Kita tidak pernah tau bagaimana Tuhan akan menuntut langkah kita di dunia. Jodoh.. meskipun kita mati-matian menolaknya tapi jika Tuhan mengatakan bahwa dia yang akan mendampingimu, tidak akan mungkin kita terpisahkan.
Seperti halnya Batu dan Kertas, lembut dan keras. Tidaklah sesuatu menjadi keindahan tanpa kerjasama dan perjuangan meskipun berbeda arah dan tujuan.
KONFLIK, SKIP jika tidak sanggup membacanya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Kusut.
"Saat saya bertemu Syafa beberapa tahun yang lalu. Saat saya belum lulus pendidikan bintara. Dia menangis sendirian, saya mendekatinya. Dia bercerita bahwa ada dua orang anggota perwira yang mendekatinya dan memaksanya untuk menikah tapi dia tidak bersedia dan ingin lepas dari jerat mereka. Karena kedua orang tersebut sudah membatai dah memenjarakan keluarga dan orang tuanya. Dua orang anggota tersebut adalah Letda Harshano dan Letda Hananto."
"Apa???? Tapi Syafa tidak punya keluarga, sejak kecil dia hidup sebatang kara. Saya sudah menyelidikinya." Kata Bang Shano.
"Tapi saya juga menyelidikinya, dia punya keluarga lengkap di pesisir. Orang yang kau tembak kakinya, dia Abangnya Syafa." Jawab Bang Dewo lantang.
Kepala Bang Shano sampai berat dan pening tidak sanggup lagi berpikir. Emosinya belum stabil.
Keadaan Bang Shano semakin mengkhawatirkan, hari ini adalah batas kekuatannya dan dirinya belum bisa 'merokok' karena sedang dalam pengawasan Papa Rinto secara langsung.
Sigap Bang El membawanya keluar dari ruang tahanan sementara di markas PM setempat.
...
"Jangan minta barang itu lagi, Bang. Abang harus sembuh, Abang punya istri. Kalau saya memang tidak ada tanggungan apapun, mati pun tidak ada yang mencari." Kata Bang El saat seniornya mulai mengamuk. Tanpa rasa takut ia meladeni Bang Shano yang sudah kesetanan.
"Aku mau barang itu, kau pengen aku mati???? Aku mau balas dendam, anak ku mati. Istriku nangis, aku tidak tahan lihat Jena menangis." Jawab Bang Shano.
"Ya Allah, Bang. Cepat sadar..!!! Kasihan istri Abang. Saya tau hati Abang pasti sakit sekali, mungkin jika saya yang mengalami semua ini, saya tidak akan sekuat Abang."
"Ijin, Danton. Ini air kelapanya." Prada Ruanda dan Prada Jangkung tiba di ruang kerja Bang Shano.
"Tolong bantu saya minumkan ke Danki..!!" Perintah Bang El.
:
Bukan mudah mengatasi tenaga Bang Shano yang luar biasa sampai Bang El ikut basah membantunya.
Bang Shano terus saja berontak dan berteriak. Hanya nama Jena saja yang ada di dalam alam bawah sadarnya.
"Abang sudah ikhlas, Jena. Apapun yang terjadi, Abang tetap sayang sama Jena." Gumamnya lirih meratap dalam tangis.
Bang El mengusap wajah Bang Shano. "Insya Allah Tuhan mengabulkan. Sakit dan lelah Abang akan terbayar indah suatu saat nanti."
Prada Ruanda dan Prada Jangkung sampai ikut bersedih melihat keadaan Dankinya.
"Biarkan Danki istirahat sebentar, tubuhnya sudah kelelahan, pikirannya penuh. Kalau sudah bangun nanti baru kita ke rumah sakit." Arahan Bang El mengambil alih.
:
Bang Shano terbangun, sekujur tubuhnya masih terasa pegal. Ia melihat jam tangan, hari sudah sore tapi dirinya belum kembali ke rumah sakit.
Dari sofa, ia bisa melihat Dantonnya mengambil alih komando. Mamang seharusnya seperti itu, seorang Danton harus bisa tegas mengambil alih situasi saat Danki sedang berhalangan.
Situasi di luar Kompi memang sedang genting, terdengar perintah Letnan Elgran juga sangat tegas dan terarah. Mana mungkin seorang Danton jebolan pasukan khusus juga intelijen nomer satu pada masanya bisa gagal memberikan perintah.
Tak lama Bang El masuk ke dalam ruangan dan mendapati Bang Shano sudah sadar dari tidurnya.
"Sudah bangun, Bang? Kita ke rumah sakit sekarang?" Tanya Bang El.
"Iya."
:
Bang Shano menebar senyum melihat Jena sudah nampak lebih sehat. "Sudah makan?" Sapa Bang Shano usai memberi salam.
"Makannya sedikit sekali." Mama Dinar menyambar dengan rasa prihatin.
"Biar sama saya saja, Ma." Bang Shano membuka bungkusan nasi cumi hitam kemudian mengambil sendok. "Kita makan, cepat sehat.. Pulang deh." Bujuk Bang Shano lembut.
Jena menolaknya, mungkin teringat akan calon buah hatinya. Tangan itu masih belum beralih dari perutnya.
"Bisakah dengarkan kata Abang??" Suara itu terdengar tegas hingga Jena melirik meresponnya. "Sesakit itu kehilangan anak? Ya, jelas Abang juga mengalaminya. Tapi dia hadir di waktu yang salah, hadir karena ketidak sengajaan juga kurang cinta dan kasih. Semalam suntuk Abang mendinginkan kepala dan perasaan. Jika dia terlahir perempuan, Abang tidak sanggup melihatnya hidup tanpa nazab Abang sebagai ayahnya. Berat memang berat, tapi Abang berusaha ikhlaskan sekarang daripada melihat dia terlahir lalu pergi meninggalkan kita."
Jena menunduk, tidak ada satupun pembahasan musibah tentang dirinya. Tapi jujur Jena merasa malu sendiri berhadapan dengan Bang Shano. Sungguh hati suaminya itu begitu besar.
"Abang akan berusaha keras supaya kamu bisa hamil lagi." Janji Bang Shano sembari menggenggam jemari Jena.
Rasanya Jena tidak sanggup lagi menatap wajah Bang Shano. Dirinya tidak seperti dulu lagi. Hatinya masih berharap tapi ada hal yang membuatnya berniat mundur. Ia menarik tangannya.
Bang Shano tersentak mendapat penolakan tersebut tapi Papa Rinto mengarahkan agar putranya itu mengalah.
:
"Banyak hal yang belum kita ketahui. Papa tau usahamu, kamu harus sabar tapi biarkan satu persatu kita selesaikan. Jena sedang sangat rapuh. Wanita menggunakan hatinya setiap saat sedangkan kamu terus berperang dengan pikiranmu." Bujuk Papa Rinto.
"Hatiku juga sakit, Pa."
"Iya le.. Iyaaa..!! Jangan gegabah, kita cari dulu akar masalahnya. Cari juga, Syafa..!!" Jawab Papa Rinto.
.
.
.
.