murid-murid cowok langsung mengambil ponsel dan mulai memotret diam-diam. Tapi gadis itu berjalan santai, tak menggubris pandangan orang. Ia melangkah dengan percaya diri, masuk ke gedung utama tanpa berbicara pada siapa pun.
"Eh, eh... dia masuk fakultas mana ya?"
"Gak tahu, tapi semoga aja satu fakultas denganku."
.
Bisik-bisik itu terdengar dari berbagai sudut halaman kampus. Beberapa pria bahkan sampai terdiam, terpaku oleh aura dingin dan karisma kuat dari gadis misterius yang baru turun dari Porsche ungu metalik tersebut.
Dengan langkah ringan namun percaya diri, gadis itu berjalan melewati taman kampus. Rambut sebahunya bergoyang pelan ditiup angin pagi. Matanya menyapu sekeliling, lalu berhenti pada seorang mahasiswa yang sedang duduk di bangku taman sambil membaca buku.
"Permisi," katanya singkat, suaranya tenang namun tegas.
Mahasiswa itu mendongak, agak gugup.
"I-ya?"
"Di mana fakultas Manajemen Bisnis?"
Mahasiswa itu langsung berdiri dan menunjuk ke arah timur, ke bangunan tinggi bercat abu-abu muda dengan papan nama: “Fakultas Manajemen dan Bisnis Universitas Jiangcheng.”
"Di sana, lurus, lalu belok kanan."
.
Sambil berjalan menuju fakultas, mata Li Meng tak pernah benar-benar fokus ke depan. Pandangannya terus-menerus melirik ke arah area parkiran kampus. Ia sengaja datang agak siang hari ini — berbeda dari biasanya — dengan satu tujuan: mencari sosok mobil Bugatti putih yang mencuri perhatian seluruh dunia maya.
“Belum ada…” gumamnya pelan, dahinya sedikit mengernyit.
Deretan mobil mahasiswa dan dosen terlihat biasa-biasa saja. Ada beberapa supercar kelas menengah milik anak-anak konglomerat, tapi tidak ada tanda-tanda Bugatti putih itu. Bahkan bayangannya pun tidak.
Ia menarik napas dalam, agak kecewa, namun tidak menunjukkannya di wajahnya yang tetap datar. Dengan langkah ringan namun penuh harap, ia akhirnya melangkah memasuki gedung Fakultas Manajemen dan Bisnis.
Yang tidak ia tahu… adalah kenyataan bahwa Alex Chu tidak pernah memarkirkan mobilnya di dalam area universitas.
Sebaliknya, Alex selalu meninggalkan mobilnya di luar area kampus — di jalan kecil yang agak tersembunyi, lalu masuk ke lingkungan universitas seperti mahasiswa biasa. Bukan karena takut ketahuan, tapi karena… ia memang tidak peduli dikenal atau tidak.
.
Setelah menyelesaikan proses pelaporan singkat ke bagian akademik dan menemui Dekan Fakultas, Li Meng langsung diarahkan ke kelas Manajemen Bisnis tingkat dua. Saat ia masuk ke dalam ruang kelas, suasana yang awalnya biasa saja mendadak menjadi sedikit riuh.
"Eh… siapa itu?"
"Cantik banget… dia anak baru ya?"
"Dewi kampus baru?"
Mata para mahasiswa — terutama para pria — secara refleks mengikuti langkah Li Meng. Aura tenangnya, wajah cantik dengan rambut sebahu yang tertata alami, serta postur tubuh anggun yang percaya diri membuat semua orang secara insting menunduk… dan mencuri pandang saat ia lewat.
Li Meng dengan tenang memilih duduk di kursi kosong di samping seorang gadis berambut panjang, berkacamata, dengan penampilan kalem dan teratur. Gadis itu sedang mencatat sesuatu, namun sedikit melirik saat Li Meng duduk.
"Halo, aku Li Meng," ucapnya sopan.
Gadis itu tersenyum ramah.
"Aku Lin Qiuxue."
Beberapa detik hening, sebelum Li Meng mengeluarkan pertanyaan dengan suara pelan namun serius.
"Boleh aku tanya… apa di kampus ini ada mahasiswa yang mengendarai Bugatti putih?"
Lin Qiuxue mengangkat alis sedikit, lalu menggeleng pelan.
"Bugatti putih? Setahuku, nggak ada. Paling mobil sport biasa, tapi Bugatti… nggak pernah lihat. Sepertinya tidak ada."
Li Meng mengangguk perlahan, namun matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda. Ada kebingungan samar, bahkan kecurigaan mulai terbentuk dalam pikirannya.
“Tidak mungkin...” bisiknya dalam hati.
Sebab ia tahu dengan jelas arah mobil itu — dari kamera pengawas, dari lalu lintas di sekitar vila Qinglong, dan dari arah harian mobil itu menuju kota — semuanya mengarah ke universitas ini.
Tapi kenapa… tidak ada satu pun yang tahu tentang keberadaan Bugatti itu?
Atau… mungkinkah pemiliknya tidak pernah memarkirkan mobilnya di dalam kampus?
.
.
Setelah kelas usai, para mahasiswa mulai berhamburan keluar ruangan, sebagian menuju kantin, sebagian lainnya berkumpul di taman depan fakultas.
Namun tidak dengan Li Meng.
Alih-alih mengikuti arus mahasiswa yang menuju kantin, ia justru menyusuri koridor sendirian, keluar dari gedung fakultas bisnis, lalu berdiri sejenak di pelataran depan.
Matanya menyapu area parkir mahasiswa, lalu melirik ke arah gerbang utama kampus. Tidak ada tanda-tanda mobil Bugatti putih di sana. Mobil-mobil mewah memang ada, tapi tidak satu pun yang mendekati kelas Bugatti yang ia lihat malam itu.
“Mobil sekelas itu… tidak mungkin dia parkir sembarangan.”
“Tapi aku tahu… arah mobil itu selalu ke sini.”
Ia berjalan pelan di sepanjang pagar pembatas kampus, lalu melewati jalur pejalan kaki di luar gerbang. Sesekali matanya menatap ke kejauhan, mencari celah yang bisa memberinya petunjuk.
Kemudian ia berhenti.
Dari kejauhan, kira-kira dua ratus meter dari pagar luar universitas, ada area parkir kecil milik umum, di samping deretan toko dan minimarket. Tidak banyak yang memperhatikannya… tapi di pojok area parkir itu, tertutup sebagian bayangan pohon besar, ada siluet mobil putih berkilau dengan desain supercar yang sangat khas…
Li Meng menyipitkan mata.
“Itu dia…”
Ia tak langsung mendekat. Ia hanya berdiri dari kejauhan, memperhatikan.
“Jadi… dia memang sengaja memarkir mobilnya di luar…”
“Berarti dia memang mahasiswa di kampus ini…”
Angin bertiup pelan, menyapu helai rambutnya yang sebahu. Mata Li Meng kini dipenuhi tekad.
"Kau memang tak ingin terlihat, tapi aku akan menemukanmu."
.
Li Meng melangkah perlahan, menyusuri trotoar hingga tiba di depan area parkir kecil itu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Matanya tak lepas dari mobil putih berkilau yang kini tampak jelas di hadapannya.
Bugatti Divo Super Sport – edisi terbatas.
Mobil itu berdiri angkuh di sudut teduh, tampak seperti benda asing di tengah keramaian kota. Bodi putihnya mengilap, desain aerodinamisnya begitu menonjol. Emblem Bugatti di bagian depan memantulkan cahaya matahari, tampak begitu elegan namun juga… dingin.
“Tak salah lagi… ini mobil itu…” bisik Li Meng dalam hati.
Ia mendekat, berdiri hanya satu meter dari bodi mobil.
Tangannya hampir terangkat ingin menyentuh permukaan mobil itu, namun ia menahan diri. Pandangannya menyusuri bagian dalam lewat kaca. Tertutup. Tidak ada benda mencolok di dalam, interiornya bersih dan mewah.
Ia lalu berjalan memutar, berhenti tepat di belakang mobil. Plat nomornya biasa. Tidak mencolok. Tidak seperti milik pejabat atau keluarga konglomerat kebanyakan. Tapi justru karena itu…
“Dia tidak ingin diperhatikan.”
Li Meng berdiri diam beberapa detik, lalu mengeluarkan ponselnya, mengambil satu foto — bukan untuk diunggah, tapi untuk diteliti lebih lanjut nanti.