Xaviera marcella, Remaja usia 17 tahun harus menerima nasib yang buruk. di mana dia tinggal di panti asuhan, selalu dibully dan dijauhi. ia tumbuh menjadi gadis yang pendiam. suatu hari, ia bermimpi bertemu dengan gadis cantik yang meminta pertolongan padanya. itu berlangsung sampai beberapa hari. di saat ia sedang mencari tahu, tiba-tiba kalung permata biru peninggalan ibunya menyala dan membawanya masuk ke sebuah dimensi dan ia pun terhempas di jaman peradaban. hari demi hari ia lalui, hingga ia bertemu dengan gadis yang ada di mimpinya. ternyata gadis tersebut merupakan seorang putri dari negeri duyung. ia pun dijadikan pengawal utama untuk melindungi putri duyung itu.
gimana kisah selanjutnya? akankah Xaviera mampu menjaga putri duyung itu? ikuti kisah selanjutnya hanya di sini🥰
NO PLAGIAT!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelaku sesungguhnya
Setelah kembali dari pertarungan sengit, Xaviera pergi ke belakang istana untuk menguburkan jasad Anvi. melihat yang Xaviera lakukan, Debbara pun mengikuti langkahnya menuju ke belakang istana. setelah sampai, Xaviera menurunkan tubuh Anvi yang terbujur kaku itu, sedangkan ia menggali tanah untuk dijadikan tempat peristirahatan terakhir bagi Anvi. melihat kesungguhan gadis itu, membuat Debbara berpikir betapa berharganya Anvi untuknya. Setelah dirasa cukup, segera Anvi dikuburkan sesuai dengan kepercayaannya lalu lubang tersebut ia timbun kembali. sebagai langkah terakhir, ia pun meletakkan sebuah batu dan bunga sebagai penghormatan atas jasa Anvi kepadanya.
"Nona Anvi, terima kasih karena kamu selalu berbaik hati padaku. kehadiranmu membuatku jauh lebih berwarna. aku terbebas dari kesendirian, dan aku pun merasakan indahnya memiliki seorang teman sejati seperti dirimu. kini, kamu sudah tiada, aku tidak akan merasakan senyum hangatmu lagi. aku.. aku.. tidak sanggup.. aku ingin kamu kembali." lirihnya sembari menangis. Debbara hanya terdiam di belakangnya tidak mengganggu gadis itu berbicara.
"Nona Anvi, semoga kamu bahagia di alam yang berbeda.. aku akan menepati janjiku. terima kasih karena kamu sudah memberikan makna bagaimana membangun pertemanan yang baik."
Debbara sudah tidak sanggup lagi, akhirnya ia pun pergi meninggalkan Xaviera yang masih terduduk diam memandangi kuburan Anvi. sementara gadis itu masih meratapi kesedihannya karena kehilangan orang satu-satunya yang menghargainya. selama ini ia tidak pernah memiliki seorang teman bahkan yang baik dengannya pun tak ada. ia selalu dibully, dikucili dan tidak dihargai. makanya ia tidak pernah bergaul dengan siapapun. Kehadiran Anvi bagaikan cahaya yang menyinari kegelapan hatinya. kebaikan Anvi bagaikan obar penawar yang mempu mengobati rasa sakitnya dalam kesendirian.
Sementara Debbara berjalan menuju kamarnya. dengan raut wajah yang memandang tajam ia masuk ke dalam kamarnya. tangannya menutup pintu dengan kuat. matanya yang biru mulai memerah, nafasnya tersengal dan juga giginya menggertak. ia menahan gejolak amarahnya dalam hati, namun kali ini tidak tertahankan. ia pun bergerak memberantaki kamarnya sendiri seperti membuang bantal, memberantaki meja riasnya dan yang lainnya. air matanya sudah tidak tertahankan lagi, lalu ia meremas rambutnya dan berteriak sekuat tenaga.
"HAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!"
Setelah berteriak, ia meruntuhkan badannya sembari menangis terseguk. ia pun meremas kerah bajunya dengan kuat karena hatinya merasakan ada rasa sakit. memori otaknya mulai terbayang wajah Anvi, ketulusan, pengorbanan dan pengabdiannya selama ini. tak hanya itu, Anvi sudah menemaninya sejak kecil, tapi ia tidak pernah menganggap keberadaannya. statusnya sebagai bangsawan menjaga dirinya untuk bersatu dengan kalangan biasa.
Namun, kali ini Debbara nampak berpikir berbeda.. ingatannya kembali pada Xaviera yang berani memarahinya tadi. entah kenapa ia merasa membenarkan apa yang dibicarakan gadis itu. ia terlalu angkuh, sombong dan berkata kasar sehingga tidak bisa menerima perbuatan baik seseorang padanya. iapun tidak menyadari jika Anvi adalah orang yang selalu peduli akan dirinya.
Ia menangis tersedu karena merasa bersalah pada Anvi karena terlalu kasar padanya. "Anvi... maaf.. kau pergi sebab karena menolongku.. aku.. aku.. tidak menyadari ketulusanmu. Xaviera benar, aku terlalu sombong. aku akan berubah, aku akan membalas budi padamu dengan menjadi lebih baik.. aku janji padamu." lirih Debbara seraya menangis dan tangannya meremas karpet beludrunya.
"Aku janji.."
***
Sebuah semurat debu hitam berkumpul membentuk seorang manusia berjubah hitam, ia baru saja tiba dari pertarungan besar di hutan tadi. ia sangat terkesan dengan kekuatan gadis itu. ia membuntuti mereka sebab ingin mengukur kekuatannya. ternyata legenda sinar permata biru benar adanya, ia harus hati-hati jika berhadapan di sini. ia membuka bagian penutup kepalanya setelah sudah berada di tempat biasanya.
Terdapat seorang pemuda yang masih bersemedi dengan penuh keseriusan. ia pun membuka matanya ketika menyadari ada seseorang yang mendatanginya. pemuda yang bersemedi itu adalah John. ia masih hiatus untuk memperdalam ilmunya. lalu yang memakai jubah, Jika mengira ia adalah John, ternyata itu adalah gurunya. ia menggantikan John untukk mengawasi 7 muridnya dan menemukan fakta dengan matanya sendiri mengenai gadis itu.
"Guru, selamat datang kembali." sapa John ketika gurunya tiba.
"Hmmm.. bagaimana denganmu? apa sudah menguasai ilmu itu?"
"Eum, kurasa masih belum guru.. masih perlu waktu untuk menguasai ilmu tersebut. guru sendiri bagaimana? apakah mereka berhasil menyingkirkan debbara dan gadis itu?"
Guru itu pun terdiam sejenak, "Gadis itu... gadis itu menghabisi 5 dari 7. 2 lagi oleh pengawal pribadi putri sombong itu." John terkejut mendengarnya. ketujuh pria itu berbadan besar dan terkuat yang pernah ada, tapi masih kalah dengan gadis itu? benar-benar diluardugaannya.
"Tapi pengawal pribadi itu berhasil terbunuh oleh panah sakti dewa sementara gadis itu, dilindungi oleh pengawal itu sehingga ia selamat. dan kamu, berhati-hatilah melawannya.. dia menjadi ancaman terbesar untukmu dan juga denganku."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan guru?"
Guru tersebut memandangi John dengan tatapan tajamnya, "Kau harus berguru pada iblis yang berada di Goa guavyers. dia adalah iblis yang terkuat, jika kau berhasil menguasai seluruh ilmu iblis itu? maka kau akan mampu mengalahkan gadis itu."
***
Xaviera terlihat masih melatih pedangnya di area pelatihan senjata. ia masih tidak terima dengan apa yang terjadi. ia melampiaskan amarahnya dengan berlatih sekuat tenaga sampai tubuhnya kelelahan dan keringat membasahi tubuhnya. raut wajah tajam masih mengiringi dirinya mengayunkan pedangnya.
Haaaaaa..
Hiaaahhhh
Lalu langkah terakhir, ia melatih pedang dengan menyelimuti sinar biru di bagian besinya. ia mulai mendekati kayu besar yang ada di sana dan menebaskan pedangnya pada kayu tersebut.
HAAAAAA!!!
Srek...
Kayu tersebut terbelah dua dengan presisi. selimut sinar biru menambah ketajaman pedangnya. namun, seketika ia merasakan berat pada dadanya, ia pun terduduk untuk mengatur nafasnya. ia merasakan sesak yang luar biasa, kekuatan hebat itu ternyata memiliki efek samping yang terjadi pada dirinya sendiri. selimut biru itu ternyata bisa menguras energinya. iapun menghilangan sinar biru di pedangnya, otomatis kalung permatanya pun tidak bersinar. dirasa sudah lelah berlatih, ia pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
Setelah masuk ke dalam kamar, ia menutup pintunya perlahan. ia menaruh pedangnya dengan sembarang dan melepaskan sepatunya dengan berantakan. ia melihat buku mantra yang selama ini ia pelajari tapi kali ini ia tidak berminat untuk membacanya. Xaviera segera berbaring di kasur dengan posisi terlentang. matanya masih menatap ke arah langit-langit kamarnya, termenung sejenak mengenang Anvi kembali. setelah lama termenung, perlahan ia mulai menutup matanya.
"Xaviera..." lirih seseorang.
"Xaviera..."
Mata Xaviera terbuka perlahan ketika ia mendengar suara yang memanggil namanya. namun suara tersebut sudah hilang dan ia pun terpejam kembali.
"Xaviera..."
Suara itu muncul kembali, kali ini Xaviera membuka matanya secara utuh. ia kembali terbangun dari tidurnya. ia pun bangun dan mengambil posisi duduk. dahinya mengkerut seperti tengah serius mendengarkan suara yang memanggilnya, ia menatap sekelilingnya namun tidak ada apa-apa. ia pun mulai menguatkan pendengarannya untuk memastikan yang ia dengar itu benar-benar ada.
"Xaviera..."
Ia membulatkan matanya, lalu menoleh ke sumber suara. ia terkejut ketika ada seseorang yang berdiri di area dekat dengan pintu kamarnya. matanya terbelalak ketika melihat wujud seseorang yang sangt ia kenali.
"Nonnn... nona..An..vi?" lirihnya terbata.
Anvi tersenyum lalu berjalan perlahan menghadap Xaviera. mata gadis itu berembun kembali ketika melihat Anvi ada di depan matanya. "Apa benar ini kamu?"
"Iya Xaviera, ini aku.."
Xaviera pun menangis, ia memeluk tubuh Anvi dengan erat. ia merasakan tubuhnya sangat dingin. tangan Anvi mulai melingkar memeluk Xaviera. mereka seperti saudara yang tak lama berjumpa. "Nona.. maafkkan aku, aku tidak mampu menyelamatkanmu."
"Stttt... sudah, jangan menangis.. seorang kesatria tidak boleh berlarut dalam kesedihan. tenangkan dirimu."
Xaviera pun mengikuti apa yang diucapkan Anvi, ia mulai mengontrol dirinya dan juga menghentikan tangisannya. mereka mulai melepaskan pelukannya masing-masing namun tangan mereka saling memegangi satu sama lain.
"Xaviera, apa kamu mengikuti keinginanku untuk menjaga tuan putri?"
"Eum... iya, nona."
"Maafkan aku karena harus pergi secepat ini, aku serahkan tanggungjawab menjaga tuan putri kepadamu, Xaviera. kamu adalah orang yang hebat, apa kamu mampu mengemban tanggungjawab itu?"
Xaviera pun terdiam sejenak, semenjak kepulangannya tadi ia belum menemui Debbara sama sekali. ia sibuk dengan urusan hatinya. lalu ia pun mengangguk untuk mematuhi Anvi yang ia anggap saudaranya sendiri. "Baik, nona anvi.. aku janji, akan menjaga tuan putri dari bahaya."
"Seorang kesatria, tidak boleh melanggar janji. oh iya, aku ada sesuatu yang akan kuberikan padamu."
"Apa itu nona?"
Lalu Anvi seolah menutup matanya, kemudian cahaya hijau mulai memenuhi area kamarnya sampai Xaviera pun menutup matanya. ia merasakan ada tangan dingin yang menyentuh dahinya. Anvi mentrasfer kekuatannya pada Xaviera untuk menambah pertahanannya. seketika, cahaya hijau mulai menghilang dan Xaviera mulai membukakan matanya. lalu ia tidak melihat siapapun di depannya. ia menoleh kanan kiri untuk menjari keberadaan Anvi.
"Nona Anvi?"
"Nona?"
Mengetahui Anvi sudah menghilang, Xaviera terkejut kembali. raut wajahnya penuh keringat dan jantungnya berdebar hebat. "Anvi!!!!!!"
"HAAAA..." teriaknya singkat. ia seketika terbangun dari tidurnya setelah bermimpi aneh. ia melihat sekeliling kamarnya kosong. ia bermimpi bertemu dengan Anvi dan dirinya seperti menerima sesuatu darinya. tapi ia tidak tahu apa maksudnya. lalu, ia termenung seakan terbayang sesuatu. ada suatu hal yang tertampil di memorinya. yaitu ada beberapa orang yang di sana itu adalah 7 pria besar dan 1 pria berjubah hitam. ia mengenali 7 pria itu yang menjadi musuhnya tadi siang. sementara ia terfokus pada pria berjubah hitam. dan setelah terbuka penutup kepalanya itu adalah John. seketika bayangan itu pun hilang.
"Jadi orang-orang itu adalah suruhan darinya?!"
Entah darimana ia mendapatkan kekuatan itu, Xaviera mengepalkan tangannya sebab ia mengetahui penyebab 7 orang itu menyerang mereka dan membunuh Anvi. ternyata John yang menjadi dalangnya. wajahnya mengeras menahan amarah yang memuncak. "Joooohhhnn.. akan kubalas kau!" geramnya marah.