Lila pergi ke ibu kota, niat utamanya mencari laki-laki yang bernama Husien, dia bertekad akan menghancurkan kehidupan Husien, karena telah menyengsarakan dia dan bundanya.
Apakah Lila berhasil mewujudkan impiannya. Baca di novelku
DENDAM ANAK KANDUNG.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darmaiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 10
Bukan Wanita Lemah
Ke Empat teman Marisa Menyerang Lila, satu orang menarik rambutnya, dua orang memegang tangannya dan satu orang lagi menampar wajahnya. Hingga mengeluarkan darah disudut bibirnya.
"Bagaimana rasa?" Marisa mendekat Lila, mencengkram dagunya, lalu tertawa lepas.
"Makanya jangan berlagak di depan ku." ujar Marisa lagi.
Marisa berencana akan menghabisi Lila dan dia meminta ke empat temannya menyeret Marisa ke luar butik dan melemparkan ke jalan raya. Namun begitu berada di luar butik dengan sekali gebrakan Marisa dan ke empat temannya babak belur.
"Bagaimana sekarang? Apa sudah imbang?" tanya Lila sambil mencekal leher Marisa.
"Kalau kamu belum puas. Besok bawa lebih banyak pengawal." ujar Lila melepas cekalannya dengan mendorong Marisa hingga terjerembab.
Tadi dalam butik sengaja Lila tidak melawan, karena dia tidak mau membuat seisi butik berantakan. Lila dilawan tak tau saja mereka kalau Lila dulu pernah juara taekwondo provinsi.
"Hentikan!" terdengar teriakan Vito yang datang beriringan dengan karyawan butik yang tadi menemani Lila.
"Bang Vito! dia menyakitiku." ujar Marisa berlari kearah Vito. Vito menatap wajah Marisa yang babak belur.
"Mana mungkin Lila bisa sekasar ini." batin Vito. karena setahu Vito saat Yura menindas Lila, dia hanya diam dan pasrah.
"Tapi kalau bukan Lila yang menghajar Marissa lalu siapa." pikir Vito.
"Tuan mereka yang memulai mengganggu Nona Lila." karyawan butik yang tadi menemani Lila membelanya.
"Lila! Benar ini kamu yang melakukannya?" Tanya Vito rasa tak percaya seraya mengalihkan pandangan menatap Lila, lalu mendekati Lila dan menyesap darah yang mulai mengering di sudut bibir Lila dengan ibu jarinya.
"Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Vito merengkuh bahu Lila lalu mengajaknya menjauh.
"Bang Vito! Bang Vito!" teriak Marissa. namun Vito sama sekali tidak memperdulikannya.
"Kalian semua tak berguna!" maki Marisa kesal. Percuma dia membuntuti Lila sampai ke butik dan membawa empat bodyguard.
"Aku harus mencari cara lain." batin Marisa.
"Yura! Benar Yura solusinya." Marisa tersenyum penuh artinya. lalu pergi meninggalkan butik.
*****
Saat keluar dari butik jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Begitu sampai di mobil, Vito mengambil kotak obat, mengobati luka lecet di sudut bibir Lila.
"Sakit?" tanya Vito.
"Sudah tidak." jawab Lila.
"Lain kali jangan berurusan dengan Marisa, kalau dia mendekat lebih baik kamu menghindar. Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa" ujar Vito seraya menyentuh punggung tangan Lila. Lila hanya mengangguk.
Vito menekan paddle shift dari carbon fiber di sisi kanan belakang setir, sambil menahan pedal rem. Lalu meluncur melaju ke jalan raya. Lima belas menit kemudian sampai di kawasan apartemen Ismara. Vito menghentikan mobilnya di halaman parkir.
"Aku lapar. Boleh aku makan malam di rumahmu?" tanya Vito saat Lila mau turun dari mobil, seraya mengelus perutnya yang keroncongan. Wajahnya memelas agar Lila mengabulkan permintaannya.
"Boleh." jawab Lila tak tega menolak.
Begitu Vito keluar dari mobilnya, hujan pun turun, Vito dan Lila berlarian dari tempat pakir ke pintu utama apartemen. Vito mengiringi langkah Lila menaiki anak tangga. Suara napas Vito yang kelelahan terdengar jelas saat sudah berada di atas.
"Lumayan capek." ujar Vito seraya menyandar di tembok, habis lari-larian naik tangga pula, Lila tertawa kecil melihat Vito yang bernapas ngos-ngosan.
"Teman mu belum pulang?" tanya Vito saat masuk ke dalam rumah.
"Ismara biasa pulang tengah malam." sahut Lila seraya melepas sepatu dan mengganti dengan sendal.
Sementara Vito duduk di ruang tamu, Lila langsung ke dapur setelah meletakkan tas tangannya di kamar, dia membuka kulkas, tidak ada stok bahan mentah yang bisa dimasaknya selain telur dan mie instan.
"Tuan! di kulkas hanya ada mie instan, saya turun sebentar ke bawah ya."
"Tidak usah. Kamu masak mie instan saja." ujar Vito kasian melihat Lila yang baru sampai harus turun ke bawah lagi.
Lila kembali ke dapur, dua puluh menit kemudian dia keluar lagi dengan dua mangkok mie instan dan dua gelas air putih.
"Hemm.. wanginya sangat menggoda. Pas banget dengan cuacanya sedang hujan dan perut lapar." Vito langsung menyeruput mienya.
"Ups.. panas." Vito mengurungkan suapan pertamanya.
"Tunggu dingin dulu. Tuan!"
"Kalau dingin kurang enak." ujar Vito seraya meniup mangkok mienya.
Lila hanya tertawa kecil melihat kelakuan Vito yang seperti orang tidak makan satu minggu. Lima menit kemudian mie instan satu mangkok ludes tak bersisa.
Sambil menunggu hujan sedikit reda, Lila menyuguhkan secangkir kopi dan cemilan kecil. Seperlima belas menit kemudian Vito merasa tubuhnya memanas, ada rasa miang yang menggelitik. Vito mulai menggaruk punggung, perut dan anggota tubuh lainnya.
"Ada apa Tuan?" tanya Lila saat melihat Vito gelisah.
"Terasa miang dan gatal." jawab Vito
"Apa karena aku belum mandi ya."
"Ya Tuhan! kulit tuan ruam dan memerah." ucap Lila cemas seraya memeriksa pergelangan dan wajah Vito.
"Gatal banget, tolong garuk punggungku, tangan ku tak sampai."
“Tapi… Tuan.” Lila ragu melaksanakan perintah dari Vito.
"Sudah tak tahan, gatal banget." Vito mengeluh, wajahnya terlihat sangat cemas dan resah, Lila pun tak tahu harus berbuat apa.
Vito bangkit dari duduknya, bersandar di tembok dan menggaruk-garukkan punggungnya, semakin digaruk rasa gatalnya semakin kuat. Vito mulai panik, dia menggerayangi seluruh tubuhnya.
"Tolong Carikan nomor kontak dokter Alfad." titah Vito seraya menyerahkan ponselnya ke Lila
Lila menggulir layar ponsel Vito mencari nomor kontak dokter Alfad, begitu menemukan nomor yang dicari, dia menekan tombol panggil lalu menyerahkan ponsel ke Vito.
“Maaf dokter Alfad sedang melakukan operasi darurat,” terdengar suara sekretaris Alfad menjawab panggilan Vito.
“Ah…” Vita menghempaskan ponselnya di atas sofa, dia terlihat sangat kesal, seraya bergumam tak jelas Vito mengusap wajahnya. Rasa gatal di tubuhnya semakin mengusik, dia sudah tidak bisa menahan lagi.
"Tuan! mau ke mana?" Tanya Lila saat Vito beranjak dari duduknya dan meraih kunci mobil.
"Mau ke rumah sakit." sahut Vito berlari
"Di luar masih hujan." seru Lila mengejar Vito.
"Iya, tapi saya harus segera ke dokter, tak tahan gatal banget."
"Baiklah, saya akan menemani tuan."
"Tidak usah, hari sudah malam."
Walaupun dilarang Vito, namun Lila masih ngotot ikut, begitu turun ke bawa, hujan masih deras, Vito dan Lila berlarian menuju tempat parkir. Begitu berada di dalam mobil, tubuh Vito semakin gatal, mungkin efek terkena air hujan jadi semakin gatal, kedua tangan Vito sibuk menggaruk.
"Biar saya yang bawa mobil." ujar Lila.
"Emang kamu bisa?" tanya Vito meragukan kemampuan Lila.
"Tuan meremehkan saya."
"Bukan, saya cuman tak mau di sopiri sama cewek."
Vito tetap tidak mengijinkan Lila membawa mobil, selain Lila baru di Jakarta, Vito juga meragukan kemampuan Lila, karena Vito menganggap kalau Lila berasal dari kampung.
"Sudah! kamu diam saja." titah Vito sambil mencari-cari sesuatu di saku celananya. Dia baru ingat kalau ponselnya tertinggal di sofa apartemen tempat Lila tinggal.
"Kamu bawa ponsel? pinjam! Ponselku tertinggal di atas."
"Biar ku ambilkan ponsel tuan." Tangan Lila bergerak ingin menekan handle pintu mobil, namun Vito melarangnya.
"Jangan ke mana- mana, di sini saja." Vito mencekal lengan Lila.
"Saya mau mengambilkan ponsel tuan."
"Pinjam ponselmu saja."
Lila mengangsurkan ponselnya ke arah Vito, Vito menggeser layar ponsel.
"Ada menyimpan kontak Niko?" Tanya Vito karena dia tidak hafal nomor Niko
"Ada."
"Niko kamu di mana?" Vito langsung menanyakan keberadaan Niko begitu sambungan telepon terhubung.
"Tolong jemput saya di rumah Lila." Belum sempat Niko menjawab pertanyaan, Vito sudah memberinya perintah.
"Baik tuan." terdengar jawaban Niko.
Vito pindah duduk ke kursi belakang, sekarang posisinya bersebelahan dengan Lila, rasa gatal di tubuhnya semakin menjadi, Vito kembali meminta Lila menggaruk punggungnya. Tanpa sadar baju Vito sudah terlepas, kulitnya terasa mulai menebal, kulit putih itu kini terlihat kemerah-merahan.
Tiga puluh menit kemudian baru Niko datang karena ada beberapa ruas jalan mengalami kemacetan. Niko turun dari mobil yang dibawanya dan mendekati mobil Vito.
"Ada apa Tuan?" Tanya Niko seraya membuka pintu depan.
"Tuan! ini di tempat umum." seru Niko menutup kembali pintu mobil dia tak jadi masuk, karena terkejut saat melihat Vito tak memakai baju.
"Tuan Niko." teriak Lila kala melihat Niko ingin kembali ke mobilnya.
"Tuan Vito sakit." ujar Lila lagi.
Bergegas Niko kembali ke mobil Vito, masuk ke dalam mobil dan melihat keadaan Vito.
"Tuan sakit apa?"
"Tidak usah banyak tanya. Antar saya ke rumah sakit." titah Vito.
Niko pun langsung tancap gas ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit Vito bergegas turun, dan menemui dokter Alfad yang baru saja keluar dari ruang operasi.
"Ada apa malam-malam ke rumah sakit?"
"Hay, kamu kenapa?"
Belum sempat Vito menjawab pertanyaan Alfad yang pertama, Alfad mengajukan pertanyaan kedua, dia heran saat melihat tangan Vito yang tak diam, menggaruk sana sini.
"Mana aku tahu, tiba-tiba saja memerah dan gatal." Vito menjelaskan perasaannya.
"Ini sejenis alergi, ingat terakhir kamu makan apa?"
Sebelum menjawab pertanyaan dokter Alfad, Vito dan Lila saling berpandangan, Vito baru sadar kalau dia alergi mie instan, dulu waktu dia masih duduk di bangku SD, dia juga pernah mengalami hal seperti ini. Hari ini karena rasa lapar dan masakan Lila sangat menggoda membuatnya melupakan peristiwa 22 tahun yang lalu.
"Mie instan. Dok!" Lila yang menjawab pertanyaan dokter Alfad, Lila tidak tahu kalau Vito alergi mie instan.
"Maaf ya Tuan, saya tidak tahu kalau tuan alergi mie instan." ujar Lila menyesal.
Dokter Alfad mengambil obat dalam bentuk cair dan memasukkan ke dalam jarum suntik, lalu menyuntikkan ke tubuh Vito. Lila yang melihatnya memejamkan mata, dia seperti merasakan kalau jarum suntik itu menancap di tubuhnya.
"Kamu harus dirawat di sini, untuk malam ini saja." ujar Alfad sambil membuang jarum suntik yang sudah dipakai dalam tong sampah.
"Tidak bisa kalau saya pulang saja." pinta Vito.
"Bisa! kalau di sini setiap 30 puluh menit saya bisa mengontrol perkembangan alerginya, apakah perlu tambahan dosis obat atau tidak, kalau iya saya bisa cepat menanganinya." Dokter Alfad memberikan penjelasan.
Setelah melakukan tawar menawar, akhirnya Vito setuju di rawat untuk malam ini, Vito meminjam ponsel Niko menelepon Yura, dia baru teringat kalau Yura sampai di Jakarta malam ini.
"Kenapa hapemu tak diangkat? ini kok pakai ponsel Niko?" terdengar suara Yura dari panggilan telepon.
"Maaf sayang hape tinggal di ruang kerja, sekarang aku lagi di rumah sakit." bohong Vito.
"Di rumah sakit. Ngapain?"
"Aku kena Alergi."
"Kok bisa kamu punya penyakit kotor begitu. Aku tak mau dijemput kamu dan ingat malam ini nggak usah pulang, ntar penyakitmu menular lagi." ujar Yura langsung mematikan sambungan teleponnya.
"Yura! Yura! hallo." seru Vito seraya menatap layar ponsel, Vito belum selesai bicara, tapi Yura sudah mematikan panggilannya. Vito mencoba kembali menelepon Yura.
"Apa lagi!" terdengar ketus suara Yura.
"Kamu dijemput Niko saja ya." Vito memberikan penawaran.
"Nggak! papah yang jemput. tut..." sambungan telepon pun terputus.
"Emang nggak ada adab." gumam Vito seraya menyerahkan ponsel Niko.
Lila dan Niko saling berpandangan yang tak sengaja mendengar percakapan Vito dengan Yura.
"Istri macam apa tuh, suami sakit bukannya ditemani, malah dijauhi, hahaha." Niko tertawa seraya menyindir Vito.
Lila berpamitan pulang, karena belum mandi dan ganti pakaian, lalu keluar dari ruang rawat Vito, di luar sudah gelap, Lila menatap layar ponselnya sudah pukul delapan lewat sepuluh menit. Hujan tidak lagi sederas tadi, hawa dingin masih terasa di kulit.
Vito menyuruh Niko mengantar Lila pulang dan mengambil ponselnya yang tertinggal di sofa, begitu sampai ke apartemen Lila mengajak Niko naik ke atas.
"Masuk Tuan! Ponsel tuan Vito ada di situ." ujar Lila seraya menunjuk ke sofa.
"Non Lila harus kembali ke rumah sakit." ujar Niko setelah mendapatkan ponsel Vito.
"Aku? tapi tuan Vito tidak memintaku kembali ke rumah sakit." tolak Lila.
"Kasian tuan Vito jika harus sendirian di rumah sakit."
"Kamu kan ada."
"Saya menjaga ibu yang sudah uzur, karena penjaganya, tadi ijin pulang kerumahnya mau melihat cucunya yang baru lahiran." Niko memberi penjelasan agar Lila memakluminya.
Setelah berpikir sejenak, Lila memutuskan kembali ke rumah sakit, dia meminta Niko menunggunya untuk mandi sebentar. Dalam lima belas menit Lila sudah selesai mandi, dia pun keluar dari kamar.
"Yuk kita berangkat."
Sejurus Niko menatap Lila, Lila yang mengenakan switer warna putih dengan tutup kepala warna krim senada dengan sal di lehernya, Lila terlihat sangat anggun dan cantik.
"Kamu cantik sekali." puji Niko.
"Bisa aja kamu." ujar Lila seraya melayangkan tinjunya ke bahu Niko.Niko tertawa lepas.
"Yuk berangkat." ujar Lila mengalihkan pembicaraan.
Niko keluar diiringi langkah Lila menuju lift dan turun, Lila tidak mau menuruni tangga karena dia terlalu lelah hari ini. Di luar hujan sudah berhenti.
Niko dan Lila masuk ke dalam mobil, mobil pun meluncur meninggalkan apartemen Ismara, Niko singgah di resto untuk membeli makan malam Vito, karena dia tahu kalau Vito di mau memakan masakan rumah sakit, Sementara Lila hanya menunggu di dalam mobil.
Di samping Resto, ada sebuah toko besar menjual baju dan perlengkapan pria, Niko membeli baju ganti untuk Vito, lengkap dengan pakaian dalamnya.
"Banyak sekali belanjanya?" tanya Lila saat Niko kembali ke mobil dengan tentengan dua buah plastik.
"Baju ganti untuk tuan Vito." jawab Niko seraya masuk ke dalam mobil.
"Kenapa tidak ambil kerumahnya dan minta sama nona Yura."
"Malas ketemu nona Yura, wajahnya tak pernah ramah." Jawaban Niko meluncur begitu saja.
"Yah.. Siapa tahu pulang dari Hongkong, Yura berubah lembut." kelakar Lila sambil tertawa lepas.
Niko menikmati wajah Lila dari kaca spion atas.
"Dia semakin cantik, lesung pipi terlihat jelas, jika tertawa lepas begini. Andai saja.. "
"Tuan ada orang melintas di depan." teriak Lila panik, mendadak mobil terasa oleng.
Creet... Brakk...
Apa yang terjadi dengan Lila dan Niko
Baca kelanjutan ceritanya di part 11
Jangan lupa tinggalkan jejak
Like, komentar serta dukungannya
Terima kasih pada reader
Love sekebun cabe♥️♥️
thanks you