NovelToon NovelToon
Mencari Kebahagiaan

Mencari Kebahagiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Suami ideal / Trauma masa lalu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langkah Kecil Menuju Pemulihan

Keesokan paginya, Aira terbangun dengan rasa lelah yang masih terasa di tubuhnya.

Meski matanya sempat terpejam, pikirannya tidak benar-benar bisa tidur dengan tenang.

Namun, saat ia membuka mata dan melihat sekeliling, ia menyadari sesuatu.

Keheningan di apartemen ini tidak menakutkan. Itu adalah kedamaian yang baru saja ia rasakan, berkat Abraham yang tetap di sampingnya semalam.

Abraham, yang tampaknya telah bangun lebih awal, sedang berada di dapur, menyiapkan sarapan.

Suara langkah kaki Aira membuatnya menoleh, dan senyumnya yang hangat menyambutnya.

"Selamat pagi, Aira. Bagaimana rasanya tidur semalam?" tanya Abraham, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Aira mengusap matanya, merasa sedikit bingung dengan kenyataan bahwa ia terbangun di tempat ini, di tempat yang memberinya rasa aman.

“Pagi... Aku merasa sedikit lebih baik,” jawab Aira pelan, matanya masih agak mengantuk.

Abraham tersenyum mendengar itu, merasa lega.

“Kamu harus banyak istirahat. Jangan terlalu memaksakan dirimu, oke?”

Aira mengangguk dan berjalan mendekat ke meja makan.

Abraham menyajikan sarapan sederhana, roti panggang dengan selai dan secangkir kopi hangat.

“Aku sudah siapkan untukmu. Jangan khawatir soal pekerjaan hari ini, aku akan mengatur semuanya.”

Aira hanya menatapnya dengan rasa terima kasih. Meski hatinya masih dipenuhi keraguan, setiap hari yang ia habiskan di sini memberinya sedikit kenyamanan.

Pelan-pelan, ia mulai merasakan ketenangan yang selama ini hilang.

Namun, meskipun rasa aman itu mulai tumbuh, Aira masih merasa cemas tentang masa depannya.

"Pak Abraham, aku... aku masih merasa takut," kata Aira dengan suara bergetar. "Aku takut aku akan kembali jatuh ke dalam cengkeraman ketakutan itu lagi."

Abraham menatap Aira dengan serius, meletakkan cangkir kopinya dan bergerak lebih dekat.

“Aku mengerti, Aira. Kamu tidak perlu menghadapinya sendirian. Kita akan bersama-sama menghadapinya. Tapi kamu harus tahu, perasaanmu itu normal. Kamu butuh waktu untuk sembuh.”

“Aku... aku takut,” Aira mengulang kalimat itu, menundukkan kepalanya.

Abraham menarik napas dalam-dalam, mencoba memberi Aira waktu untuk merasa lebih tenang.

"Itu wajar. Tetapi, aku di sini untuk membantu. Setiap langkah kecil yang kamu ambil, aku akan ada untuk mendukungmu. Tidak ada paksaan. Kita akan berjalan perlahan, sesuai dengan keinginanmu."

Aira tidak tahu harus berkata apa. Keberanian yang ia rasakan dari kata-kata Abraham memberikan sedikit harapan, meski rasa cemas itu masih ada. “Terima kasih, Pak Abraham,” ucapnya pelan. “Aku akan berusaha.”

Mereka berdua duduk dan sarapan bersama. Keheningan itu terasa nyaman, meski ada banyak hal yang tak terucapkan.

Abraham ingin memberinya ruang, tetapi ia tahu bahwa Aira perlahan mulai membuka hatinya, meskipun itu hanya sedikit.

Setelah sarapan, Abraham meminta Aira untuk beristirahat di apartemen sementara ia keluar untuk mengurus beberapa urusan.

"Jangan khawatir, aku akan kembali nanti untuk menjemputmu. Kamu bisa tinggal di sini sepuasnya," kata Abraham, menghibur Aira.

Aira mengangguk dan memandang Abraham yang berjalan menuju pintu.

“Aku akan baik-baik saja di sini. Terima kasih.”

Begitu Abraham keluar, Aira merasa sepi lagi. Namun, sepi ini tidak seburuk dulu.

Ia meraih buku catatannya dan mulai menulis beberapa hal tentang desain kafe.

Ini adalah salah satu cara ia menenangkan pikirannya. Ia tahu, ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, tapi untuk saat ini, menulis tentang apa yang ia cintai memberi sedikit kedamaian di dalam dirinya.

Waktu terus berjalan, dan hari itu, Aira merasa lebih kuat. Meski di dalam hatinya masih ada keraguan, sedikit demi sedikit, ia mulai belajar untuk menghadapinya.

Ketika sore hari tiba, Abraham kembali, seperti yang dijanjikan.

Aira sudah menunggu di ruang tamu, matanya tampak lebih segar.

“Sudah lebih baik?” tanya Abraham dengan senyum.

Aira tersenyum kecil. “Iya, sudah sedikit lebih baik,” jawabnya.

Mereka berbicara selama beberapa waktu, dan meski Aira masih membawa beban berat dalam hatinya, ia merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Abraham.

Malam itu, Aira berbaring di tempat tidurnya, mencoba tidur lebih awal.

Dia tahu bahwa ini adalah perjalanan panjang, tapi yang terpenting, ia tidak lagi sendirian.

Pagi itu, Gladis tiba lebih awal di kafe. Ia merasa sedikit gelisah karena sudah beberapa hari Aira tidak masuk dan ia ingin melihat sejauh mana pekerjaan mereka berjalan.

Namun, begitu ia membuka pintu kafe dan melangkah masuk, matanya langsung terbeliak.

Kafe yang dulunya rapi dan indah dengan desain baru yang penuh harapan kini tampak berantakan.

Beberapa meja terbalik, kursi-kursi berserakan, dan dinding yang sebelumnya terpasang dekorasi indah kini tergores dan penuh noda.

Semua yang sudah diperbaiki dan ditata dengan penuh hati-hati tampaknya hancur dalam semalam.

“Apa yang terjadi di sini?” Gladis bertanya-tanya, suara ketakutan dan kebingungan jelas terdengar di suaranya.

Ia segera melangkah lebih jauh ke dalam, menatap ruangan yang kini dipenuhi kekacauan.

Tiba-tiba, pikirannya melayang kepada kemungkinan siapa yang bisa melakukan ini. Mungkin Delon mantan Aira? Tapi mengapa? Apa motifnya?

Dengan langkah tergesa-gesa, Gladis menghubungi Aira.

"Aira, kamu harus lihat ini! Kafe—semua pekerjaan yang kamu buat, hancur. Kamu harus datang ke sini!"

Namun, Gladis tahu, tidak ada yang bisa memperbaiki kerusakan ini dengan cepat.

Aira pasti akan merasa hancur begitu melihatnya. Gladis menggigit bibirnya. Apa yang harus ia katakan kepada Aira? Apa kata Abraham nanti?

“Abraham pasti akan marah,” gumam Gladis pada dirinya sendiri, menekan ponsel di telinganya. “Tapi kita harus tahu siapa yang melakukan ini.”

Setelah menutup panggilan, Gladis berjalan keliling kafe, berusaha mengamati lebih rinci apakah ada petunjuk siapa yang mungkin bisa bertanggung jawab atas kekacauan ini.

Tetapi tidak ada yang bisa ia temukan, selain tanda-tanda kerusakan yang jelas di mana-mana.

Namun, tak lama setelah itu, seorang pria yang biasa bekerja untuk Abraham muncul dari sudut kafe, mengawasi dari kejauhan. Gladis merasa sedikit lega melihatnya.

"Kamu... apa yang terjadi?" tanya Gladis dengan suara cemas.

Tak berselang lama Aira datang dan melihat Kafe sudah hancur.

Pria itu mendekat dengan wajah serius. "Maaf, Nona Saya baru saja melihat siapa yang melakukannya."

Aira mengerutkan kening. “Siapa? Siapa yang bisa melakukan ini?”

"Sepertinya itu... Delon," kata pria itu pelan, ragu-ragu, seakan takut berbicara terlalu keras.

"Tadi malam, saya melihat seseorang yang menyerupai dia, dan... dia tampak sangat marah. Ia masuk ke dalam kafe dan... merusak semuanya."

Aira terkejut. "Delon? Tapi kenapa? Apa yang dia inginkan?"

"Saya tidak tahu pasti, tapi saya melihat dia meninggalkan tempat dengan wajah penuh amarah dan... sedikit ketakutan, mungkin karena ada seseorang yang mengejarnya. Itu yang saya lihat."

Aira terdiam sejenak. Semua yang baru saja Aira bangun dan atur seakan hilang begitu saja. Kebingungan semakin menghantui dirinya.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" Aira berkata dengan suara parau, seolah suara itu tak bisa keluar begitu saja dari tenggorokannya.

"Bagaimana jika Pak Abraham tahu semua ini? Apa yang akan dia pikirkan?"

Pria itu menggelengkan kepala. "Pak Abraham pasti sudah tahu, dan kita harus memberitahunya segera. Tetapi, saya yakin dia juga akan mencari cara untuk menyelesaikan ini."

Aira memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri.

Tak ada waktu untuk terpuruk dalam rasa takut dan cemas. Ia harus berpikir jernih.

"Mungkin aku bisa memperbaikinya," kata Aira perlahan, seakan berbicara lebih kepada dirinya sendiri.

"Aku akan hubungi tim renovasi lagi dan meminta mereka untuk bekerja lebih cepat. Aku harus mencari cara untuk kembali membuat kafe ini seperti yang dulu, atau bahkan lebih baik lagi."

Gladis mengangguk setuju, walau ia bisa merasakan beratnya keputusan yang harus diambil oleh Aira. Namun, mereka harus segera melakukan sesuatu.

"Kita akan melakukannya bersama-sama. Tidak perlu merasa sendirian."

Aira mengangguk, meskipun hatinya penuh keraguan. Ia tahu satu hal, meskipun semuanya tampak hancur, ia tidak akan menyerah.

Kafe ini adalah bagian dari impiannya, dan ia tidak bisa membiarkan Delon atau siapapun merusaknya.

Ia berjalan ke luar untuk menelepon tim renovasi. Sementara itu, pria yang bekerja untuk Abraham kembali menghilang, berjanji akan memberi laporan kepada Abraham tentang kejadian tersebut.

Aira tahu, langkah pertama adalah memperbaiki kerusakan, tapi langkah selanjutnya adalah membuat Delon bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.

1
Asmara Senja
Kereeeennnn
my name is pho: Terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!