Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)
Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.
Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.
Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Pagi itu, Hanif berdiri mematung di depan meja kerjanya, menatap layar ponsel yang baru saja menyampaikan kabar dari adiknya—Hana akan menikah bulan depan. Bukan itu yang membuat keningnya berkerut, melainkan kalimat tambahan yang menyusul:
"Dan kamu harus bawa pasangan. Wajib. Nggak ada alasan."
Hanif menghela napas panjang. Ia bisa membayangkan dengan jelas gaya bicara Hana saat menuliskan pesan itu—penuh tuntutan, santai, tapi juga tegas. Seperti biasa, gaya khas anak bungsu yang merasa semua keinginannya harus dipenuhi. Hana memang cerewet, tapi selama ini Hanif selalu luluh. Ia tak pernah bisa menolak adiknya, apalagi jika berkaitan dengan acara keluarga.
Tapi kali ini, permintaan itu terasa seperti pecut yang menampar wajahnya sendiri.
Pasangan.
Kata itu seperti gema yang menggema di dinding pikirannya. Ia menelan ludah. Pikirannya langsung terbang pada satu nama. Satu sosok yang sudah mulai mengisi ruang-ruang sunyi dalam hidupnya. Bukan sekadar rekan kerja atau teman satu rumah sakit.
Hanif berjalan ke arah jendela ruangannya. Dari lantai dua rumah sakit, ia bisa melihat taman kecil di halaman depan, tempat para pasien kadang duduk-duduk menghirup udara pagi. Pandangannya kosong, tetapi pikirannya penuh. Wajah Sekar terlintas begitu jelas—tatapan teduhnya, senyum tipisnya yang jarang-jarang muncul, dan suaranya yang selalu terdengar tenang.
Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Bawa pasangan," gumamnya pelan. "Kalau aku minta Sekar ikut, dia mau nggak, ya?"
Pertanyaan itu tidak mudah dijawab. Hubungan mereka memang makin dekat akhir-akhir ini. Setelah insiden kecelakaan kecil yang membuat Sekar harus tinggal sementara di rumahnya, ada banyak hal yang berubah. Ia mulai terbiasa mendengar suara Sekar di pagi hari, mulai menanti obrolan singkat mereka di ruang makan, dan diam-diam merasa tenang saat melihat perempuan itu duduk di ruang tengah dengan novel di tangan.
Namun, ia juga tahu, Sekar masih berhati-hati. Perempuan itu belum benar-benar membuka diri. Ada jarak yang tetap dijaga. Mungkin karena masa lalu mereka masing-masing. Atau karena Sekar belum yakin pada perasaannya sendiri.
Dan Hanif, meski lebih yakin dari sebelumnya, tak mau memaksa.
Namun, kini ia dihadapkan pada pilihan yang mendesak. Pernikahan Hana bukan sekadar acara keluarga biasa. Semua orang akan hadir. Semua mata akan tertuju padanya. Sebagai kakak tertua, ia akan diminta berdiri di samping pengantin, menyambut tamu, tersenyum, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang mungkin akan terasa menyakitkan.
"Mas Hanif, kapan nyusul?"
"Sendiri terus? Gimana sih, kerja di rumah sakit, masa nggak ketemu jodoh juga?"
"Dulu tunangannya cantik, kenapa nggak jadi?"
Ia bisa membayangkan semua itu. Dan ia lelah. Lelah berpura-pura baik-baik saja. Lelah menahan komentar orang-orang. Lelah menjelaskan bahwa hidupnya baik walau tidak berjalan seperti yang mereka harapkan.
Maka, untuk pertama kalinya, ia ingin datang dengan kepala tegak. Ia ingin menggenggam tangan seseorang. Ia ingin memperkenalkan seseorang yang membuatnya merasa cukup. Seseorang yang tidak sempurna, tapi nyata yaitu Sekar.
****
Siang itu, ruang istirahat rumah sakit cukup sepi. Sekar duduk sendirian, menyendok yoghurt pelan-pelan sambil menatap berkas laporan di tangannya. Rambutnya dikuncir seadanya, dan wajahnya terlihat lelah tapi damai. Hanif berdiri beberapa langkah dari pintu, memperhatikannya diam-diam sebelum akhirnya mengetuk ringan dan masuk.
Sekar menoleh. “Ada apa?”
Hanif mengangkat bahu, mencoba terdengar santai. “Hana mau nikah bulan depan.”
“Oh ya? Selamat, ya. Pasti ribet, tuh, persiapannya.”
Hanif tersenyum tipis. “Iya. Dan… dia minta aku datang bawa pasangan.”
Senyum Sekar meredup, sendoknya berhenti di tengah perjalanan. “Oke.”
“Jadi aku mau minta kamu temani aku ke sana.” Hanif menatapnya dalam. “Sebagai pasanganku.”
Ada jeda yang terasa lebih panjang dari yang seharusnya. Sekar menunduk, memainkan tutup yoghurt dengan jemarinya. “Aku nggak bisa, Hanif.”
Penolakan itu terasa lebih dingin daripada udara AC yang menggigit.
Hanif mengernyit. “Kenapa?”
“Aku cuma nggak bisa.” Sekar meletakkan sendok dan berdiri. “Jangan paksa aku.”
“Sekar—”
“Aku bilang jangan.” Kali ini nadanya naik satu oktaf, cukup untuk membuat Hanif terdiam.
Sekar berjalan keluar, meninggalkan Hanif di sana, bingung dan kecewa.
***
Beberapa hari berikutnya berjalan kaku di antara mereka. Hanif tetap mencoba bersikap biasa, tapi Sekar menjaga jarak dengan rapi. Tidak ada lagi obrolan ringan seusai shift. Tidak ada senyum kecil saat bertukar pandang di lorong. Hanya kesunyian yang menggantung seperti kabut.
Hanif merasa seperti orang asing di depan perempuan yang selama ini ia jaga dengan segenap hati.
Di satu malam yang lengang, Hanif memutuskan mencari Sekar yang masih tercatat sedang berjaga. Ia menemukannya di ruang periksa, sedang mencatat sesuatu. Hanif mengetuk pintu dan masuk.
Sekar mendongak. “Ada apa?”
“Kamu masih marah?”
Sekar menggeleng. “Nggak.”
“Lalu kenapa kamu nolak?”
Sekar menatapnya. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya tajam. “Karena aku belum siap jadi pajangan di acara keluarga kamu.”
“Itu bukan pajangan, Sekar. Kamu pasangan aku.” Hanif melangkah mendekat. “Kamu tahu itu.”
Sekar menelan ludah. “Hanif, kamu baik. Terlalu baik, kadang. Tapi aku masih berjuang berdamai dengan bayanganku sendiri. Dengan semua perasaan rendah diri yang belum sepenuhnya sembuh. Datang ke pernikahan adikmu, berdiri di samping kamu, di depan keluarga besar yang belum tentu bisa menerima aku? Itu terlalu berat.”
Hanif terdiam. Ia mengerti. Tapi pengertian tidak selalu menghapus rasa kecewa.
“Kamu pikir aku akan biarkan mereka menyakitimu?” Hanif bertanya pelan.
“Aku pikir, kamu nggak bisa cegah semuanya.” Sekar menarik napas dalam. “Aku butuh waktu, Hanif. Bukan untuk mencintaimu, tapi untuk mencintai diriku sendiri.
Kalimat itu membungkam Hanif. Di dalam diam, ia menyadari bahwa cintanya tak bisa mempercepat proses yang harus dilalui Sekar sendiri.
***
Pernikahan Hana semakin dekat. Di grup keluarga, kabar dan foto-foto persiapan terus bermunculan—dari undangan yang baru selesai dicetak, sampai fitting baju pengantin yang disertai tawa dan candaan. Semua tampak riang dan penuh antusiasme. Semua, kecuali Hanif.
Setiap notifikasi dari grup itu seperti pengingat akan sesuatu yang hilang. Ia tersenyum, tentu saja, mencoba ikut larut dalam kebahagiaan adiknya. Tapi di balik layar ponsel, ada sesak yang tak bisa dijelaskan. Bukan karena ia tak bahagia untuk Hana—ia bahagia, sungguh. Tapi ada satu hal yang membuat dadanya berat: ia tak bisa berbagi momen itu bersama seseorang yang berarti.
Hingga suatu malam, Hana menghubunginya lewat video call. Wajah adiknya muncul di layar, dihiasi raut penasaran dan sedikit cemas.
“Mas, kamu beneran nggak bawa siapa-siapa ke acara nanti?” tanya Hana, dengan nada hati-hati tapi tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Hanif menarik napas panjang, menatap adiknya dalam layar, lalu menjawab pelan, “Nggak, Han. Aku datang sendiri.”
“Kenapa?” tanya Hana lagi, kali ini dengan dahi berkerut. “Mas kan biasanya nggak suka datang sendirian.”
Hanif tersenyum kecut. “Karena aku belum cukup berani membuat seseorang merasa cukup aman untuk berdiri di sampingku.”
Hana terdiam sejenak. Ia tahu Hanif bukan tipe yang mudah bicara soal perasaan. Tapi kalimat barusan terasa seperti pintu yang terbuka sedikit, memperlihatkan isi hatinya.
“Aku mungkin nggak kenal siapa orang itu, Mas,” kata Hana pelan, “Tapi dari caramu ngomong, kayaknya dia penting. Dan kalau memang penting, jangan biarin dia terus menunggu. Kadang, perempuan itu bukan nggak mau datang. Tapi dia takut jadi seseorang yang datang untuk disia-siakan. Takut berharap lebih, lalu jatuh sendiri.”
Hanif menunduk. Kata-kata Hana menghantam tepat di bagian yang paling rapuh dalam dirinya.
“Mungkin,” lanjut Hana lembut, “yang dia butuhkan bukan undangan, bukan janji. Tapi keyakinan bahwa Mas bakal tetap berdiri di sisinya, bukan cuma di hari-hari senang, tapi juga di hari-hari sunyi dan rumit.”