"... selama aku masih berada didunia ini aku akan terus berusaha menjaga Luciana."
Perkataannya mengejutkanku. Selama dia masih berada didunia ini? Dia adalah seorang vampire yang hidup abadi, apakah itu berarti dia akan menjagaku selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon prel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Stefan
Aku bersembunyi dibalik lemari kayu disalah satu ruangan markas manusia.
Aku segera kemari setelah melihat kondisi para vampire yang mengalami hal aneh setelah berkelahi dengan para manusia beberapa hari yang lalu. Aku harus memastikan sendiri apa yang telah mereka lakukan.
Hanya ditemani Ash, aku berkuda menembus hutan dengan kecepatan tinggi. Ash bukanlah kuda biasa sama seperti Kasi dan Nigel, mereka adalah kuda vampire yang hidup abadi.
Kami terus menembus hutan sampai di wilayah manusia, aku berhenti lalu meminta Ash bersembunyi dibalik pohon.
Kuperiksa satu persatu bangunan didalam markas ini sampai aku menemukannya, sebuah bangunan yang berisi lemari-lemari obat, ada dua orang didalamnya.
"Tidak kusangka orang tua itu berhasil menciptakan racun yang dapat melemahkan para makhluk terkutuk" suara salah satu pria dalam ruangan ini.
"Ya, awalnya kukira dia gila karena mencoba meracuni vampire" pria disebelahnya berbicara sedikit tertawa.
Apa yang dimaksud dengan meracuni vampire?
"Kudengar, dia membuat racun ini menggunakan sebuah bunga. Memang tidak mematikan tapi paling tidak racun ini bisa menghambat gerakan vampire yang super cepat".
Dia? Siapa yang mereka maksud?
"Kau benar, jika saja kita lebih sigap waktu itu, kita pasti berhasil membunuh dua prajurit vampire yang tiba-tiba ambruk ke tanah, jujur saja aku sedikit terkejut"
"Wajar kau terkejut, kita belum pernah melihat vampire tiba-tiba kesakitan begitu. Kemarin adalah percobaan pertama, setelah ini kita pasti bisa membasmi mereka yang menyusup ke wilayah kita".
Kedua pria itu meninggalkan tempat ini. keluar dari persembunyian, aku mendekati meja yang berisi beberapa senjata.
Senjata-senjata ini terlihat aneh, bilahnya berkilau. Seketika aku sadar, bahwa semua senjata itu sudah dilumuri racun.
Aku mengambil sebuah belati dengan hati-hati lalu membungkusnya dengan kain.
Bersiul memanggil Ash aku sadar bahwa aku sudah ketahuan, saat hendak pergi sebuah anak panah melesat mengenai bahu kiri ku. Seketika tubuhku menegang, lemas lalu ambruk ke tanah.
~~
"Lihatlah betapa bodohnya dia menyusup sendirian"
Suara seorang pria mendengung ditelingaku. Kurasakan sakit dibagian depan tubuhku dan kedua pergelangan tanganku.
Tanganku dirantai.
Mereka tak henti-hentinya melukai punggungku, kedua lenganku bahkan sudah mati rasa. Kepalaku pusing dan aku merasakan dingin yang sangat menusuk tulang.
Mungkin inilah saatnya aku binasa, mati atau apalah itu. Tubuh ini sudah tak mampu lagi berdiri, aku jatuh berlutut dan kudengar suara tawa mengelilingiku.
Tapi tidak, aku tidak boleh mati di sini. Jika aku mati, bagaimana janjiku pada Rosemari?
Dalam keadaan setengah sadar, aku berusaha bangkit tapi hasilnya nihil. Kakiku rasanya seperti melayang di udara.
Dalam derita, aku terus menggumamkan namanya. Nama seorang gadis yang telah kuselamatkan. Aku berharap dia mendengar suaraku.
Mataku mulai terpejam, aku kehilangan kesadaran. Lagi
**
Disaat kesadaranku benar-benar kembali, aku melihat wajah panik Eve, William dan Luciana.
Aku berada diruangan yang tak kukenali,
Tubuhku masih sedikit lemas, aku tidak tau racun apa yang mereka pakai sampai badanku masih merasakan dampaknya.
Eve memarahiku karena melakukan hal yang berbahaya sendirian, tapi pikiranku tertuju pada hal lain. Aku terus memandangi gadis yang sempat kubentak, gadis yang sudah menyelamatkanku.
Dia berfikir aku sedang berhalusinasi saat marah kepadanya, tapi tidak. Aku benar-benar marah padanya saat mengetahui dia membahayakan dirinya demi diriku. Nyawaku benar-benar tak sebanding dengan miliknya.
Kulihat keadaan dirinya yang berantakan. Kakinya yang semula putih bersih dipenuhi oleh lumpur, aku yakin kakinya pasti sempat terluka saat dia berlarian dihutan malam itu.
Memikirkan apa yang sudah ku perbuat padanya membuatku tidak tenang, aku terus memikirkannya walaupun aku sendiri hampir mati beberapa saat yang lalu.
Dan sekarang disinilah aku, terbaring di atas ranjang kamarku dengan salah satu lengan yang menutupi wajah. Diriku terus dipenuhi dengan perasaan yang tidak jelas. Senang, menyesal.
Aku senang karena dia sudah menyelamatkanku, dan aku menyesal karena sudah marah padanya.
Mengetuk pintu kamarnya aku ingin berbincang sebentar dengannya, aku tidak tahan ingin segera melihat wajahnya.
Wajah yang entah mengapa selalu memberikan ketenangan pada diriku.
...~...