Kehadiran Damar, pria beranak satu yang jadi tetangga baru di rumah seberang membuat hidup Mirna mulai dipenuhi emosi.
Bagaimana Mirna tidak kesal, dengan statusnya yang belum resmi sebagai duda, Damar berani menunjukkan ketertarikannya pada Mirna. Pria itu bahkan berhasil membuat kedua orang tua Mirna memberikan restu padahal merek paling anti dengan poligami.
Tidak yakin dengan cerita sedih yang disampaikan Damar untuk meluluhkan hati banyk orang, Mirna memutuskan mencari tahu kisah yang sebenarnya termasuk masalah rumahtangga pria itu sebelum menerima perasaan cinta Damar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penasaran
“Siapa cowok tadi yang ngobrol sama kak Damar dan dokter Harry ?” tanya Mirna saat mobil Damar sudah meninggalkan rumah sakit.
“Loh kok panggilannya berubah lagi ?”
“Tadi kelepasan. Setelah dipikir-pikir rasanya aneh banget panggil kakak sendiri dengan sebutan kak tapi suami orang malah aku panggil mas,” gerutu Mirna dengan muka ditekuk.
Damar tertawa, “Padahal aku udah nyaman banget dipanggil mas sama kamu.”
“Sudah cukup membahas soal panggilanku. ! Jangan mengalihkan pertanyaanku barusan. Aku yakin kalau ada sesuatu yang kalian rahasiakan dariku.”
Damar tidak menjawab dan sudah berhenti tertawa bahkan wajahnya berubah serius.
“Tidak ada rahasia apapun, kami hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Mirna menghela nafas dengan perasaan kecewa karena Damar bersikukuh berbohong padanya.
“Kalau begitu tolong jelaskan padaku soal janji yang kak Damar maksud. Kemarin siang aku mendengar semua kata yang kakak ucapkan.”
Damar menoleh dengan mata melotot tapi tidak lama pandangannya beralih lagi ke jalan.
“Jadi kamu pura-pura tidur di ruanganku ?”
“Aku memang sempat ketiduran lalu terbangun saat kak Damar membuka pintu.”
“Dasar anak nakal,” ujar Damar sambil terkekeh.
“Sekarang jelaskan padaku janji apa yang kakak maksud ? Apakah kita pernah dekat sebelum aku kecelakaan ? Apa jangan-jangan aku terkena amnesia gara-gara tabrakan itu ?”
Damar masih saja diam, tidak menjawab pertanyaan Mirna dengan satu kata sekalipun.
“Kalau memang kak Damar ingin mendapatkan kesempatan kedua, tolong jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi ?”
Mirna merubah posisi duduknya menghadap Damar dan matanya menelisik wajah pria yang terlihat tetap tenang.
“Tidak ada apa-apa. Kondisimu yang sempat koma membuat kami khawatir. Itu saja.”
“Aku yakin kak Damar dan keluargaku menyembunyikan sesuatu !”
Suara Mirna sedikit meninggi karena emosinya mulai terpancing.
“Kak Damar….”
Tanpa melepaskan sabuk pengamannya meskipun mobil sudah berhenti, Damar menoleh dan bibirnya menyunggingkan senyuman tipis.
”Tidak ada yang kami sembunyikan darimu. Rangga dan aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja setelah kecelakaan itu.”
Mirna menghela nafas, dahinya berkerut karena Damar bergeming, tidak menunjukkan tanda-tanda ingin turun.
“Aku harus pergi dulu ke suatu tempat, nanti sore aku jemput lagi.”
“Memangnya kak Damar mau kemana ?”
Damar terkekeh melihat Mirna tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.
“Mulai khawatir sama aku ?” ledek Damar.
Mirna malah mencibir membuat Damar malah tertawa pelan.
“Sudah biasa kan seorang sekretaris tahu jadwal bossnya ?”
“Ooohh,” Damar manggut-manggut di sela tawanya. “Tapi kenapa aku menangkap kalau cara bicaramu seperti kekasih yang sedang cemburu.”
“Dalam mimpi !” omel Mirna sambil turun dari mobil dan melangkah ke arah pintu masuk.
Tidak bisa dipungkiri kalau hatinya sedikit kecewa saat Damar melajukan mobilnya.
***
Mirna berpikir kalau ia mendiamkan Damar, hati pria itu akan luluh untuk menjawab rasa curiga Mirna tapi nyatanya pria itu bukan saja ikut mendiamkan Mirna tapi benar-benar mengabaikannya.
Setiap pagi usai mengantar Chika, Damar hanya menurunkan Mirna di lobi lalu langsung pergi lagi tanpa bilang mau kemana bahkan tidak pernah mengirim pesan apa-apa sekalipun untuk urusan kantor dan 3 hari terakhir hanya ada sopir yang menjemput Mirna untuk mengantarnya pulang.
“Loh, kak Rangga ? Kok nggak bilang-bilang kalau pulang hari ini ?”
Mirna terkejut saat mendapati kakaknya sedang duduk di ruang makan bersama mama saat ia pulang kantor.
“Kenapa ? Nggak senang kakakmu pulang karena nggak bisa lagi pergi bareng Damar ?” ledek Rangga sambil tertawa.
Tanpa sadar wajah Mirna bersemu membuat mama ikut senyum-senyum.
“Dia cuma sopir, udah beberapa hari ini kerjanya hanya anter aku ke kantor. Kakak suruh aku jadi sekretarisnya tapi sampai detik ini kak Damar tidak pernah kasih tugas dan bilang kemana dia pergi selama jam kantor,” sahut Mirna dengan sedikit ketus dan wajah cemberut.
“Kak Damar ?”
Mata Rangga menyipit dan mama pun melirik sambil senyum-senyum membuat wajah Mirna kembali merona dan terlihat malu-malu.
“Kenapa ? Ada yang aneh ? Aku tetap memanggilnya bapak saat kami di kantor.”
Sebelah alis Rangga terangkat, “Kamu mulai suka sama Damar ?”
Mata Mirna langsung melotot, tangannya bergerak ke kanan dan kiri, menangkis tebakan Rangga.
“Kakak asal banget sih ! Kalau kalian salah paham, lebih baik tolong kembalikan aku ke bagian keuangan.”
Rangga tersenyum tipis, “Damar masih membutuhkanmu.”
“Membutuhkan apanya ? Sejak kemarin pesan yang aku kirim hanya centang satu, aku yakin alasannya bukan karena sinyal tapi dia sengaja memblokir nomorku,” omel Mirna panjang lebar.
“Damar lagi sibuk, Mir. Dia bahkan membawa Chika dan Sumi pergi untuk beberapa hari,” ujar mama.
Mirna tampak kaget, kedua alisnya langsung menaut. “Pergi kemana ?”
Rangga hanya mengangkat kedua bahunya meskipun tatapan Mirna sangat mengharapkan jawaban.
“Damar tidak bilang mau kemana,” sahut mama sambil beranjak dari kursi.
“Sepertinya Damar sedang berusaha untuk kembali fokus pada istrinya,” timpal Rangga dengan wajah serius sambil menatap Mirna yang tanpa sadar menunjukkan rasa kecewa.
Mirna sempat menghela nafas membuat Rangga yakin kalau adiknya mulai memiliki perasaan yang berbeda pada Damar.
“Aku mandi dulu kak.”
Rangga hanya mengangguk sementara Mirna naik ke kamarnya dengan perasaan campur aduk.
***
Penasaran dengan kabar Damar yang menghilang tanpa kabar berita namun enggan bertanya pada Rangga, Mirna pun memutuskan untuk mendatangi sekolah Chika.
Mirna ingin memastikan apakah bocah itu tetap sekolah seperti biasa dan kalau iya, Mirna memutuskan untuk mencari tahu dimana bocah itu tinggal.
Untung saja Rangga tidak banyak tanya alasan Mirna ijin tidak kerja hari ini dan mama memperbolehkannya keluar dengan syarat tidak membawa mobil sendiri.
Sudah sejak 20 menit yang lalu Mirna berdiri di samping kantin, mencari spot yang bisa menjangkau pemandangan dari depan gerbang TK sampai seputaran lapangan yang mulai dipenuhi mobil jemputan.
Mata Mirna menyipit, menangkap sosok bik Sum berdiri di depan gerbang lalu tidak lama Chika muncul dari dalam.
Rasa rindu tiba-tiba menyeruak, ingin memeluk Chika yang kelihatan tidak seriang biasanya. Mirna baru sadar kalau bocah itu sudah tidak pernah ditemuinya lagi di rumah papa mama bukan hanya dari 3 hari yang lalu tapi sudah sejak 3 hari sebelumnya.
Keduanya berjalan sambil bergandengan tangan menuju mobil yang biasa menjemput Mirna selama Rangga di luar kota.
Bergegas Mirna ikut berjalan ke arah mobil yang disewanya dan memberi perintah supaya sopir mengikuti mobil yang ditumpangi Chika dan bik Sum.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit akhirnya mobil berhenti di sebuah rumah yang cukup besar dengan nuansa minimalis.
Sayangnya Mirna hanya bisa menatap mobil yang membawa Chika menghilang di balik gerbang tanpa tahu siapa pemilik rumah itu.
Tidak mungkin rumah orangtua Damar karena pria itu sudah lama yatim piatu.
Apa mungkin rumah ini adalah tempat tinggal Damar bersama istrinya ? Lalu kalau istrinya sakit seperti yang diceritakan pada Mirna, kenapa Damar sampai pindah di depan rumah orangtua Mirna ?
“Jalan Pak !”
Mobil yang ditumpangi Mirna perlahan meninggalkan rumah yang entah
pergi ke akhirat mgkin
ah... lama2 jadi maminya sendiri