Hai pembaca!
Kali ini, saya akan membawa Anda ke dalam sebuah kisah yang terinspirasi dari kejadian nyata, namun dengan sentuhan kreativitas yang membuatnya semakin menarik. Simaklah cerita tentang Halimah, seorang wanita yang terjebak dalam badai cinta, kekerasan, dan teror yang mengancam jiwa.
Semuanya bermula ketika Halimah bertemu dengan seorang pria misterius di media sosial. Percakapan mereka berlanjut ke chat pribadi, dan tak disangka, suami Halimah menemukan bukti tersebut. Pertengkaran hebat pun terjadi, dan Halimah dituduh berselingkuh oleh suaminya.
Halimah harus menghadapi cacian dan hinaan dari keluarga dan tetangga, yang membuatnya semakin rapuh. Namun, itu belum cukup. Ia juga menerima teror dan ancaman, bahkan dari makhluk gaib yang membuatnya hidup dalam ketakutan.
Bagaimana Halimah menghadapi badai yang menghantamnya? Apakah ia mampu bertahan dan menemukan kekuatan untuk melawan? Ikuti kisahnya dan temukan jawabannya. Jangan lewatkan kelanjutan cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIDIAKSU 09
Setelah kejadian yang menghancurkan hatinya, di mana Anton mengucapkan kata cerai dengan dingin, Rafa mulai menerima kenyataan pahit bahwa suatu saat ia harus menyaksikan kedua orang tuannya berpisah. Bagaimanapun, Rafa sudah dewasa dan bisa memahami masalah kedua orang tuannya yang semakin kompleks.
Namun, Halimah dan Anton masih seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Mereka tidak lagi bertegur sapa, tidak lagi berbagi cerita, dan tidak lagi memiliki kehangatan yang pernah mereka miliki. Mereka berdua seperti dua orang yang tidak mengenal satu sama lain, seperti dua orang yang tidak memiliki sejarah bersama.
Karena hal itu, Halimah kehilangan nafsu makannya. Ia tidak lagi memiliki semangat untuk hidup, tidak lagi memiliki keinginan untuk menikmati makanan yang pernah ia sukai. Kini, perlahan-lahan berat badannya berkurang. Yang semula 70 kg lebih, kini tinggal 56 kg. Badan Halimah mulai kembali ke bentuk semula sebelum ia menikah dengan Anton, sebelum ia memiliki Rafa, dan sebelum ia memiliki kehidupan yang pernah ia impikan.
Pagi itu, matahari baru saja muncul dari ufuk timur, namun Halimah sudah sibuk di warung sederhananya. Ia menyiapkan berbagai makanan lezat untuk dijual, dari aneka sayuran masak yang menggugah selera hingga berbagai kue tradisional buatan tangan Halimah sendiri. Dengan semangat baru, ia ingin mulai bangkit dari keterpurukan dan mencari nafkah sendiri, menikmati hidupnya dengan cara yang lebih mandiri. Halimah tak ingin lagi menjadi korban caci maki dan hinaan Anton, suaminya yang selama ini hanya membawa kesakitan hati.
Satu persatu, pelanggan mulai berdatangan ke warung Halimah, membeli dagangannya dengan antusias. Semua orang di desa itu tahu bahwa masakan Halimah adalah yang terlezat, sehingga mereka rela mengantri untuk dapat membeli dagangannya. Suasana warung pun menjadi semakin ramai dan meriah, dipenuhi dengan aroma makanan yang menggugah selera dan suara tawa pelanggan yang puas.
Seorang pelanggan yang juga merupakan teman dekat Halimah, Tari, datang dengan wajah yang cerah dan tersenyum lebar. Ia menghampiri Halimah dengan antusias, "Wah, sekarang masakanmu makin lengkap ya! Aku semakin suka!"
Halimah tersenyum dan mengucapkan syukur, "Alhamdulillah, sekarang aku akan semangat lagi jualannya."
Tari celingukan sejenak, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Halimah. Dengan suara pelan, ia berbisik, "Eh, udah tau belum? Sekarang semua orang sedang membicarakanmu. Katanya kamu selingkuh, bahkan kamu tidak mau memberikan jatah suamimu selama lebih dari 3 bulan."
Halimah menghentikan tangannya yang sedang membungkus nasi, matanya memancarkan kemarahan. "Siapa yang bilang, Tar? Siapa yang berani bilang sembarangan seperti itu?" Ia meremas bungkusan nasi yang ada di tangannya dengan kuat.
Mata Tari melirik ke arah pintu saat Risma masuk ke dalam warung. Dengan suara pelan, ia berbisik lagi, "Kamu tau lah siapa orangnya..."
Halimah menatap Risma dengan mata tajam, berkilat dengan kemarahan yang telah lama tertahan. Ia sudah bosan menahan rasa kesalnya terhadap kakak iparnya yang selalu saja mencari cara untuk menjatuhkannya. Risma telah membuatnya menjadi bahan ghibah di kompleks rumahnya, selalu menjelek-jelekkan namanya di belakangnya.
Namun, kali ini Risma telah melampoi batas. Ia telah membahas masalah pribadi Halimah kepada orang lain, membuatnya merasa terhina dan terluka. Halimah telah menjaga perasaan kakaknya selama ini, tidak ingin ada jarak di antara mereka. Tapi, kelakuan Risma telah membuatnya kesal dan marah.
Melihat suasana semakin memanas, Tari yang sudah selesai berbelanja segera meninggalkan tempat itu. Ia tidak ingin terjebak dalam konflik antara Halimah dan Risma. Ekspresi mata Halimah yang penuh amarah membuat Tari merasa tidak nyaman. Ia takut Halimah akan melabrak Risma dan membuat situasi semakin tidak terkendali.
"Aku pulang dulu, ya," ucap Tari sambil berjalan keluar dari warung dengan tergesa-gesa. Ia mengenal betul watak keras Halimah yang tidak akan segan-segan menegur siapa pun yang telah menyakitinya.
Risma terheran melihat Tari yang terlihat terburu-buru. "Mau kemana kamu, Tari? Kok cepat banget belanjanya?" tanyanya dengan penasaran.
Tari membuat alasan yang masuk akal. "Aku sudah di tunggu suamiku di rumah. Aku duluan, ya!"
Suasana di warung kini sepi, makanan pun banyak yang sudah habis. Halimah melihat ini sebagai kesempatan emas untuk menanyakan hal yang telah mengganggu pikirannya.
"Mbak, aku ingin tahu, dari mana kamu tahu kalau aku dan Mas Anton sudah tiga bulan tidak berhubungan badan?" tanyanya dengan nada penasaran yang tercampur dengan sedikit kemarahan.
Mata Risma membelalak, terkejut dengan pertanyaan Halimah yang tiba-tiba.
"Kamu bisa-bisanya membuat ini jadi bahan gosip dengan orang-orang," ucap Halimah dengan nada kesal yang semakin meningkat.
Ia berjalan mendekat ke arah Risma, yang berdiri di dekat pintu dengan wajah penuh kecemasan.
Risma terlihat bingung, tidak tahu harus menjawab Halimah bagaimana. "Suamimu sendiri yang bilang, dia bilang kamu sudah tidak mau melayaninya," tutur Risma dengan suara yang terbata-bata, mencoba menghindari konflik yang semakin memanas.
Halimah mengusap wajahnya dengan kasar, mata airnya mulai membanjir. "Apa kamu benar-benar percaya begitu saja pada ucapan Mas Anton?" tanyanya dengan nada yang semakin meninggi. "Baru beberapa hari lalu dia meminta itu dan aku memberikannya, tapi dia malah bicara seperti itu tentang aku. Dan yang lebih aneh, kamu percaya dan membicarakannya kepada semua orang!"
Risma mencoba membela diri, "Ya, aku tidak tahu, kan suamimu sendiri yang bilang." Namun, Halimah tidak mau mendengar alasan itu.
"Aku adalah adikmu, Mbak!" teriak Halimah, air matanya mengalir deras di pipinya. "Pantaskah kamu membuka aib rumah tanggaku? Aku selama ini hanya diam karena tidak enak denganmu, tapi kali ini kamu benar-benar keterlaluan!"
"Kamu tidak usah teriak begitu, Halimah," ucap Risma dengan nada santai, tanpa menunjukkan rasa bersalah. "Aku hanya mengulangi apa yang dikatakan suamimu. Aku tidak pernah mengarang cerita."
Halimah semakin kesal, "Mbak, kamu masih punya perasaan atau tidak? Bagaimana kamu bisa bicara seenaknya tentang masalah rumah tanggaku? Kamu menyebarkan gosip tentang aku ke semua orang, tanpa memikirkan konsekuensinya. Jika itu tidak benar, maka itu adalah fitnah!"
Risma tetap tenang, namun kata-katanya semakin menusuk. "Ya, itu semua juga salah kamu. Jika kamu tidak bermain api dengan pria lain, Anton tidak akan melakukan itu. Dan tidak akan mengatakan ingin cerai dengan kamu."
Nafas Halimah semakin sesak, menahan amarah yang semakin memuncak. "Kalian berdua sama saja! Semoga kalian berdua mendapatkan pembalasan yang setimpal!" ucapnya dengan kesal.
Risma hanya menatap Halimah dengan perasaan heran dan aneh, melihatnya yang histeris tak terkendali. Ia memicingkan matanya, malas merespon sikap Halimah yang menurutnya berlebihan.
Halimah semakin histeris, ia terduduk sambil memegang dadanya yang semakin sesak. Nafasnya tersengal-sengal, dan batuknya semakin keras. Ia merasa detak jantungnya semakin melemah, dan wajahnya semakin pucat.
Saat itu, Rafa baru tiba dan segera turun dari motornya. Ia terkejut melihat ibunya tengah kesakitan. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada khawatir, menatap bude Risma dengan mata yang penuh pertanyaan. "Mengapa Ibu seperti ini?"