Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
"Alisha Alfatunnisa bisa berkorban untuk siapapun. Tetapi, ingat untuk berkorban kamu butuh tenaga! Jadi kita cari sarapan dulu!"
Kak Adam baru kali ini aku melihat sosok lain dari dirimu, dulu kamu tidak terlalu dekat denganku juga selalu bersikap cuek. Namun, Kak Adam yang saat ini di hadapanku berbeda. Lebih hangat dan perasa.
Mobil Avanza milik Kak Adam melaju dengan lancar. Mau tidak mau aku menuruti keinginannya, tidak mungkin aku pulang tanpa membawa buku yang aku beli.
Sepanjang jalan hanya suara musik dari audio yang menjadi pemecah kesunyian. Kak Adam, entah aku tidak paham dengan apa yang dia pikirkan. Setelah memaksa aku untuk ikut dengannya mulutnya mendadak seperti lem, dia diam membisu.
Aku duduk di kursi belakang, Kak Adam cukup paham maksud aku menolak untuk duduk di depan. Jalanan yang ramai lebih menarik bagiku daripada mengobrol dengan Kak Adam. Kak Adam pun tidak ada niat membuka pembicaraan.
Aku jadi berpikir apakah semua temanku juga Azam akan bereaksi seperti Kak Adam? Kepala jadi terasa pusing memikirkan ini.
Hanya butuh duapuluh menit untuk sampai di restoran yang di maksud Kak Adam. Aku lekas turun setelah pintu terbuka kuncinya. Kak Adam mengikuti langkahku. Sepagi ini sudah lumayan ramai pengunjung.
"Kamu pesan apa, Lis?" tanya Kak Adam saat kami sudah duduk di meja dekat jendela yang menghadap langsung jalanan.
"Nasi goreng sama teh manis saja, Kak!" jawabku cepat. Tidak bisa aku bohongi jika cacing di perutku ini telah demo minta jatah sarapan pagi. Kak Adam memanggil pelayan, memesan dua porsi nasi goreng, teh juga kopi.
"Aku tidak tahu kabar itu, Lis! Asli aku terkejut dengar apa yang kamu bilang tadi!" tutur Kak Adam.
Aku tersenyum tipis, teman yang di Jakarta saja tidak ada yang tahu. Apalagi Kak Adam yang di luar negeri.
"Sudah jalannya seperti ini, Kak! Aku sudah ikhlaskan semua."
Kak Adam mengusap kasar wajahnya, lelaki bermata sipit itu menghela napas berat. Mengapa dia yang seperti patah hati?
"Aku tahu betul kisah kalian, Alisha! Mengapa kamu memilih diam?" tanya Kak Adam mengintimidasi.
Ini yang paling aku tak suka, mereka selalu bertanya mengapa, mengapa dan mengapa. Tanpa memandang aku dari sudut pandang yang berbeda.
"Kakak kenapa penasaran? Aku ingin melupakan semua, Kak. Tolong jika bertemu dengan Aisha jangan tanyakan apapun!" ucapku mengiba.
Kak Adam tak tahu jika aku masih mengejar rasa, agar tidak salah mengartikannya. Hatiku memang patah, tapi masih berada di tempatnya. Biarlah hanya aku dan Allah yang tahu.
"karena aku men-"
"Maaf mengganggu Mba, Mas silahkan dinikmati!"
Ucapan Kak Adam terpotong dengan kehadiran pelayan yang membawakan pesanan kami.
"Makan dulu, Alisha!" ucap Kak Adam.
Aku menurut hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Baru lima suap sudah merasa kenyang, nasi goreng yang menggoda ini terasa hambar di mulutku. Telah lama kehilangan napsu makan. Tindakanku yang berhenti menyuapkan nasi ke mulut membuat Kak Adam menatap lekat aku.
"Nggak enak, Alisha?" tanyanya yang hanya aku jawab dengan gelengan kepala.
"Aku sudah kenyang, Kak! Mau langsung pulang saja aku!" ujarku memasukan ponsel ke tas selempang. Berlama-lama dengan Kak Adam juga nggak baik. Dia sudah mempunyai istri, Wilona wanita itu beruntung menjadi istri Kak Adam. Meski aku tak pernah bertemu secara langsung. Namun, lewat foto pernikahan mereka yang menyebar di kampus saat itu menarik sebuah kesimpulan bahwa mereka pasangan serasi dan bahagia.
"Aku antar pulang?" tawar Kak Adam.
Aku menggeleng cepat, sudah cukup merepotkan dia saat ini.
"Aku bisa pulang sendiri, Kak! Ngomong-ngomong Kak Wilona nggak ikut? Kakak tumben juga ke Cirebon! Udah bosen di Amerika?" tanyaku beruntun.
Seketika raut wajah Kak Adam berubah, tangannya juga berhenti menyuapkan nasi goreng ke mulut.
"Iya Amerika membosankan bagiku, ternyata hatiku terpaut disini , Alisha!"
Aku mengernyitkan dahi, tidak paham dengan ucapannya yang bermakna ambigu.
"Tidak usah begitu ekspresi wajahmu, Alisha! Adikku meminta di jenguk," jawab Kak Adam.
"Kak Adam ada adik?" tanyaku. Iya aku tak tahu banyak tentang rekan duet novel ini. Kak Adam mengangguk pasti.
"Iya udah ayo pulang!" Ajak Kak Adam. Aku mengikuti langkah Kak Adam yang menuju kasir untuk membayar makanan.
Mobil berjalan pelan padahal jalanan tidak macet. Aku memandang ke arah luar, Kak Adam juga memilih untuk mendengarkan lagu di audio.
Tanpa sengaja mataku menangkap basah Kak Adam yang mencuri pandang lewat kaca spion.
"Di dunia ini selalu ada alasan untuk segala hal yang kita ambil, Alisha! Lama tidak bersua denganmu membuat banyak perubahan. Terutama kisah kamu juga Azam!" ucap Kak Adam memecah keheningan.
Semua memang ada alasan, dan alasanku kuat untuk memilih mundur. Meski aku harus masuk ke dalam jurang kesakitan yang tak berujung. Bagaimana kamu bisa memilih antara makanan atau minuman? Keduanya sangat di butuhkan. Aisha dia memiliki riwayat kesehatan yang tidak baik. Dia harus masuk inkubator saat lahir dulu. Juga lemah jantungnya yang membuat dia tidak boleh kaget juga bersedih.
Aisha yang tidak tahu apa-apa tidak mungkin aku patahkan sayapnya, terlalu egois jika berkata jujur yang berujung akan kehilangan dia. Bukan juga salah Ibu Azam yang salah melamar saat itu.
Bisa dikatakan akulah yang salah. Tidak pulang ke Darul Arkom saat itu juga tidak memberitahu Azam jika aku terlahir kembar. Semua tampak lucu, tapi tidak bisa membuat tertawa. Yang ada hanya sakit yang mendera.
Aku menarik napas dalam, untuk mengisi udara sebanyak-banyaknya agar dada ini tidak sesak lagi.
"Aku tidak memaksamu untuk bercerita, Alisha! Mungkin apa yang kamu hadapi memang terlalu sakit untuk di bahas. Jalan masih terbentang luas, aku tahu kamu kuat. Sekuat Maryam di 'The Secret Of Love' kamu hanya butuh pelepasan agar bisa membuka hati yang lama kehilangan kuncinya." ucap Kak Adam lagi.
Kak Adam benar aku memang butuh pelepasan, akan semakin gila jika tidak aku lepaskan gelora yang bergejolak di dada dan menari-nari di atas imajinasi. Aku menutup mata, hingga aku lupa bahwa aku butuh kewarasan agar tetap bisa berjalan. Azam dan hobiku satu frekuensi. Hal yang aku tinggalkan satu tahun ini, merangkai imajinasi dalam kata-kata.
Apa seperti ini semua penulis dia akan berlari sejauh mungkin jika terluka, bahkan enggan bercengkrama lagi dengan kertas.
"Tawaranku serius, Alisha! Untuk berkolaborasi lagi. Perkataanku ini juga untuk diriku sendiri. Mungkin dengan menulis lagi bisa membawaku bernostalgia!" kembali Kak Adam berbicara.