Setelah mengetahui sebuah rahasia kecil, Karina merasa bahwa ia akan mendapatkan banyak keuntungan dan tidak akan rugi saat dirinya mendekati Steve, pewaris dari perusahaan saingan keluarganya, dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat mungkin tidak akan ditolak oleh Steve. Sebuah pernikahan yang mendatangkan keuntungan bersama, baik bagi perusahaan maupun secara pribadi untuk Karina dan Steve. Keduanya adalah seseorang yang sangat serius dan profesional tentang pekerjaan dan kesepakatan, ditambah keduanya tidak memiliki perasaan apa pun satu sama lain yang dapat mempengaruhi urusan percintaan masing-masing. Jadi, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, kan? * * Cerita ini hanyalah karangan fiksi. Baik karakter, alur, dan nama-nama di dalam tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theodora A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
•
Karina bisa merasakannya, rasa kuat dan menyengat wine bisa ia cicipi di bibir Steve. Pahit dan pedas, seperti rasa dari Sciacarello yang membuat kepalanya terasa ringan.
Namun, ia tidak berada di sini hanya untuk duduk di atas meja dapur dan menghabiskan waktu bersama Steve. Ia berada di sini untuk memenangkan sebuah skor.
Karina menancapkan tumitnya ke kaki Steve dalam bentuk sebuah tendangan kecil. Kuku-kuku jarinya menggaruk kulit kepala Steve dengan pelan, sebelum ia menarik rambut Steve dengan keras. Ketika Steve meringis pelan, Karina mengambil kesempatan untuk menggigit bagian bawah bibir Steve, sangat keras seolah-olah ia berniat melukainya. Steve mencoba melepaskan diri, namun Karina menolak dengan cara kembali menjebak bibir bawah Steve di antara giginya dan menarik pria itu kembali dengan tangan yang masih bermain-main di rambutnya. Tawa kecil kembali mengalun dari bibir Karina.
Cengkeraman Steve di pangkal pahanya semakin kuat, dan Karina yakin akan ada memar disana nantinya. Tapi ia tidak terlalu peduli, lebih baik mendapatkan memar daripada harus kehilangan kesempatan seperti ini. Ia kembali menendang bagian belakang lutut Steve dengan tumitnya, dan Steve merespons dengan mencubit pangkal pahanya. Keduanya meringis bersamaan, dan dalam keadaan lain, Karina mungkin akan tertawa terbahak-bahak akan situasi ini.
'Kompetisi' yang sedang berlangsung panas ini harus terhenti ketika mereka mendengar suara deheman canggung yang disertai dengan ketukan di meja dapur.
Karina merasa lega karena pertarungan mereka akhirnya berhenti. Ia melepaskan tangannya dari leher Steve, begitu mendalami karakternya sehingga ia menampilkan sorot kekesalan karena ada yang menginterupsi mereka. Jadi, dimana piala Oscar untuk aktingnya yang sangat bagus ini?
Steve melepaskan tangannya dari pinggang Karina dan mundur menjauh ketika dia menoleh dan melihat ibunya yang sedang menatap keduanya secara bergantian. "Ibu," ujar Steve dengan punggung yang kini menempel pada lemari es yang ada di belakangnya, tatapannya terlihat sangat terkejut dan kebingungan karena tertangkap basah. Steve benar-benar memainkan perannya dengan sangat baik sehingga Karina hampir saja mempercayainya.
Setelah menatap Steve beberapa detik, ibu Steve beralih menatap Karina. Seketika Karina sadar bahwa dirinya masih duduk di atas meja. Ia bergegas turun, berdiri tegak dan menyeka mulutnya dengan punggung tangannya. "Ibu." Ujar Karina sambil sedikit menunduk. Ia tidak perlu berakting untuk yang satu ini, karena dipergoki, mau itu pura-pura atau tidak, tetap saja memalukan.
"Oh, jangan pedulikan aku. Aku benci harus mengganggu kalian, tapi aku benar-benar harus mengambil segelas air." Ibu Steve melemparkan senyum tipis, lalu beranjak menuju lemari es. Steve dengan cepat menjauh, seolah-olah ibunya akan mencekiknya jika dia tetap berdiri disitu.
Ibu Steve melewati Karina, yang berdiri terpaku di sisi meja dengan tangan di belakang punggungnya. "Kalian berdua sangat romantis. Aku dan ayahnya juga pernah seperti itu. Masa-masa awal pernikahan, membuat kamu melupakan hal-hal lain di dunia, bukan?"
Senyum di wajah ibu Steve berubah menjadi penuh makna saat dia menepuk pundak Karina dengan sungguh-sungguh. Ekspresi Karina langsung berubah masam saat mendengarnya, tetapi ia menyembunyikannya dengan cepat di balik senyuman tipisnya. "Maafkan kami, ibu. Kami sudah terbiasa dengan kebebasan saat berada di rumah kami sendiri sehingga masih-"
"Minta maaf untuk apa, sayangku? Perjalanan ini memang untuk kalian berdua," Ibu berkata sambil melambaikan tangan setelah berhasil menuangkan segelas air. "Nikmatilah," sorot matanya berubah menjadi penuh pengertian, seolah dia tahu lebih banyak dari yang dia katakan. Di telinga Karina, ucapan ibu Steve seolah merujuk pada kejadian semalam. Dan rasanya Karina ingin berlari kabur saat itu juga. "Kalian hanya muda dan jatuh cinta sekali saja."
Karina benar-benar tidak tahu apa yang harus dikatakan sebagai tanggapan. Ia mengangguk sekali dan tersenyum, matanya melirik ke arah Steve yang sedari tadi sama sekali tidak mengeluarkan suara lagi.
Steve terlihat berdiri di samping lemari es, dengan tangan yang mengusap bibir bawahnya. Dia terlihat cemberut, tampak sedih, dan tatapannya menajam saat bertemu dengan tatapan Karina. Itu adalah pemandangan yang lucu. Steve terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. Karina merapatkan bibirnya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa dan memasang wajah datar. Setelah itu, Karina dan Steve permisi untuk meninggalkan area dapur, meninggalkan ibu Steve yang memutuskan untuk tetap di sana dan membuat sedikit camilan.
"Tadi itu sakit sekali," Steve tidak membuang waktu untuk mengeluh begitu mereka berada jauh dari dapur. Mereka sedang berjalan kembali ke kamar tidur, dan Karina menanggapi keluhan Steve dengan senyum penuh kemenangan.
"Berani-beraninya kamu mengeluh. Kamu lupa sama ini?" Karina menjulurkan lehernya dan menarik kerah kemejanya.
Dan di sana lah bekas ungu kemerahan itu bersarang, masih terasa sedikit perih dan terlihat begitu mencolok sehingga Steve langsung terdiam saat melihatnya.
"Sekarang kita impas." Karina menyenggol lengan Steve dan tertawa pelan. Steve tidak mengatakan apa-apa lagi untuk membantah, dia hanya menghela napas pelan. Steve membuka pintu kamar dan membiarkan Karina untuk masuk duluan.
"Oh ya, ada hal menarik yang aku temukan," ujar Karina yang kini sedang berdiri di depan pintu ruang ganti. Steve yang sedang berjalan menuju pintu balkon berbalik menatap Karina yang sedang melihat ke arahnya sambil mengetuk-ngetukkan telunjuk di bibirnya yang mengerucut.
"Apa?" Tanya Steve dengan alis yang sedikit berkerut.
*"Rasa pedas dari wine* itu tidak bertahan lama. Rasa pedas itu memudar dengan cepat," Karina membuka kancing kemejanya dan berbalik masuk ke dalam ruang ganti. Kemudian, ia berkata dengan setengah berteriak, "Dan setelahnya wine itu terasa sangat manis di bibirmu."
Steve hampir tersandung, matanya melebar karena tidak percaya dengan apa yang Karina ucapkan. Bagaimana bisa ia mengatakan hal seperti itu dengan begitu santai?
Steve melanjutkan langkahnya sambil memikirkan ucapan Karina barusan. Dia membuka pintu, berjalan ke arah pagar balkon dan menyandarkan kedua sikunya disana. Tangannya naik untuk menyentuh bibirnya pelan. Dia mencoba untuk mengingat rasanya, dan otaknya seketika membeku. Rasa apa yang harus dia ingat? Rasa dari wine, atau rasa bibir Karina?
Alis Steve berkerut. Dirinya mencicipi wine selama sepuluh menit, lalu mencium Karina selama dua menit. Tapi mengapa dia hanya bisa mengingat yang terakhir?
Saat itulah Steve menyadarinya dengan perasaan yang kacau balau. Dirinya kalah kali ini.
•
•
aku mampir nih thor... semangat ya!
😭