Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Ayo Saka!.
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika aku sudah bersiap untuk keluar. Hari ini tidak ada alasan bagi Dewa untuk melarangku. Bukankah dia sendiri yang mengatakan bahwa desain interior kafe itu sepenuhnya menjadi bagianku? Maka, pagi ini aku akan berbelanja.
Aku menuruni anak tangga dengan langkah ringan, namun semangatku sedikit goyah ketika mendapati Dewa tidak pergi bekerja. Ia duduk di sofa bersama Kai dan Saka, masing-masing memegang piring berisi mi instan, lengkap dengan ekspresi puas seolah baru menemukan kuliner surga.
Aku melintas di belakang mereka, meyakini bahwa seperti biasa, Dewa tidak akan menggubrisku. Namun, langkahku terhenti ketika suaranya terdengar.
“Mau ke mana?” tanyanya dingin tanpa mengalihkan pandangan dari piringnya.
Aku membetulkan tali tas di bahuku, meliriknya sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Sejujurnya, aku masih sedikit kesal atas ucapannya tadi malam.
“Pergi,” jawabku singkat.
Kai dan Saka melirik ke arah kami dengan piring masih di tangan. Kai terlihat waspada, seperti hendak kabur jika suasana semakin memanas, sedangkan Saka tetap tenang, menyuap mi dengan khusyuk.
Dewa menghela napas pelan, lalu tanpa melihat ke arahku, berkata,
“Kai, katakan kepada wanita di sebelah sana… ia pasti ingin pergi bertemu dengan seseorang.”
Kai tertegun. Bahkan aku dan Saka pun ikut tercengang. Bukannya bertanya langsung, Dewa malah melemparkan kalimatnya lewat Kai—padahal jelas-jelas aku bisa mendengarnya.
Aku menahan napas, mencoba tetap tenang. Tuduhannya yang mengada-ada benar-benar membuat darahku mendidih.
“Eee… Nadira,” ucap Kai ragu sambil menatapku dengan pandangan memohon agar tidak dijadikan korban salah paham. “A—anu, Dewa bilang…”
Aku langsung menatap Saka, yang masih berusaha menarik mi sepanjang mungkin dari piringnya.
“Saka,” panggilku, membuatnya terhenti di tengah suapan. “Tolong sampaikan pada temanmu itu, bahwa aku hendak membeli perlengkapan interior untuk kafe. Bukankah dia sendiri yang memintaku untuk menanganinya sendiri?”
Saka tampak ragu, melirik ke arah Dewa seperti anak sekolah yang tak yakin apakah boleh mengadukan temannya kepada guru.
“Dewa… kau dengar sendiri, kan—”
“Oh, ya?” Dewa menyela, masih tak menatapku. “Kai, katakan kepadanya, bagaimana aku bisa yakin bahwa ia benar-benar membeli interior? Bagaimana jika ternyata ia malah bertemu lelaki lain?”
Kai menutup wajah dengan tangan kosongnya, seolah ingin menghilang dari dunia. Saka menatap ke langit-langit, mungkin berharap ada lubang dan dia bisa jatuh masuk ke dalamnya.
Aku mengepalkan tangan, menahan amarah yang makin membara.
“Saka,” ulangku dengan nada tegas, “katakan pada temanmu yang terlalu posesif itu, jika dia selalu curiga kepadaku, kenapa dia tidak saja ikut pergi bersama?”
Dewa akhirnya menoleh, namun hanya sekilas. Tatapannya tajam, bukan karena marah, tapi karena takut kehilangan kendali atas sesuatu yang bahkan belum pernah benar-benar ia genggam.
Kai meletakkan piringnya, berdeham, lalu berujar pelan,
“Aku rasa… aku akan mencuci piring saja.” Dia pergi dengan cepat.
Saka mengangguk ikut berdiri.
“Aku ikut. Piring ini-
"Saka," Dewa menghentikan Saka yang hendak berdiri. "Pergilah bersama Nadira." Perintah Dewa tegas.
Aku terkejut, bukan hanya aku, bahkan Saka ikut terbelalak, kami berdua memandangi Dewa tidak percaya. Aku benar benar dibuat kesal oleh keputusan yang Dewa ambil, meminta temannya untuk menemani ku? Sadarkah dia bahwa Saka juga seorang lelaki, dan kami bahkan tidak pernah mengobrol sebelumnya.
"Ayo Saka!" Ucapku terlanjur kesal, Mengibaskan rambutku dan pergi meninggalkan Dewa yang menatapku bersama Saka disana.
......................
"Dewa, Apa apaan ini!?" Tanya Saka kesal memperhatikan Dewa yang sedang menunduk, sepertinya dia sedang merasa bersalah? atau sedih?.
"Aku lebih percaya pada mu Saka, Daripada dia pergi bersama lelaki lain," Ujar Dewa.
Saka menatap Dewa, masih dengan tatapan tidak percaya. Jika memang dia tidak peduli kepada Nadira, lalu kenapa dia takut Nadira pergi bersama lelaki lain. Ini sedikit membingungkan bagi Saka, (yang memang agak kurang sekilo ini-)
"Siapa? Hans?..." Tanya Saka dengan raut wajah penasaran. "Kenapa tidak kau saja yang menemani nya?." Saka berusaha melepaskan diri dari jeratan Dewa.
Dewa menunduk, kali ini tatapannya sedikit layu.
"Kau tau aku Saka, hanya saja ini terasa sulit bagiku."
.hans bayar laki2 tmn SMA itu