Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Tugas Khusus Herald
Herald kembali menjalani rutinitasnya yang monoton—berdiri di samping pintu kamar Clara, mengawasi tanpa banyak yang bisa dilakukan. Hari-hari di mansion ini terasa begitu membosankan. Untuk sesaat, pikirannya melayang, mencari sesuatu yang bisa menghiburnya, tapi tak menemukan apa pun.
[Apa yang harus kulakukan?]
Dia hanya berdiri di sana, melamun, terdiam seperti patung. Waktu terasa berjalan begitu lambat.
Namun, tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepalanya.
[Mumpung masih ada waktu luang, lebih baik aku melapor kepada Tuan Astalfo tentang kelakuan putrinya.]
Begitu pikiran itu muncul, bibirnya membentuk seringai kecil.
[Ah! Ini ide yang bagus. Jika aku melaporkan perbuatannya, mungkin nanti saat sore aku bisa menangkap basah dia lagi… dan kali ini, melihatnya dimarahi oleh ayahnya sendiri! Heh, ini akan sangat menyenangkan.]
Sebuah rencana kecil untuk membalas dendam akhirnya terbentuk di benaknya. Setelah berhari-hari dipaksa membersihkan kamar yang sengaja diacak-acak, akhirnya Herald menemukan caranya sendiri untuk sedikit bersenang-senang.
Dengan semangat yang baru, dia mengangkat dagunya dan berbalik. Langkahnya ringan, penuh kepercayaan diri, meninggalkan posnya dengan tujuan yang jelas—mengadukan Clara kepada ayahnya.
***
Beberapa saat kemudian, Herald sudah berdiri di depan pintu menuju ruangan Tuan Astalfo. Beberapa pengawal berjaga di sana, menghalangi akses masuk.
"Permisi," ujar Herald, tegap di hadapan mereka. "Apakah Tuan Astalfo ada di dalam? Tolong sampaikan bahwa saya, Herald, ingin menemuinya. Ada hal yang ingin saya bahas mengenai putrinya."
Para pengawal saling bertukar pandang sebelum menahan tawa kecil. Salah satu dari mereka akhirnya berbicara dengan nada sedikit bercanda,
"Heh, biar kutebak. Nona Clara membuat masalah lagi?"
Herald terkejut. Bagaimana dia bisa tahu?! Itu tebakan yang terlalu tepat untuk dianggap kebetulan.
"B-bagaimana kalian bisa tahu?" tanyanya dengan mata menyipit curiga.
Pengawal itu tertawa kecil sebelum menjawab, "Yah, karena kami sudah terlalu sering menerima laporan serupa. Jadi kalau ada orang datang mengadu ke Tuan Astalfo, sudah jelas itu pasti karena ulah Nona Clara." Ia melirik pengawal di sampingnya, seakan meminta persetujuan.
"Mm, mm." Pengawal lain itu mengangguk setuju.
Herald hanya bisa terdiam. Se-nakal apa sebenarnya gadis itu sampai ulahnya sudah jadi bahan obrolan di antara para pengawal?
"Nak, tunggu sebentar. Aku akan memberi tahu Tuan Astalfo tentang kedatanganmu," ucap salah satu pengawal dengan ramah sebelum masuk ke dalam ruangan.
Sambil menunggu, Herald memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya lebih lanjut. "Hei, bolehkah aku bertanya soal si Tuan Putri? Apakah dia memang terkenal dengan kenakalannya?"
Pengawal yang tersisa tertawa kecil sebelum menjawab, "Oh, tentu saja! Dia adalah orang paling nakal di mansion ini. Jauh berbeda dari kakaknya, yang lebih anggun dan berwibawa."
Herald mengernyit. "Kakaknya?"
Pengawal itu mengangguk. "Ya, Nona Clara adalah anak kedua. Kakaknya, Olivia, jauh lebih tenang dan bertanggung jawab. Tidak seperti Clara, yang meskipun pendiam dan memiliki keterbatasan penglihatan, ternyata cukup aktif dan penuh kejutan. Ulahnya sering merepotkan kami semua."
Ia kemudian menurunkan suaranya, berbisik, "Saking seringnya bikin onar, Tuan Astalfo sampai kesulitan mencari pengawal pribadi untuknya. Setiap orang yang dipekerjakan hampir selalu memilih kabur. Untung saja aku tidak dapat tugas itu."
"Heh..." Herald mulai menyadari bahwa dirinya telah masuk ke dalam perangkap besar. Jadi itulah alasan aku direkrut begitu cepat? Karena tidak ada yang mau?
Namun, ada satu hal lain yang membuatnya penasaran. "Tunggu... Kau bilang kakaknya tinggal di tempat lain? Kenapa?"
Pengawal itu mengangkat bahu. "Nona Olivia punya tanggung jawab berbeda, jadi dia tinggal di lokasi lain. Itu sebabnya kau tidak akan pernah melihatnya di mansion ini."
[Oh, pantas saja aku tidak pernah bertemu dengannya... pikir Herald.]
Di sisi lain dia juga penasaran dengan sosok Olivia yang katanya berbanding terbalik dengan Clara
[Aku penasaran seperti apa kakaknya yah...]
Tak lama setelah itu, pengawal yang tadi masuk kembali keluar dari ruangan. "Nak, Tuan Astalfo sudah mengizinkanmu masuk. Silakan masuk sekarang."
"Mm, baiklah. Terima kasih."
Herald pun melangkah masuk ke dalam ruangan. Di dalam, Astalfo tampak duduk di balik meja kerjanya, sibuk dengan dokumen-dokumen yang berserakan di atasnya. Saat menyadari kehadiran Herald, Astalfo mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan ekspresi ramah.
"Nak Herald, silakan duduk di sofa sana," ucapnya sambil berdiri dan berjalan menuju sofa di samping ruangan.
Herald mengangguk sopan, tersenyum kecil, lalu mengikuti perintahnya. Begitu mereka duduk berhadapan, Astalfo langsung membuka percakapan,
"Jadi, Nak Herald, apa yang ingin kamu bicarakan denganku?" tanyanya dengan nada santai.
Herald menarik napas dalam sebelum mulai berbicara, "Yah, itu... Saya ingin membahas soal putri Anda."
Mendengar itu, Astalfo hanya tersenyum kecil. "Ho? Apakah putri manisku baru saja membuat masalah?" tanyanya dengan nada menggoda.
Herald sedikit canggung sebelum menjawab, "Bukan barusan, Tuan. Sudah cukup lama, tepatnya sejak seminggu lalu. Dia terus membuat masalah, jadi hari ini aku memutuskan untuk melaporkannya."
Astalfo langsung terkejut. "Eh? Seminggu yang lalu!?"
Herald pun ikut terkejut melihat reaksi Astalfo. "Apa ada yang salah, Tuan?" tanyanya, khawatir kalau ucapannya menyinggung.
Astalfo menggelengkan kepala, lalu menghela napas. "Tidak, tidak ada yang salah... Aku hanya kaget karena baru mendapat laporan sekarang. Aku sempat berharap kalau putriku akhirnya berhenti membuat ulah, tapi ternyata..." Ia menutup mata sesaat, seolah pasrah dengan kenyataan.
Herald masih belum mengerti maksudnya. "Tuan Astalfo, apa maksud Anda? Bisa dijelaskan?"
Astalfo menatap Herald sebelum akhirnya menjelaskan, "Saat hari pertama kamu datang, aku sudah memperingatkan putriku untuk tidak mencari masalah dengan pengawal barunya. Tapi, ternyata dia tetap berulah. Dan yang lebih mengejutkan bagiku adalah... dirimu."
Herald mengerutkan kening. "Aku? Kenapa?"
Astalfo menghela napas sebelum melanjutkan, "Aku sudah berulang kali merekrut pengawal pribadi untuk putriku, tapi tak ada satu pun yang bertahan lama. Mereka biasanya hanya bertahan dua atau tiga hari sebelum akhirnya menyerah dan melapor kepadaku, lalu pergi. Tapi kamu... Kamu bertahan hingga seminggu sebelum akhirnya datang melapor."
Mata Herald sedikit membelalak. Itu adalah fakta yang tak pernah ia duga. Jadi aku bukanlah pengawal pertama? Dia kini menyadari bahwa dirinya hanyalah bagian dari daftar panjang orang-orang yang telah mencoba mengawasi Clara... dan gagal.
"Mau bagaimana lagi," kata Herald, menghela napas. "Aku baru bisa menangkap basah dia mengacaukan kamarnya belum lama ini. Jadi, aku baru bisa melapor sekarang."
Astalfo menyandarkan tubuhnya ke sofa, lalu memijat dahinya, tampak kelelahan. "Hah... Dasar anak keras kepala. Aku benar-benar tak tahu lagi harus bagaimana dengannya..."
Herald memperhatikan ekspresi lelah itu sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan lain yang mengganjal pikirannya.
"Tuan Astalfo, kalau boleh tahu, kenapa Tuan Putri hampir tidak pernah keluar dari kamarnya? Setiap hari aku hanya berdiri di depan pintunya tanpa ada sesuatu yang bisa kulakukan. Semua terasa begitu datar..."
Astalfo menghela napas panjang, kali ini dengan nada lebih sedih. "Sejak dulu, dia memang lebih suka menyendiri. Tapi, kurasa semua semakin buruk setelah kejadian pesta teh empat tahun lalu..."
Herald menajamkan pendengarannya. "Pesta teh?"
Astalfo mengangguk, menatap kosong ke depan. "Waktu itu, dia menghadiri pesta bersama para bangsawan lain. Namun, dia mendapatkan banyak kata-kata buruk dari mereka..."
Herald mengernyit. "Kenapa?"
Astalfo menundukkan kepalanya sejenak sebelum menjawab, "Putriku tidak bisa melihat. Dan bagi para bangsawan, itu dianggap sebagai sebuah aib."
Herald terdiam. Kata-kata itu terasa begitu berat.
"Itulah sebabnya," lanjut Astalfo, "sejak kejadian itu, dia semakin jarang keluar kamar. Dia menghindari berbicara dengan orang lain... Bahkan, dia tak memiliki teman." Suaranya terdengar lirih, penuh penyesalan. "Sebagai ayahnya, aku sangat sedih mengetahui hal ini..."
Herald menatap Astalfo. Kini, ia bisa melihat sisi lain dari sosok pria yang selama ini ia kira hanya seorang tuan besar di mansion ini. Ia bukan hanya seorang bangsawan... Ia adalah seorang ayah yang khawatir akan putrinya.
"Oh, begitu ya..." gumam Herald pelan.
Untuk pertama kalinya, ia mulai melihat Clara bukan hanya sebagai gadis nakal yang suka mengganggunya, tetapi juga sebagai seseorang yang menyimpan luka di dalam hatinya.
Herald tidak bisa berkata apa-apa setelah mendengar penjelasan Astalfo. Ia kini tahu lebih banyak tentang Clara—tentang sisi menyedihkannya yang selama ini ia tutupi sendiri. Bahkan, Astalfo yang hanya menceritakannya pun tampak begitu sedih.
Seketika, ada rasa kasihan yang muncul di hati Herald. Selama ini, ia mengira dirinya yang paling menderita, terlalu sibuk mengeluhkan nasibnya sendiri hingga tak menyadari ada seseorang yang juga menghadapi kesulitan yang jauh lebih besar.
Aku tidak tahu kalau dia juga memiliki kisah kelam seperti itu... Kurasa aku terlalu egois.
Namun, tiba-tiba Astalfo mengangkat kepalanya, seolah mendapat ide mendadak. Dengan cepat, ia menatap Herald dengan mata berbinar, lalu tanpa peringatan, ia meraih kedua pundaknya dan menggenggamnya erat.
"Nak Herald! Aku punya satu permintaan! Apakah kamu bersedia menuruti permintaanku?!" serunya penuh semangat.
Herald tersentak kaget. Tatapan Astalfo yang begitu intens membuatnya merinding. Ditambah lagi, genggaman di pundaknya terasa begitu kuat hingga sedikit menyakitkan.
"I-Iya... Baiklah. Tapi bisakah Anda melepaskan genggaman Anda dulu? Ini terasa menyakitkan..." ujarnya dengan sedikit rintihan.
"Oh! Maaf, maaf!" Astalfo segera melepaskannya dan kembali duduk. Setelah menghela napas, ia mulai menyampaikan maksud dari permintaannya.
"Aku ingin kamu tidak hanya sekadar menjadi pengawal bagi putriku, tapi lebih dari itu..." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "...aku ingin kamu menjadi temannya."
"Eh? T-teman?" Herald mengulang dengan suara terkejut.
Menjadi seorang pengawal sudah cukup berat, dan kini ia diminta menjadi teman juga? Ia belum sepenuhnya memahami maksud dari permintaan itu, tapi sebelum ia sempat bertanya, Astalfo sudah lebih dulu menjelaskan,
"Ya, aku hanya ingin melihat putriku bisa tersenyum hangat seperti dulu lagi. Aku ingin dia memiliki teman... setidaknya satu saja. Dan menurutku, kamu adalah orang yang tepat untuk itu. Usia kalian tidak terpaut jauh, jadi status teman sangat cocok untuk kalian berdua."
Herald mulai memahami maksud Astalfo. "Jadi, aku harus menjadi pengawal sekaligus temannya di saat bersamaan, begitu?"
"Tepat sekali!" Astalfo mengangguk penuh semangat. "Jadi, tugasmu bertambah. Kamu harus melindunginya seperti seorang pengawal pribadi, sekaligus menjadi teman yang bisa membuatnya merasa nyaman. Kamu harus mencari cara agar dia mau keluar dari kamarnya, merasakan dunia luar, dan yang paling penting..." Astalfo menatap Herald dengan penuh harap, "...membuatnya tersenyum dan tertawa dengan bahagia."
Herald menyimak dengan seksama. Astalfo lalu mengulurkan tangannya dan berkata,
"Jika kamu bisa melakukan itu semua, aku akan memberimu hadiah yang besar. Bagaimana? Apakah kamu bersedia?"
Herald terdiam. Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah.
Dalam benaknya, ia membayangkan kamar Clara—ruangan yang selalu gelap dan sunyi, seolah tak pernah terkena cahaya. Wajahnya yang cantik, tapi tak pernah dihiasi senyuman. Dan masa lalunya yang menyakitkan...
[Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang baik atau buruk... Tapi setidaknya, sekarang aku punya tujuan.]
[Aku akan menjadi pengawalnya. Aku akan menjadi temannya. Dan aku akan membuatnya tersenyum!]
Dengan penuh keyakinan, Herald menatap Astalfo, lalu menjabat tangannya dengan erat.
"Dengan begini, kamu sudah setuju," kata Astalfo dengan senyum puas. "Aku akan menunggu kabar baik darimu, Nak Herald."
Dan dengan itu, sebuah kesepakatan pun terbentuk.
Herald, yang awalnya hanya seorang pengawal pribadi, kini memiliki peran tambahan—menjadi seorang teman bagi sang Putri.
Akankah ia bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik?
Atau akankah tantangan ini lebih besar dari yang ia bayangkan?
Yang bisa diandalkan kini hanyalah usaha Herald... serta takdir yang akan membimbing jalannya.