Sepeninggal kedua orang tuanya, Dennis harus menggantungkan hidupnya pada seorang janda kaya bernama Vivianna. Sehari-harinya Dennis bekerja menjadi asisten pribadi Si Tante, termasuk mengurusi pekerjaan sampai ke keperluan kencan Tante Vivianna dengan berbagai pria.
Sampai akhirnya, Dennis mengetahui motif Si Tante yang sesungguhnya sampai rela mengurusi hidup Dennis termasuk ikut campur ke kehidupan cinta pemuda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
“Jadi... motif penghilangan nyawa diri sendiri itu untuk ibuku. Dan Tersangkanya adalah ibuku juga, sekaligus korbannya adalah ayahku.” Aku memecah keheningan.
Makanya selama ini polisi menatapku dengan iba.
Ini sebabnya.
Kenapa hanya aku yang tidak tahu.
Padahal aku adalah keluarga yang bersangkutan.
Semua mencoba menyembunyikan hal ini agar aku tidak sedih berlebihan, nyatanya aku malah semakin sakit hati.
“Ada satu lagi pemicunya,” Tante Vivianna berubah posisi duduknya jadi menghadapku. Ia menatapku sendu. “Yang tidak saya ketahui. Tapi salah satu investigator keceplosan waktu menanyai saya.”
“Apa katanya?”
“Dia bertanya pada saya, apakah kamu tahu mengenai rencana tersangka akan diceraikan korban karena hasutan saudaranya?”
Aku menatap Tante Vivianna.
“Apa?” tanyaku tak mengerti.
“Waktu itu saya menjawab ‘Tidak, kalau pun terjadi hasutan, saya yakin sekali Doni tidak akan melakukan perceraian. Ia lebih baik mati bersama Rahayu. Terbukti kan sekarang.’ Saya bilang saja begitu.” Kata Tante.
“Dan siapa saudara yang dimaksud polisi?”
“Mereka tidak bilang.”
Aku pun kembali menghela nafas.
Kami pun terdiam karena lelah.
“Tante...” panggilku.
“Ya?”
“Tidak ada lagi yang harus diceritakan ke saya?”
“Itu sudah semuanya, Dennis.”
“Sungguh?”
“Ya.”
“Kalau begitu. Kita anggap saja kasus ini selesai ya?” kataku.
“Ya. Seperti ketetapan polisi.” Ia setuju.
Kami sama-sama capek.
“Dennis...” Ia pun mendekatkan dirinya padaku. Lalu membelai dadaku. “Jangan marah, please...”
Aku menatapnya, tapi kuusahakan raut wajahku seakan biasa saja. “Kalau saya marah temboknya sudah bolong, Tante.”
Ia menatapku sambil mengernyit. Lalu sedikit menunduk seakan sedang mengingat sesuatu.
“Kalau tak salah... dulu Doni pernah cerita kalau kamu memiliki suatu gangguan yang...”
“Emosi saya labil, cenderung hiperaktif.” Desisku.
“Ya, itu.”
“Anger Issue.” Kataku lagi.
“Ya, saya tak berani mengucapkannya.” Ia membelai pipiku yang memar bekas tamparannya. “Tapi kamu bersikap sangat penurut selama ini. Setahu saya.”
“Hm.”
“Apakah... kamu sedang menahan sesuatu yang sebentar lagi meledak?” suaranya tampak ragu menilaiku.
“Saya sudah bisa mengatasi kemarahan saya. Soalnya dari pagi energi saya terbakar. Jadi malamnya capek.”
“Sehari-harinya bagaimana? Apa yang harus dilakukan agar kamu tetap dalam keadaan stabil?”
Aku meliriknya. “s e k s,” Jawabku.
“Hah?!”
Dia teriak sambil menutupi dadanya dengan tangan.
Aku langsung tertawa melihatnya.
Sulit dipercaya wanita yang seperti ini takut padaku.
“Serius kamu?!” ia tampak ketakutan dan turun dari ranjang dengan panik.
“Kalau beneran gimana?!”
“Y-yah... anu... saya akan usahakan cari...” lalu ia mengernyit karena mungkin menyadari ada yang salah di kalimatnya.
“Cari apa?” aku memancingnya.
“Cari cara agar kebutuhan kamu terpenuhi, seperti... hm... stok? Dana tambahan? Asal kamu mainnya hati-hati.”
Aku jelas tertegun.
Lebih ke bengong sebenarnya.
Dia pikir aku beneran ya?
Masa dia percaya masalah emosiku bisa selesai kalau hasratku ditangani?
Polos sekali? Wanita tangguh sepertinya?
Tapi menarik...
Kugoda saja dia.
“Pacar saya banyak.” Kataku.
“Oh, jadi... tidak perlu bantuan saya kan ya. Tadinya saya mau sediakan teman wanita untuk kamu bisa melampiaskan... ehm...” ia tampak salah tingkah dan menggaruk belakang telinganya.
“Teman wanita? Saya bisa usahakan semua itu sendiri kok. Tanpa biaya.” Desisku sambil menyeringai.
“Hm. Tak heran.” Ia melirikku.
Dan otot perutku.
Dan matanya pun turun ke bagian tengah pahaku.
“Tapi saya butuh lebih dari itu.” Desisku lagi.
Ia tampak menaikkan alisnya, perhatiannya tertuju padaku.
“Maksudnya?” tanyanya.
“Saya butuh seseorang yang lebih bisa memahami saya. Lebih cantik, lebih matang secara seksual. Dan lebih cerdas. Semua itu membuat saya bersemangat dan melupakan kemarahan saya yang tertumpuk.”
“Wanita... seperti itu? Saya cari di mana?” ia tampak bergumam sambil menatapku kebingungan.
“Nggak usah dicari.” Aku meraih tangannya dan mengecup punggung tangannya. “Sudah ketemu.” Aku menatapnya sambil tersenyum.
Dia diam.
Tatapannya langsung melayang.
Ia bengong, termangu.
Lalu sepersekian detik kemudian ia tampak tersentak seakan kembali ke realita, ”Kamu bercanda lagi kan?!” sahutnya menuduhku.
Memang bercanda. Tapi aku merasa tidak perlu menjawabnya. Biar saja dia penasaran sendiri. Aku senang melihatnya salah tingkah. Wanita yang sok tegar sepertinya, rasanya ingin melihatnya tampak lemah.
“Menurut Tante bagaimana?” tanyaku berusaha memanipulasinya. Ia menarik tangannya, aku menahannya.
“Bagaimana apa maksudnya?” desisnya tanpa ekspresi.
“Bagaimana kalau... saya berharap Tante mau jadi...” aku tidak melanjutkan kalimatku, agar terdengar dramatis.
“Jadi... apa?” begitu tanyanya.
Apa ya? Aku juga tak tahu kata-kata lanjutannya. Tapi aku tak ingin terlihat bodoh, jadi aku hanya tersenyum saja.
“Tante masih mau ditemani tidur?” tanyaku mengalihkan perhatiannya dengan topik pembicaraan lain.
“Em...” ia tampak gugup dan menunduk. “Ti-tidak usah. Kamu bisa kembali ke...”
“Yakin?” tanyaku.
“I-iya.”
“Nggak mau dipeluk?”
“Tidak... usah.” Kenapa dia tampak enggan melepasku?
Menarik.
Kukerjai lebih jauh saja lagi.
Aku jadi ingin tahu.
Seperti apa sebenarnya perasaannya padaku.
Apa motif sebenarnya ia membantuku?
Apa benar-benar murni karena perasaan bersalah?
Atau karena ada hal lain?
Tadinya ku pikir karena ia suka ayahku. Dan aku adalah amanah dari ayahku.
Tapi kini melihatnya salah tingkah dan bersikap tegang, seperti gadis remaja yang sedang ditembak Ketua Osis, crushnya dari lama, membuatku ingin melanjutkan sandiwara ini. Berakting seakan aku tertarik padanya.
Tak ada untungnya bagiku, sebenarnya.
Kalau ia tak berkenan, ia akan mengusirku karena menganggapku ancaman.
Kalau pun ia berkenan, aku tinggal bilang kalau semua ini bercanda. Itu pun ia pasti akan sakit hati padaku dan tetap saja aku diusir.
Pun kalau kubilang aku tak bercanda, kedekatan kami akan jadi polemik bagi semua orang di sekitar kami, buntutnya aku dianggap hanya sebagai gold digger. Memanfaatkannya.
Tapi...
Aku ingin melihat pipi itu bersemu merah.
Aku ingin mendengar nada suaranya melembut dan malu-malu menanggapiku.
Aku ingin dia tampak lebih manusia, daripada sekedar Barbie bermental robot.
“Tapi aku butuh pelukan.” Kataku. Aku mengubah kalimatku, dari resminya ‘saya’ menjadi ‘aku’.
Mulai hari ini kuanggap dia bukan orang lain lagi.
Dia masih diam sambil menunduk. Telinganya me-merah.
Dia malu-malu.
“Mau peluk aku?” tanyaku lagi, mencoba merayunya.
Ia menarik nafas, tapi sambil gemetaran.
“Hanya kalau kamu bersikap sopan.” Desisnya.
“Memangnya selama ini tak sopan ya?” aku terkekeh.
“Kamu tadi nggak sopan, waktu kamu-“ ia menunjuk ke atas, ke lantai atas.
“Itu di luar kendali. Aku lagi labil. Makanya nggak bisa tidur.” Alasanku seadanya saja.
Tangannya masih ku genggam. Aku kembali mengecup punggung tangannya, dan kugesekkan bibirku dengan lembut sampai ke pangkal tangannya. Aku mencium pergelangan tangannya, merambat perlahan ke lengannya, ke sikunya, akhirnya sampai ke bahunya.
“Anak nakal...” gumamnya padaku. Tapi dia tidak berusaha menarik tangannya dariku.
Aku tersenyum sambil menatapnya.
Godaan dariku, tidak selesai di sini.
Tapi aku sedang capek.
Jadi aku menghentikan aksiku.
Lalu aku pun beranjak dari ranjang itu.
“Kasih tahu saja, besok Tante butuh apa dari aku. Aku kurang ngerti masalah kebutuhan wanita yang akan dibawa ke kantor.” Kataku.
Dia menjawab ‘iya’ tapi sangat pelan.
Aku pun keluar dari kamarnya dan menutup pintu.
Setidaknya, malam ini Tante tidak takut tidur sendirian.
Tapi entah dia bisa tidur atau tidak.
memancing di danau keruh
dan boom dapat ikan 🤣😂
ngerti kebiasaAne othor yg maha segala