NovelToon NovelToon
Naugthy My Prince

Naugthy My Prince

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Bad Boy / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.

Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.

Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.

bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Diantara detak dan diam

Di ruangan putih dengan bau obat-obatan dan suara mesin yang monoton, tubuh Margaret terbaring lemah di atas brankar. Wajahnya pucat, matanya masih tertutup rapat dalam tidur yang panjang dan melelahkan. Napasnya tenang, tapi rapuh… seolah setiap hembusan adalah hasil dari perjuangan.

Prince duduk di samping ranjang, tak bergerak. Tangannya mengelus pipi Margaret yang dulu chubby, hangat, penuh tawa. Sekarang pipi itu tirus dan dingin. Tapi bagi Prince, Margaret tetap sama… tetap gadis yang ia jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya menangis diam-diam di ruang musik sekolah.

"Yang..." bisik Prince, nyaris tanpa suara. "Boleh gak kalau hari ini… gue yang ngerasa lemah?"

Ia menunduk, menyandarkan dahinya di tangan Margaret yang terasa semakin kurus.

“Gue tahu lo muak sama rumah sakit, sama obat, sama rasa sakit... tapi bisa gak, untuk sekali ini aja... lo jangan ninggalin gue?”

Ia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Margaret. Matanya memerah, tapi tak ada air mata yang jatuh. Seolah tubuhnya sudah kehabisan air untuk menangis.

Suara pintu terbuka pelan. Prince menoleh. Karin masuk membawa botol air dan syal milik Margaret yang tertinggal di rumah.

Tanpa berkata apa-apa, Karin meletakkannya di kursi dan menatap sepupunya dengan raut sendu.

“Dia belum bangun?”

Prince menggeleng. “Udah dua hari.”

Karin mendekat, menyentuh bahu Margaret pelan, lalu tersenyum tipis.

“Kalau dia tahu lo nangis kayak tadi... bisa-bisa dia malah bangun buat marah,” ucap Karin berusaha menghidupkan suasana, meski senyumnya goyah.

. Gue harap.”

Mereka terdiam, hanya mendengarkan detak mesin dan napas Margaret yang pelan tapi ada. Dan saat itu pula, tanpa peringatan, jari-jari Margaret bergerak sedikit.

Prince langsung mendekat. “Yang?”

Kelopak mata Margaret perlahan terbuka, samar, buram. Tapi ia melihat—wajah Prince. Lalu Karin di belakangnya. Ia mengerjap pelan, lalu berkata dengan suara serak,

“...kenapa kalian kayak lagi nunggu gue di ruang ICU?”

Prince tertawa kecil, separuh lega. Ia langsung mencium tangan Margaret.

“Karena lo rese banget bikin semua orang cemas.”

Margaret hanya tersenyum tipis. Lemah. Tapi hidup.

Dan untuk Prince… senyum itu cukup untuk membuatnya bernapas kembali.

Karin berdiri setelah memastikan Margaret benar-benar sudah sadar. Ia menepuk pelan tangan Margaret lalu menatap Prince dengan anggukan kecil, seolah berkata, “Gue kasih kalian waktu.”

“Gue ke kantin bentar, mau beli kopi. Lo mau nitip?” tanya Karin sambil tersenyum.

Karin tersenyum tipis lalu berjalan keluar, menutup pintu dengan perlahan dan menyisakan keheningan di dalam ruangan.

Margaret menoleh ke arah Prince yang masih duduk di kursi, menatapnya tanpa kata. Tatapan itu membuat Margaret tersenyum kecil.

“Lo kenapa masih duduk? Kasur gue luas, tahu,” ucapnya lemah, tapi penuh makna.

Prince tertawa kecil, gugup. “Lo yakin? Takut gue malah bikin lo makin sesak napas.”

Margaret menggeser sedikit tubuhnya, memberi ruang di sisi ranjang. Gerakannya pelan, penuh usaha, tapi tetap ia lakukan.

“Gue lebih sesak kalau lo duduk terus diem kayak patung,” ujarnya sambil menepuk sisi kasur.

Prince tak menunggu lama. Dengan hati-hati, ia naik ke ranjang, berbaring di samping Margaret, memiringkan tubuhnya agar bisa menatap wajah gadis itu dari dekat. Mereka begitu dekat kini, hanya dipisahkan oleh detak jantung dan sisa-sisa rasa takut yang belum sepenuhnya reda.

Margaret menempelkan dahinya ke dahi Prince, denyut jantung Prince berjalan lebih tenang daripada kemarin—lebih dalam, lebih penuh.

Prince menyelimutkan tangan di bahu Margaret, memeluknya lembut, seolah gadis itu terbuat dari kaca.

“Yang…” gumam Prince, suaranya nyaris berbisik, “Kalau gue bisa tuker tempat, gue akan lakuin tanpa mikir.”

Margaret tersenyum tipis tanpa membuka mata. “Tapi kalau lo yang sakit, siapa yang jagain gue?”

Mereka diam.

Hening, tapi nyaman. Tidak ada suara lain kecuali detak alat medis dan hujan yang mulai turun tipis-tipis di luar jendela. Dunia terasa melambat. Dan untuk sesaat, tak ada penyakit, tak ada waktu yang mengejar, tak ada ketakutan tentang esok.

Yang ada hanya dua jiwa yang saling berpaut dalam diam, berusaha menyelipkan keabadian dalam satu malam yang sederhana.

Margaret menatap wajah Prince dari dekat. Jarak mereka hanya sejengkal. Ia bisa merasakan napas Prince yang hangat, bisa mencium samar aroma familiar yang membuatnya merasa pulang.

“Mungkin…” bisik Margaret, suaranya nyaris tak terdengar, “…ini akan jadi malam terakhir gue ngerasa seutuh ini.”

Prince mengerutkan kening. “Jangan ngomong gitu, Yang.”

Margaret tersenyum kecil, mata masih menatap mata Prince. “Gue gak bilang gue nyerah. Tapi waktu itu kan gak bisa kita kendaliin. Yang bisa kita lakuin… cuma mencuri rasa sebisanya.”

Prince terdiam. Matanya berkaca. Ia tahu Margaret bicara jujur, dan itu yang paling menyakitkan—kejujuran yang tenang, bukan tangisan yang keras.

Margaret mengangkat tangannya, menyentuh pipi Prince dengan lembut. Jemarinya menyapu pelan di sana, seolah menghafal garis wajah yang mungkin tak lama lagi hanya bisa ia lihat lewat ingatan.

Prince menangkap tangan Margaret dan menciumnya. Lalu dengan sangat perlahan, ia mendekatkan wajahnya. Tak ada ragu. Tak ada nafsu. Hanya dua hati yang saling bicara dalam diam.

Dan saat bibir mereka bertemu—rasanya seperti waktu berhenti.

Hangat, tapi getir.

Lembut, tapi dalam.

Ada cinta di sana, tapi juga rasa takut. Ada janji, tapi juga kesadaran akan keterbatasan. Dan di tengah semua itu, mereka tetap berani merasakan.

Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi saat mereka melepaskannya, air mata sudah mengalir pelan di pipi Margaret. Ia tersenyum, lalu terkekeh kecil.

“Rasanya aneh… manis, tapi nyakitin.”

Prince memeluknya lagi. “Sama kayak lo.”

Margaret tertawa pelan, melemah dalam pelukan itu.

“Simpan rasa ini, Kak… buat nanti, kalau gue udah gak bisa nginget sendiri.”

Prince memejamkan mata, menahan perih di dadanya.

“Gue gak akan pernah lupa... lo.”

Dan malam itu, dunia tak berkata apa-apa. Tapi cinta mereka berkata cukup banyak—dalam satu ciuman yang pahit... tapi manis.

______________

Cahaya matahari pagi masuk melalui sela-sela tirai jendela rumah sakit, membentuk garis-garis hangat di lantai putih dan ranjang tempat Margaret berbaring. Burung-burung terdengar samar di kejauhan, dan suara langkah perawat mulai mengisi lorong dengan ritme rutinnya.

Di atas ranjang, Margaret masih tertidur, wajahnya tenang—seolah malam yang berat kemarin perlahan berubah menjadi mimpi lembut yang belum ingin ia lepaskan.

Prince terbangun lebih dulu. Ia masih berada di sisi Margaret, lengan kirinya menjadi bantal gadis itu semalaman. Ia menatap wajahnya dengan mata sembab namun penuh syukur. Entah berapa kali dalam tidurnya ia terbangun hanya untuk memastikan Margaret masih bernapas.

Ia menyentuh rambut Margaret pelan, merapikan helai-helai yang menutupi wajahnya. Saat jari-jarinya menyentuh pipi Margaret, gadis itu mengerjap perlahan.

Pagi itu, senyum Margaret adalah hal pertama yang Prince lihat. Lelah, tapi ada cahaya di sana. Cahaya yang mungkin tak akan lama, tapi cukup untuk menghangatkan pagi.

“Lo tidur kayak bayi,” bisik Prince.

“Lo juga,” balas Margaret dengan suara serak khas bangun tidur.

Mereka berdua tertawa kecil. Tawa yang pendek, tapi tulus.

Margaret mencoba duduk perlahan. Prince langsung menopangnya, membantu dengan gerakan lembut.

“Gue lapar,” ucap Margaret jujur, dengan suara sedikit lebih hidup.

Prince tersenyum lega. “Gue anggap itu kabar baik.”

Tak lama, pintu kamar terbuka. Karin masuk dengan dua bungkus roti dan secangkir susu hangat.

“Selamat pagi orang-orang yang drama semalam,” ujar Karin datar, tapi ekspresi matanya penuh kelegaan saat melihat Margaret duduk.

“Lo nguping?” tanya Margaret, pura-pura cemberut.

“Dikit,” jawab Karin cuek. “Tapi jujur, itu salah satu malam paling menyentuh yang pernah gue saksiin... dari balik pintu.”

Prince tertawa kecil. Margaret menggigit pelan bibir bawahnya, malu.

Karin meletakkan sarapan di meja kecil, lalu duduk di sofa, membuka ponselnya, pura-pura tidak ingin mengganggu, padahal jelas memberi mereka waktu.

Margaret menatap Prince yang sedang menuangkan susu ke dalam gelas.

“Gue pengin ngulang pagi ini terus, kalau bisa.”

Prince menoleh, menyodorkan gelas padanya. “Kita ulang aja… tiap hari. Selama lo masih di sini, gue gak akan ke mana-mana.”

Margaret menerima gelas itu dengan senyum.

Dan di balik semua rasa sakit, ketidakpastian, dan waktu yang terus berjalan, pagi itu menjadi ruang kecil tempat mereka bisa bernapas—bersama.

Sementara itu… di balik tirai jendela yang sedikit terbuka, sosok Arkan berdiri jauh di halaman rumah sakit. Tak terlihat oleh siapa pun. Tapi dari sorot matanya, jelas ia menyaksikan semua.

Ia menunduk, lalu berbisik pada dirinya sendiri.

“Waktunya belum habis… tapi garisnya sudah mulai kabur.”

Lalu ia pergi. Diam-diam. Seperti biasa.

1
Faulinsa
apakah Arkan malaikat pencabut nyawa? duh..
penulismalam4: Duh,bahaya ni
total 1 replies
Faulinsa
Arkan tu kayak cenayang gitu kah Thor? kok tahu masa depan??
Shintaa Purnomo
lumayan bagus, tetap semangat karna menulis dan merangkai sebuah cerita itu sulit
penulismalam4: iya, makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!