Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Perempuan Itu
Sepekan berlalu sejak malam di mana akhirnya aku bicara. Bukan bicara untuk meminta lagi, tapi bicara karena aku tidak ingin kehilangan diriku sendiri dalam hubungan yang hanya menyisakan puing-puing. Tapi tetap, setelah itu, tidak ada yang berubah. Arvan kembali dengan kesibukannya dan diamnya. Seolah tak terjadi apa-apa. Seolah ucapanku hanya angin yang numpang lewat di telinganya.
Hari ini aku pulang lebih awal dari kantor. Udara mendung menggantung di langit, seakan ikut menahan hujan yang sebentar lagi turun. Langkahku pelan menyusuri lorong apartemen, perasaan tak enak tiba-tiba muncul entah dari mana. Perasaan semacam itu belakangan makin sering muncul. Intuisiku berkata sesuatu sedang disembunyikan .
Sesampainya di depan pintu, aku membuka pintu dengan perlahan. Arvan seharusnya belum pulang. Tapi suara samar tawa perempuan terdengar dari dalam ruang tengah.
Jantungku berdebar.
Dengan langkah pelan, aku berjalan menuju ruang tamu. Tapi tak ada siapa-siapa. Hanya suara tawa dari ponsel yang diletakkan di atas meja. Video call?
Aku tidak berniat menguping, tapi rasa penasaran lebih dulu mengalahkan logika. Aku mendekat, dan melihat layar ponsel Arvan masih menyala.
Seorang perempuan tersenyum di sana. Cantik. Matanya berbinar-binar saat memanggil nama Arvan. Wajahnya cerah, dan suaranya lembut.
“Arvan, jangan lupa ya nanti malam, kita masih jadi ketemu kan?” katanya sambil tertawa kecil.
Tidak ada jawaban, tapi dari arah suara, sepertinya Arvan sedang di kamar mandi dan meninggalkan panggilan begitu saja.
Aku tertegun. Sakit itu menyesak di dada, seperti sembilu yang menghujam pelan tapi pasti. Rasanya seperti ditampar kenyataan yang selama ini coba kutolak.
Perempuan itu... bukan hanya seseorang di seberang ponsel. Tapi seseorang yang dekat. Terlalu dekat dengan suamiku. Terlalu akrab. Terlalu nyaman.
Ponsel itu tiba-tiba mati entah karena baterainya habis atau karena panggilannya berakhir.
Aku masih berdiri di situ. Tangan gemetar. Bibirku kelu.
Jadi benar. Perasaanku selama ini bukan khayalan. Diamnya Arvan bukan karena bosan semata. Ada yang lain. Ada yang membuatnya menjauh. Dan itu adalah perempuan lain.
Beberapa menit kemudian Arvan keluar dari kamar mandi. Ia sedikit terkejut melihatku sudah ada di rumah.
“Kamu udah pulang?” tanyanya sambil menyeka rambutnya dengan handuk.
Aku tidak menjawab. Mataku menatapnya tajam, tapi ia menghindari tatapanku.
“Siapa dia, Arvan?” tanyaku pelan, tapi penuh tekanan.
“Siapa siapa?”
“Yang di video call tadi. Yang kamu tinggal di layar ponsel.”
Arvan terdiam sejenak. Lalu berusaha tersenyum canggung.
“Oh, itu? Teman lama, cuma ngobrol biasa kok.”
“Ngobrol biasa?” aku mengulang ucapannya, getir. “Sampai harus sembunyi-sembunyi begini? Sampai kamu gak nyadar kalau dia masih tersambung saat aku masuk?”
Wajah Arvan berubah. Ia mulai kesal. “Kamu mulai lagi ya, Na? Suka curigaan. Gak ada yang serius. Gak ada hubungan apa-apa.”
Aku menghela napas panjang. “Aku gak bodoh, Arvan. Dan aku juga bukan wanita yang butuh bukti foto mesra buat tahu suaminya udah berbagi hati sama orang lain.”
Ia mendengus, lalu berlalu begitu saja, meninggalkanku di ruang tamu tanpa penjelasan lebih lanjut. Dan itu, lebih menyakitkan daripada perselingkuhan itu sendiri ia tidak merasa perlu menjelaskan. Tidak merasa perlu menyesal.
Malam itu, aku menangis sendiri di dalam kamar. Tapi air mataku sudah tak selebat dulu. Mungkin karena aku sudah terlalu sering terluka hingga tangis tak lagi membawa kelegaan. Hanya diam... dan dada yang sesak oleh kenyataan pahit.
Kupeluk diriku sendiri. Dalam remang malam, aku bertanya:
"Kalau aku bukan pilihanmu, kenapa kamu menikahiku dulu?"
Tapi tidak ada jawaban. Bahkan dari diriku sendiri.