Kisah CEO dingin dan galak, memiliki sekretaris yang sedikit barbar, berani dan ceplas-ceplos. Mereka sering terlibat perdebatan. Tapi sama-sama pernah dikecewakan oleh pasangan masing-masing di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Elena berbaring di atas ranjangnya. Semua persiapan untuk besok memulai kerja hari pertama, sudah selesai. Tiga bulan lagi usianya tepat 24 tahun. Bisa dibilang, ini adalah pencapaian terbesar di dalam hidupnya. Bisa bekerja di salah satu Perusahaan Multinasional ternama di kota ini. Ada perasaan bangga juga khawatir yang dirasakan Elena saat ini. Tapi apapun yang terjadi, Elena tak akan pernah berhenti berjuang. Dibalik sikapnya yang bar-bar, ada satu tekad yang begitu kuat di dalam hatinya, yaitu menyusuri jejak sang ibu.
Tangan gadis itu meraih ponselnya yang ada di atas nakas. Membuka galery foto dan menatap wajah sang ayah yang begitu tampan dan gagah semasa hidupnya. Sayang, dia sama sekali tak memiliki foto ibunya.
Maklumlah, saat itu sang ayah belum mampu membeli handphone. Elena hanya bisa melihat rupa wanita yang melahirkannya itu dari lukisan yang dibuat ayahnya. Entah kemana foto-foto cetak semasa muda kedua orangtuanya. Semua menghilang tanpa ada satupun yang tersisa. Ayahnya bilang, mungkin tertinggal di salah satu rumah kontrakan di Bali, saat dulu mereka harus pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.
Untung saja Elena masih menyimpan beberapa foto ayahnya semasa hidup, di ponsel. itupun beberapa diantaranya saat ayahnya mulai sakit-sakitan.
"Aku sudah mewujudkan salah satu harapan ayah. Semoga ayah bahagia di sana!"
Mata gadis itu berkaca-kaca seraya mengusap wajah tampan ayahnya di foto.
Ingatan Elena pun melayang ke masa lalu, saat ayahnya selalu bercerita tentang masa lalu mereka.
Elena Carline Marvin, nama yang disematkan sang ayah pada dirinya.
Terlahir 24 tahun lalu dari seorang wanita berkebangsaan Jerman, bernama Medina Carline Verlyn. Sementara ayahnya memiliki darah Sunda - Jawa, bernama Evan Isaac Marvin. Namun sayang, baru beberapa hari melahirkan, Medina Carline Verlyn dijemput keluarganya dan dipaksa untuk kembali ke negaranya. Semenjak saat itu, Evan Isaac Marvin kehilangan kontak dengan istrinya. Dia tak pernah lagi mendengar kabar dina.
Dina menghilang bagai ditelan bumi. Sementara Evan tak bisa menyusul istrinya ke Jerman, karena terbentur biaya. Evan hanya seorang pelukis pinggir jalan Bali. Sementara dia pun harus menghidupi putrinya yang masih bayi saat itu. Hingga akhir hayatnya, saat usia Elena 17 tahun, Evan tak pernah lagi bertemu dengan istrinya.
Elena terkenang kembali ke masa 7 tahun lalu, saat-saat terakhir bersama ayahnya. Dimana waktu itu usianya masih 17 tahun dan duduk di kelas 11 sma.
Pagi itu, Elena terbangun dengan sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah tirai kamarnya. ia mengusap matanya, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih menyelimuti. saat menatap langit biru di luar jendela, dalam benaknya dia teringat tentang ibu yang hanya sedikit dia ketahui.
Setiap kali ia bertanya, Evan hanya tersenyum pahit dan menjawab, "Ibumu di jerman, sayang. dia merindukanmu."
Di meja makan, Evan sedang menyajikan sarapan sederhana, nasi goreng dan telur mata sapi. meski hidup mereka sederhana, Elena merasa cukup bahagia, terutama saat melihat senyum ayahnya. namun, ada satu hal yang selalu menghantuinya, rasa ingin tahu tentang ibunya.
"Ayah," Elena memulai, suara lembutnya memecah keheningan.
"Bagaimana jika kita mencarinya? mungkin kita bisa menemukan ibu."
Evan menatap putrinya, mata lelaki itu penuh keraguan. "Elena, itu tidak semudah yang kau bayangkan, nak. Biaya untuk pergi ke Jerman..."
"Aku bisa bekerja setelah pulang sekolah. Kita bisa menabung untuk pergi ke sana!" potong Elena, semangatnya menyala. "Aku ingin tahu siapa Ibu sebenarnya. Kenapa dia pergi?"
Evan menghela napas, menaruh sendoknya.
"Sayang, terkadang cinta tidak selalu berjalan mulus. Ibumu mencintaimu, tapi keluarganya memaksanya kembali. Ayah hanya bisa berharap dia bahagia di sana."
Elena merasakan sakit di dadanya. Ia tahu bahwa ayahnya berusaha keras untuk menyembunyikan rasa sakitnya sendiri.
"Tapi ayah, apa kita tidak bisa melakukan sesuatu? Mungkin ada cara untuk menghubunginya."
"Elen" suara Evan tegas, "Ayah tidak ingin kamu kecewa. Ibumu mencintaimu tapi keluarganya tak menginginkan kita."
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. "Tapi aku hanya ingin bertemu ibu. Aku ingin bertanya, apakah ibu tidak merindukanku, sampai tidak pernah menghubungi kita?" ujarnya, suara mulai bergetar.
Evan menatap Elena, terlihat bingung dan terharu. "Kadang, kita tidak bisa mengubah masa lalu. Kita hanya bisa melanjutkan hidup."
Elena mengangguk, tetapi di dalam hatinya, tekadnya semakin kuat. Dia tidak akan membiarkan kenangan ibunya menghilang begitu saja. Mungkin, suatu hari, dia akan menemukan jalan untuk mencari Medina Carline Verlyn, dan menggali kisah yang terpendam dalam keluarganya.
Malam itu, saat Evan tertidur, Elena mengambil lukisan kecil ibunya yang tersimpan rapi di dalam laci. Melihat wajah ibunya, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari tahu lebih banyak. Setiap detik, setiap langkah, ia akan berusaha menemukan jawaban. Baginya, perjalanan ini bukan hanya tentang mencari ibunya, tetapi juga tentang menemukan jati dirinya.
Tanpa terasa wajah Elena telah basah, mengingat masa lalunya. Terkadang dia membenci ibunya yang menghilang tanpa jejak. Apalagi dia sangat kasihan pada sang ayah, yang sampai akhir hayat tak bisa lagi bertemu dengan istrinya.
Malam semakin larut, saat mata Elena mulai tertutup rapat dan berselancar dalam pusaran alam bawah sadarnya.
***
Jam menunjukkan pukul 7:00 pagi. Elena menatap pantulan dirinya di cermin. Jas formal berwarna navy membalut tubuhnya dengan rapi, kemeja putih bersih dipadu dengan rok pensil hitam. Dia terlihat profesional dan percaya diri, jauh berbeda dari penampilannya saat bekerja di perusahaan yang sebelumnya. Hari ini adalah hari pertamanya di perusahaan multinasional ternama, dan dia akan bertemu dengan Alvaro, sang bos baru - seorang pria yang terkenal akan perfeksionisme nya dan sangat menyebalkan. Degup jantung Elena tiba-tiba berdebar kencang.
Elena dan Kiara, yang masih akan mendampinginya selama beberapa hari, tiba di kantor tepat waktu. Gedung pencakar langit itu megah dan modern. Setelah melewati resepsionis yang ramah, ia dan Kiara menuju ke ruangan yang telah ditunjuk sebagai ruang kerjanya. Ruangannya minimalis dan elegan, tetapi ketegangan tetap membayangi pikirannya.
Elena menemui Alvaro di ruangannya sebagai pemberitahuan kalau dirinya sudah mulai masuk kerja. Wanita itu mengetuk pintu dan membukanya setelah ada jawaban dari dalam. Dia tersenyum kaku saat melihat lelaki yang tampil gagah dan berwibawa itu, ternyata jauh lebih tampan dari sebelumnya. Meski aura dingin dan tegas terpancar dari dirinya, tetap tak mampu mengurangi pesonanya. Rambutnya disisir rapi ke belakang, pakaiannya sangat impeccably tailored. Membuat Elena merasakan jantungnya berdebar lebih kencang.
"Selamat pagi." Elena berusaha mengatur nada suaranya setenang mungkin.
Tak ada jawaban salamnya.
"Duduk! Saya hanya akan memastikan jika kamu sudah menguasai tugas-tugas sesuai yang diajarkan Kiara."
Elena mengangguk pelan.
"Bacalah ini dengan teliti. Saya harap kamu memahami semuanya sebelum jam makan siang! Ketepatan waktu dan detail sangat penting. Jangan sampai ada kesalahan, bahkan yang sekecil apapun!"
Alvaro menyerahkan sebuah berkas tebal. Elena menerima berkas itu dengan tangan sedikit gemetar. Dia kembali mengangguk, meskipun merasa sedikit terintimidasi. Dia mulai membaca dokumen tersebut, tetapi pikirannya melayang pada sifat Alvaro yang perfeksionis. Dia tahu dia akan menghadapi banyak tantangan.
Sepanjang pagi, Elena berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan pekerjaannya dengan sempurna. Dia memeriksa setiap detail, memastikan semuanya akurat dan tepat waktu. Namun entah sebesar apa otak Kenzie, dia masih tetap bisa menemukan kesalahan kecil yang Elena buat. Dan dari raut wajahnya, Elena bisa melihat ketidak puasan.
"Ada kesalahan pengetikan. Saya tidak bisa menerima pekerjaan yang ceroboh seperti ini."
Alvaro menunjuk ke sebuah kesalahan kecil itu pada Elena. "Ini!" tunjuknya.
Elena merasa frustrasi, tetapi berusaha tetap tenang. "Maaf, Pak. Saya akan segera memperbaikinya."
"Perbaiki sekarang juga dan pastikan tidak ada kesalahan lagi!" katanya tegas.
Elena memperbaiki kesalahannya dengan cepat. Dia menyadari bahwa bekerja dengan Alvaro tidak akan mudah.
Perfeksionismenya memang ekstrim! Tetapi di balik itu semua, Elena merasakan ada sesuatu yang lebih dalam. Ada keraguan, mungkin ketakutan akan kegagalan yang disembunyikan di balik sikap dinginnya.
"Gimana?" Tanya Kiara saat mereka tengah makan siang di kantin.
"Astaga Kiara, bos lo itu amit-amit 7 turunan! Baru awal saja gue udah dibikin keleyengan. Pusing dengan semua permintaannya yang harus begini, harus begitu. Gak boleh begini, gak boleh begitu. Kurang ini, kurang itu. Kayaknya dia bener-bener sentimen sama gue. Untung saja sebelumnya gue udah nyetok sabar, soalnya udah bisa nebak bakalan kayak begini. Tapi gue pengen tahu, sampai dimana dia ngerjain gue."
Mendengar ocehan Elena, membuat Kiara mengerutkan keningnya.
"Sentimen, ngerjain, maksud kamu apa sih, aku nggak ngerti?"
"Sebenarnya dia itu musuh gue! Mungkin dia juga nganggap gue sama. Kita sebenarnya udah pernah bertemu 2 kali sebelumnya. Di suasana dan tempat yang salah. Gue malah udah pernah bikin mobil mewahnya kotor sekotor-kotornya. Dan lebih parah lagi, gue udah pernah maki-maki dia."
Mulut Kiara ternganga mendengar cerita sahabatnya. Dia samasekali tak menyangka, Elena sedang dalam masalah besar.
"El, kamu harus siap-siap. Kamu akan mendapatkan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah kamu bayangkan."
Kiara jadi teringat kejadian Cassandra, mantan kekasih bosnya itu, yang diperlakukan tidak manusiawi oleh Alvaro.
Entah apa kesalahan wanita itu.
Hari itu berlalu, masih dengan penuh tekanan. Elena merasa lelah, tetapi juga sedikit bangga karena berhasil melewati hari pertamanya. Dia tahu perjalanan kerjanya bersama Alvaro baru saja dimulai, dan banyak tantangan yang menanti. Namun, dia bertekad untuk membuktikan bahwa dia mampu mengatasi semua itu.
diselingkuhi sama tunangannya gak bikin FL nya nangis sampe mewek² tapi malah tetep tegar/Kiss/